Wednesday, January 27, 2016

Oleh: Asran Salam Aku berpikir maka aku ada -Rene Descartes- Diktum Descartes di atas sangat populer diarena filsafat.   Ia ad...

Perihal Subjek

No comments:
 


Oleh: Asran Salam
Aku berpikir maka aku ada
-Rene Descartes-

Diktum Descartes di atas sangat populer diarena filsafat.  Ia adalah ihwal risalah makna subyek [aku-diri] modern bermula. Mungkin Descartes ingin membuka tabir subyek yang sepanjang sejarah manusia selalu saja misterius. Barangkali, ia  ingin memberi terang pada apa yang misterius itu. Pada masanya, Descartes membuat sebuah batasan jelas tentangnya. Menciptakan definisi agar manusia sadar tentang asalinya. Tentang subtansi ke-aku-annya.

Pada kata itu, ada isyarat tentang aku yang tak kosong. Ia sesuatu yang penuh-padat. Subyek tak terobjektifikasi apa yang diluar dari dirinya. Subyek, padanya tak ada ruang hampa, di mana memberi celah pada yang lain untuk masuk dan mengisinya. Descartes ingin menjadikan subyek sebagai pemikir mandiri [subyeksentrisme]. Sejatinya Aku berpikir maka aku ada­- adalah sebuah penemuan tentang subtansi dan yang real. Mungkin saja dalam diktum itu,  kita bersepakat bahwa “berpikir” sebagai yang real dari subyek. 

Apa yang “diajarkan” oleh Derscartes ini, tak sedikit yang mengamininya. Mengikuti hingga menjadikannya iman. Pada zamannya, barangkali ia adalah jawaban akan ketidak-jelasan terhadap subyek. Pandangan ini lama menjadi kayakinan masyarakat modern,  yang pada akhirnya harus menemukan “tantangan”. Tantangan itu kemudian datang di era yang biasa kita sebut post. Sebuah era yang segalanya telah mengalami kematian”. Era yang tak sedikit memunculkan wacana tentang “kematian” dalam setiap sendi kehidupan; politik, filsafat, subyek, ideologi dan berakhirnya sejarah.

Era ini adalah sebuah zaman yang tak memberi ruang pada klaim absolut. Sebuah fase yang tak mempercayai pada narasi-narasi besar, karena semua itu adalah ciptaan modern yang telah membawa manusia dalam ketidakjelasan. Segala upaya akan penemuan “kepastian” itu tak lain adalah alam pikir modern yang harus dikritisi. Mengapa harus dikritisi? karena dalam “Kepastian” modern tersimpan sebuah kepentingan besar. Kepentingan kuasa dan dominasi yang membawa manusia mengalami dehumanisasi.
Descartes dan pandangan subyeknya, pada era ini pun tak luput dikritisi. Kini subyek cartesian “diganyang” habis oleh para pemikir yang berada pada lingkaran ini. Mereka yang populer disebut kaum strukturalis, postrukturalis dan postmoderenisme, seolah tak menyisakan tempat bagi eksistensi subyek. Mereka memiliki iman yang berdeda dengan cartesian perihal subyek. Kubu ini, menentang definisi cartesian yang menjadikan subyek sebagai suatu yang berdiri sendiri [pemikir mandiri-subyeksentrisme]. Pada mereka ada sebuah keyakinan akan tidak adanya subyek mandiri-penuh dan padat tapi ia suatu yang “kosong” yang di isi oleh suatu yang mengitarinya yakni struktur.  


Bagi mereka subyek selalu saja dikelilingi oleh struktur; struktur kekuasaan, bahasa dan kebudayaan. Struktur telah bekerja mengikat subyek. Struktur mengepung subyek sedemikian rupa sehingga ia tak mungkin maju dan berkembang dengan caranya sendiri. Mereka menemukan bahwa Struktur sejatinya amat menentukan hendak menjadi apakah subyek itu. Ditangan mereka “subyek telah mati” di mana pada era modern begitu hidup subur dan berkembang menjadi sebuah kepercayaan yang kokoh.

Benarkah subyek telah megalami kematian? Sebagaimana anggapan kaum strukturalis, poststruturalis dan postmodernisme itu? Pada tanya ini, barangkali kita akan bertemu dengan Slavoj Zizek. Berjumpa dengan pikiran-pikirannya tentang subyek. Sebuah pikiran yang tentunya berbeda dengan kubu [strukturalis, postrukturalis dan postmodernisme]. Mengapa? Karena ia masih membawa semangat cartesian, walau juga tak seutuhanya sama. Ia tampil dengan sebuah definisi baru-redefinisi subyek cartesian.

Zizek memulai risalah subyeknya dengan sebelumnya membuka lembaran Jacques Lacan. Pada Lacan, sepertinya Zizek ingin membawa kita untuk menemukan sesuatu tentang apa itu subyek? Mengerti bagaimana proses subyek itu terkonstruk dan ia “lepas” dari yang real. Dalam Lacan, kita mungkin menemukan apa yang ia sebut sebagai fase cermin. Sebuah fase pada manusia yakni ketika manusia mulai mengenal dirinya melalui cermin. Pada tahapan ini manusia berada pada “subyek imajiner”-mengimajinasikan dirinya memalui apa yang ia lihat.

Kemudian pada Lacan pula, kita akan berjumpa dengan apa yang ia sebut “subyek simbolik”. Yakni sebuah subyek yang telah bergeser dari fase imajiner. Subyek yang mendefinisikan diri dengan pikiran yang tersampaikan melalui gramatikal [mengenal bahasa]. Pada tahapan ini, subyek menemukan diri dalam simbol-simbol [struktur] yang kemudian ia bahasakan.  Dari kedua fase imajiner dan simbolik ini, Lacan sepertinya memberikan kebenaran pada strukturalis dan poststrukturalis. Bahwa kedua fase ini, terlihat benar-benar struktur telah mengepung subyek.

Ternyata Lacan tetap menyimpan keimanan bahwa ada sesuatu “yang real” dari subyek. Dari keimanan ini kita mungkin akan berkata bahwa Lacan tak seutuhnya strukturalis. Bagi Lacan, sesungguhnya kedua fase ini- “yang imajiner” dan “yang simbolik” telah mengalienasi ke-diri-an subjek itu sendiri. Ia selalu diimajinasi dan disimbolisasi dari luar dirinya, bukan pada apa yang ada dalam dirinya sendiri. Mungkin pada ruang ini Lacan ingin berkata; jika demikian sesunguhnya subyek tak pernah hadir. Ia selamanya diwakili di mana tanpa keduanya [Imenjiner dan Simbolik], subjek tidak akan terdefinisi dan dikenal.   

 Lalu dimana subyek “yang real” itu dimata Lacan? Ternyata subyek “yang real” itu pada yang tak terjamah oleh “yang imajiner” dan “yang simbolik”. Ia seperti ruang kosong namun tetap berisi. Isi subyek “yang real” menurutnya adalah hasrat.  Dari risalah Lacan inilah, kemudian Zizek menariknya dalam filsafat sendiri. Menjadikannya titik berangkat untuk memulai membahasakan cogito-nya Descartes.

Sebagaimana Lacan, Zizek tetap percaya bahwa ada “yang real” pada subyek. Pada sisi lain Ia mengakui ada ruang kosong terhadap subjek “yang real” tetapi membutuhkan isi. Ia juga mengakui bahwa yang mengisi subyek itu adalah produk struktur kebudayaan yang sedang melingkupi subjek. Namun subjek pula tidak seutuhnya dibentuk oleh struktur kebudayaan sebagaimana yang disinyalir oleh strukturalisme dan postrukturalisme.

Menurutnya subyek tetap memiliki kedudukan istimewa. Ia bisa menerima atau pun menolak dari struktur kebudayaan. Ia melihat bahwa subyek tak mungkin bisa hadir tanpa kehadiran yang lain, namun ia bisa me-niada pula dalam kehadiran yang lain. Barangkali pada dimensi inilah letak sebuah proporsional subyek menurut Zizek. Pada pikiranya ini, Zizek  mungkin benar-benar telah melakukan sebuah redefinisi cogito Cartesian. Bahwa subyek tak sutuhnya penuh hingga tak membutuhkan suatu dari luar, akan tetapi juga tak seutuhnya dipengaruhi dari luar subyek itu sendiri. Subyek akhirnya memiliki kemerdekaan memilih dan dalam memilihnya, disanalah subyek berpikir. Dari sini mungkin saja, Zizek ingin menghadirkan subyek “yang real” yang sangat elastis dan dialektis. Akhirya pada semua penggambaran subyek ini, saya berada pada posisi meraba subyek[*]

No comments:

Post a Comment