Showing posts with label Esay. Show all posts
Showing posts with label Esay. Show all posts

Tuesday, August 2, 2022

Baru beberapa hari yang lalu, saya menyelesaikan salah satu karya Albert Camus: The Outsider. Sebuah cerita yang datar. Dengan kehidupan tok...




Baru beberapa hari yang lalu, saya menyelesaikan salah satu karya Albert Camus: The Outsider. Sebuah cerita yang datar. Dengan kehidupan tokohnya yang juga datar namun tindakannya melahirkan amarah banyak orang. Terutama pengadilan. 


Jika tak sabar, mungkin saja saya sudah tidak melanjutkan membacanya. Tapi, sejak awal saya selalu tertarik dengan Albert Camus. Mungkin itu yang membuat saya sabar membacanya. 


The Outsider, bagi saya tak hanya sekadar cerita. Ia menyimpan ledakan pikiran akan seperti apa kita di hadapan kehidupan. Camus, mengurainya dengan menampilkan tokoh Meursault yang "polos". Tokoh yang apa adanya terhadap kehidupan yang dijalaninya.


Meursault seorang pemuda yang sejak kecil ditinggal oleh ayahnya. Ia tumbuh bersama ibunya. Namun di usia senja ibunya, ia menitipkannya di panti jompo. Meursault tak bisa menemani ibunya. Di panti jompo, ibunya bisa punya banyak teman. Punya lawan bicara di mana dirinya tak bisa lakukan pada ibunya. Begitu harapannya ketika ia menitipkan ibunya.


Tapi siapa yang menyangka, berawal dari  semua itu, ketika di suatu hari telegram datang  dari Panti Wreda. Sebuah kabar duka: Ibunya meninggal. Dan akan dimakamkan besok. Di pemakaman ibunya, ia menolak melihat mayatnya. Dan Meursault tak meneteskan air mata setetes pun.


Karena sikapnya itu, ternyata menjadi masalah besar buatnya. Menjadi bagian dari penilaian hakim padanya. Dinilai pembunuhan yang dilakukan Meursault beberapa hari setelah pemakaman ibunya punya hubungan. 


Meursault menembaki orang Arab di sebuah pantai. Kejadian itu bermula dari perkelahian di antara mereka. Orang Arab itu sebenarnya tidak punya masalah dengan Meursault. Tapi, Raymondlah yang berurusan dengannya. Raymond ini adalah sahabat Meursault. Karena perkawanan itu, Meursault terbawa ke lingkaran masalah itu. Ia membunuh musuh sahabatnya.


Di pengadilan, segala tanya datang padanya. Mengapa ia tidak menangis di kala ibunya meninggal? Kenapa ia tidak mau melihat mayat ibunya? Mengapa masih dalam keadaan berduka melakukan hubungan badan dengan kekasihnya: Marie? Mengapa setelah melepaskan tembakan satu kali, sempat berhenti, lalu berikutnya memberondong empat kali tembakan ke tubuh orang Arab itu? 


Semua tanya itu, dijawab oleh Meursault dengan apa adanya. Dengan apa ia rasakan. Tak juga ia berusaha membela diri. Datar saja. Intinya jawaban yang ia berikan betul-betul dari dalam dirinya. Ia tak bisa menangis melihat ibunya meninggal. Buat apa lagi melihat mayat ibunya. Ia alamia saja melakukan hubungan badan dengan kekasihnya. Insting saja untuk melakukan tembakan lima kali karena ia memang merasa marah. 


Tapi semua jawaban apa adanya yang , ia berikan, tak bisa menyelamatkan dirinya dari hukuman mati. Tapi bagi Meursault, di dalam kurungan penjara menanti fajar, ia berkata, mati hari ini akan sama saja dengan mati dua puluh tahun kedepan. 


Di dalam tahanan, pendeta datang untuk memintanya bertobat sebelum kematiannya. Namun, Meursault menolak. Ia tak mempercayai Tuhan. Justru kehadiran pendeta itu menjengkelkannya. Pendeta, juga pengadilan sebelumnya meminta Meursault menyesali kejahatannya. Meursault menolak. Ia menerima semua konsekuensi perbuatannya. Tak harus menyesal.


Menurut Albert Camus, ada yang salah paham terhadap tokoh Meursault yang dibuatnya. Ia mengira tokoh Meursault orang terbuang sebab ia tidak mengikuti semua anjuran. Padahal bagi Camus, Meursault orang yang menolak berdusta. Ia jujur mengatakan yang dirasakan dalam hati manusia. Tak mencoba mengkhianati apa yang ada dalam hati. Semuanya apa adanya. 


Camus melihat Meursault, tokoh yang dibuatnya sebagai orang yang malang dan apa adanya. Orang yang mencintai matahari yang tak meninggalkan bayangan. Jauh dari kekurangan semua sensibilitas. Meski dianggap negatif, tapi ia benar dalam memperjuangkan perasaan dirinya. Ia wujud kemenangan atas diri sendiri. Tentu Camus menawarkan semangat eksistensialis. Merdeka atas diri sendiri. Menanggung secara mandiri segala konsekuensi dari pilihan. Selebihnya tak ada lagi.

Wednesday, November 20, 2019

Foto Anis Baswedan / Seword.com Waktu jadi mahasiswa, Anies Baswedan adalah salah satu pemateri saya di acara pertemuan BEM se-Indonesi...

Foto Anis Baswedan / Seword.com
Waktu jadi mahasiswa, Anies Baswedan adalah salah satu pemateri saya di acara pertemuan BEM se-Indonesia. Saya mewakili kampus, Universitas Negeri Makassar—tempat saya kuliah. Saat itu, Anies bicara tentang peran intelektual dalam konstelasi perubahan di Indonesia. Intinya, perjalanan bangsa ini ke depan akan ditentukan oleh seorang intelektual namun memiliki jiwa interpreneur. Panggung politik Indonesia akan dikuasai oleh intelektual semacam ini. Dan Anies tentunya menyarankan agar kami memikirkan untuk memilih model seperti ini.

Sejak pertemuan BEM se-Indonesia itu, akhirnya, saya jadi salah satu pengagum beliau. Pengagum gagasan-gagasannya. Indonesia mengajar adalah salah satu gagasannya yang brilian untuk terlibat menyelesaikan problem pendidikan di pelosok. Waktu program ini berjalan sangat spektakuler. Sebab banyak anak orang kaya lulusan luar negeri rela ikut program ini. Meninggalkan kenikmatan kota. Masuk ke desa-desa yang tak memiliki lampu. Tanpa akses internet. Semangatnya hanya satu, berbagi dengan mereka yang sudah lama tak tersentuh. Tak diperhatikan khususnya dalam dunia pendidikan. Barangkali gagasannya yang dianggap memiliki kebaruan itu, ia banyak diundang jadi pembicara di mana-mana. Dalam hingga luar negeri. Ia tampil sebagai sosok intelektual yang komplet.

Waktu terus bergerak. Melaju seperti biasanya tentunya dengan beragam peristiwa mengikutinya. Momen politik tiba. Jokowi bersama Ahok menang di Pilkada Jakarta. Tampilnya Jokowi ke panggung politik nasional, punya warna baru. Secara, Jokowi bukanlah siapa-siapa. Bukan dari keturunan penguasa. Ia seorang pengusaha mebel di Solo yang percaya jadi Wali Kota Solo. Berselang dua tahun, oleh PDIP, Jokowi diusung jadi presiden melawan Prabowo. Ini salah satu Pilpres yang sungguh memilukan. Hoaks merebak dan menjalar. Yang paling banyak diserang adalah kubu Jokowi. Mungkin kita masih ingat bagaimana Jokowi dituduh sebagai anak PKI. Orang tuanya keturunan Cina dll.

Karena politik yang menggunakan hoaks sebagai salah satu strateginya, sentimen suku, agama dan ras mencuat. Keretakan bangsa benihnya tumbuh. Anies yang waktu itu di kubu Jokowi menulis di Kompas. Judulnya sangat menohok situasi sosial politik kebangsaan. “Tenun Kebangsaan” begitu judul tulisannya. Sebuah tulisan mengurai secara tidak langsung tentang keterlibatan oleh banyak pihak termasuk oleh etnis Tionghoa (Cina) dalam memerdekakan bangsa. Bangsa kita berdiri di atas keragaman. Kita perlu merawatnya.

Singkat cerita, Jokowi menang Pilpres. Otomatis Ahok jadi Gubernur Jakarta. Anies diangkat jadi Menteri Pendidikan. Di Jakarta, Ahok beraksi. Ahok bergerak memperbaiki Jakarta tentunya dengan ragam kelemahannya. Menggusur rakyat salah satunya. Kawan-kawan aktivis sosial mengkritik ini. Ini sangat tidak memihak. Ahok tutup mata atas kritik itu. Ia semakin laju. Barangkali tak luput dari ingatan bagaimana Ahok berhadapan dengan DPR. Ahok menolak tunduk pada permainan anggaran DPR. Ahok memotong semua anggaran yang tidak rasional, walau DPR harus meradang. Berkat dukungan publik Ahok menang. DPR Jakarta tak bisa berbuat apa-apa.

Produksi kebencian terhadap Ahok semakin meninggi. Ahok mulai tak disenangi. Kaum “agamawan” terkhusus kelompok FPI pun ikut menyikat Ahok. Mungkin ide pembubaran FPI oleh Ahok dianggap melecehkan Islam. Ahok yang beragama Kristen itulah sumber masalahnya bagi mereka. Jakarta tidak boleh dipimpin oleh orang “kafir”. Ahok Kristen, Ahok kafir. Ayat Alquran ditafsir untuk mendukung bahwa orang Islam tidak boleh dipimpin oleh bukan Islam. Walau ulama lain sekaliber Quraish Shihab punya tafsir lain. Ahok tak apa-apa memimpin Jakarta. Islam tak pernah melarang. Salah satu argumentasinya Indonesia bukan negara Islam. Sehingga Tafsir orang Kristen tidak boleh memimpin orang Islam dalam keindonesiaan lebih bersifat politis dibanding teologis. Puncak kebencian Ahok diproduksi massal setelah kasus surah Almaidah ayat 51. Ahok jadi bulan-bulanan sebagian umat Islam. Para politikus ikut bermain. Media mencipta framing. Aksi massa berjilid-jilid terjadi. Kubu Prabowo penumpang hebat dalam aksi massa itu.

Kasus Almaidah bertepatan dengan pencalonan Ahok bersama Djarot maju Pilgub DKI. Elektabilitas Ahok lagi tinggi-tingginya. Gelombang massa menolak Ahok semakin membesar. Pesertanya tidak hanya dari Jakarta. Hampir seluruh Indonesia mengutus orang “memerangi” Ahok. Lain sisi, Jokowi melakukan pembongkaran kabinet. Anies dipecat jadi Menteri Pendidikan. Rumor berkembang Anies tidak terlalu kuat di-back up oleh partai politik. Saya salah satu pengagum Anies kecewa atas pemecatan dirinya. Pikir saya kala itu, Anies baiknya memang kembali ke kampus. Berbagi gagasan dengan mahasiswa. Politik tak bisa menerima orang independen seperti Anies. Begitu pikir saya. Namun perjalanan bercerita lain. Godaan politik datang. Anies ditawari jadi calon gubernur oleh Partai Gerindra. Partai Prabowo untuk melawan Ahok di Jakarta. Anies menerimanya tawaran itu, di saat bersamaan serangan ras, suku dan agama terhadap Ahok lagi membludaknya.

Anies seolah tak peduli. Ia malah menikmati dukungan dari orang-orang yang menyerang Ahok dengan alasan agama, suku dan rasnya. Ia menari di atasnya. Tenun kebangsaan jadi lupa. Beberapa kali ia ketemu dengan kelompok yang dulu menuduhnya liberal, sekuler bahkan Syiah. Debat kandidat tiba. Adu program berlangsung. Anies menawarkan program yang populis untuk rakyat kecil yang mana Ahok tak lakukan. Barangkali dalam kacamata Ahok untuk Jakarta itu mustahil. Tak ada penggusuran, rakyat kecil harus punya rumah, maka DP O rupiah adalah solusinya. Itu sejumlah kecil janji Anies. Dan masih banyak yang lain.

Dalam kacamata saya, Anies telah berubah. Kini ini murni jadi politikus. Ia sudah tak lagi bisa dibaca sebagai subjek Intelektual semata seperti yang lalu-lalu. Ia telah menjadi subjek politik—politikus. Yang terbaru janji DP 0 rupiah ternyata tak bisa menyentuh semua masyarakat. Tetap ada syarat pendapatan warga. Tiga juta lebih batas minimal yang bisa disentuh. Terbaru Warga Sunter harus menerima kenyataan sebagai warga tergusur. Janji tinggallah janji. Semua telah berubah. Angin bertiup tak menentu. Anies menikmati arah mana angin bertiup di situlah ia. Ciri khas politikus.

Sunday, January 1, 2017

Apa yang riuh dari agama—khususnya Islam saat ini? Apakah ia menunjukkan kemajuan? Apakah ia menampilkan wajah ramah nan sejuk? Apakah ia ...

Apa yang riuh dari agama—khususnya Islam saat ini? Apakah ia menunjukkan kemajuan? Apakah ia menampilkan wajah ramah nan sejuk? Apakah ia masih menjadi cahaya pada buram hidup manusia? Ataukah jangan-jangan ia menjadi racun yang mematikan?
Jangan-jangan ia menjadi pijakan ego untuk melukai. Untuk meminggirkan, serta untuk menghina. Setandang tanya yang ada, sepertinya tak begitu sulit untuk kita jawab. Jawaban dengan mudah kita temui. Kita jumpai pada fakta sosial. Pada kenyataan hidup yang berseliweran di sekitar kita. Di sana dengan lapang kita akan menunjuk. Dengan mudah kita berujar, sepertinya agama berada di titik nadir.
Sepertinya agama sedang berjalan tidak pada lintasannya. Lajunya meninggalkan lajurnya. Kini sungguh ia tampil geram dan bengis. Penuh amarah dan amuk. Aura kesejukannya semakin luntur. Pesona kedamaiannya semakin kelam. Kesuciaanya semakin renyuk.
Wajahnya ditumbuhi bintik-bintik yang hadirkan nanah. Bau amis darah begitu cepat tercium dari setiap perayaannya. Pemeluknya begitu mudah menebar luka pada fisik dan psikis. Pemeluknya meneriakkan Allau Akbar bersamaan dengan letupan senjata menembaki orang-orang tak tahu menahu persoalan—orang-orang yang tak berdosa.
Kita semua mafhum, di Islam punya dua mazhab besar: Sunni dan Syiah. Tapi lihatlah apa yang terjadi? Amatilah media sosial. Di sana acap kali terjadi perdebatan. Sesarinya itu tak soal, namun yang memilukan jika arena itu berujung pada saling hujat.
Pada titik beda itu hadir saling hina, kafir-mengkafirkan, sesat menyesatkan. Tidakkah itu sungguh memalukan. Saya membayangkan orang-orang di luar Islam—sebut saja musuh-musuh Islam—akan tersenyum lebar. Dan mungkin tertawa terbahak-terbahak melihat semuanya. Mereka kemungkinan akan berkata, “lihat kita sudah berhasil mengadu domba mereka. Sekarang waktunya kita menjarah kekayaan mereka. Menghisap segala apa yang mereka punyai”.
Mengapa dalam hal beragama, sangat sulit kita menerima bahwa soal keyakinan adalah jalan personal. Ia adalah pergulatan pribadi yang melibatkan segala instrumen epistemik yang kita punya (indera, akal dan hati) dalam menemukannya. Mengapa kita sulit menerima bahwa lintasan keyakinan itu tidak tunggal namun ia majemuk.
Kita bisa berlari dari lintasan manapun yang pasti kita satu tujuan. Masih sulitkah kita menerima pesan bijak dari Ibnu Arabi, sosok sufi yang terkenal dengan gagasan Wahdatul Wujudnya, bahwasanya jalan menuju Tuhan sebanyak nafas para pencarinya. Untuk agama tak dogmatis, begitu rumitkah kita memilih seperti apa yang dipilih oleh Imam Syafi’i—pendiri mazhab Syafi’i—dalam semboyangnya: “Pendapatku benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar”.  
Belum cukupkah pelajaran inklusif yang Imam Syafi’i berikan kepada kita, ketika ia berkata kepada muridnya: “Wahai Ibrahim janganlah engkau mengikuti semua ucapanku, tetapi telitilah dan berpikirlah untuk dirimu.
Atau masih kurangkah tutur Malik bin Anas—pendiri mazhab Malikiyah yang lebih dikenal Imam Malik bahwasanya: “Aku hanyalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Maka, telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”.
Jika hal di atas sudah kita terima, maka saya membayangkan kita tak akan menyoal lagi adanya konversi keyakinan. Dari keyakinan A kemudian menjadi B. Dari Syiah menjadi Sunni atau sebaliknya Sunni menjadi Syiah. Namun cukup kita mempersoalkan jikalau Syiah menjadi Sunni setelah itu, menjelek-jelekkan atau menghina Syiah sebagai kafir. Atau yang Sunni kemudian menjadi Syiah lalu menghina Sunni sebagai ajaran sesat.  
Kita mempersoalkannya sebab orang-orang demikian tidak lagi berada pada sikap inklusif. Kata teman saya, orang-orang yang seperti itu dalam beragama layaknya anak kecil yang punya mainan baru lalu membenci mainan lamanya. Mungkin teman saya ingin berkata, bahwa orang seperti itu belumlah dewasa dalam bergama.
Ihwal Sunni-Syiah, pada Mukhtamar Muhammadiyah yang lalu di Makassar di mana saya hadir. Di sana ada pelajaran penting untuk kita cermati. Untuk kita teliti. Untuk kita renungkan. Pelajaran itu datang dari seorang cendekiawan Islam; Buya Syafi’i Maarif (mantan ketua PP Muhammadiyah).
Sejauh ingatan saya, Buya Syafi’i berujar dalam forum saat itu, bahwasanya Sunni-Syiah adalah produk sejarah yang direproduksi perbedaannya secara terus menerus untuk memecah belah Islam. Menjadikan Islam runtuh dan remuk sehingga kehilangan keadabannya.
Tak hanya itu, pelajaran yang kurang lebih sama juga kita bisa jumpai pada K.H. Said Aqil Siraj, juga salah satu cendekiawan Islam yang menjabat ketua NU. Di media sosial pernyataanya banyak dimuat. Sunni-Syiah bagi dia adalah khazanah Islam yang patut untuk dipelajari bersama, dengan itu, kita akan menemukan kejernian darinya.
Barangkali kita yang mengaku Sunni, sudah sepatutnya berpikir untuk memojokkan Syiah bahwa mereka senang memaki simbol-simbol yang kita sucikan. Mengkafirkan tokoh-tokoh yang kita kagumi. Sebab pemimpin spiritual Syiah Iran, Sayyid Ali Khameni sudah mengeluarkan fatwa haram atas penghinaan pada simbol-simbol Sunni.
Dakunya, jika ada yang melakukan demikian, itu bukan Syiah. Jika kita mengutip Imam Jaf’far Ash-Shadiq (Imam keenam dalam keyakinan Syiah) ihwal apa itu Syiah, di sana kita tak akan menemukan bahwa dalam menjadi Syiah harus menghina simbol-simbol yang dimuliakan di Sunni.
Kata Imam Jaf’far Ash-Shadiq,“wahai orang-orang Syiah, jadilah hiasan bagi kami dan jangan menjadi noda untuk kami, berbicaralah santun kepada masyarakat, jagalah lidah kalian, dan hindarilah campur tangan dalam urusan orang lain dan perkataan buruk”.
Atau,“Syiah kami adalah warak dan bekerja, mereka adalah orang percaya dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, senantiasa menunaikan lima puluh satu rakaat salat sehari semalam, orang yang terjaga di malam hari dan berpuasa di siang hari. Mereka menunaikan ibadah haji ke Baitul Haram dan menjaga diri mereka dari segala yang haram”.
Pada akhirnya, memosisikan keduanya (Sunni-Syiah) sebagai bagian dari Islam dan tidak mempersoalkannya lagi. Di situ kita akan senang hati melihat Sunni-Syiah bergandeng tangan. Di sana kita semua, baik Sunni maupun Syiah belajar untuk menjadi mukmin sejati.
Sebagaimana Rasulullah Saw katakan yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi bahwa “mukmin sejati adalah yang bisa menjaga keselamatan darah dan harta orang lain”.
Dengan kerelaan menerima masing-masing perbedaan dan bisa bersimpul,  bisa jadi lahirlah kekuatan yang dahsyat dalam menghadapi musuh sejati Islam. Dalam menghadapi musuh sejati Islam itu, saya membayangkan yang berdiri kokoh dan tegar, penuh keberanian tanpa takut adalah generasi Islam (post) Sunni-Syiah. Generasi yang tak lagi risih dan cemas dengan beda yang ada dalam Islam.





Ideologi adalah konsep yang kompleks dalam artian tidak memiliki definisi yang tunggal. Jumlah definisi ideologi tergantung tokoh yang meng...

Ideologi adalah konsep yang kompleks dalam artian tidak memiliki definisi yang tunggal. Jumlah definisi ideologi tergantung tokoh yang mengkajinya. Bagus Takwin dalam Akar-Akar Ideologi, mendaku bahwa ada tiga kategori dan pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat dan memahami ideologi: Pertama, pendekatan aliran yakni ideologi dicermati berdasarkan asumsi dari mana manusia mendapatkan pengetahuan. Dari pendekatan ini pula, maka ideologi dipandang dari segi positif dan negatif. Kedua, pendekatan yang dilihat aspek psikologis yang menjadi ranah (domain) ideologi. Ketiga, pendekatan kronologi yaitu melihat urutan waktu lalu membandingkanya dengan konsep ideologi yang lahir dalam waktu tertentu.
Mengacu pada pendekatan aliran sebagaimana di atas telah dijelaskan, maka dua bentuk yang muncul secara umum yakni ideologi yang dipandang positif dan negatif. Kelompok yang memandang ideologi sebagai suatu yang positif, melihatnya sebagai seperangkat nilai dan aturan tentang kebenaran.  Dari sudut pandang ini, ideologi dianggap sebagai suatu yang terberi, alamiah, dan universal dan menjadi rujukan manusia dalam bertingkah laku. Aliran ini disebut sebagai aliran rasionalisme-idealis.

Saturday, September 24, 2016

Oleh: Asran Salam Islam adalah agama yang tak mudah diringkus dalam definisi tertentu. Atau pada sebuah pengertian yang berlaku s...



Oleh: Asran Salam


Islam adalah agama yang tak mudah diringkus dalam definisi tertentu. Atau pada sebuah pengertian yang berlaku secara universal—di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh Islam tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah dan konteks di mana ia diterima. Karena Islam tak bisa dipisahkan dari tafsiran. Walau demikian, beberapa pengertian setidaknya diterima oleh pemeluk Islam. Bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam sebagai agama yang memberikan cahaya pada kegelapan. Islam adalah agama yang membela nilai-nilai kemanusiaan. Islam hadir untuk memperjuangkan keadilan. Walau dari sekian pengertian tersebut, pada akhirnya juga dimaknai berbeda oleh umat Islam. Memberikan artikulasi yang berbeda yang tidak sedikit melahirkan kebencian di atara mereka. Artikulasi yang satu mencaci artikulasi yang lain.

Islam yang lahir di tanah Arab, diserukan oleh Rasullah Saw, dalam perjalanan sejarah, akhirnya menjangkau Indonesia. Memasuki teritori Nusantara yang sebelumnya sudah memiliki keyakinan. Sudah memiliki iman yang dianut oleh masyarakatnya. Jauh sebelum kehadiran Islam, di era kuna—era pra Hindu-Budha. Inilah yang dianggap sebagai iman yang “genuin” dimiliki oleh orang Nusantara. Bentuknya seperti “kepercayaan-kepercayaan”. Animisme dan dinamisme dalam istilah yang digunakan oleh studi agama untuk menunjuk kepercayaan tersebut.

Iman masyarakat Nusantara kala itu, mempercayai segala macam arwah. Kekuatan magis pada alam dan benda-benda. Di Jawa dikenal dengan Kapitayan. Di Sulawesi Selatan, ada Tolotan dan Patuntun. Masyarakat Kalimantan melalui suku-suku dayak mempercayai Kahariangan. Tonass Walian untuk kepercayaan Sulawesi Utara—Minahasa. Naurus Pulau Seram—Maluku. Marapu, Sumba, Permalingan di Sumatra tepatnya bagian Utara. Dan masih banyak lagi tentunya kepercayaan di daerah lain di Nusantara. Sejarah berjalan, era kepercayaan berlalu, Hindu-Budha masuk menjadi iman baru pada masyarakat Nusantara. Hindu-Budha menjadi anutan pada era kerajaan. Abad ke-2 M hingga Islam menjadi wajah baru keimanan masyarakat Nusantara. Abad ke-7 M disinyalir sebagai awalnya Islam mengijakkan kaki di Nusantara. Beberapa bukti arkeologis seperti makam Islam sebagai jejak yang ditunjuk sebagai dasar argumentasi.

Adalah Agus Sunyoto, seorang sejarawan NU dalam Atlas Wali Songo (2012), mendaku ihwal teori masuknya Islam di Nusantara. Akunya, setidaknya ada empat teori yang berkembang prihal asal muasal Islam di Nusantara. Pertama, teori India—Gujarat. Di tandai dengan artefak seperti batu nisan yang memiliki kesamaan arsitek India. Kedua, teori Arab (Mesir dan Hadramaut—Yaman). Pelacakan jejaknya adanya kesamaan pada mazhab Syafi’i. Ketiga, teori Persia—sekarang Iran. Argumentasi yang dibangun untuk teori ini, berdasarkan kemiripan dengan muslim Syiah: peringatan Asyurah 10 Muharram. Pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw, (Ahlul Bait) yang hidup dan menjadi tradisi dalam masyarakat Nusantara. Selajutnya, teori Cina, dasar argumentasinya dilihat dari adanya pengaruh budaya Cina dalam sejumlah kebudayaan Islam di Indonesia.

Oleh: Asran Salam Mulai abad ke-9   barangkali hingga sekarang, Husain Ibn Mansur sangat terkenal. Ia adalah salah satu sufi ya...

Oleh: Asran Salam


Mulai abad ke-9  barangkali hingga sekarang, Husain Ibn Mansur sangat terkenal. Ia adalah salah satu sufi yang tumbuh besar di kota Thur. Sebuah kota yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara. Ia dilahirkan sekitar tahun 866 M. Walau ia berada di kawasan Arab, namun ia bukanlah keturunan Arab melainkan keturunan Persia. Husain Ibn Mansur atau lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Sebutan al-Hallaj yang berarti “penggaru” disematkan kepadanya di kala suatu hari al-Hallaj melewati sebuah gudang dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjukkan pada seonggok buah kapas itu, seketika biji-biji kapas itu terpisah dari serat kapas. Selain itu, al-Hallaj juga dijuluki Hallaj al-Asrar yang “penggaru segala kalbu” sebab ia mampu membaca isi pikiran dan menjawab pertanyaan seseorang sebelum ditanyakan kepadanya.

Al-Hallaj sangat terkenal dengan ujarannya “Ana al-Haq—Akulah Kebenaran”. Sebuat tutur yang mengantarkan dirinya dituduh telah mengajarkan ajaran bi’dah dan sesat. Sebuah frasa yang membawa dirinya mengalami eksekusi secara brutal oleh para ulama ortodoks yang tak menerima sisi esoterisme Islam. Oleh kekuasaan yang telah terganggu akan ajaran-ajaranya. Al-Hallaj, tercatat sebagai martir pertama dalam tasawuf. Ajaran-ajaran al-Hallaj banyak mengandung kritik terhadap kekuasaan (khalifah) kala itu. Gagasan tasawufnya memiliki roh dalam mendobrak sosial yang beku dan tidak adil.

Oleh: Asran Salam Di Yunani ketika filsafat mulai muncul. Filsafat hendak menjawab segala ketakjuban, tanya serta keheranan ihwal a...



Oleh: Asran Salam

Di Yunani ketika filsafat mulai muncul. Filsafat hendak menjawab segala ketakjuban, tanya serta keheranan ihwal asal muasal semesta. Kosmosentris demikian ciri awal filsafat khususnya pada tradisi mazhab milesian. Milesian merujuk pada daerah Miletus di Asia Kecil tempat kelahiran Thales. Selanjutnya, kelahiran Socrates disinyalir awal perubahan arah pembicaraan filsafat menjadi antroposenteris—terpusat pada manusia. Ia mulai merenungi perihal hakikat dan tujuan hidup. “Hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak layak dijalani” demikian kredo Socrates yang terkenal.

Di masa Socrates, filsafat menjadi jalan bagaimana manusia memahami hidupnya dan kehidupannya. Memahami hakikat manusia dan kemanusiaannya dengan bahasa sederhana. Pada tahap ini, filsafat banyak menyoal etik manusia. Filsafat menjadi “praktis” untuk menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari manusia. Filsafat tidak rumit dengan istilah-istilah. Konon filsafat menjadi rumit dengan istilah-istilah di era modern. Imanuel Kant dianggap sebagai orang yang pertama merumitkan filsafat dengan ragam istilah.

Thursday, May 26, 2016

Oleh: Asran Salam “Aku heran melihat manusia sibuk mencari diri di luar dari dirinya” —Sayidina   Ali Bin Abi Thalib— “Saya m...



Oleh: Asran Salam


“Aku heran melihat manusia sibuk mencari diri di luar dari dirinya”
—Sayidina  Ali Bin Abi Thalib—
“Saya menginginkan kebebasan perasaan ketimbang kenikmatan”
—Anthitenes—

Yunani klasik di era para filosof, sungguh kaya kearifan. Ia seperti sumur dengan mata air yang tak akan habis ditimbah. Ia akan selalu saja bisa memenuhi dahaga manusia yang haus kebijaksanaan. Di sana—Yunani klasik—berseliweran ragam sudut pandang ihwal apa saja—termasuk sudut pandang tentang manusia. Di sana metafora hidup manusia dengan segala kemajuannya digambarkan kadangkala dengan sinis dan satire.

Salah satu kearifan yang bisa ditemui pada Yunani klasik yakni pada pikiran-pikiran Diogenes. Deogenes yang berasal dari Sinope lahir kira-kira 400 SM. Ia merupakan peletak dasar sekolah Sinisme. Tak banyak diketahui tentangnya, selain dari tulisan-tulisan pengikutnya yang setia mengabadikan perjalaan hidup dan pikirinya. Diceritakan Diogenes, melakukan perjalanan dari tempat kelahirannya—Sinope—ke Athena. Dalam perjalanan itu, ia menarik banyak perhatian orang. Sebab, pandangan dan tindakannya sungguh radikal dengan melepaskan seluruh harta duniawinya satu per satu. Tuturnya, “pikiran manusia harus bebas dalam menemukan kebijaksanaan. Ia akan dicapai dengan mengabaikan kekayaan, pangkat, hak istimewa, dan kesepakatan manusia lainya”.

Wednesday, May 11, 2016

Oleh: Asran Salam Barangkali kita semua tahu siapa Karen Armstrong. Ia seorang pemikir yang konsen mengkaji tradisi agama-agama. Pa...



Oleh: Asran Salam

Barangkali kita semua tahu siapa Karen Armstrong. Ia seorang pemikir yang konsen mengkaji tradisi agama-agama. Pada tahun 1960-an, selama tujuh tahun Karen Amstorng, pernah menjadi biarawati Katolik Roma. Karen Amstrong sudah banyak melahirkan karya. Salah satunya, tahun 2009, Amstrong menerbitkan buku; The Case For God: What Religion Really Means. Kemudian Mei 2011, buku tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul; Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. 

Di pengantar buku itu, Amstrong sedikit mengulas perihal mythos (mitos). Dakunya, kebudayaan pramodern memiliki dua cara berpikir, berbicara, dan memeroleh pengetahuan; myhtos dan logos. Kedua cara ini, tak ada yang lebih unggul dari yang lainnya—saling melengkapi. Logos, merupakan “kekuatan” dimiliki oleh manusia agar ia berfungsi secara efektif di dunia. Pada logos, memberi kemampuan pada manusia untuk mengatur dirinya secara sosial. Logos penting untuk kelangsungan hidup manusia. Namun, kata Amstrong, logos memiliki keterbatasan. Ia tak dapat melipur kesedihan. Ia tak dapat menemukan makna tertinggi dari perjuangan hidup. Pada keterbatasan itu, di situlah manusia butuh mythos.

Monday, May 9, 2016

Oleh: Asran Salam Akal boleh menguasai seribu satu cabang ilmu Tetapi tentang hidupnya sendiri Ia tidak tahu apa-apa —Jalal...


Oleh: Asran Salam

Akal boleh menguasai seribu satu cabang ilmu
Tetapi tentang hidupnya sendiri
Ia tidak tahu apa-apa

—Jalaluddin Rumi—

Mengerti cinta, bukan melalui mulut orang atau bacaan dan teori-teori cinta
yang sering jauh berbeda dengan yang dialami
Melainkan memahaminya dengan betul-betul jatuh cinta.

—Mulyadhi Kartanegara—

Siang menjelang sore di akhir pekan—tepatnya pada hari minggu, kembali kami berkumpul di toko buku Paradigma. Ini menjadi rutinitas kami yang terlibat di kelas literasi Paradigma Institut. Di   belakang toko buku itu, tersedia ruangan yang tidak terlalu luas namun bisa menampung kurang lebih dua puluh orang. Ruangan itu, yang menjadi kelas kami dalam melakukan aktivitas pembelajaran literasi, sejatinya adalah ruang perpustakaan pribadi pemilik toko buku (Sulhan Yusuf) yang disulap menjadi tempat diskusi berbagai macam hal. Dan kegiatan diskusi apapun di Paradigma, memang sudah berjalan hingga puluhan tahun. Tempat ini, juga bisa dibilang sebagai salah satu tempat bersejarah bagi beberapa tokoh intelektual di Makassar dari berbagai macam organisasi. Mulai dari organisasi yang paling kiri hingga kanan sekali. Tempat ini, dalam kadar tertentu seperti rumah Penele H.O.S Cokrominoto yang spektakuler itu. Sebab, dari rumah Penele itu banyak tokoh bangsa yang lahir.

Pada hari itu, kelas dimulai pukul 14.30 Wita. Waktunya sedikit molor dari kesepakatan. Saya yang juga peserta pada kelas literasi, kali ini, sangat bersemangat mengikuti kelas. Bukan berarti sebelumnya tidak bersemangat, akan tetapi kali ini semangatnya lain. Ada semangat bercampur rindu ingin bertemu dengan kawan-kawan, sebab sudah dua pekan saya tidak hadir dalam kelas karena kesibukan. Sebagaimana sistem yang telah disepakati sedari awal kelas dibuka, setiap peserta harus mendeskripsikan tulisannya. Setelah itu, bergiliran peserta yang lain akan memberikan masukan mulai dari hal teknis hingga ide-ide.
Dan pada hari itu, saya yang didapuk pertama untuk mengulas tulisan. Saya membawa tulisan ihwal cinta Soren Abaye Kierkegaard yang berjudul Cinta Seorang Kierkegaard. Tulisan itu, ingin memotret bagaimana kisah cinta Soren Abaye Kierkegaard. Bagaimana sosok Kierkegaard yang kenal sebagai filosof eksistensialisme memaknai cinta dalam hidupnya. Dalam tulisan itu, saya menyebut bahwa jatuh cinta merupakan pengalaman eksistensial. Dan jatuh cinta yang dialami oleh Kierkegaard adalah pengalaman eksistensial. Dari cinta sebagai pengalam eksistensial inilah, menjadi salah satu problem tulisan saya. Seorang kawan peserta kelas literasi, menyoal apakah benar jatuh cinta itu pengalaman eksistensial? Bukankah jatuh cinta adalah gejala umum dalam arti dialami oleh semua orang? Apa hal unik sehingga jatuh cinta bisa disebut sebagai pengalaman eksistensial? Begitulah kira-kira sederet pertanyaan yang muncul dalam tulisan saya itu.  

Saturday, April 30, 2016

Oleh: Asran Salam   Siapa yang tidak mengenal Soren Abaye Kierkegaard. Bila kita berbicara filsafat eksistensialisme, maka namany...


Oleh: Asran Salam

 
Siapa yang tidak mengenal Soren Abaye Kierkegaard. Bila kita berbicara filsafat eksistensialisme, maka namanya merupakan daftar teratas yang wajib untuk dibahas. Dialah salah satu master filsafat eksitensialisme. Filsafat yang hidup di Eropa pada abad 20. Filsafat yang ingin mengurai secara hakiki apa yang dimiliki manusia sesungguhnya. Soren Abaye Kierkegaard, sama halnya Jean Paul Sartre, ia banyak berbicara tentang drama manusia. Namun, ia juga berbeda dengan Sartre.  Sebab Sartre ingin melepaskan peran Tuhan dalam menemukan hakikat manusia. Sedang Soren Abaye Kierkegaard menjadikan Tuhan sebagai pendasaran hakikat eksitensi manusia. Intinya, Soren Abaye Kierkegaard theistik sedang Jean Paul Sartre atheistik.

Tapi pada tulisan kali ini, kita tidak akan membicarakan filsafat eksistensialisme Kierkegaard. Mungkin di kesempatan lain kita akan bahas. Kita akan sedikit berbicara tentang fenomena eksistensial yang ia alami. Sebuah pengalaman batin dimana mengharuskan ia bersikap dan bertindak. Yang mana ia sendiri ketahui, bahwa sikap dan tindakannya, disana ada konsekuensi menanti. Soren Abaye Kierkegaard, mengalami fenomena eksistensial seperti apa yang dialami manusia kebanyakan; jatuh cinta. Dengan sikapnya yang melankolis, temperamen, emosinya meledak-ledak, dan juga sering peka menjadi karakter khasnya dalam menjalani cintanya. Bahkan disaat ia mengungkap cintanya, karakter itu begitu nampak.

Tuesday, April 26, 2016

Oleh: Asran Salam Menulis adalah kerja-kerja peradaban. Begitulah kira-kira saya memahaminya. Akhir-akhir ini, kita patut bersyukur ka...


Oleh: Asran Salam

Menulis adalah kerja-kerja peradaban. Begitulah kira-kira saya memahaminya. Akhir-akhir ini, kita patut bersyukur karena sudah banyak yang ingin melakukan kerja-kerja peradaban tersebut. Gerakan literasi mulai diusahakan tumbuh di mana-mana. Kesadaran oleh orang-orang tertentu menjadi penyebabnya. Orang-orang sadar itu, kemudian bergerak membentuk komunitas literasi. Walau kesadaran itu, mungkin sangat terlambat bila dibanding dengan negara-negara yang lain, khususnya di Eropa.  Di Indonesia, mungkin saja baru disadari, bahwa kelahiran peradaban besar, di sana ada budaya literasi yang bekerja dengan apik. Tapi keterlambatan menyadari bukanlah masalah, dibanding tidak menyadarinya sama sekali.

Perihal budaya literasi, saya secara pribadi terus berupaya untuk terlibat sesuai dengan kapasitas yang saya miliki. Baru-baru ini, saya dan beberapa kawan-kawan di Tanah Luwu—tepatnya kota Palopo—Sulawesi Selatan, baru saja membuka kelas literasi. Sureq Institut didapuk menjadi pengelolah kelas. Pada awalnya, pembukaan kelas direncanakan pada hari sabtu, 23 April 2016. Namun, karena banyak hal yang menjadi kendala kegiatan pembukaan kelas literasi tidak terlaksana. Akan tetapi, pada sabtu malam di sudut kota Palopo. Pada sebuah cafe yang sederhana, dengan alunan musik yang lembut sayup terdengar. Saya dan beberapa kawan termasuk dari Sureq Institut bertemu di kafe tersebut. Di cafe itu, kami memilih meja yang pojok. Di sebelah meja muda-mudi saling bercengkerama. Saya tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan. Namun, satu hal yang hadir dalam kepalaku malam itu, mungkin saja, mereka sedang berupaya mempertautkan hati, atau sementara semakin merekatkan yang telah bertaut. Entalah.  

Wednesday, April 13, 2016

Oleh: Asran Salam Hari ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras Yang berbicara   tentang kemerdekaan Dan demokrasi dan ...

Oleh: Asran Salam

Hari ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara  tentang kemerdekaan
Dan demokrasi dan bercita-cita menggulinkan tiran
Aku mengenali mereka yang tanpa tentara
Mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang
Mau memberantas korupsi
Kawan-kawan kuberikan cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan dan selalu dalam hidup”

(Soe Hok Gie)

Membincang mahasiswa, mengingatkan saya pada yang lalu. Ketika bertemu dan berdiskusi dengan salah satu kawan saya. Pertemuan dengan teman tersebut, memberikan saya gambaran tentang kondisi mahasiswa sekarang ini. Kata teman saya, mahasiswa sekarang ini telah kehilangan identitas dan karakter. Kehilangan keberanian untuk berkata tidak kepada ketidakadilan. Kepada kekuasaan yang telah merampas hak-hak rakyat. Kalau toh ada mahasiswa yang berani berteriak, itu hanya teriakan yang seolah-seolah berani. Karena setelah itu, mereka datang ke teras-teras penguasa menghadapkan wajahnya, sambil menundukkan kepala dan melupakan teriakkannya.

Saya pikir, penggambaran teman saya itu banyak benarnya bila melihat kondisi mahasiswa sekarang ini. Analisis teman saya itu pun mengingatkan saya pada cerita Aristoteles.  Suatu moment saat itu, ketika Aristoteles ditanya oleh salah seorang muridnya. “bila dilahirkan untuk kedua kalinya apakah engkau masih ingin menjadi seorang intelektual? Tanya sang murid kepadanya”. “Tidak, saya akan memilih menjadi orang kaya saja” jawab Aristoteles.  Mengapa? Lanjut tanya sang murid. Dengan sedikit tersenyum, Aristoteles menjawab, karena saya menemukan banyak para intelektual yang datang ke teras-teras orang kaya menunddukkan diri—menggadaikan harga diri.     

Thursday, February 11, 2016

Oleh: Asran Salam  K ala itu ,  libur semester. Saya menyempatkan pulang kampung. Untuk pulang kampung halaman, saya harus naik ka...

Oleh: Asran Salam 

Kala itu libur semester. Saya menyempatkan pulang kampung. Untuk pulang kampung halaman, saya harus naik kapal fery menyeberangi laut yang memisahkan Sulawesi Seletan dan Tenggara. Di Desa, dimana saya tumbuh besar, seperti biasa suasana sungguh tenang. Tak ada hiruk pikuk kendaraan, tak ada gemerlap lampu jalan. Disana, kita tak akan menjumpai teriakan-teriakan yang miris dan memilukan anak-anak yang mengemis atau menjajalkan koran di perepatan jalan.

Di Desa, tak ada orang tua yang harus berjibaku dengan derasnya hujan. Merasakan panasnya terik matahari di tengah padatnya kendaraan untuk menjajalkan asongannya. Di sini, saya melihat saling menyapa yang tulus tanpa sebuah kepentingan masih kuat mengisi hati warganya—walau sudah ada sedikit pergeseran jika dibandingkan dengan yang lalu-lalu. Di Desa, saya juga tak mesti mengeluarkan uang sekedar duduk di tepi pantai. Untuk menyaksikan langit yang sebentar lagi kemerah-merahan karena matahari segera tenggelam. Eksotis dengan alamiahnyabarangkali kata yang tepat akan suasananya.

Ketika gelap malam, hening pun datang. Di teras rumah, ketika saya sementara meresapi keheningan itu, tiba-tiba seorang ibu datang berkungjung ke rumah saya. Ternyata yang datang adalah tetangga saya. Bu Arifa begitulah kami sering memanggilnya. Dia datang sekedar menanyakan keadaan saya; kesehatan dan juga tentang kuliah saya. Tentang kehidupan kota yang konon semua serbah mudah namun mahal. Setelah bertanya-tanya bagaimana saya di kota, dia mulai bercerita kepada saya. Menuturkan mimpi-mimpinya, harapan yang begitu besar untuk menatap hidup yang lebih baik pada esok kelak. Kehidupan yang tak lagi serba kekurangan melalui tapak anaknya.

Monday, February 8, 2016

Oleh: Asran Salam Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless) Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity) KepadaNya, Tauhid berarti ...



Oleh: Asran Salam

Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.

-- Ali Syariati--
Pada tahun 1844, Karl Marx, dalam manuskripnya pernah menuliskan nada miris perihal agama. Tuturnya, agama adalah suara keluhan dari orang-orang selama ini termarjinalkan atau tertindas. Jiwa dari dunia yang tak berperasaan. Spirit dari kemandekan yang tak memiliki jiwa. Agama adalah candu. Puluhan tahun berikutnya, tepatnya 1913, ada Lenin mengungkapkan nada yang kurang lebih sama. Lenin berkata, setiap ide-ide keagamaan atau ide-ide tentang Tuhan meskipun itu hanya rekaan merupakan keburukan yang tak terhingga. Keburukan yang paling berbahaya. “Penyakit menular” yang paling menakutkan. Berjuta ragam penyakit menular dan perbuatan dosa tak kalah berbahayanya daripada agama yang telah menjadi ideologi.

Perkataan Marx dan Lenin, ada benarnya tidak hanya untuk dimasanya. Namun juga untuk sekarang. Ia adalah auman yang membuka topeng agama yang telah termanfaatkan dan dimanipulasi. Marx dan Lenin, kurang lebih mengkritik agama yang telah menjadi alat legitimasi kekuasaan. Agama yang menyimpan spirit kapitalisme. Atau, telah ditafsirkan agar senada dengan kapitalisme. Kritik agama Marx dan Lenin adalah kritik terhadap agama borjuis. Sebagaimana kelas borjuis adalah sebuah kelas sosial dari orang-orang yang dicirikan oleh kepemilikan modal. Maka, agama borjuis adalah agama yang dipegang dan ditafsirkan oleh kelas-kelas elit yang memiliki modal [kapital] untuk menjaga kepentingannya.

Sunday, January 31, 2016

Oleh: Asran Salam Ada pertanyaan yang mungkin saja menarik untuk kita ajukan. Pertanyaan yang terkait dengan agama sebagai kohesi s...



Oleh: Asran Salam

Ada pertanyaan yang mungkin saja menarik untuk kita ajukan. Pertanyaan yang terkait dengan agama sebagai kohesi sosial. Benarkah agama secara sosiologis masih bisa menjadi pengikat sosial? Masihkah relevan pandangan Emile Durkheim bahwa agama dengan kekuatan sakral dan sucinya menjadi pengikat orang untuk bersama-sama? apakah agama masih semacam komune yang membangun kesadaran manusia untuk hidup bersama menjadi komunitas yang tentram dan damai? Barangkali dengan sejumlah tanya ini, mungkin saja kita akan melakukan refleksi. Hal itu kita lakukan, tak lain karena agama pada fakta sosialnya, tak sedikit menjadi bencana sosial. Menjadi sumber keretakan sosial. 

Bila kita melihat di pelbagai tempat—tepatnya Timur Tengah juga beberapa kasus di Indonesia—yang terbaru bom bunuh diri di Sarinah. Agama benar-benar nyata menjadi bencana. Atas nama agama—walau ada yang mengatakan itu politisasi agama—perang menjadi berkecamuk. Gedung-gedung menjadi runtuh serta rata dengan tanah. Nyawa seolah tak ada harganya. Anak-anak, muda serta tua menjadi korban. Ekonomi menjadi tidak stabil. Hidup masyarakat semakin tidak menentu; hidup miskin, menjadi kata yang mungkin tepat untuk menggambarkanya. Dengan fakta yang demikian, masihkah kita punya harapan terhadap agama? Ataukah kita perlu untuk berpikir meninggalkan agama? Sebuah tanya yang mungkin saja kita tidak perlu untuk terburu-buru menjawabnya. Barangkali, kita sedikit perlu permenungan dengan harapan sebuah jawaban jernih dapat kita temukan.

Wednesday, January 27, 2016

Oleh: Asran Salam   Barangsiapa yang mengenal dirinya [Subjek] akan mengenal Tuhan-Nya [Hadist] Tak ada yang otentik dari s...



Oleh: Asran Salam

 Barangsiapa yang mengenal dirinya [Subjek] akan mengenal Tuhan-Nya
[Hadist]


Tak ada yang otentik dari subyek [Aku-diri]. Kita telah dikepung oleh struktur [Bahasa, kebudayaan dan kuasa]. Kita terlahir layaknya kertas yang kosong dan sturuktur itulah yang mengisi. Mungkin pada pandangan ini, subyek tak memiliki daya selain menerima apa yang ada diluar dirinya. Diri adalah refresentasi dari narasi besar. Imajiner dan simbolik bak raja yang telah mengatur arah dan gerak subyek. Kesadaran diri adalah bentukan, ia tak asli. Begitulah kira-kira strukturalisme.

Tapi benarkah tak ada yang asli,real dan otentik dari subyek? Jacgues Lacan, seorang psikoanalisis tetap punya kepercayaan akan suatu real dari subyek. Ia melihat kekosongan sebagai yang subtil. Slavoj Zizek pun demikian, sama dengan Lacan tetap punya faith. Ia menempatkan subyek sebagai suatu yang memiliki pilihan. Tak sepenuhnya dipengaruhi oleh struktur.

Lacan dan Zizek, kita tahu keduanya lahir dan tumbuh dari rahim Barat. Mereka melihat dan merasakan “pembunuhan” subyek itu digelar. Menyaksikan subyek “diganyang” tanpa henti dan jeda. Melihat bagaimana subyek ditarik dalam perayaan struktur yang penuh kuasa hingga subyek tampil tak punya kuasa selain menurut.   

Ternyata upaya menghidupkan subyek tak sepenuhnya milik Lacan dan Zizek. Tak sepenuhnya menjadi perbincangan Barat. Di Timur ternyata ia begitu hidup. Ia menjadi perbincangan yang selalu menghiasi jejak-jejak pemikiran. Menjadi konsep sekaligus anutan untuk menyelami kedalaman diri. Di Timur khususnya Islam dalam perihal subyek, kita akan berjumpa dengan pemikiran Muhammad Iqbal.

Iqbal seorang penyair sekaligus filosof yang lahir di anak benua India. Dia adalah seorang pejuang, politikus yang punya kontribusi besar terhadap kelahiran Pakistan. Dalam pikiraanya ia begitu unik mengurai subyek. Iqbal menyebut subyek sebagai ego [Khudi]. Menurutnya, ego itu adalah suatu yang real atau nyata dan memiliki kedalaman dengan berbagai dimensi karakteristik yang dimilikinya.

Ego adalah kemandirian, personalitas dan individualitas dalam arti yang luas. Bagi Iqbal, ia adalah pikiran [mind] dan kesadaran [Consciusness] yang menjadi pembeda dengan binatang. Iqbal melihat pikiran dan kesadaran adalah dimensi yang inheren-real  sejak asali. Mungkin ia semacam ide bawaan dan terma Descartes, atau fitrah dalam agama. Iqbal dalam kedalaman pikiraanya menemukan karakter ego. Menurutnya, ego menyatakan diri satu kesatuan keadaan-keadaan mental.  Karena ego menyatakan diri sebagai kesatuan maka, ia adalah “kesendirian” yang esensial-unik.

Oleh: Asran Salam Aku berpikir maka aku ada -Rene Descartes- Diktum Descartes di atas sangat populer diarena filsafat.   Ia ad...



Oleh: Asran Salam
Aku berpikir maka aku ada
-Rene Descartes-

Diktum Descartes di atas sangat populer diarena filsafat.  Ia adalah ihwal risalah makna subyek [aku-diri] modern bermula. Mungkin Descartes ingin membuka tabir subyek yang sepanjang sejarah manusia selalu saja misterius. Barangkali, ia  ingin memberi terang pada apa yang misterius itu. Pada masanya, Descartes membuat sebuah batasan jelas tentangnya. Menciptakan definisi agar manusia sadar tentang asalinya. Tentang subtansi ke-aku-annya.

Pada kata itu, ada isyarat tentang aku yang tak kosong. Ia sesuatu yang penuh-padat. Subyek tak terobjektifikasi apa yang diluar dari dirinya. Subyek, padanya tak ada ruang hampa, di mana memberi celah pada yang lain untuk masuk dan mengisinya. Descartes ingin menjadikan subyek sebagai pemikir mandiri [subyeksentrisme]. Sejatinya Aku berpikir maka aku ada­- adalah sebuah penemuan tentang subtansi dan yang real. Mungkin saja dalam diktum itu,  kita bersepakat bahwa “berpikir” sebagai yang real dari subyek. 

Apa yang “diajarkan” oleh Derscartes ini, tak sedikit yang mengamininya. Mengikuti hingga menjadikannya iman. Pada zamannya, barangkali ia adalah jawaban akan ketidak-jelasan terhadap subyek. Pandangan ini lama menjadi kayakinan masyarakat modern,  yang pada akhirnya harus menemukan “tantangan”. Tantangan itu kemudian datang di era yang biasa kita sebut post. Sebuah era yang segalanya telah mengalami kematian”. Era yang tak sedikit memunculkan wacana tentang “kematian” dalam setiap sendi kehidupan; politik, filsafat, subyek, ideologi dan berakhirnya sejarah.

Era ini adalah sebuah zaman yang tak memberi ruang pada klaim absolut. Sebuah fase yang tak mempercayai pada narasi-narasi besar, karena semua itu adalah ciptaan modern yang telah membawa manusia dalam ketidakjelasan. Segala upaya akan penemuan “kepastian” itu tak lain adalah alam pikir modern yang harus dikritisi. Mengapa harus dikritisi? karena dalam “Kepastian” modern tersimpan sebuah kepentingan besar. Kepentingan kuasa dan dominasi yang membawa manusia mengalami dehumanisasi.
Descartes dan pandangan subyeknya, pada era ini pun tak luput dikritisi. Kini subyek cartesian “diganyang” habis oleh para pemikir yang berada pada lingkaran ini. Mereka yang populer disebut kaum strukturalis, postrukturalis dan postmoderenisme, seolah tak menyisakan tempat bagi eksistensi subyek. Mereka memiliki iman yang berdeda dengan cartesian perihal subyek. Kubu ini, menentang definisi cartesian yang menjadikan subyek sebagai suatu yang berdiri sendiri [pemikir mandiri-subyeksentrisme]. Pada mereka ada sebuah keyakinan akan tidak adanya subyek mandiri-penuh dan padat tapi ia suatu yang “kosong” yang di isi oleh suatu yang mengitarinya yakni struktur.  

Friday, January 22, 2016

Oleh: Asran Salam Hidup mungkin bisa dikatakan sebagai rentetan nasib. Dan nasib baru kita mengerti bila harapan tak kunjung nyat...



Oleh: Asran Salam


Hidup mungkin bisa dikatakan sebagai rentetan nasib. Dan nasib baru kita mengerti bila harapan tak kunjung nyata di depan mata. Bila harapan menjadi aktual, di sana juga kita biasa berkata bahwa inilah nasib..ya ini nasib saya-menjadi ini, menjadi itu dan seterusnya. Nasib barangkali saja benar jika, dikatakan sebagai misteri dalam hidup. Tapi nasib tentunya bukanlah kebetulan. Tetapi ada hukum yang mana nasib tetap tunduk padanya.

Suatu ketika, nasib mengantarkan Zeno untuk terdampar di Athena. Bersama ayahnya, ia harus menerima kapal yang membawa barang-barang dagangan ayahnya mengalami kerusakan. Di Athena, Zeno memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia menyempatkan diri untuk mampir sebuah toko buku. Di tempat itu, ia menemukan, membeli dan membaca Apologia Socrates.

Setelah membacanya, seketika bayang-bayang wajah Socrates seolah-olah hidup dikepalanya. Menjadi pikiran yang tak kunjung padam. Seperti badai  api yang membara namun tak melahirkan ketakutan. Bagi Zeno, ia telah menemukan inspirasi; “Aku ingin mengikuti orang seperti ini!” Gumamnya.

Monday, January 11, 2016

Oleh: Asran Salam             Selama engkau mengejar kebahagiaan engkau belum matang untuk berbahagia biarpun milikmu segala kesa...



Oleh: Asran Salam

            Selama engkau mengejar kebahagiaan
engkau belum matang untuk berbahagia
biarpun milikmu segala kesayangan.

Selama engkau mengeluh karena ada yang hilang
dan punya tujuan serta tiada tenang,
kau belum tahu apa arti kedamaian.

Baru setelah engkau lepaskan segala keinginan
tak kenal lagi hasrat dan tujuan
tak lagi nyebut nama kebahagiaan
maka banjir segala kejadian tak lagi nyentuh hatimu
dan jiwamu akan tenang.

(Hermann Hesse)

Di Eropa, kita tahu di sana, rasional menjadi alas dalam menjalani hidup—walau sebelumnya juga pernah tunduk pada otoritas gereja yang membunuh nalar.  Setelah masa otoritas itu berlalu, melalui nalar, masyarakat eropa menaruh ekspektasi tinggi akan hidup bahagia. Melalui perkembangan sains, harapan akan hidup yang segalanya mudah menjadi nyata.  Melalui perubahan itu, hidup damai adalah impian.  Namun pada kenyataan, kemajuan yang dicita-citakan nalar menyimpan paradoks. Kemajuan sains tak sedikit menyisahkan luka; hidup tak damai dan bahagia. Ternyata, perang adalah wajah lain dari kemajuan itu—eropa dilanda perang saudara.

Tentang perang, satu hal yang pasti ada, ia melahirkan kecamuk,  yang kadangkala susah untuk diredam. Perang, setelahnya tak sedikit menyisahkan luka—tak hanya luka pada tubuh—tapi juga pada psikologis. Ketika perang menjadi pemandangan sehari-hari. Keping-keping bangunan berserakan dimana-mana, depresi menjadi suatu yang tak terhindarkan. Mungkin memang demikian semestinya efek dari perang; kehancuran fisik dan psikologis adalah suatu yang tak terhindarkan.

Karena efek perang itu, pada akhirnya eropa butuh suatu yang baru. Jalan yang tak hanya bertumpu pada kultur nalar. Karena nalar lain sisi, ternyata menghadirkan bencana yang tak terkira.  Kepongahan kultur intelektual yang hanya melihat dunia pada satu sisi. Memerlukan “penyembuhan” dari kutub yang berlawanan. Barat mungkin saja tak butuh datangnya etika yang baru. Tapi mungkin memerlukan datannya visi baru. Visi yang melihat adanya fungsi spiritual untuk kebudayan yang telah goyah. Barat mungkin saja memerlukan suara-suara yang menyeru untuk melakukan pengembaran—tepatnya pengembaraan ke timur—demi menemukan sisi spritual yang agung. Karena efek perang, mungkin saja tak lagi sembuh dengan sains akan tetapi dengan jalan spiritual.