Wednesday, January 27, 2016

Oleh: Asran Salam   Barangsiapa yang mengenal dirinya [Subjek] akan mengenal Tuhan-Nya [Hadist] Tak ada yang otentik dari s...

Iqbal dan Syariati Tentang Subjek

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

 Barangsiapa yang mengenal dirinya [Subjek] akan mengenal Tuhan-Nya
[Hadist]


Tak ada yang otentik dari subyek [Aku-diri]. Kita telah dikepung oleh struktur [Bahasa, kebudayaan dan kuasa]. Kita terlahir layaknya kertas yang kosong dan sturuktur itulah yang mengisi. Mungkin pada pandangan ini, subyek tak memiliki daya selain menerima apa yang ada diluar dirinya. Diri adalah refresentasi dari narasi besar. Imajiner dan simbolik bak raja yang telah mengatur arah dan gerak subyek. Kesadaran diri adalah bentukan, ia tak asli. Begitulah kira-kira strukturalisme.

Tapi benarkah tak ada yang asli,real dan otentik dari subyek? Jacgues Lacan, seorang psikoanalisis tetap punya kepercayaan akan suatu real dari subyek. Ia melihat kekosongan sebagai yang subtil. Slavoj Zizek pun demikian, sama dengan Lacan tetap punya faith. Ia menempatkan subyek sebagai suatu yang memiliki pilihan. Tak sepenuhnya dipengaruhi oleh struktur.

Lacan dan Zizek, kita tahu keduanya lahir dan tumbuh dari rahim Barat. Mereka melihat dan merasakan “pembunuhan” subyek itu digelar. Menyaksikan subyek “diganyang” tanpa henti dan jeda. Melihat bagaimana subyek ditarik dalam perayaan struktur yang penuh kuasa hingga subyek tampil tak punya kuasa selain menurut.   

Ternyata upaya menghidupkan subyek tak sepenuhnya milik Lacan dan Zizek. Tak sepenuhnya menjadi perbincangan Barat. Di Timur ternyata ia begitu hidup. Ia menjadi perbincangan yang selalu menghiasi jejak-jejak pemikiran. Menjadi konsep sekaligus anutan untuk menyelami kedalaman diri. Di Timur khususnya Islam dalam perihal subyek, kita akan berjumpa dengan pemikiran Muhammad Iqbal.

Iqbal seorang penyair sekaligus filosof yang lahir di anak benua India. Dia adalah seorang pejuang, politikus yang punya kontribusi besar terhadap kelahiran Pakistan. Dalam pikiraanya ia begitu unik mengurai subyek. Iqbal menyebut subyek sebagai ego [Khudi]. Menurutnya, ego itu adalah suatu yang real atau nyata dan memiliki kedalaman dengan berbagai dimensi karakteristik yang dimilikinya.

Ego adalah kemandirian, personalitas dan individualitas dalam arti yang luas. Bagi Iqbal, ia adalah pikiran [mind] dan kesadaran [Consciusness] yang menjadi pembeda dengan binatang. Iqbal melihat pikiran dan kesadaran adalah dimensi yang inheren-real  sejak asali. Mungkin ia semacam ide bawaan dan terma Descartes, atau fitrah dalam agama. Iqbal dalam kedalaman pikiraanya menemukan karakter ego. Menurutnya, ego menyatakan diri satu kesatuan keadaan-keadaan mental.  Karena ego menyatakan diri sebagai kesatuan maka, ia adalah “kesendirian” yang esensial-unik.


Selanjutnya ego merupakan kenyataan yang tak terikat oleh ruang [simbolik] walau ia berada dalam ruang.  Pada dimensi ini mungkin Iqbal, ingin menuturkan bahwa subyek [ego] punya kuasa untuk “meniada” dalam arena simbolik. Ke-Aku-an yang real merupakan penanda subyek untuk menentukan letaknya dalan skala realitas simbolik-“meni-ada” atau “meng-ada”. Bahkan Iqbal pada titik ekstrim melihat bahwa peleburan dengan Tuhan bukanlah dalam rangka “meniada” akan tetapi mempertegas subyek. Only that truly exist wich can say “I am” tuturnya. Ini sebuah risalah subyek dengan peneguhan sebagai suatu yang real dan unik.

Di dunia Islam selain Iqbal, ada Ali Syariati. Pemikir yang lahir di tanah Persia. Ia adalah salah satu arsitek revolusi Iran.  Syariati, pun memiliki risalah subyek—aku yang menarik. Dalam pemikirianya, disana kita akan berjumpa denga konsep “penjaranya”. Barangkali konsep penjara itu sepadan dengan apa yang Lacan sebut sebagai “yang simbolik”. Penjara merupakan suatu yang berada diluar subyek, ia memang menekan. Menghambat subyek dalam geraknya yang murni. Menurutnya penjara-penjara subyek itu terangkum dalam kekangan alam, sejarah, masyarakat dan ego.

Hukum alam sejatinya dapat membawa manusia kepada kondisi yang determinis-mekanistik. Pada alam, jika manusia tidak mampu “menundukkan” maka ia akan menjadi menghambat manusia dalam efektifitas dan efesiensinya. Sejarah adalah kejadian masa lalu. Ia akan menjadi penjara bilamana subyek memandang eksistensinya merupakan produk sejarah. Masyarakat pun demikian. Ia bisa menjadi kekuatan deterministik yang memenjara. jika kita menganggap bahwa keberadaan kita semuanya dibentuk oleh masyarakat. Bila karakter-karakater yang dimiliki semua berangkat dari kondisi masyarakat dimana subyek berdiam.

Selanjutnya ego. Bagi Syariati, penjara ini yang sangat berat untuk dihadapai. Sebab ia berada dalam kedirian subyek. Disinilah subyek akan terlihat lumpuh, lesu dan tanpa harapan. Pada penjara ini, subyek bisa terjebak kedalam absurditas. Ego bagi syariati tak seperti dalam pandangan Iqbal. Menurutnya ego semacan pemenuhan hasrat. Letak instintif  yang ingin menjadi raja-mendominasi setiap gerak subyek.

Lalu dengan penjara-penjara itu subyek hendak bagaimana? Apakah  memang benar ia sepenuhnya terkungkung? Jika tanya ini muncul, maka disitulah barangkali Syariati ingin memberikan jawaban. Menurutnya subyek pada dasarnya bisa keluar dari penjara [simbolik] tersebut.  Ia bisa keluar dengan daya atau kekuatan yang bersumber dari ruh Ilahia. Daya itulah “yang real” “ditiupkan” oleh Tuhan kepada subyek. “Yang real” tersebut adalah kesadaran, kebebasan dan kreatifitas.

Dari Iqbal dan Syariati, mungkin kita akan berkata bahwa Islam serta Timur pada umumnya perihal posisi subyek kadang berbeda dengan Barat. Di Timur  barangkali kita akan menemukan subyek tak pernah lepas dari dimensi transendental-nya. Subyek dengan realisasi sosial menemukan bentuknya yang tertinggi pada apa yang disebut dengan moral-etik.

Aktivitas sosial subyek dalam kepungan imajiner dan simbolik selalu punya alas-dasar. Sepertinya “Yang real” selalu saja ada menjadi dasar pada kehidupan subyek disetiap gempuran  “yang simbolik”. Ia tak pernah kosong dan hilang. Mungkin subyek dalam pandangan Timur selalu real dalam realisasi sosial-transenden dan transenden-sosialnya.

Di Timur, memahami subyek sama halnya telah memahami Tuhan. Belajar mengurai subjek pada saat yang sama kita telah belajar “mengurai” Tuhan. Subjek dalam kaca mata Timur, ia begitu sentral. Menjadi lokus Tuhan dalam semesta. “Langkah-langkah” Tuhan dalam semesta berpijak melalui jiwa-jiwa subyek.

Pada posisi ini, barangkali kita akan bertanya sesuai dengan logika sederhana “jika subyek adalah “kaki tangan” Tuhan dalam semesta. Apakah ia akan tercipta dalam kekosongan-tak memiliki yang real dalam dirinya? Apakah “yang imajiner” dan “yang simbolik” benar-benar membuat subyek tak berdaya? Padahal ia adalah “kaki tangan” Tuhan. Padahal ia adalah co-creatif  Tuhan dalam istilah Iqbal. Timur punya jawaban dan Barat pun demikian. Iqbal dan Syariati punya jawaban dan Lacan dan Zizek pun demikian. Entahlah sekali lagi saya hanya meraba.

No comments:

Post a Comment