Oleh: Asran Salam
Mazhab Frankfrut
yang juga familiar disebut sebagai Teori Kritis adalah nama untuk menandai
sekelompok cendekiawan yang bergabung dalam Institut
fur Soziaforchung (Institut For
Social Research) yang didirikan pada tahun 1923 oleh Felix J Weill.
Semangat marxisme menggema pada orang-orang yang tergabung di dalamnya. Mereka
melakukan pembaharuan dalam teori Marx. Pembaharuan yang dimaksud yakni untuk
menyesuaikan teori-teori Marx dengan perkembangan zaman. Hal ini kemudian dalam
perkembangan Teori Kritis dalam menganalisis perkembangan sosial memasukan
teori-teori yang lain sebagai bagian dari perangkat analisis.
Munculnya Teori Kritis, bisa dibilang adalah respon
terhadap beberapa kondisi sosial yang ada pada masanya. Dari aspek perkembangan
pengetahuan misalnya, menguatnya lingkaran Wina yang bercorak positivis dinilai
oleh Teori Kritis hanya menggunakan satu metode yakni empiris-eksperimental dan
analisis logis matematik untuk semua jenis disiplin ilmu. Teori kritis menilai
mundurnya ilmu sosial budaya tidak lepas dari pengaruh lingkaran Wina ini. Pada
aspek yang lain, sebagai latar belakang munculnya Teori Kritis yakni
berkembangnya kapitalisme menjadi monopolis. Kapitalisme monopolis juga
merupakan penanda berakhirnya kapitalisme liberal. Teori Kritis menilai,
kapitalisme monopolis merupakan suatu tahapan dalam kapitalisme di mana
usaha-usaha raksasa (korporasi) menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga.
Selain itu, pada kapitalisme monopolis, ada kecenderungan menghapus pasar dan
dinamika persaingan bebas yang menjadi prinsip dikapitalisme liberal. Sikap
dari kapitalisme monopolis yang demikian tentunya mengundang negara untuk
terlibat dalam hal mengontrol perusahan-perusahan besar. Dan pada akhirnya
menciptakan kapitalisme negara.
Aspek yang lain perihal pengaruh munculnya Teori
Kritis adalah fasisme. Teori kritis menilai bahwa fasisme merupakan bentuk
politik yang cocok untuk berkembangnya kapitalisme negara. Kita tahu bahwa
kapitalisme negara merupakan evolusi dari kapitalisme monopilis dan monopolis
bisa dibilang evolusi dari liberal. Bagi teori kritis perubahan-perubahan
bentuk tersebut merupakan cara atau metode dari kapitalisme untuk keluar dari krisisnya.
Fasisme dan borjuis dua hal yang akur. Keduanya bagi Teori kritis mengalami
ketakutan dalam menghadapi proletar. Dengan demikian, berbicara fasisme pada
saat sama kita melihat kapitalisme bekerja dengan baik dalam peran-peran
negara.
Setidaknya dalam sejarah perkembangan Teori Kritis,
memiliki tiga generasi yang dianggap memiliki sumbangsih yang besar terhadap
perkembangannya. Generasi pertama yakni Friederich Pollock, Theodor W. Adorno, Walter
Benyamin, Max Horkheimer, Erich Fromm, dan Herbert Mercause. Sedangkan
tokoh-tokoh generasi kedua yakni Jurgen Habermas, Albret Welmer, Oskar Negt,
Claus Offe dan Karl Otto Apel. Selanjutnya untuk generasi ketiga yang paling
terkenal adalah Axel Honneth.
Selain latar belakang sosial, tentunya, munculnya
Teori Kritis secara pemikiran dipengaruhi oleh beberapa gagasan atau dengan
kata lain, memiliki latar belakang pemikiran yang menopang para tokoh-tokohnya
dalam membangun Teori Kritis. Ada empat pemikiran dan pemikir yang dianggap memengaruhi
Teori Kritis. Pertama, kritisisme Imanuel Kant. Pada pemikiran Kant, Teori
Kritis mengambil inspirasi perihal terma kritis itu sendiri. Kant dinilai
sebagai filosof kritis yang pertama. Kritisisme Kant merupakan kritisisme
terhadap kerja akal budi. Bagi Kant, akal budi harus menilai kemampuan dan
keterbatasannya. Sebab dengan itu, akan budi bisa mengetahui sesuatu. Kritisisme
Kant terhadap akal budi, tidak lepas dari sikap kaum rasionalisme menerima akal
budi sebagai sumber pengetahuan apriori tanpa pernah mempertanyakannya mengapa
ia bisa memberi pengetahuan apriori tersebut.
Selain itu, inspirasi Teori Kritis yang diambil dari Kant adalah gagasan Kant tentang das Ding an sich. Sebuah gagasan yang melihat bahwa kita (subjek) tidak bisa mengetahui objek sebagaimana adanya objek. Karena itu, Kant akhirnya berpaling kepada subjek dalam artian sesuatu yang kita pahami sesuai dengan syarat-syarat akal budi kita yang subjektif. Bagi Kant syarat-syarat itu dinamai kategori-kategori apriori. Dengan demikian, kategori-kategori apriori itulah yang menentukan pengetahuan kita akan sesuatu.
Dengan pikiran ini, Kant dinilai melahirkan otonomi subjek. Dan hal itu pula yang kemudian dianut oleh Teori Kritis bahwa segala sesuatu adalah hasil karya pengetahuan subjektif manusia yang otonom (bandingkan dengan pandangan posivistisme). Di sinilah letak kritis pertama dari Teori Kritis. Selanjutnya, dalam mengambil inspirasi dari Kant, bukan berarti para tokoh Teori Kritis tidak mengkritik Kant. Bagi Teori Kritis, kelemahan Kant adalah tidak menjelaskan bagaimana pengetahuan terbentuk secara historis. Artinya pengetahuan juga terikat oleh pada dan ditentukan oleh situasi tertentu. Teori Kritis menilai jika hal ini diabaikan, maka pengetahuan hanya mengawang di udara.
Gagasan atau pemikiran yang memengaruhi Teori Kritis
yang kedua
adalah Dialektika Hegel. Dari Hegel, Teori Kritis menerima bahwa dialektika
untuk mengetengahkan bahwa akal budi dalam usahanya menjadi kesadaran diri yang
sempurna. Walau dalam realisasi dari akal budi tersebut tidaklah mudah, akan tetapi
bagi Hegel di situlah menunjukkan potensi manusia yang tersembunyi menyatakan
diri. Bagi Hegel, dalam setiap proses realisasi (menuju praktis) akal budi
perlu diteliti dan hal inilah yang menjadi tujuan dialektika. Selanjutnya, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami dialektika Hegel. Yang pertama bahwa dialektika sama dengan berpikir
secara totalitas.
Totalitas yang dimaksud di sini, tidak sekadar
keseluruhan yang mana unsur-unsurnya berdiri sejajar. Tapi totalitas itu
berarti keseluruhan yang memiliki unsur-unsur yang saling bernegasi (menginkari
dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), saling bermediasi
(memperantarai dan diperantarai). Misalkan dalam kasus individu dan masyarakat.
Untuk menemukan kesejatian diri individu, maka individu saling berkontradiksi,
bernegasi dan bermediasi dengan masyarakat. Begitupun dengan masyarakat, untuk menjadi
sempurna perlu berdialektika (berkontradiksi, bernegasi, dan bermediasi) dengan
individu.
Yang kedua, proses dialektika Hegel adalah realitas
yang bekerja. Hal ini menunjukkan bukti bahwa terjadi negasi, kontradiksi, dan
mediasi dalam realitas yang tidak semata-mata abstrak. Sehingga bagi Hegel, realitas
itu sebenarnya bekerja dan berjuang, tidak statis, jadi, bulat, sesuatu
“subtansi” melainkan berkembang, mengasingkan diri, menemukan diri kembali,
terus menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis yang semakin mendalam.
Sehingga realitas dialektik sesuatu yang objektif terjadi. Kemudian manusia
dengan akal budinya yang telah mencapai kesempurnaanya di dalam Roh, harus
berkembang, harus menemukan diri dan makin menjadi dirinya sendiri dalam dunia
objektif melalui kerjanya atau relasinya dunia di luar dirinya.
Yang ketiga berpikir dialektika berarti berpikir
empiris-historis. Untuk memahami empiris-historis ini sebelumnya perlu
dibedakan antara kontradiksi dialektis dan kontradiksi logis. Menurut logika
tradisional, dua proposisi (tesis dan anti tesis) tidak pernah benar
kedua-duanya. Hal ini berbeda dengan dialektis bahwa setiap proposisi memiliki
kebenarannya masing-masing. Karena dalam kenyataan empiris setiap proposisi
mempunyai hak berada dan dianggap benar. Proposisi yang satu, tidak bisa menganggap
salah pada proposisi lawannya. Selain itu berpikir dialektis (empiris-historis)
menolak teori indentitas subjek-objek. Sebab teori identitas subjek-objek
menekankan kesadaran sudah mencapai kesatuaannya dengan hal-hal di luar
kesadaran. Dalam artian kesadaran telah menyatakan sepenuhnya dalam realitas di
luar dirinya (objektif). Sehingga hal di luar kesadaran merupakan objektifikasi
paripurna dari kesadaran. Sedangkan dalam perspektif empiris-historis,
kesadaran dan realitas selalu mengasingkan. Dalam artian kesadaran selalu
terhambat oleh realitas untuk menyatakan diri secara totalitas.
Yang keempat berpikir dialektis berarti berpikir dalam
kerangka kesatuan teori dan praxis. Kesatuan teori dan praxis bukan berarti
bagaimana sebuah teori menjadi aplikatif dalam realitas. Jika melihat
sejarahnya, Aristoteles yang dianggap filsuf pertama mempersoalkan antara teori
dan praxis. Di yunani dipahami antara teori dan praxis bukanlah dua hal yang
saling berbeda. Dalam artian sebuah teori lahir kemudian, berupaya diterapkan
dalam realitas. Antara teori dan praxis adalah dua dimensi dalam diri manusia
yang sama dan satu. Untuk menjembatangi teori dan praxis, maka di situlah
pentingnya berpikir dialektis yakni upaya untuk bagaimana sebuah teori
melahirkan praxis. Untuk itu, kesadaran kita perlu berpangkal pada realitas.
Walau Teori Kritis mengambil inspirasi dari Hegel atan tetapi, bagi Teori Kritis ide-ide Hegel tidak memadai untuk Teori Kritis. Memang Hegel sudah melakukan “rekonsiliasi” antara kesadaran dan realitas. Akan tetapi rekonsiliasi tersebut hanya terjadi dalam pikiran—sebatas paham saja—namun dalam kenyataan empirisnya tidak terjadi. Pikiran Hegel dalam hal ini dialektika bagi Teori Kritis masih bersifat “transfiguratif”—yakni mengatasi kenyataan dalam angan-angan belaka. Karena itu, kemudian Teori Kritis beralih ke teori Marx.
Pemikiran yang memerahui Teori Kritis selanjutnya
atau ketiga
adalah kritik ekonomi politik Marx. Perlu dipahami bahwa pemikiran Marx tidak
bisa dilepaskan kritiknya terhadap pemeikiran Hegel. Karl Marx menilai bahwa
gagasan “renkonsiliasi” Hegel itu, tidak berarti apa-apa. Pada kenyataanya,
keadaan tetap sama—tak ada yang berubah. Untuk itu, Marx kemudian menempatkan
dialektika Hegel dalam konteks materil (dialektika kritis dan revolusioner).
Berangkat dari pijakan tersebut, kemudian Marx menganalisa perkembangan
ekonomi. Hingga lahirlah kritik ekonominya terhadap kapitalisme. Marx menilai
ekonomi telah melahirkan dua kelas yakni kelas borjuis (kapitalis) dan kelas
proletar (buruh). Dalam relasinya terjadi penghisapan—ekpsloitasi—dari kelas borjuis
terhadap kelas proletar. Dalam terori nilai lebihnya, Marx menilai bahwa pada
proses kerja, kelas borjuis (kapitalis) mengekspolitasi tenaga kelas proletar.
Dalam analisnya terhadap kapitalisme (ekonomi
politiknya), Marx tidak hanya menampilkan peta atau kenyataan dan kerja-kerja
kapitalisme akan tetapi disetiap proses analisanya termaktub upaya
emansipatoris. Pada posisi ini, juga bisa dibilang sebagai salah satu yang
membedakannya dengan Hegel. Di sini pula kemudian Teori Kritis menurunkan arti
kritisnya yang ketiga setelah yang pertama kritisme Kant dan yang kedua kritis pengertian
dialektika Hegel. Selanjutnya, salah satu analisa Marx yang penting dan juga
memiliki relasi dengan Teori Kritis adalah prediksinya bahwa kapitalisme akan
hancur dengan sendirinya disebabkan oleh kontradiksi internalnya.
Sama dengan dua tokoh yang menjadi inspirasi
sebelumnya, Teori kritis juga memiliki perbedaan dengan analisa-analisa Marx.
Atau dengan kata lain, Teori Kritis meninggalkan beberapa teori Marx. Di antara
teori Marx yang ditinggalkan oleh Teori Kritis yang pertama adalah teori
tentang nilai pekerjaan (nilai lebih). Sebab bagi Teori Kritis dalam masyarakat
industri maju, bukan nilai pekerjaan melainkan ilmu pengetahuan dan
teknologilah yang menjadi tenaga produktif utama. Kedua adalah analisis kelas
Marx. Teori ini ditinggalkan oleh Teori Kritis karena dalam masyarakat
kapitalisme lanjut kelas borjuis dan kelas proletar sudah melebur dalam satu
sistem kapitalis.
Kedua kelas ini sudah sama-sama “dijajah” dan ditindas
oleh sistem di mana proses produksi ditentukan oleh teknologi yang sudah tidak
terkontrol lagi. Ketiga adalah teori kaum proletar sebagai subjek revolusi,
lalu digantikan dengan kaum intelektual. Alasannya adalah kelas proletar tidak
bisa lagi diharapkan karena sebagai subjek revolusi, mereka sudah melebur
dengan sistem. Keempat adalah mengganti kritik ekonomi politiknya kepada yang
lebih menyeluruh yakni kritik terhadap rasio instrumental. Rasional instrumental
ini menurut Teori Kritis, sudah menghasilkan budaya industri yang telah
menghalangi perkembangan individu yang otonom dan independen. Pada kritik rasio
instrumental ini, Teori kritis kemudian lebih melangkah jauh dalam mengkritik
posivistime, objektivisme dan saintisme.
Pemikiran yang keempat mempengaruhi Teori Kritis
adalah psikoanalisa Freud. Psikoanalisa Freud dipakai oleh Teori Kritis untuk
mengkritik ideologi. Psikoanalisa merupakan pelengkap analisis Marx dalam
mengkritik ideologi. Marx menilai bahwa kesadaran manusia tidak bisa dipisahkan
dengan realitasnya. Kesadaran manusia sangat ditentukan oleh kondisi sosialnya.
Dengan kata lain, yang dasariah atau primer yang menentukan kesadaran
masyarakat adalah kenyataan. Bukan kesadaran yang menentukan kenyataan atau
kondisinya. Sedangkan dalam kondisi sosial yang ada kelas penguasalah yang
banyak menentukan dan membetuk kesadaran masyarakat. Kesadaran ini yang terima
begitu saja oleh masyarakat, sehingga bagi Marx ideologi adalah kesadaran
paslu—sesuatu kenyataan yang dibentuk oleh penguasa.
Perihal analisa Marx di atas, bagi Erich Fromm belum
memadai sebab Marx tidak menjelaskan secara detail mengapa kesadaran ditentukan
langsung oleh kenyataan. Menurut Fromm ada missing
link antara bangunan atas yang ideologis dan basis yang sosio ekonomis
dalam kritik ideologi Marx. Pada ruang inilah Teori Kritis (Erich Fromm) meminjam
psikonalisis. Fromm menganalis bahwa Ideologi perlu ditinjau dengan hubungan
naluri seksual. Karena ideologi semacam fantasi yang dapat memuaskan naluri
seksual itu. Sehingga bagi Fromm, psikoanalisa dapat menunjukkan bahwa ideologi
manusia adalah produk dari keinginan-keinginan, naluri-naluri instinktif,
interes-interes dan kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang pada dirinya sediri
secara tak sadar menemukan pengakuannya sebagai rasionalisasi yakni sebagai
ideologi.
Sumber Bacaan:
Ahyar Yususf Lubis, 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer. Rajawali:
Jakarta
Donny Gahral Adian,
2011. Setelah Marxisme. Koeskosan:
Jakarta
Martin Jay, 2009. Sejarah Mazhab Frankfrut. Kreasi Wacana:
Jogyakarta
Sindhunata, 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional. Gramedia:
Jakarta
#Tulisan ini disampaikan pada Kelas Literasi Paradigma Institut.
#Tulisan ini disampaikan pada Kelas Literasi Paradigma Institut.
No comments:
Post a Comment