Oleh:
Asran Salam
Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan
(Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.
--
Ali Syariati--
Pada tahun 1844, Karl Marx, dalam manuskripnya pernah
menuliskan nada miris perihal agama. Tuturnya, agama adalah suara keluhan dari
orang-orang selama ini termarjinalkan atau tertindas. Jiwa dari dunia yang tak
berperasaan. Spirit dari kemandekan yang tak memiliki jiwa. Agama adalah candu.
Puluhan tahun berikutnya, tepatnya 1913, ada Lenin mengungkapkan nada yang
kurang lebih sama. Lenin berkata, setiap ide-ide keagamaan atau ide-ide tentang
Tuhan meskipun itu hanya rekaan merupakan keburukan yang tak terhingga.
Keburukan yang paling berbahaya. “Penyakit menular” yang paling menakutkan.
Berjuta ragam penyakit menular dan perbuatan dosa tak kalah berbahayanya daripada
agama yang telah menjadi ideologi.
Perkataan Marx dan Lenin, ada benarnya tidak hanya
untuk dimasanya. Namun juga untuk sekarang. Ia adalah auman yang membuka topeng
agama yang telah termanfaatkan dan dimanipulasi. Marx dan Lenin, kurang lebih
mengkritik agama yang telah menjadi alat legitimasi kekuasaan. Agama yang
menyimpan spirit kapitalisme. Atau, telah ditafsirkan agar senada dengan
kapitalisme. Kritik agama Marx dan Lenin adalah kritik terhadap agama borjuis.
Sebagaimana kelas borjuis adalah sebuah kelas sosial dari orang-orang
yang dicirikan oleh kepemilikan modal. Maka, agama borjuis adalah agama yang dipegang dan
ditafsirkan oleh kelas-kelas elit yang memiliki modal [kapital] untuk menjaga
kepentingannya.
Bila Marx dan Lenin, melihat pada aspek manipulatif agama untuk
kepentingan ekonomi oleh kelas borjuis. Namun, kini agama bertambah lagi
wajahnya dan itu marak dan meriah. Saat ini, ada semacam monopoli klaim kebenaran
oleh kelompok tertentu. Segala tafsiran kebenaran agama selain dirinya,
kelompoknya dan organisasinya tak punya ruang untuk diapresiasi. Teror dan
kekerasan fisik hingga stigma tak jadi masalah. Mereka, para pemonopoli
kebenaran itu, akan melakukan itu untuk satu kata; kebenaran. Bahkan semua itu,
dijadikan sebagai bagian dari keimanan. Khususnya teror, dijadikan jalan pintas
menuju surga. Sebagai ruang toleransi agar tak susah payah beribadah untuk
menggapai surga.
Bagi mereka, melakukan bom bunuh diri, sepertinya
ibadah yang singkat, namun pasti masuk surga. Melakukan bunuh diri atas nama
agama adalah kematian yang suci. Korbanya, kita semua tahu mereka yang dicap
kafir, sesat dan menyesatkan. Telah menyimpang dari agama [dalam tafsiran
mereka]. Inilah wajah agama borjuis yang lain. Bentuk tafsiran agamanya bukan
untuk menjaga modal ekonominya. Akan tetapi, untuk menjaga modal monopoli
kebenaranya—walaupun ada anggapan bahwa itu kadang hanya kedok saja untuk
menjaga kekuasaan dan ekonomi kelompoknya. Lalu, apa yang terjadi dengan
perbuatan mereka selain menyisahkan kepedihan. Agama tak lagi tampil ramah nan
damai. Akan tetapi, tampil berwajah bengis dan kejam. Akhirnya, agama digunakan
sebagai alat untuk menindas—menindas yang berbeda paham dengan kelompoknya.
Agama memang dalam sejarahnya, seringkali terjadi
penyimpangan. Ia menyimpang dari bentuk awalnya. Dari risalah sejatinya. Dan,
untuk meluruskan agama itu, Tuhan seringkali menurunkan nabi. Ali Syariati,
salah satu pemikir Islam kontemporer dalam bukunya Agama Versus Agama, menilai bahwa, sepanjang sejarah agama memang
terjadi pertarungan. Pertarungan antara agama monoteis melawan agama yang mengaku
monoteis [politeis atau multiteis]. Agama
yang mengaku monoteis adalah
agama berfungsi sebagai candu. Agama yang menampilkan diri sebagai alat
legitimasi dari seseorang atau kelompok tertentu untuk menindas yang lain.
Agama yang mengaku monoteis ini, tetap
menggunakan kepercayaan-kepercayaan metafisik, kepercayaan kepada Tuhan. Tetap
menggunakan simbol-simbol agama monoteis. Agama yang demikian, seperti agama
yang telah ditafsirkan oleh Bal’am. Bal’am adalah ulama besar yang ada di masa
Firaun yang menafsirkan agama yang pada prinsipnya menentang prinsip-prinsip
agama monoteis atau agama tauhid. Atas nama agama, rakyat dipaksa percaya pada
situasi masyarakat. Bahwa ia adalah situasi yang harus diterima karena
merupakan manifestasi dari kehendak Tuhan. Dan, hal itu dianggap sebagai takdir
dan nasib.
Agama yang mengaku monoteis ini, atau agama borjuis. Adalah agama yang sejatinya warisan dari Qabil. Dan, kita tahu sepak terjang Qabil yang tercatat dalam sejarah. Salah satu anak adam yang memiliki karakter rakus, pelit serta esploitatif. Sedang agama monoteis sejati merupakan warisan dari Habil. Dan, Habil merupakan saudara kandung dari Qabil. Habil merupakan perwakilan karakter kesederhanaan, kedermawanan serta kepedulian kepada sesama.
No comments:
Post a Comment