Oleh: Asran Salam
Ada pertanyaan yang mungkin saja menarik untuk kita ajukan.
Pertanyaan yang terkait dengan agama sebagai kohesi sosial. Benarkah agama
secara sosiologis masih bisa menjadi pengikat sosial? Masihkah relevan pandangan
Emile Durkheim bahwa agama dengan kekuatan sakral dan sucinya menjadi pengikat orang
untuk bersama-sama? apakah agama masih semacam komune yang membangun kesadaran manusia untuk hidup bersama menjadi
komunitas yang tentram dan damai? Barangkali dengan sejumlah tanya ini, mungkin
saja kita akan melakukan refleksi. Hal itu kita lakukan, tak lain karena agama
pada fakta sosialnya, tak sedikit menjadi bencana sosial. Menjadi sumber
keretakan sosial.
Bila kita melihat di pelbagai tempat—tepatnya Timur Tengah
juga beberapa kasus di Indonesia—yang terbaru bom bunuh diri di Sarinah. Agama
benar-benar nyata menjadi bencana. Atas nama agama—walau ada yang mengatakan
itu politisasi agama—perang menjadi berkecamuk. Gedung-gedung menjadi runtuh
serta rata dengan tanah. Nyawa seolah tak ada harganya. Anak-anak, muda serta
tua menjadi korban. Ekonomi menjadi tidak stabil. Hidup masyarakat semakin
tidak menentu; hidup miskin, menjadi kata yang mungkin tepat untuk
menggambarkanya. Dengan fakta yang demikian, masihkah kita punya harapan
terhadap agama? Ataukah kita perlu untuk berpikir meninggalkan agama? Sebuah
tanya yang mungkin saja kita tidak perlu untuk terburu-buru menjawabnya.
Barangkali, kita sedikit perlu permenungan dengan harapan sebuah jawaban jernih
dapat kita temukan.
Namun, jika pertanyaan ini diajukan kepada Andre
Comte-Sponville, saya membayangkan ia tidak perlu untuk berpikir lama. Dengan
sigap ia akan menjawab, “saya tidak butuh agama”. Apalagi dengan kondisi fakta
agama yang carut marut seakarang ini. Dan, bukan karena wajah agama yang carut
marut saja yang membuatnya ia tidak butuh agama. Akan tetapi ia memang tidak
butuh agama. Ia tidak percaya agama. Andre Comte-Sponville, seorang filosof Perancis
yang dalam hidupnya lebih memilih jalan filsafat daripada agama. Lebih memilih
menjadi ateis, namun tidak membenci agama. Dakunya, banyak orang seperti saya
bisa hidup tenteram tanpa kehadiran agama. Akan tetapi tidak semua orang perlu
seperti saya. Menjadi ateis bukanlah sebuah kewajiban bagi setiap orang.
Begitupun dalam beragama. Kita bisa berbeda dalam pilihan-pilihan hidup. Maka,
yang utama adalah toleransi.
Andre Comte-Sponville, menilai bahwa perihal pengikat sosial
tak hanya agama. Walaupun dalam sejarah agama memang tak sedikit menjadi komune masyarakat tertentu. Jika kita
menempatkan bahwa agama menjadi satu-satunya perekat sosial maka, itu adalah
kesalahan besar. Fakta-fakta agama di atas justru bisa menjadi anomali dari
asumsi tersebut. Tuturnya, ada pilihan lain yang bisa menjadi komune dalam masyarakat kita. Baginya,
ikatan dalam membangun masyarakat, tak mesti sesuatu yang suci. Tak perlu
sakral seperti anggapan agama—walaupun itu sah-sah saja.
Suatu hal yang bisa menjadi keyakinan dan ikatan masyarakat
seperti nilai keadilan, kebebasan dan egaliter bukahlan suatu hal yang
supranatural—milik agama saja. Namun, ia bisa ditemukan dalam pikiran yang
jernih. Bagi Andre Comte-Sponville, saya sebagai seorang ateis atau seorang
ateisme bahkan bisa berkorban untuk nilai-nilai itu. jadi, bukan hanya agama
bisa melakukan pengerbonan. Kaum ateisme pun juga bisa melakukan demikian. Ateisme
adalah pilihan hidup yang tak perlu dipandang sebagai bencana sosial. Justru
bagi Andre Comte-Sponville, saya sebagai ateisme tetap bisa punya komitmen
sosial.
Soal pilihan, lain Andre Comte-Sponville, juga tentunya lain
bagi orang-orang yang tetap percaya pada agama. Percaya kepada Tuhan. Meskipun
agama dalam beberapa wajahnya saat ini, sangat buram dan kelam. Sebagaimana
yang terjadi pada Timur Tengah sana juga di negara kita ini. Namun, dengan rupa
agama yang banyak ternoda ini, disitu barangkali kita butuh pemaknaan “ulang”
terhadap agama. Berupaya untuk menelusuri kembali lorong-lorong muasal
agama. Dalam hal ini, disini mungkin
perlu melihat agama tidak lagi dalam pengertian religare atau religion yang berarti “mengikat” atau “mengikat
kembali”. Barangkali kita perlu jeda untuk mendefinisikan agama sebagai suatu
yang mengikat masyarakat dalam kebersamaan di atas panji kepercayaan kepada
Tuhan semata.
Dalam hal ini, barangkali, kita perlu sejenak menengok
etimologi agama yang dibangun oleh Marcus Tullius Cicero, seorang filosof
mazhab stoa yag populer di abad 4 SM hingga 2 M. Filosof romawi ini, tidak
melihat agama sebagai rel(i)gare akan
tetapi rel(e)gare yang berarti
“merenungkan” atau “membaca ulang”. Dengan demikian, agama adakalanya sebelum
sampai pada mengikat, perlu kiranya kita membaca ulang ataupun merenungkan.
Membaca ulang atau merenungkan segala mitos, tradisi serta teks (kitab suci)
dalam agama. Sebab, sepertinya agama yang banyak menjadi bencana adalah agama
yang langsung melompat pada religare—mengikat
tanpa sebelumnya relegare—merenungkan
atau membaca ulang. Pada etimologi Cicero ini, mungkin kita akan menemukan
agama sebagai komune. Sebab, disitu
kita bersama-sama melakukan pembacaan ulang dan permenungan. Di sana kita bisa
menjalin komune pada keimanan dan
idealisme-idealisme yang sama tanpa harus bersama.
Pada akhirnya, dalam permenungan dan pembacaan ulang, agama menjadi sikap batin yang kita temukan. Agama bukanlah menjadi doktrin yang minim rasionalitas dan intutif. Atau dengan kata lain, agama barangkali ditemukan dalam kerangka nalar bayani, burhani dan irfani yang beriringan. Dan, agama kita semua mafhum punya dua wajah—esoterisme dan eksoterisme—yang sekiranya patut dijelejahi dan ditemukan bersama. Sebab, menafikan satunya lalu menerima yang lain mungkin bisa menjadi tragedi. Bisa terjebak dalam klaim absolutisme dan menyesatkan yang lain. Mungkin saja pada penerimaan yang demikian, disitulah agama menjadi petaka sosial. Dan, mungkin hal wajar bila yang demikian terus berlanjut, banyak orang akan merayakan ateisme dengan senang hati seperti Andre Comte-Sponville. Mengapa tidak? Jika itu bisa menjadi solusi damai dalam kehidupan masyarakat.
No comments:
Post a Comment