Sunday, January 31, 2016

Oleh: Asran Salam Ada pertanyaan yang mungkin saja menarik untuk kita ajukan. Pertanyaan yang terkait dengan agama sebagai kohesi s...

Agama?

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Ada pertanyaan yang mungkin saja menarik untuk kita ajukan. Pertanyaan yang terkait dengan agama sebagai kohesi sosial. Benarkah agama secara sosiologis masih bisa menjadi pengikat sosial? Masihkah relevan pandangan Emile Durkheim bahwa agama dengan kekuatan sakral dan sucinya menjadi pengikat orang untuk bersama-sama? apakah agama masih semacam komune yang membangun kesadaran manusia untuk hidup bersama menjadi komunitas yang tentram dan damai? Barangkali dengan sejumlah tanya ini, mungkin saja kita akan melakukan refleksi. Hal itu kita lakukan, tak lain karena agama pada fakta sosialnya, tak sedikit menjadi bencana sosial. Menjadi sumber keretakan sosial. 

Bila kita melihat di pelbagai tempat—tepatnya Timur Tengah juga beberapa kasus di Indonesia—yang terbaru bom bunuh diri di Sarinah. Agama benar-benar nyata menjadi bencana. Atas nama agama—walau ada yang mengatakan itu politisasi agama—perang menjadi berkecamuk. Gedung-gedung menjadi runtuh serta rata dengan tanah. Nyawa seolah tak ada harganya. Anak-anak, muda serta tua menjadi korban. Ekonomi menjadi tidak stabil. Hidup masyarakat semakin tidak menentu; hidup miskin, menjadi kata yang mungkin tepat untuk menggambarkanya. Dengan fakta yang demikian, masihkah kita punya harapan terhadap agama? Ataukah kita perlu untuk berpikir meninggalkan agama? Sebuah tanya yang mungkin saja kita tidak perlu untuk terburu-buru menjawabnya. Barangkali, kita sedikit perlu permenungan dengan harapan sebuah jawaban jernih dapat kita temukan.


Namun, jika pertanyaan ini diajukan kepada Andre Comte-Sponville, saya membayangkan ia tidak perlu untuk berpikir lama. Dengan sigap ia akan menjawab, “saya tidak butuh agama”. Apalagi dengan kondisi fakta agama yang carut marut seakarang ini. Dan, bukan karena wajah agama yang carut marut saja yang membuatnya ia tidak butuh agama. Akan tetapi ia memang tidak butuh agama. Ia tidak percaya agama. Andre Comte-Sponville, seorang filosof Perancis yang dalam hidupnya lebih memilih jalan filsafat daripada agama. Lebih memilih menjadi ateis, namun tidak membenci agama. Dakunya, banyak orang seperti saya bisa hidup tenteram tanpa kehadiran agama. Akan tetapi tidak semua orang perlu seperti saya. Menjadi ateis bukanlah sebuah kewajiban bagi setiap orang. Begitupun dalam beragama. Kita bisa berbeda dalam pilihan-pilihan hidup. Maka, yang utama adalah toleransi.

Andre Comte-Sponville, menilai bahwa perihal pengikat sosial tak hanya agama. Walaupun dalam sejarah agama memang tak sedikit menjadi komune masyarakat tertentu. Jika kita menempatkan bahwa agama menjadi satu-satunya perekat sosial maka, itu adalah kesalahan besar. Fakta-fakta agama di atas justru bisa menjadi anomali dari asumsi tersebut. Tuturnya, ada pilihan lain yang bisa menjadi komune dalam masyarakat kita. Baginya, ikatan dalam membangun masyarakat, tak mesti sesuatu yang suci. Tak perlu sakral seperti anggapan agama—walaupun itu sah-sah saja.

Suatu hal yang bisa menjadi keyakinan dan ikatan masyarakat seperti nilai keadilan, kebebasan dan egaliter bukahlan suatu hal yang supranatural—milik agama saja. Namun, ia bisa ditemukan dalam pikiran yang jernih. Bagi Andre Comte-Sponville, saya sebagai seorang ateis atau seorang ateisme bahkan bisa berkorban untuk nilai-nilai itu. jadi, bukan hanya agama bisa melakukan pengerbonan. Kaum ateisme pun juga bisa melakukan demikian. Ateisme adalah pilihan hidup yang tak perlu dipandang sebagai bencana sosial. Justru bagi Andre Comte-Sponville, saya sebagai ateisme tetap bisa punya komitmen sosial.

Soal pilihan, lain Andre Comte-Sponville, juga tentunya lain bagi orang-orang yang tetap percaya pada agama. Percaya kepada Tuhan. Meskipun agama dalam beberapa wajahnya saat ini, sangat buram dan kelam. Sebagaimana yang terjadi pada Timur Tengah sana juga di negara kita ini. Namun, dengan rupa agama yang banyak ternoda ini, disitu barangkali kita butuh pemaknaan “ulang” terhadap agama. Berupaya untuk menelusuri kembali lorong-lorong muasal agama.  Dalam hal ini, disini mungkin perlu melihat agama tidak lagi dalam pengertian religare atau religion yang berarti “mengikat” atau “mengikat kembali”. Barangkali kita perlu jeda untuk mendefinisikan agama sebagai suatu yang mengikat masyarakat dalam kebersamaan di atas panji kepercayaan kepada Tuhan semata.

Dalam hal ini, barangkali, kita perlu sejenak menengok etimologi agama yang dibangun oleh Marcus Tullius Cicero, seorang filosof mazhab stoa yag populer di abad 4 SM hingga 2 M. Filosof romawi ini, tidak melihat agama sebagai rel(i)gare akan tetapi rel(e)gare yang berarti “merenungkan” atau “membaca ulang”. Dengan demikian, agama adakalanya sebelum sampai pada mengikat, perlu kiranya kita membaca ulang ataupun merenungkan. Membaca ulang atau merenungkan segala mitos, tradisi serta teks (kitab suci) dalam agama. Sebab, sepertinya agama yang banyak menjadi bencana adalah agama yang langsung melompat pada religare—mengikat tanpa sebelumnya relegare—merenungkan atau membaca ulang. Pada etimologi Cicero ini, mungkin kita akan menemukan agama sebagai komune. Sebab, disitu kita bersama-sama melakukan pembacaan ulang dan permenungan. Di sana kita bisa menjalin komune pada keimanan dan idealisme-idealisme yang sama tanpa harus bersama.
 
Pada akhirnya, dalam permenungan dan pembacaan ulang, agama menjadi sikap batin yang kita temukan. Agama bukanlah menjadi doktrin yang minim rasionalitas dan intutif. Atau dengan kata lain, agama barangkali ditemukan dalam kerangka nalar bayani, burhani dan irfani yang beriringan. Dan, agama kita semua mafhum punya dua wajah—esoterisme dan eksoterisme—yang sekiranya patut dijelejahi dan ditemukan bersama. Sebab, menafikan satunya lalu menerima yang lain mungkin bisa menjadi tragedi. Bisa terjebak dalam klaim absolutisme dan menyesatkan yang lain. Mungkin saja pada penerimaan yang demikian, disitulah agama menjadi petaka sosial. Dan, mungkin hal wajar bila yang demikian terus berlanjut, banyak orang akan merayakan ateisme dengan senang hati seperti Andre Comte-Sponville.  Mengapa tidak? Jika itu bisa menjadi solusi damai dalam kehidupan masyarakat.

No comments:

Post a Comment