Sunday, January 1, 2017

Apa yang riuh dari agama—khususnya Islam saat ini? Apakah ia menunjukkan kemajuan? Apakah ia menampilkan wajah ramah nan sejuk? Apakah ia ...

Generasi Post Sunni-Syiah

1 comment:
 
Apa yang riuh dari agama—khususnya Islam saat ini? Apakah ia menunjukkan kemajuan? Apakah ia menampilkan wajah ramah nan sejuk? Apakah ia masih menjadi cahaya pada buram hidup manusia? Ataukah jangan-jangan ia menjadi racun yang mematikan?
Jangan-jangan ia menjadi pijakan ego untuk melukai. Untuk meminggirkan, serta untuk menghina. Setandang tanya yang ada, sepertinya tak begitu sulit untuk kita jawab. Jawaban dengan mudah kita temui. Kita jumpai pada fakta sosial. Pada kenyataan hidup yang berseliweran di sekitar kita. Di sana dengan lapang kita akan menunjuk. Dengan mudah kita berujar, sepertinya agama berada di titik nadir.
Sepertinya agama sedang berjalan tidak pada lintasannya. Lajunya meninggalkan lajurnya. Kini sungguh ia tampil geram dan bengis. Penuh amarah dan amuk. Aura kesejukannya semakin luntur. Pesona kedamaiannya semakin kelam. Kesuciaanya semakin renyuk.
Wajahnya ditumbuhi bintik-bintik yang hadirkan nanah. Bau amis darah begitu cepat tercium dari setiap perayaannya. Pemeluknya begitu mudah menebar luka pada fisik dan psikis. Pemeluknya meneriakkan Allau Akbar bersamaan dengan letupan senjata menembaki orang-orang tak tahu menahu persoalan—orang-orang yang tak berdosa.
Kita semua mafhum, di Islam punya dua mazhab besar: Sunni dan Syiah. Tapi lihatlah apa yang terjadi? Amatilah media sosial. Di sana acap kali terjadi perdebatan. Sesarinya itu tak soal, namun yang memilukan jika arena itu berujung pada saling hujat.
Pada titik beda itu hadir saling hina, kafir-mengkafirkan, sesat menyesatkan. Tidakkah itu sungguh memalukan. Saya membayangkan orang-orang di luar Islam—sebut saja musuh-musuh Islam—akan tersenyum lebar. Dan mungkin tertawa terbahak-terbahak melihat semuanya. Mereka kemungkinan akan berkata, “lihat kita sudah berhasil mengadu domba mereka. Sekarang waktunya kita menjarah kekayaan mereka. Menghisap segala apa yang mereka punyai”.
Mengapa dalam hal beragama, sangat sulit kita menerima bahwa soal keyakinan adalah jalan personal. Ia adalah pergulatan pribadi yang melibatkan segala instrumen epistemik yang kita punya (indera, akal dan hati) dalam menemukannya. Mengapa kita sulit menerima bahwa lintasan keyakinan itu tidak tunggal namun ia majemuk.
Kita bisa berlari dari lintasan manapun yang pasti kita satu tujuan. Masih sulitkah kita menerima pesan bijak dari Ibnu Arabi, sosok sufi yang terkenal dengan gagasan Wahdatul Wujudnya, bahwasanya jalan menuju Tuhan sebanyak nafas para pencarinya. Untuk agama tak dogmatis, begitu rumitkah kita memilih seperti apa yang dipilih oleh Imam Syafi’i—pendiri mazhab Syafi’i—dalam semboyangnya: “Pendapatku benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar”.  
Belum cukupkah pelajaran inklusif yang Imam Syafi’i berikan kepada kita, ketika ia berkata kepada muridnya: “Wahai Ibrahim janganlah engkau mengikuti semua ucapanku, tetapi telitilah dan berpikirlah untuk dirimu.
Atau masih kurangkah tutur Malik bin Anas—pendiri mazhab Malikiyah yang lebih dikenal Imam Malik bahwasanya: “Aku hanyalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Maka, telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”.
Jika hal di atas sudah kita terima, maka saya membayangkan kita tak akan menyoal lagi adanya konversi keyakinan. Dari keyakinan A kemudian menjadi B. Dari Syiah menjadi Sunni atau sebaliknya Sunni menjadi Syiah. Namun cukup kita mempersoalkan jikalau Syiah menjadi Sunni setelah itu, menjelek-jelekkan atau menghina Syiah sebagai kafir. Atau yang Sunni kemudian menjadi Syiah lalu menghina Sunni sebagai ajaran sesat.  
Kita mempersoalkannya sebab orang-orang demikian tidak lagi berada pada sikap inklusif. Kata teman saya, orang-orang yang seperti itu dalam beragama layaknya anak kecil yang punya mainan baru lalu membenci mainan lamanya. Mungkin teman saya ingin berkata, bahwa orang seperti itu belumlah dewasa dalam bergama.
Ihwal Sunni-Syiah, pada Mukhtamar Muhammadiyah yang lalu di Makassar di mana saya hadir. Di sana ada pelajaran penting untuk kita cermati. Untuk kita teliti. Untuk kita renungkan. Pelajaran itu datang dari seorang cendekiawan Islam; Buya Syafi’i Maarif (mantan ketua PP Muhammadiyah).
Sejauh ingatan saya, Buya Syafi’i berujar dalam forum saat itu, bahwasanya Sunni-Syiah adalah produk sejarah yang direproduksi perbedaannya secara terus menerus untuk memecah belah Islam. Menjadikan Islam runtuh dan remuk sehingga kehilangan keadabannya.
Tak hanya itu, pelajaran yang kurang lebih sama juga kita bisa jumpai pada K.H. Said Aqil Siraj, juga salah satu cendekiawan Islam yang menjabat ketua NU. Di media sosial pernyataanya banyak dimuat. Sunni-Syiah bagi dia adalah khazanah Islam yang patut untuk dipelajari bersama, dengan itu, kita akan menemukan kejernian darinya.
Barangkali kita yang mengaku Sunni, sudah sepatutnya berpikir untuk memojokkan Syiah bahwa mereka senang memaki simbol-simbol yang kita sucikan. Mengkafirkan tokoh-tokoh yang kita kagumi. Sebab pemimpin spiritual Syiah Iran, Sayyid Ali Khameni sudah mengeluarkan fatwa haram atas penghinaan pada simbol-simbol Sunni.
Dakunya, jika ada yang melakukan demikian, itu bukan Syiah. Jika kita mengutip Imam Jaf’far Ash-Shadiq (Imam keenam dalam keyakinan Syiah) ihwal apa itu Syiah, di sana kita tak akan menemukan bahwa dalam menjadi Syiah harus menghina simbol-simbol yang dimuliakan di Sunni.
Kata Imam Jaf’far Ash-Shadiq,“wahai orang-orang Syiah, jadilah hiasan bagi kami dan jangan menjadi noda untuk kami, berbicaralah santun kepada masyarakat, jagalah lidah kalian, dan hindarilah campur tangan dalam urusan orang lain dan perkataan buruk”.
Atau,“Syiah kami adalah warak dan bekerja, mereka adalah orang percaya dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, senantiasa menunaikan lima puluh satu rakaat salat sehari semalam, orang yang terjaga di malam hari dan berpuasa di siang hari. Mereka menunaikan ibadah haji ke Baitul Haram dan menjaga diri mereka dari segala yang haram”.
Pada akhirnya, memosisikan keduanya (Sunni-Syiah) sebagai bagian dari Islam dan tidak mempersoalkannya lagi. Di situ kita akan senang hati melihat Sunni-Syiah bergandeng tangan. Di sana kita semua, baik Sunni maupun Syiah belajar untuk menjadi mukmin sejati.
Sebagaimana Rasulullah Saw katakan yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi bahwa “mukmin sejati adalah yang bisa menjaga keselamatan darah dan harta orang lain”.
Dengan kerelaan menerima masing-masing perbedaan dan bisa bersimpul,  bisa jadi lahirlah kekuatan yang dahsyat dalam menghadapi musuh sejati Islam. Dalam menghadapi musuh sejati Islam itu, saya membayangkan yang berdiri kokoh dan tegar, penuh keberanian tanpa takut adalah generasi Islam (post) Sunni-Syiah. Generasi yang tak lagi risih dan cemas dengan beda yang ada dalam Islam.





1 comment: