Oleh: Asran Salam
Kala itu, libur semester. Saya menyempatkan pulang kampung.
Untuk pulang kampung halaman, saya harus naik kapal fery menyeberangi laut yang
memisahkan Sulawesi Seletan dan Tenggara. Di Desa, dimana saya tumbuh besar, seperti
biasa suasana sungguh tenang. Tak ada hiruk pikuk kendaraan, tak ada gemerlap
lampu jalan. Disana, kita tak akan menjumpai teriakan-teriakan yang miris dan
memilukan anak-anak yang mengemis atau menjajalkan koran di perepatan jalan.
Di Desa, tak
ada orang tua yang harus berjibaku dengan derasnya hujan. Merasakan panasnya
terik matahari di tengah padatnya kendaraan untuk
menjajalkan asongannya. Di sini, saya melihat saling menyapa yang tulus tanpa
sebuah kepentingan masih kuat mengisi hati warganya—walau sudah ada sedikit pergeseran jika dibandingkan dengan yang lalu-lalu. Di
Desa, saya juga tak mesti mengeluarkan uang sekedar duduk di tepi pantai. Untuk
menyaksikan langit yang sebentar lagi kemerah-merahan karena matahari segera
tenggelam. Eksotis dengan alamiahnya—barangkali kata yang tepat akan suasananya.
Ketika gelap
malam, hening pun datang. Di teras rumah, ketika saya sementara meresapi
keheningan itu, tiba-tiba seorang ibu datang berkungjung ke rumah saya. Ternyata
yang datang adalah tetangga saya. Bu Arifa begitulah kami sering memanggilnya.
Dia datang sekedar menanyakan keadaan saya; kesehatan dan juga tentang kuliah
saya. Tentang kehidupan kota yang konon semua serbah mudah namun mahal. Setelah
bertanya-tanya bagaimana saya di kota, dia mulai bercerita kepada saya. Menuturkan
mimpi-mimpinya, harapan yang begitu besar untuk menatap hidup yang lebih baik
pada esok kelak. Kehidupan yang tak lagi serba kekurangan melalui tapak
anaknya.
“Anakku baru
saja menyelesaikan ujian nasional. Saya punya rencana untuk dia, agar tetap
melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi” Demikian tuturnya. Pada Bu Arifa, saya melihat luapan tekad agar anaknya tetap terus menulusuri labirin
pendidikan. Dalam diri Bu Arifa, saya menemukan tekad yang tulus yang berasal
dari hati yang jernih. Tapi gumamku: Anak ibu harus bergulat dengan keadaan
yang kadang tidak memberi kita ruang bebas untuk segera mewujudkannya. Harus
berjuang, berkorban, mempersiapkan diri untuk menatap segalanya dengan jiwa
yang besar. Karena kelak di sana, di
kota uluran tangan tidak mudah kita temui.
Kita harus
berdiri di atas kaki sendiri. Realitas kota terkadang memaksa kita untuk tidak
menjadi manusia. Di Kota, kadangkala kita menemukan bagaimana kepekaan hanya
menjadi perbincangan untuk komoditas. Untuk menjadi jualan yang dapat
menguntungkan. Kepekaan menjadi proyek untuk mengisi saku agar selalu penuh. Setelah itu menghabiskannya dengan mudah di
tempat hiburan atau di pasar modern.
Dalam
gumamku, Bu Arifa kembali meberondongku pertanyaan:
“Kira-kira apa yang perlu
untuk saya persipakan? Berapa biaya yang haru saya siapkan? Anak saya mau
kuliah di jurusan kesehatan atau setidaknya di jurusan pendidikan guru. Saya
dengar biaya kuliah sangat mahal ya? Bagaimana dengan rumah kontrakan? Tentu juga biayanya mahal kan? Apalagi di kota besar. Bagaimana
kebutuhan sehari-harinya? Di Kota semua serba uang kan? Semua pertanyaan yang diajukan kepadaku, seperti letupan-letupan ketakutan. Itu nampak jelas
dari wajahnya.
Ketakuatan
itu terlampui dengan banyaknya harus dikorbangkan.
“Saya akan
usahakan anak saya tetap harus kuliah, walau harus menggadaikan yang saya
punyai; sepetak tanah itu tidak menjadi masalah untuk tergadaikan demi
pendidikan anak saya”.
Mungkin saja
Bu Arifa tak mengetahui bahwa seharusnya tak perlu menggadaiakan sepetak tanah
untuk biaya kuliah anaknya. Bila ia mengerti tentang hak-haknya sebagai warga
Negara. Jika mengerti tentang aturan-aturan yang sebenarnya. Walau fakta
menujukkan pengetahuan tentang hak-hak tidak serta merta hak itu dengan mudah
dimiliki. Karena kadangkala harus diperjuangkan. Harus melabrak tembok-tembok
yang tinggi yang dipenuhi dengan penjaga birokrasi yang berduri.
“Pendidikan kan dapat merubah nasib keluarga saya? Anak saya kelak
setelah lulus kuliah dapat mendapatkan pekerjaan yang bagus. Dengan itu, dapat memperbaiki taraf ekonomi keluarga. Kalau anak saya jadi
perawat atau guru yang berstatus pegawai negeri sipil, pekerjaan itu kan gajinya sangat tinggi. Selain gaji pokok, anak
saya dapat tunjangan jabatan kan? Memang itu Semua yang dijanjikan oleh
pendidikan. Dengan pendidikan kita akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi
Bu Arifa mungkin saja lupa belajar pada kenyataan, bahwa janji
itu kadang menjadi harapan semu. Janji yang hanya memberikan kekuatan untuk
mengorbangkan semuanya. Menggadaikan segalanya. Sepertinya ia sedikit menutup
mata, bahwa janji itu lebih banyak dikhianati.
Bu Arifa
harus tahu bahwa janji itu hanya bagi orang-orang yang memiliki kedudukan,
uang, relasi dengan kuasa. Sebarapa besar kedudukan Bu Arifa, Bukankah ibu cuma
petani kecil? Seberapa banyak uang ibu untuk merebut janji itu? Seberapa banyak
relasi ibu pada kuasa untuk merasakan janji itu? Bu Arifa telah berjudi dengan
semangatnya. Berani mempertaruhkan segalanya
demi harapan hari esok. Menyekolahkan anaknya dengan menghabiskan segala apa
yang ia punyai. Berkorban untuk sebuah
janji yang tak pasti.
Bu Arifa
mungkin mesti memahami bahwa berharap pada pendidikan adalah ruang perjudian. Jangan
heran bila nanti tidak akan menemukan anak kita menjadi manusia yang ramah. Anak
yang memiliki kepekaan kepada sesama. Di sini, pada dunia pendidikan barangkali
yang kita akan temukan anak yang kepalanya telah terasuki oleh doktrin-doktrin
kompetitif. Tak peduli walau harus menyiku atau membersihkan setiap apa yang
dapat menghalangi tujuannya. Pada dunia pendidikan, Mungkin saja kita akan
menjumpai anak-anak menjadi beringas pada sesamanya. Dia akan tampil sebagai
sosok yang individulis.
“Biarkanlah
semua rumor itu ada tentang boroknya pendidikan. Saya sudah bertekad untuk
menyekolahkan anak saya. Saya harus akui bahwa saya berjudi. Kuserahkan anak
saya pada nasib. Biarkanlah nasib yang menuntunya. Sempat esok hari nasib baik
berpihak kepadanya. Saya tetap percaya pada Tuhan bahwa dia tidak pernah Tidur.
Saya percaya bahwa dalam hidup selalu saja keajaiban-keajaiban-Nya yang tak
terduka bisa datang. Saya sudah mempertaruhkan segalanya. Saya sudah bersedia
untuk kecewa. Selama ini pun hidup saya tak pernah lengang dari kekecewaan.
Saya sudah terbiasa hidup apa adanya dan menerima kenyataan tanpa harus
mengeluh, ini sudah takdir”.
Semua itu
kamu terima sebagai takdir. Sungguh naif pikiran itu. Tapi apakah semua itu
harus disalahkan pada Bu Aifa? Bukankah ada narasi besar yang bekerja
menginjeksi nalar itu? Bukankah ada desain tunggal yang monopoli merepresinya?
bukankah kenyataan ini adalah ruang yang tidak murni lagi? Tidakkah ruang ini
harus dipahami bahwa bukan danau yang menjanjikan ketenangan melainkan arus
besar yang membawa impresi keindahan sekaligus rasa cemas yang mendalam.
Sepertinya
dalam hidup ini, tidak ada waktu yang tersisah dan tempat untuk menjalani hidup
yang tenang dan bersahaja. Sekarang ini kecemasan itu nampak menjadi
dasar dari permukaan yang tenang yang setiap saat bisa saja muncul dan
memupuskan harapan. Memberi ruang
ketakutan akan mimpi yang indah. Tentang esok di mana semuanya saling menyapa
tanpa ada yang tersakiti, tanpa ada yang tekhianati.
Setidaknya,
bila memahami dunia ini, baiknya ada yang bangkit untuk memutus rantai
pengkhiantan pada mereka. Tapi siapa? Di mana? dan dari mana harus memulai?
Dulu, sering di jumpai ada orang yang berdiri dengan suara lantang hendak
memutus rantai itu. Namun orang tersebut tak mampu menahan hasrat zaman. Akhirnya
ia pun tergilas dan menjadi orang baru memulai penghianatan dan melanjutkan
tradisi sebelumnya.
No comments:
Post a Comment