Thursday, February 11, 2016

Oleh: Asran Salam  K ala itu ,  libur semester. Saya menyempatkan pulang kampung. Untuk pulang kampung halaman, saya harus naik ka...

BU ARIFA

No comments:
 
Oleh: Asran Salam 

Kala itu libur semester. Saya menyempatkan pulang kampung. Untuk pulang kampung halaman, saya harus naik kapal fery menyeberangi laut yang memisahkan Sulawesi Seletan dan Tenggara. Di Desa, dimana saya tumbuh besar, seperti biasa suasana sungguh tenang. Tak ada hiruk pikuk kendaraan, tak ada gemerlap lampu jalan. Disana, kita tak akan menjumpai teriakan-teriakan yang miris dan memilukan anak-anak yang mengemis atau menjajalkan koran di perepatan jalan.

Di Desa, tak ada orang tua yang harus berjibaku dengan derasnya hujan. Merasakan panasnya terik matahari di tengah padatnya kendaraan untuk menjajalkan asongannya. Di sini, saya melihat saling menyapa yang tulus tanpa sebuah kepentingan masih kuat mengisi hati warganya—walau sudah ada sedikit pergeseran jika dibandingkan dengan yang lalu-lalu. Di Desa, saya juga tak mesti mengeluarkan uang sekedar duduk di tepi pantai. Untuk menyaksikan langit yang sebentar lagi kemerah-merahan karena matahari segera tenggelam. Eksotis dengan alamiahnyabarangkali kata yang tepat akan suasananya.

Ketika gelap malam, hening pun datang. Di teras rumah, ketika saya sementara meresapi keheningan itu, tiba-tiba seorang ibu datang berkungjung ke rumah saya. Ternyata yang datang adalah tetangga saya. Bu Arifa begitulah kami sering memanggilnya. Dia datang sekedar menanyakan keadaan saya; kesehatan dan juga tentang kuliah saya. Tentang kehidupan kota yang konon semua serbah mudah namun mahal. Setelah bertanya-tanya bagaimana saya di kota, dia mulai bercerita kepada saya. Menuturkan mimpi-mimpinya, harapan yang begitu besar untuk menatap hidup yang lebih baik pada esok kelak. Kehidupan yang tak lagi serba kekurangan melalui tapak anaknya.


“Anakku baru saja menyelesaikan ujian nasional. Saya punya rencana untuk dia, agar tetap melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi” Demikian tuturnya.  Pada Bu Arifa, saya melihat luapan tekad  agar anaknya tetap terus menulusuri labirin pendidikan. Dalam diri Bu Arifa, saya menemukan tekad yang tulus yang berasal dari hati yang jernih. Tapi gumamku: Anak ibu harus bergulat dengan keadaan yang kadang tidak memberi kita ruang bebas untuk segera mewujudkannya. Harus berjuang, berkorban, mempersiapkan diri untuk menatap segalanya dengan jiwa yang besar.  Karena kelak di sana, di kota uluran tangan tidak mudah kita temui.

Kita harus berdiri di atas kaki sendiri. Realitas kota terkadang memaksa kita untuk tidak menjadi manusia. Di Kota, kadangkala kita menemukan bagaimana kepekaan hanya menjadi perbincangan untuk komoditas. Untuk menjadi jualan yang dapat menguntungkan. Kepekaan menjadi proyek untuk mengisi saku agar selalu penuh.  Setelah itu menghabiskannya dengan mudah di tempat hiburan atau di pasar modern.

Dalam gumamku, Bu Arifa kembali meberondongku pertanyaan:

 “Kira-kira apa yang perlu untuk saya persipakan? Berapa biaya yang haru saya siapkan? Anak saya mau kuliah di jurusan kesehatan atau setidaknya di jurusan pendidikan guru. Saya dengar biaya kuliah sangat mahal ya? Bagaimana dengan rumah kontrakan? Tentu juga biayanya mahal kan? Apalagi di kota besar. Bagaimana kebutuhan sehari-harinya? Di Kota semua serba uang kan? Semua pertanyaan yang diajukan kepadaku, seperti  letupan-letupan ketakutan. Itu nampak jelas dari wajahnya.

Ketakuatan itu terlampui dengan banyaknya harus dikorbangkan.

“Saya akan usahakan anak saya tetap harus kuliah, walau harus menggadaikan yang saya punyai; sepetak tanah itu tidak menjadi masalah untuk tergadaikan demi pendidikan anak saya”.

Mungkin saja Bu Arifa tak mengetahui bahwa seharusnya tak perlu menggadaiakan sepetak tanah untuk biaya kuliah anaknya. Bila ia mengerti tentang hak-haknya sebagai warga Negara. Jika mengerti tentang aturan-aturan yang sebenarnya. Walau fakta menujukkan pengetahuan tentang hak-hak tidak serta merta hak itu dengan mudah dimiliki. Karena kadangkala harus diperjuangkan. Harus melabrak tembok-tembok yang tinggi yang dipenuhi dengan penjaga birokrasi yang berduri.

“Pendidikan kan dapat merubah nasib keluarga saya? Anak saya kelak setelah lulus kuliah dapat mendapatkan pekerjaan yang bagus. Dengan itu, dapat memperbaiki taraf ekonomi keluarga. Kalau anak saya jadi perawat atau guru yang berstatus pegawai negeri sipil, pekerjaan itu kan gajinya sangat tinggi. Selain gaji pokok, anak saya dapat tunjangan jabatan kan? Memang itu Semua yang dijanjikan oleh pendidikan. Dengan pendidikan kita akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi Bu Arifa mungkin saja lupa belajar pada kenyataan, bahwa janji itu kadang menjadi harapan semu. Janji yang hanya memberikan kekuatan untuk mengorbangkan semuanya. Menggadaikan segalanya. Sepertinya ia sedikit menutup mata, bahwa janji itu lebih banyak dikhianati.

Bu Arifa harus tahu bahwa janji itu hanya bagi orang-orang yang memiliki kedudukan, uang, relasi dengan kuasa. Sebarapa besar kedudukan Bu Arifa, Bukankah ibu cuma petani kecil? Seberapa banyak uang ibu untuk merebut janji itu? Seberapa banyak relasi ibu pada kuasa untuk merasakan janji itu? Bu Arifa telah berjudi dengan semangatnya. Berani  mempertaruhkan segalanya demi harapan hari esok. Menyekolahkan anaknya dengan menghabiskan segala apa yang ia punyai.  Berkorban untuk sebuah janji yang tak pasti.

Bu Arifa mungkin mesti memahami bahwa berharap pada pendidikan adalah ruang perjudian. Jangan heran bila nanti tidak akan menemukan anak kita menjadi manusia yang ramah. Anak yang memiliki kepekaan kepada sesama. Di sini, pada dunia pendidikan barangkali yang kita akan temukan anak yang kepalanya telah terasuki oleh doktrin-doktrin kompetitif. Tak peduli walau harus menyiku atau membersihkan setiap apa yang dapat menghalangi tujuannya. Pada dunia pendidikan, Mungkin saja kita akan menjumpai anak-anak menjadi beringas pada sesamanya. Dia akan tampil sebagai sosok yang individulis.

“Biarkanlah semua rumor itu ada tentang boroknya pendidikan. Saya sudah bertekad untuk menyekolahkan anak saya. Saya harus akui bahwa saya berjudi. Kuserahkan anak saya pada nasib. Biarkanlah nasib yang menuntunya. Sempat esok hari nasib baik berpihak kepadanya. Saya tetap percaya pada Tuhan bahwa dia tidak pernah Tidur. Saya percaya bahwa dalam hidup selalu saja keajaiban-keajaiban-Nya yang tak terduka bisa datang. Saya sudah mempertaruhkan segalanya. Saya sudah bersedia untuk kecewa. Selama ini pun hidup saya tak pernah lengang dari kekecewaan. Saya sudah terbiasa hidup apa adanya dan menerima kenyataan tanpa harus mengeluh, ini sudah takdir”.

Semua itu kamu terima sebagai takdir. Sungguh naif pikiran itu. Tapi apakah semua itu harus disalahkan pada Bu Aifa? Bukankah ada narasi besar yang bekerja menginjeksi nalar itu? Bukankah ada desain tunggal yang monopoli merepresinya? bukankah kenyataan ini adalah ruang yang tidak murni lagi? Tidakkah ruang ini harus dipahami bahwa bukan danau yang menjanjikan ketenangan melainkan arus besar yang membawa impresi keindahan sekaligus rasa cemas yang mendalam.

Sepertinya dalam hidup ini, tidak ada waktu yang tersisah dan tempat untuk menjalani hidup yang tenang dan bersahaja. Sekarang ini kecemasan itu nampak menjadi  dasar dari permukaan yang tenang yang setiap saat bisa saja muncul dan memupuskan harapan.  Memberi ruang ketakutan akan mimpi yang indah. Tentang esok di mana semuanya saling menyapa tanpa ada yang tersakiti, tanpa ada yang tekhianati.

Setidaknya, bila memahami dunia ini, baiknya ada yang bangkit untuk memutus rantai pengkhiantan pada mereka. Tapi siapa? Di mana? dan dari mana harus memulai? Dulu, sering di jumpai ada orang yang berdiri dengan suara lantang hendak memutus rantai itu. Namun orang tersebut tak mampu menahan hasrat zaman. Akhirnya ia pun tergilas dan menjadi orang baru memulai penghianatan dan melanjutkan tradisi sebelumnya.

Kini, tak ada satu orang pun yang bisa untuk jadikan sebagai pegangan. Di mana pada dirinya tempat tumpah ruahnya keinginan-keinginan kecil. Manusia besar tak lagi bermunculan memberikan petunjuk. Menyirami jiwa yang kering, mencairkan hati yang keras. Mengurai kebekuan kepedulian untuk tetap berbagi pada mereka. Kini semuanya telah terpragmentasi dalam keping-keping yang berserakan. Terhambur dalam ruang ini. Kini, semuanya terasa kosong dan hambar.

No comments:

Post a Comment