Oleh: Asran Salam
Barangsiapa yang mengenal
dirinya [Subjek] akan mengenal Tuhan-Nya
[Hadist]
Tak ada yang
otentik dari subyek [Aku-diri]. Kita telah dikepung oleh struktur [Bahasa,
kebudayaan dan kuasa]. Kita terlahir layaknya kertas yang kosong dan sturuktur
itulah yang mengisi. Mungkin pada pandangan ini, subyek tak memiliki daya
selain menerima apa yang ada diluar dirinya. Diri adalah refresentasi dari
narasi besar. Imajiner dan simbolik bak raja yang telah mengatur arah dan gerak
subyek. Kesadaran diri adalah bentukan, ia tak asli. Begitulah kira-kira
strukturalisme.
Tapi benarkah tak
ada yang asli,real dan otentik dari subyek? Jacgues Lacan, seorang
psikoanalisis tetap punya kepercayaan akan suatu real dari subyek. Ia melihat kekosongan
sebagai yang subtil. Slavoj Zizek pun
demikian, sama dengan Lacan tetap punya faith.
Ia menempatkan subyek sebagai suatu yang memiliki pilihan. Tak sepenuhnya
dipengaruhi oleh struktur.
Lacan dan Zizek,
kita tahu keduanya lahir dan tumbuh dari rahim Barat. Mereka melihat dan
merasakan “pembunuhan” subyek itu digelar. Menyaksikan subyek “diganyang” tanpa
henti dan jeda. Melihat bagaimana subyek ditarik dalam perayaan struktur yang
penuh kuasa hingga subyek tampil tak punya kuasa selain menurut.
Ternyata upaya
menghidupkan subyek tak sepenuhnya milik Lacan dan Zizek. Tak sepenuhnya
menjadi perbincangan Barat. Di Timur ternyata ia begitu hidup. Ia menjadi
perbincangan yang selalu menghiasi jejak-jejak pemikiran. Menjadi konsep
sekaligus anutan untuk menyelami kedalaman diri. Di Timur khususnya Islam dalam
perihal subyek, kita akan berjumpa dengan pemikiran Muhammad Iqbal.
Iqbal seorang
penyair sekaligus filosof yang lahir di anak benua India. Dia adalah seorang
pejuang, politikus yang punya kontribusi besar terhadap kelahiran Pakistan.
Dalam pikiraanya ia begitu unik mengurai subyek. Iqbal menyebut subyek sebagai
ego [Khudi]. Menurutnya, ego itu
adalah suatu yang real atau nyata dan memiliki kedalaman dengan berbagai dimensi
karakteristik yang dimilikinya.
Ego adalah
kemandirian, personalitas dan individualitas dalam arti yang luas. Bagi Iqbal,
ia adalah pikiran [mind] dan
kesadaran [Consciusness] yang menjadi
pembeda dengan binatang. Iqbal melihat pikiran dan kesadaran adalah dimensi
yang inheren-real sejak asali. Mungkin ia semacam ide bawaan dan
terma Descartes, atau fitrah dalam
agama. Iqbal dalam kedalaman pikiraanya menemukan karakter ego. Menurutnya, ego
menyatakan diri satu kesatuan keadaan-keadaan mental. Karena ego menyatakan diri sebagai kesatuan
maka, ia adalah “kesendirian” yang esensial-unik.
Selanjutnya ego
merupakan kenyataan yang tak terikat oleh ruang [simbolik] walau ia berada
dalam ruang. Pada dimensi ini mungkin
Iqbal, ingin menuturkan bahwa subyek [ego] punya kuasa untuk “meniada” dalam
arena simbolik. Ke-Aku-an yang real merupakan penanda subyek untuk menentukan
letaknya dalan skala realitas simbolik-“meni-ada” atau “meng-ada”. Bahkan Iqbal
pada titik ekstrim melihat bahwa peleburan dengan Tuhan bukanlah dalam rangka
“meniada” akan tetapi mempertegas subyek. Only
that truly exist wich can say “I am” tuturnya. Ini sebuah risalah subyek
dengan peneguhan sebagai suatu yang real dan unik.
Di dunia Islam
selain Iqbal, ada Ali Syariati. Pemikir yang lahir di tanah Persia. Ia adalah salah
satu arsitek revolusi Iran. Syariati, pun memiliki
risalah subyek—aku yang menarik. Dalam pemikirianya, disana kita akan berjumpa denga
konsep “penjaranya”. Barangkali konsep penjara itu sepadan dengan apa yang
Lacan sebut sebagai “yang simbolik”. Penjara merupakan suatu yang berada diluar
subyek, ia memang menekan. Menghambat subyek dalam geraknya yang murni.
Menurutnya penjara-penjara subyek itu terangkum dalam kekangan alam, sejarah, masyarakat
dan ego.
Hukum alam sejatinya dapat membawa manusia
kepada kondisi yang determinis-mekanistik. Pada alam, jika manusia tidak mampu
“menundukkan” maka ia akan menjadi menghambat manusia dalam efektifitas dan
efesiensinya. Sejarah adalah kejadian masa lalu. Ia akan menjadi penjara
bilamana subyek memandang eksistensinya merupakan produk sejarah. Masyarakat
pun demikian. Ia bisa menjadi kekuatan deterministik yang memenjara. jika kita
menganggap bahwa keberadaan kita semuanya dibentuk oleh masyarakat. Bila karakter-karakater
yang dimiliki semua berangkat dari kondisi masyarakat dimana subyek berdiam.
Selanjutnya ego. Bagi Syariati, penjara ini
yang sangat berat untuk dihadapai. Sebab ia berada dalam kedirian subyek. Disinilah
subyek akan terlihat lumpuh, lesu dan tanpa harapan. Pada penjara ini, subyek
bisa terjebak kedalam absurditas. Ego bagi syariati tak seperti dalam pandangan
Iqbal. Menurutnya ego semacan pemenuhan hasrat. Letak instintif yang ingin menjadi raja-mendominasi setiap
gerak subyek.
Lalu dengan penjara-penjara itu subyek hendak
bagaimana? Apakah memang benar ia
sepenuhnya terkungkung? Jika tanya ini muncul, maka disitulah barangkali Syariati
ingin memberikan jawaban. Menurutnya subyek pada dasarnya bisa keluar dari
penjara [simbolik] tersebut. Ia bisa
keluar dengan daya atau kekuatan yang bersumber dari ruh Ilahia. Daya itulah
“yang real” “ditiupkan” oleh Tuhan kepada subyek. “Yang real” tersebut adalah
kesadaran, kebebasan dan kreatifitas.
Dari Iqbal dan
Syariati, mungkin kita akan berkata bahwa Islam serta Timur pada umumnya
perihal posisi subyek kadang berbeda dengan Barat. Di Timur barangkali kita akan menemukan subyek tak
pernah lepas dari dimensi transendental-nya. Subyek dengan realisasi sosial
menemukan bentuknya yang tertinggi pada apa yang disebut dengan moral-etik.
Aktivitas sosial
subyek dalam kepungan imajiner dan simbolik selalu punya alas-dasar. Sepertinya
“Yang real” selalu saja ada menjadi dasar pada kehidupan subyek disetiap
gempuran “yang simbolik”. Ia tak pernah
kosong dan hilang. Mungkin subyek dalam pandangan Timur selalu real dalam
realisasi sosial-transenden dan transenden-sosialnya.
Di Timur, memahami
subyek sama halnya telah memahami Tuhan. Belajar mengurai subjek pada saat yang
sama kita telah belajar “mengurai” Tuhan. Subjek dalam kaca mata Timur, ia
begitu sentral. Menjadi lokus Tuhan dalam semesta. “Langkah-langkah” Tuhan
dalam semesta berpijak melalui jiwa-jiwa subyek.
Pada posisi ini,
barangkali kita akan bertanya sesuai dengan logika sederhana “jika subyek
adalah “kaki tangan” Tuhan dalam semesta. Apakah ia akan tercipta dalam
kekosongan-tak memiliki yang real dalam dirinya? Apakah “yang imajiner” dan
“yang simbolik” benar-benar membuat subyek tak berdaya? Padahal ia adalah “kaki
tangan” Tuhan. Padahal ia adalah co-creatif Tuhan dalam istilah Iqbal. Timur punya
jawaban dan Barat pun demikian. Iqbal dan Syariati punya jawaban dan Lacan dan Zizek
pun demikian. Entahlah sekali lagi saya hanya meraba.
No comments:
Post a Comment