Apa yang riuh dari agama—khususnya Islam saat ini? Apakah
ia menunjukkan kemajuan? Apakah ia menampilkan wajah ramah nan sejuk? Apakah ia
masih menjadi cahaya pada buram hidup manusia? Ataukah jangan-jangan ia menjadi
racun yang mematikan?
Jangan-jangan ia menjadi pijakan ego untuk melukai. Untuk
meminggirkan, serta untuk menghina. Setandang tanya yang ada, sepertinya tak
begitu sulit untuk kita jawab. Jawaban dengan mudah kita temui. Kita jumpai
pada fakta sosial. Pada kenyataan hidup yang berseliweran di sekitar kita. Di
sana dengan lapang kita akan menunjuk. Dengan mudah kita berujar, sepertinya
agama berada di titik nadir.
Sepertinya agama sedang berjalan tidak pada lintasannya. Lajunya
meninggalkan lajurnya. Kini sungguh ia tampil geram dan bengis. Penuh amarah
dan amuk. Aura kesejukannya semakin luntur. Pesona kedamaiannya semakin kelam.
Kesuciaanya semakin renyuk.
Wajahnya ditumbuhi bintik-bintik yang hadirkan nanah. Bau amis
darah begitu cepat tercium dari setiap perayaannya. Pemeluknya begitu mudah
menebar luka pada fisik dan psikis. Pemeluknya meneriakkan Allau Akbar
bersamaan dengan letupan senjata menembaki orang-orang tak tahu menahu
persoalan—orang-orang yang tak berdosa.
Kita semua mafhum, di Islam punya dua mazhab besar: Sunni dan
Syiah. Tapi lihatlah apa yang terjadi? Amatilah media sosial. Di sana acap kali
terjadi perdebatan. Sesarinya itu tak soal, namun yang memilukan jika arena itu
berujung pada saling hujat.
Pada titik beda itu hadir saling hina, kafir-mengkafirkan, sesat
menyesatkan. Tidakkah itu sungguh memalukan. Saya membayangkan orang-orang di
luar Islam—sebut saja musuh-musuh Islam—akan tersenyum lebar. Dan mungkin
tertawa terbahak-terbahak melihat semuanya. Mereka kemungkinan akan berkata,
“lihat kita sudah berhasil mengadu domba mereka. Sekarang waktunya kita
menjarah kekayaan mereka. Menghisap segala apa yang mereka punyai”.
Mengapa dalam hal beragama, sangat sulit kita menerima bahwa
soal keyakinan adalah jalan personal. Ia adalah pergulatan pribadi yang
melibatkan segala instrumen epistemik yang kita punya (indera, akal dan hati)
dalam menemukannya. Mengapa kita sulit menerima bahwa lintasan keyakinan itu
tidak tunggal namun ia majemuk.
Kita bisa berlari dari lintasan manapun yang pasti kita satu
tujuan. Masih sulitkah kita menerima pesan bijak dari Ibnu Arabi, sosok sufi
yang terkenal dengan gagasan Wahdatul Wujudnya, bahwasanya jalan menuju Tuhan
sebanyak nafas para pencarinya. Untuk agama tak dogmatis, begitu rumitkah kita
memilih seperti apa yang dipilih oleh Imam Syafi’i—pendiri mazhab Syafi’i—dalam
semboyangnya: “Pendapatku benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat orang
lain salah tetapi mungkin benar”.
Belum cukupkah pelajaran inklusif yang Imam Syafi’i
berikan kepada kita, ketika ia berkata kepada muridnya: “Wahai Ibrahim
janganlah engkau mengikuti semua ucapanku, tetapi telitilah dan berpikirlah
untuk dirimu.
Atau masih kurangkah tutur Malik bin Anas—pendiri mazhab
Malikiyah yang lebih dikenal Imam Malik bahwasanya: “Aku hanyalah manusia biasa
yang bisa benar dan bisa salah. Maka, telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan
Al-Quran dan Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”.
Jika hal di atas sudah kita terima, maka saya membayangkan kita
tak akan menyoal lagi adanya konversi keyakinan. Dari keyakinan A kemudian
menjadi B. Dari Syiah menjadi Sunni atau sebaliknya Sunni menjadi Syiah. Namun
cukup kita mempersoalkan jikalau Syiah menjadi Sunni setelah itu,
menjelek-jelekkan atau menghina Syiah sebagai kafir. Atau yang Sunni kemudian
menjadi Syiah lalu menghina Sunni sebagai ajaran sesat.
Kita mempersoalkannya sebab orang-orang demikian tidak lagi
berada pada sikap inklusif. Kata teman saya, orang-orang yang seperti itu dalam
beragama layaknya anak kecil yang punya mainan baru lalu membenci mainan
lamanya. Mungkin teman saya ingin berkata, bahwa orang seperti itu belumlah
dewasa dalam bergama.
Ihwal Sunni-Syiah, pada Mukhtamar Muhammadiyah yang lalu di
Makassar di mana saya hadir. Di sana ada pelajaran penting untuk kita cermati.
Untuk kita teliti. Untuk kita renungkan. Pelajaran itu datang dari seorang
cendekiawan Islam; Buya Syafi’i Maarif (mantan ketua PP Muhammadiyah).
Sejauh ingatan saya, Buya Syafi’i berujar dalam forum saat itu,
bahwasanya Sunni-Syiah adalah produk sejarah yang direproduksi perbedaannya
secara terus menerus untuk memecah belah Islam. Menjadikan Islam runtuh dan
remuk sehingga kehilangan keadabannya.
Tak hanya itu, pelajaran yang kurang lebih sama juga kita bisa
jumpai pada K.H. Said Aqil Siraj, juga salah satu cendekiawan Islam yang
menjabat ketua NU. Di media sosial pernyataanya banyak dimuat. Sunni-Syiah bagi
dia adalah khazanah Islam yang patut untuk dipelajari bersama, dengan itu, kita
akan menemukan kejernian darinya.
Barangkali kita yang mengaku Sunni, sudah sepatutnya berpikir
untuk memojokkan Syiah bahwa mereka senang memaki simbol-simbol yang kita
sucikan. Mengkafirkan tokoh-tokoh yang kita kagumi. Sebab pemimpin spiritual
Syiah Iran, Sayyid Ali Khameni sudah mengeluarkan fatwa haram atas penghinaan
pada simbol-simbol Sunni.
Dakunya, jika ada yang melakukan demikian, itu bukan Syiah. Jika
kita mengutip Imam Jaf’far Ash-Shadiq (Imam keenam dalam keyakinan Syiah) ihwal
apa itu Syiah, di sana kita tak akan menemukan bahwa dalam menjadi Syiah harus
menghina simbol-simbol yang dimuliakan di Sunni.
Kata Imam Jaf’far Ash-Shadiq,“wahai orang-orang Syiah, jadilah
hiasan bagi kami dan jangan menjadi noda untuk kami, berbicaralah santun kepada
masyarakat, jagalah lidah kalian, dan hindarilah campur tangan dalam urusan
orang lain dan perkataan buruk”.
Atau,“Syiah kami adalah warak dan bekerja, mereka adalah orang
percaya dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, senantiasa menunaikan lima puluh
satu rakaat salat sehari semalam, orang yang terjaga di malam hari dan berpuasa
di siang hari. Mereka menunaikan ibadah haji ke Baitul Haram dan menjaga diri
mereka dari segala yang haram”.
Pada akhirnya, memosisikan keduanya (Sunni-Syiah) sebagai bagian
dari Islam dan tidak mempersoalkannya lagi. Di situ kita akan senang hati
melihat Sunni-Syiah bergandeng tangan. Di sana kita semua, baik Sunni maupun
Syiah belajar untuk menjadi mukmin sejati.
Sebagaimana Rasulullah Saw katakan yang diriwayatkan oleh
Al-Tirmidzi bahwa “mukmin sejati adalah yang bisa menjaga keselamatan darah dan
harta orang lain”.
Dengan kerelaan menerima masing-masing perbedaan dan bisa
bersimpul, bisa jadi lahirlah kekuatan yang dahsyat dalam menghadapi
musuh sejati Islam. Dalam menghadapi musuh sejati Islam itu, saya membayangkan
yang berdiri kokoh dan tegar, penuh keberanian tanpa takut adalah generasi
Islam (post) Sunni-Syiah. Generasi yang tak lagi risih dan cemas dengan beda
yang ada dalam Islam.
http://alhegoria.blogspot.co.id/
ReplyDelete