Oleh: Asran Salam
Aku berpikir maka aku ada
-Rene Descartes-
Diktum Descartes di atas sangat populer diarena filsafat. Ia adalah ihwal risalah makna subyek
[aku-diri] modern bermula. Mungkin Descartes ingin membuka tabir subyek yang
sepanjang sejarah manusia selalu saja misterius. Barangkali, ia ingin memberi terang pada apa yang misterius
itu. Pada masanya, Descartes membuat sebuah batasan jelas tentangnya.
Menciptakan definisi agar manusia sadar tentang asalinya. Tentang subtansi ke-aku-annya.
Pada kata itu, ada isyarat
tentang aku yang tak kosong. Ia sesuatu yang penuh-padat. Subyek tak
terobjektifikasi apa yang diluar dari dirinya. Subyek, padanya tak ada ruang
hampa, di mana memberi celah pada yang lain untuk masuk dan mengisinya. Descartes ingin menjadikan
subyek sebagai pemikir mandiri [subyeksentrisme]. Sejatinya Aku
berpikir maka aku ada- adalah sebuah penemuan tentang subtansi dan yang
real. Mungkin saja dalam diktum itu, kita bersepakat bahwa “berpikir” sebagai yang
real dari subyek.
Apa yang “diajarkan” oleh Derscartes ini, tak sedikit yang mengamininya.
Mengikuti hingga menjadikannya iman. Pada
zamannya, barangkali ia adalah jawaban akan ketidak-jelasan terhadap subyek. Pandangan
ini lama menjadi kayakinan masyarakat modern,
yang pada akhirnya harus menemukan “tantangan”. Tantangan itu kemudian datang di era yang biasa kita sebut post. Sebuah era yang segalanya telah
mengalami “kematian”. Era yang
tak sedikit memunculkan wacana tentang “kematian” dalam setiap sendi kehidupan;
politik, filsafat, subyek, ideologi dan berakhirnya sejarah.
Era ini adalah sebuah zaman yang tak memberi ruang pada klaim absolut.
Sebuah fase yang tak mempercayai pada narasi-narasi besar, karena semua itu
adalah ciptaan modern yang telah membawa manusia dalam ketidakjelasan. Segala
upaya akan penemuan “kepastian” itu tak lain adalah alam pikir modern yang
harus dikritisi. Mengapa harus dikritisi? karena dalam “Kepastian” modern
tersimpan sebuah kepentingan besar. Kepentingan kuasa dan dominasi yang membawa
manusia mengalami dehumanisasi.
Descartes dan pandangan subyeknya, pada era ini pun tak luput
dikritisi. Kini
subyek cartesian “diganyang” habis oleh para pemikir yang berada pada lingkaran
ini. Mereka yang populer disebut kaum strukturalis, postrukturalis dan
postmoderenisme, seolah tak menyisakan tempat bagi eksistensi subyek. Mereka
memiliki iman yang berdeda dengan cartesian perihal subyek. Kubu ini, menentang
definisi cartesian yang menjadikan subyek sebagai suatu yang berdiri sendiri
[pemikir mandiri-subyeksentrisme]. Pada mereka ada sebuah keyakinan akan tidak
adanya subyek mandiri-penuh dan padat tapi ia suatu yang “kosong” yang di isi
oleh suatu yang mengitarinya yakni struktur.
Bagi mereka subyek selalu saja dikelilingi
oleh struktur; struktur kekuasaan, bahasa dan kebudayaan. Struktur telah
bekerja mengikat subyek. Struktur mengepung subyek sedemikian rupa sehingga ia
tak mungkin maju dan berkembang dengan caranya sendiri. Mereka menemukan bahwa Struktur
sejatinya amat menentukan hendak menjadi apakah subyek itu. Ditangan mereka
“subyek telah mati” di mana pada era modern begitu hidup subur dan berkembang
menjadi sebuah kepercayaan yang kokoh.
Benarkah subyek telah megalami kematian? Sebagaimana
anggapan kaum strukturalis, poststruturalis dan postmodernisme itu? Pada tanya ini,
barangkali kita akan bertemu dengan Slavoj Zizek. Berjumpa dengan
pikiran-pikirannya tentang subyek. Sebuah pikiran yang tentunya berbeda dengan
kubu [strukturalis, postrukturalis dan postmodernisme]. Mengapa? Karena ia masih
membawa semangat cartesian, walau juga tak seutuhanya sama. Ia tampil dengan sebuah
definisi baru-redefinisi subyek cartesian.
Zizek memulai risalah subyeknya dengan
sebelumnya membuka lembaran Jacques Lacan. Pada Lacan, sepertinya Zizek ingin membawa
kita untuk menemukan sesuatu tentang apa itu subyek? Mengerti bagaimana proses
subyek itu terkonstruk dan ia “lepas” dari yang real. Dalam Lacan, kita mungkin
menemukan apa yang ia sebut sebagai fase cermin. Sebuah fase pada manusia yakni
ketika manusia mulai mengenal dirinya melalui cermin. Pada tahapan ini manusia
berada pada “subyek imajiner”-mengimajinasikan dirinya memalui apa yang ia
lihat.
Kemudian pada Lacan pula, kita akan berjumpa dengan
apa yang ia sebut “subyek simbolik”. Yakni sebuah subyek yang telah bergeser
dari fase imajiner. Subyek yang mendefinisikan diri dengan pikiran yang
tersampaikan melalui gramatikal [mengenal bahasa]. Pada tahapan ini, subyek
menemukan diri dalam simbol-simbol [struktur] yang kemudian ia bahasakan. Dari kedua fase imajiner dan simbolik ini,
Lacan sepertinya memberikan kebenaran pada strukturalis dan poststrukturalis.
Bahwa kedua fase ini, terlihat benar-benar struktur telah mengepung subyek.
Ternyata Lacan tetap menyimpan keimanan bahwa
ada sesuatu “yang real” dari subyek. Dari keimanan ini kita mungkin akan
berkata bahwa Lacan tak seutuhnya strukturalis. Bagi Lacan,
sesungguhnya kedua fase ini- “yang imajiner” dan “yang simbolik” telah
mengalienasi ke-diri-an subjek itu sendiri. Ia selalu diimajinasi dan
disimbolisasi dari luar dirinya, bukan pada apa yang ada dalam dirinya sendiri.
Mungkin pada ruang ini Lacan ingin berkata; jika demikian sesunguhnya subyek
tak pernah hadir. Ia selamanya diwakili di mana tanpa keduanya [Imenjiner dan
Simbolik], subjek tidak akan terdefinisi dan dikenal.
Lalu dimana subyek “yang real”
itu dimata Lacan? Ternyata subyek “yang real” itu pada yang tak terjamah oleh
“yang imajiner” dan “yang simbolik”. Ia seperti ruang kosong namun tetap
berisi. Isi subyek “yang real” menurutnya adalah hasrat. Dari risalah Lacan inilah, kemudian Zizek
menariknya dalam filsafat sendiri. Menjadikannya titik berangkat untuk memulai
membahasakan cogito-nya Descartes.
Sebagaimana Lacan, Zizek tetap percaya bahwa
ada “yang real” pada subyek. Pada sisi lain Ia mengakui ada ruang kosong
terhadap subjek “yang real” tetapi membutuhkan isi. Ia juga mengakui bahwa yang
mengisi subyek itu adalah produk struktur kebudayaan yang sedang melingkupi
subjek. Namun subjek pula tidak seutuhnya dibentuk oleh struktur kebudayaan
sebagaimana yang disinyalir oleh strukturalisme dan postrukturalisme.
Menurutnya subyek tetap memiliki kedudukan
istimewa. Ia bisa menerima atau pun menolak dari struktur kebudayaan. Ia
melihat bahwa subyek tak mungkin bisa hadir tanpa kehadiran yang lain, namun ia
bisa me-niada pula dalam kehadiran yang lain. Barangkali pada dimensi inilah
letak sebuah proporsional subyek menurut Zizek. Pada pikiranya ini, Zizek mungkin benar-benar telah melakukan sebuah redefinisi
cogito Cartesian. Bahwa subyek tak
sutuhnya penuh hingga tak membutuhkan suatu dari luar, akan tetapi juga tak seutuhnya
dipengaruhi dari luar subyek itu sendiri. Subyek akhirnya memiliki kemerdekaan
memilih dan dalam memilihnya, disanalah subyek berpikir. Dari sini mungkin saja,
Zizek ingin menghadirkan subyek “yang real” yang sangat elastis dan dialektis. Akhirya
pada semua penggambaran subyek ini, saya berada pada posisi meraba subyek[*]
No comments:
Post a Comment