Monday, March 21, 2016

Oleh: Asran Salam Mazhab Frankfrut yang juga familiar disebut sebagai Teori Kritis adalah nama untuk menandai sekelompok cendekiawa...

Sebut Saja Pengantar Teori Kritis

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Mazhab Frankfrut yang juga familiar disebut sebagai Teori Kritis adalah nama untuk menandai sekelompok cendekiawan yang bergabung dalam Institut fur Soziaforchung (Institut For Social Research) yang didirikan pada tahun 1923 oleh Felix J Weill. Semangat marxisme menggema pada orang-orang yang tergabung di dalamnya. Mereka melakukan pembaharuan dalam teori Marx. Pembaharuan yang dimaksud yakni untuk menyesuaikan teori-teori Marx dengan perkembangan zaman. Hal ini kemudian dalam perkembangan Teori Kritis dalam menganalisis perkembangan sosial memasukan teori-teori yang lain sebagai bagian dari perangkat analisis.

Munculnya Teori Kritis, bisa dibilang adalah respon terhadap beberapa kondisi sosial yang ada pada masanya. Dari aspek perkembangan pengetahuan misalnya, menguatnya lingkaran Wina yang bercorak positivis dinilai oleh Teori Kritis hanya menggunakan satu metode yakni empiris-eksperimental dan analisis logis matematik untuk semua jenis disiplin ilmu. Teori kritis menilai mundurnya ilmu sosial budaya tidak lepas dari pengaruh lingkaran Wina ini. Pada aspek yang lain, sebagai latar belakang munculnya Teori Kritis yakni berkembangnya kapitalisme menjadi monopolis. Kapitalisme monopolis juga merupakan penanda berakhirnya kapitalisme liberal. Teori Kritis menilai, kapitalisme monopolis merupakan suatu tahapan dalam kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa (korporasi) menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga. Selain itu, pada kapitalisme monopolis, ada kecenderungan menghapus pasar dan dinamika persaingan bebas yang menjadi prinsip dikapitalisme liberal. Sikap dari kapitalisme monopolis yang demikian tentunya mengundang negara untuk terlibat dalam hal mengontrol perusahan-perusahan besar. Dan pada akhirnya menciptakan kapitalisme negara.

Aspek yang lain perihal pengaruh munculnya Teori Kritis adalah fasisme. Teori kritis menilai bahwa fasisme merupakan bentuk politik yang cocok untuk berkembangnya kapitalisme negara. Kita tahu bahwa kapitalisme negara merupakan evolusi dari kapitalisme monopilis dan monopolis bisa dibilang evolusi dari liberal. Bagi teori kritis perubahan-perubahan bentuk tersebut merupakan cara atau metode dari kapitalisme untuk keluar dari krisisnya. Fasisme dan borjuis dua hal yang akur. Keduanya bagi Teori kritis mengalami ketakutan dalam menghadapi proletar. Dengan demikian, berbicara fasisme pada saat sama kita melihat kapitalisme bekerja dengan baik dalam peran-peran negara.  


Setidaknya dalam sejarah perkembangan Teori Kritis, memiliki tiga generasi yang dianggap memiliki sumbangsih yang besar terhadap perkembangannya. Generasi pertama yakni Friederich Pollock, Theodor W. Adorno, Walter Benyamin, Max Horkheimer, Erich Fromm, dan Herbert Mercause. Sedangkan tokoh-tokoh generasi kedua yakni Jurgen Habermas, Albret Welmer, Oskar Negt, Claus Offe dan Karl Otto Apel. Selanjutnya untuk generasi ketiga yang paling terkenal adalah Axel Honneth.

Selain latar belakang sosial, tentunya, munculnya Teori Kritis secara pemikiran dipengaruhi oleh beberapa gagasan atau dengan kata lain, memiliki latar belakang pemikiran yang menopang para tokoh-tokohnya dalam membangun Teori Kritis. Ada empat pemikiran dan pemikir yang dianggap memengaruhi Teori Kritis. Pertama, kritisisme Imanuel Kant. Pada pemikiran Kant, Teori Kritis mengambil inspirasi perihal terma kritis itu sendiri. Kant dinilai sebagai filosof kritis yang pertama. Kritisisme Kant merupakan kritisisme terhadap kerja akal budi. Bagi Kant, akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya. Sebab dengan itu, akan budi bisa mengetahui sesuatu. Kritisisme Kant terhadap akal budi, tidak lepas dari sikap kaum rasionalisme menerima akal budi sebagai sumber pengetahuan apriori tanpa pernah mempertanyakannya mengapa ia bisa memberi pengetahuan apriori tersebut.

Selain itu, inspirasi Teori Kritis yang diambil dari Kant adalah gagasan Kant tentang das Ding an sich. Sebuah gagasan yang melihat bahwa kita (subjek) tidak bisa mengetahui objek sebagaimana adanya objek. Karena itu, Kant akhirnya berpaling kepada subjek dalam artian sesuatu yang kita pahami sesuai dengan syarat-syarat akal budi kita yang subjektif. Bagi Kant syarat-syarat itu dinamai kategori-kategori apriori. Dengan demikian, kategori-kategori apriori itulah yang menentukan pengetahuan kita akan sesuatu.

Dengan pikiran ini, Kant dinilai melahirkan otonomi subjek. Dan hal itu pula yang kemudian dianut oleh Teori Kritis bahwa segala sesuatu adalah hasil karya pengetahuan subjektif manusia yang otonom (bandingkan dengan pandangan posivistisme). Di sinilah letak kritis pertama dari Teori Kritis. Selanjutnya, dalam mengambil inspirasi dari Kant, bukan berarti para tokoh Teori Kritis tidak mengkritik Kant. Bagi Teori Kritis, kelemahan Kant adalah tidak menjelaskan bagaimana pengetahuan terbentuk secara historis. Artinya pengetahuan juga terikat oleh pada dan ditentukan oleh situasi tertentu. Teori Kritis menilai jika hal ini diabaikan, maka pengetahuan hanya mengawang di udara.

Gagasan atau pemikiran yang memengaruhi Teori Kritis yang kedua adalah Dialektika Hegel. Dari Hegel, Teori Kritis menerima bahwa dialektika untuk mengetengahkan bahwa akal budi dalam usahanya menjadi kesadaran diri yang sempurna. Walau dalam realisasi dari akal budi tersebut tidaklah mudah, akan tetapi bagi Hegel di situlah menunjukkan potensi manusia yang tersembunyi menyatakan diri. Bagi Hegel, dalam setiap proses realisasi (menuju praktis) akal budi perlu diteliti dan hal inilah yang menjadi tujuan dialektika. Selanjutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami dialektika Hegel.  Yang pertama bahwa dialektika sama dengan berpikir secara totalitas.

Totalitas yang dimaksud di sini, tidak sekadar keseluruhan yang mana unsur-unsurnya berdiri sejajar. Tapi totalitas itu berarti keseluruhan yang memiliki unsur-unsur yang saling bernegasi (menginkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai). Misalkan dalam kasus individu dan masyarakat. Untuk menemukan kesejatian diri individu, maka individu saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi dengan masyarakat. Begitupun dengan masyarakat, untuk menjadi sempurna perlu berdialektika (berkontradiksi, bernegasi, dan bermediasi) dengan individu.

Yang kedua, proses dialektika Hegel adalah realitas yang bekerja. Hal ini menunjukkan bukti bahwa terjadi negasi, kontradiksi, dan mediasi dalam realitas yang tidak semata-mata abstrak. Sehingga bagi Hegel, realitas itu sebenarnya bekerja dan berjuang, tidak statis, jadi, bulat, sesuatu “subtansi” melainkan berkembang, mengasingkan diri, menemukan diri kembali, terus menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis yang semakin mendalam. Sehingga realitas dialektik sesuatu yang objektif terjadi. Kemudian manusia dengan akal budinya yang telah mencapai kesempurnaanya di dalam Roh, harus berkembang, harus menemukan diri dan makin menjadi dirinya sendiri dalam dunia objektif melalui kerjanya atau relasinya dunia di luar dirinya.

Yang ketiga berpikir dialektika berarti berpikir empiris-historis. Untuk memahami empiris-historis ini sebelumnya perlu dibedakan antara kontradiksi dialektis dan kontradiksi logis. Menurut logika tradisional, dua proposisi (tesis dan anti tesis) tidak pernah benar kedua-duanya. Hal ini berbeda dengan dialektis bahwa setiap proposisi memiliki kebenarannya masing-masing. Karena dalam kenyataan empiris setiap proposisi mempunyai hak berada dan dianggap benar. Proposisi yang satu, tidak bisa menganggap salah pada proposisi lawannya. Selain itu berpikir dialektis (empiris-historis) menolak teori indentitas subjek-objek. Sebab teori identitas subjek-objek menekankan kesadaran sudah mencapai kesatuaannya dengan hal-hal di luar kesadaran. Dalam artian kesadaran telah menyatakan sepenuhnya dalam realitas di luar dirinya (objektif). Sehingga hal di luar kesadaran merupakan objektifikasi paripurna dari kesadaran. Sedangkan dalam perspektif empiris-historis, kesadaran dan realitas selalu mengasingkan. Dalam artian kesadaran selalu terhambat oleh realitas untuk menyatakan diri secara totalitas.

Yang keempat berpikir dialektis berarti berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praxis. Kesatuan teori dan praxis bukan berarti bagaimana sebuah teori menjadi aplikatif dalam realitas. Jika melihat sejarahnya, Aristoteles yang dianggap filsuf pertama mempersoalkan antara teori dan praxis. Di yunani dipahami antara teori dan praxis bukanlah dua hal yang saling berbeda. Dalam artian sebuah teori lahir kemudian, berupaya diterapkan dalam realitas. Antara teori dan praxis adalah dua dimensi dalam diri manusia yang sama dan satu. Untuk menjembatangi teori dan praxis, maka di situlah pentingnya berpikir dialektis yakni upaya untuk bagaimana sebuah teori melahirkan praxis. Untuk itu, kesadaran kita perlu berpangkal pada realitas.

Walau Teori Kritis mengambil inspirasi dari Hegel atan tetapi, bagi Teori Kritis ide-ide Hegel tidak memadai untuk Teori Kritis. Memang Hegel sudah melakukan “rekonsiliasi” antara kesadaran dan realitas. Akan tetapi rekonsiliasi tersebut hanya terjadi dalam pikiran—sebatas  paham saja—namun dalam kenyataan empirisnya tidak terjadi. Pikiran Hegel dalam hal ini dialektika bagi Teori Kritis masih bersifat “transfiguratif”—yakni mengatasi kenyataan dalam angan-angan belaka. Karena itu, kemudian Teori Kritis beralih ke teori Marx.               

Pemikiran yang memerahui Teori Kritis selanjutnya atau ketiga adalah kritik ekonomi politik Marx. Perlu dipahami bahwa pemikiran Marx tidak bisa dilepaskan kritiknya terhadap pemeikiran Hegel. Karl Marx menilai bahwa gagasan “renkonsiliasi” Hegel itu, tidak berarti apa-apa. Pada kenyataanya, keadaan tetap sama—tak ada yang berubah. Untuk itu, Marx kemudian menempatkan dialektika Hegel dalam konteks materil (dialektika kritis dan revolusioner). Berangkat dari pijakan tersebut, kemudian Marx menganalisa perkembangan ekonomi. Hingga lahirlah kritik ekonominya terhadap kapitalisme. Marx menilai ekonomi telah melahirkan dua kelas yakni kelas borjuis (kapitalis) dan kelas proletar (buruh). Dalam relasinya terjadi penghisapan—ekpsloitasi—dari kelas borjuis terhadap kelas proletar. Dalam terori nilai lebihnya, Marx menilai bahwa pada proses kerja, kelas borjuis (kapitalis) mengekspolitasi tenaga kelas proletar.

Dalam analisnya terhadap kapitalisme (ekonomi politiknya), Marx tidak hanya menampilkan peta atau kenyataan dan kerja-kerja kapitalisme akan tetapi disetiap proses analisanya termaktub upaya emansipatoris. Pada posisi ini, juga bisa dibilang sebagai salah satu yang membedakannya dengan Hegel. Di sini pula kemudian Teori Kritis menurunkan arti kritisnya yang ketiga setelah yang pertama kritisme Kant dan yang kedua kritis pengertian dialektika Hegel. Selanjutnya, salah satu analisa Marx yang penting dan juga memiliki relasi dengan Teori Kritis adalah prediksinya bahwa kapitalisme akan hancur dengan sendirinya disebabkan oleh kontradiksi internalnya.   

Sama dengan dua tokoh yang menjadi inspirasi sebelumnya, Teori kritis juga memiliki perbedaan dengan analisa-analisa Marx. Atau dengan kata lain, Teori Kritis meninggalkan beberapa teori Marx. Di antara teori Marx yang ditinggalkan oleh Teori Kritis yang pertama adalah teori tentang nilai pekerjaan (nilai lebih). Sebab bagi Teori Kritis dalam masyarakat industri maju, bukan nilai pekerjaan melainkan ilmu pengetahuan dan teknologilah yang menjadi tenaga produktif utama. Kedua adalah analisis kelas Marx. Teori ini ditinggalkan oleh Teori Kritis karena dalam masyarakat kapitalisme lanjut kelas borjuis dan kelas proletar sudah melebur dalam satu sistem kapitalis.

Kedua kelas ini sudah sama-sama “dijajah” dan ditindas oleh sistem di mana proses produksi ditentukan oleh teknologi yang sudah tidak terkontrol lagi. Ketiga adalah teori kaum proletar sebagai subjek revolusi, lalu digantikan dengan kaum intelektual. Alasannya adalah kelas proletar tidak bisa lagi diharapkan karena sebagai subjek revolusi, mereka sudah melebur dengan sistem. Keempat adalah mengganti kritik ekonomi politiknya kepada yang lebih menyeluruh yakni kritik terhadap rasio instrumental. Rasional instrumental ini menurut Teori Kritis, sudah menghasilkan budaya industri yang telah menghalangi perkembangan individu yang otonom dan independen. Pada kritik rasio instrumental ini, Teori kritis kemudian lebih melangkah jauh dalam mengkritik posivistime, objektivisme dan saintisme. 

Pemikiran yang keempat mempengaruhi Teori Kritis adalah psikoanalisa Freud. Psikoanalisa Freud dipakai oleh Teori Kritis untuk mengkritik ideologi. Psikoanalisa merupakan pelengkap analisis Marx dalam mengkritik ideologi. Marx menilai bahwa kesadaran manusia tidak bisa dipisahkan dengan realitasnya. Kesadaran manusia sangat ditentukan oleh kondisi sosialnya. Dengan kata lain, yang dasariah atau primer yang menentukan kesadaran masyarakat adalah kenyataan. Bukan kesadaran yang menentukan kenyataan atau kondisinya. Sedangkan dalam kondisi sosial yang ada kelas penguasalah yang banyak menentukan dan membetuk kesadaran masyarakat. Kesadaran ini yang terima begitu saja oleh masyarakat, sehingga bagi Marx ideologi adalah kesadaran paslu—sesuatu kenyataan yang dibentuk oleh penguasa.

Perihal analisa Marx di atas, bagi Erich Fromm belum memadai sebab Marx tidak menjelaskan secara detail mengapa kesadaran ditentukan langsung oleh kenyataan. Menurut Fromm ada missing link antara bangunan atas yang ideologis dan basis yang sosio ekonomis dalam kritik ideologi Marx. Pada ruang inilah Teori Kritis (Erich Fromm) meminjam psikonalisis. Fromm menganalis bahwa Ideologi perlu ditinjau dengan hubungan naluri seksual. Karena ideologi semacam fantasi yang dapat memuaskan naluri seksual itu. Sehingga bagi Fromm, psikoanalisa dapat menunjukkan bahwa ideologi manusia adalah produk dari keinginan-keinginan, naluri-naluri instinktif, interes-interes dan kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang pada dirinya sediri secara tak sadar menemukan pengakuannya sebagai rasionalisasi yakni sebagai ideologi.

 

Sumber Bacaan:
Ahyar Yususf Lubis, 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer. Rajawali: Jakarta
Donny Gahral Adian, 2011. Setelah Marxisme. Koeskosan: Jakarta
Martin Jay, 2009. Sejarah Mazhab Frankfrut. Kreasi Wacana: Jogyakarta
Sindhunata, 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional. Gramedia: Jakarta 

#Tulisan ini disampaikan pada Kelas Literasi Paradigma Institut.

No comments:

Post a Comment