Oleh: Asran Salam
Islam adalah
agama yang tak mudah diringkus dalam definisi tertentu. Atau pada sebuah pengertian
yang berlaku secara universal—di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh Islam
tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah dan konteks di mana ia diterima.
Karena Islam tak bisa dipisahkan dari tafsiran. Walau demikian, beberapa
pengertian setidaknya diterima oleh pemeluk Islam. Bahwa Islam hadir sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Islam sebagai agama yang memberikan cahaya pada
kegelapan. Islam adalah agama yang membela nilai-nilai kemanusiaan. Islam hadir
untuk memperjuangkan keadilan. Walau dari sekian pengertian tersebut, pada akhirnya
juga dimaknai berbeda oleh umat Islam. Memberikan artikulasi yang berbeda yang
tidak sedikit melahirkan kebencian di atara mereka. Artikulasi yang satu
mencaci artikulasi yang lain.
Islam yang
lahir di tanah Arab, diserukan oleh Rasullah Saw, dalam perjalanan sejarah,
akhirnya menjangkau Indonesia. Memasuki teritori Nusantara yang sebelumnya sudah
memiliki keyakinan. Sudah memiliki iman yang dianut oleh masyarakatnya. Jauh
sebelum kehadiran Islam, di era kuna—era pra Hindu-Budha. Inilah yang dianggap
sebagai iman yang “genuin” dimiliki oleh orang Nusantara. Bentuknya seperti “kepercayaan-kepercayaan”.
Animisme dan dinamisme dalam istilah yang digunakan oleh studi agama untuk menunjuk
kepercayaan tersebut.
Iman
masyarakat Nusantara kala itu, mempercayai segala macam arwah. Kekuatan magis
pada alam dan benda-benda. Di Jawa dikenal dengan Kapitayan. Di Sulawesi
Selatan, ada Tolotan dan Patuntun. Masyarakat Kalimantan melalui suku-suku
dayak mempercayai Kahariangan. Tonass Walian untuk kepercayaan Sulawesi
Utara—Minahasa. Naurus Pulau Seram—Maluku. Marapu, Sumba, Permalingan di
Sumatra tepatnya bagian Utara. Dan masih banyak lagi tentunya kepercayaan di
daerah lain di Nusantara. Sejarah berjalan, era kepercayaan berlalu,
Hindu-Budha masuk menjadi iman baru pada masyarakat Nusantara. Hindu-Budha
menjadi anutan pada era kerajaan. Abad ke-2 M hingga Islam menjadi wajah baru
keimanan masyarakat Nusantara. Abad ke-7 M disinyalir sebagai awalnya Islam
mengijakkan kaki di Nusantara. Beberapa bukti arkeologis seperti makam Islam sebagai
jejak yang ditunjuk sebagai dasar argumentasi.
Adalah Agus
Sunyoto, seorang sejarawan NU dalam Atlas
Wali Songo (2012), mendaku ihwal teori masuknya Islam di Nusantara. Akunya,
setidaknya ada empat teori yang berkembang prihal asal muasal Islam di
Nusantara. Pertama, teori India—Gujarat. Di tandai dengan artefak seperti batu
nisan yang memiliki kesamaan arsitek India. Kedua, teori Arab (Mesir dan
Hadramaut—Yaman). Pelacakan jejaknya adanya kesamaan pada mazhab Syafi’i.
Ketiga, teori Persia—sekarang Iran. Argumentasi yang dibangun untuk teori ini,
berdasarkan kemiripan dengan muslim Syiah: peringatan Asyurah 10 Muharram. Pemuliaan
terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw, (Ahlul Bait) yang hidup dan menjadi
tradisi dalam masyarakat Nusantara. Selajutnya, teori Cina, dasar
argumentasinya dilihat dari adanya pengaruh budaya Cina dalam sejumlah
kebudayaan Islam di Indonesia.
Dari sejumlah
teori di atas, namun dalam pandangan kaum sejarawan ada kesapahaman bersama
bahwa Islam yang masuk di Indonesia dengan jalan damai. Dengan jalan
mempertemukan tradisi Nusantara denga nilai Islam. Dengan jalan “sintetis
mistik” istilah Merle Calvin Ricklefs—sejarawan lulusan Cornell University—New
York, Amerika. Islam masuk di Nusatara lebih mengedepankan sisi esoterisme.
Mengajarkan Islam Tasawwuf. Gagasan mistik “Wahdatul
Wujud”—kesatuan wujud dan “Wahdatul
Syuhud”—kesatuan pandangan, menjadi pengetahuan yang diperjumpakan dengan
tradisi Nusantara. Hamzah Fansury, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri,
Syeikh Siti Jenar, Yusuf Al-Makassari, menjadi figur-figur pelopornya.
Puncaknya pada gerak Wali Songo.
Sejarah terus
berlanjut, beriringan dengan itu, Islam semakin diterima oleh masyarakat
Indonesia. Islam kemudiaan menjadi agama mayoritas di Indonesia. Paruh abad
ke-20, Islam Indonesia mengalami “polarisasi”. Tercatat secara garis besar ada
dua bentuk polarisasi. Polarisasi ini, berakar sejak abad ke-17 M ketika
beberapa anak muda Indonesia yang memperdalam agama di Haramayn (Mekkah dan
Madinah) kembali ke tanah air. Orieantasi fiqih kecenderungan menjadi geraknya.
Ide-ide pemisahan “yang tradisi” dan “yang Islami” menjadi wacananya. Pengaruh
anak muda yang belajar di Haramayn ini, kemudian disebut sebagai kaum
“modernis”. Sedang yang tetap pada pola Islam yang “turun temurun/tradisi”
dinamai kaum “tradisional.
Soekarno dalam
dua polarisasi Islam ini, berdiri di tengah-tengah. Hal ini terlihat ketika
dalam pembuangan di Ende kurun 1934-1938, Soekarno memperdalam Islam. Mengaji
Islam dengan seksama. Di pengasingan itu, Soekarno mencoba merenungi Islam yang
“layak” untuk dianut di Indonesia. Melalui surat menyurat dengan A Hassan,
pendiri Persatuan Islam, di situ Soekarno menyampaikan hasil permenungannya
ihwal Islam. Selain itu, beberapa gagasannya atau ide-idenya yang dimuat dalam Suluh Indonesia Muda, Pandji Islam, dan Pedoman. Soekarno bukan modernis dan tradisionalis, bisa dilihat
dari kritiknya terhadap kedua model ini. Kritik Soekarno ini, bisa dijumpai
dalam buku Islam Kita, Islam Nusantara (2016)
Oleh Muhammad Guntur Romli dan Ciputat
School:
“Perbedaan kaum
tua (tradisionalis—pen) dan kaum muda (modernis-pen) di sini hanyalah, bahwa
kaum tua menerima tiap-tiap otoritas Islam, walaupun tidak tersokong oleh Quran
dan Hadis...Intepretasi Quran dan Hadis itu, cara menerankannya belumlah
rasionalistik 100%, belumlah dengan bantuan akal 100%...Mereka tidak selamanya
mengakurkan pengertian itu dengan akal yang cerdas, tetapi masih-mengasih pada
jalan percaya buta belaka...Asal tertulis dalam Quran, asal tertera di dalam Hadis yang sahih (skriptualis—pen).
Mereka terimalah walau kadang-kandang akal mereka tidak menerimanya”.
Dengan kritik itu, Soekarno secara tidak langsung ingin membangun
sebuah gagasan Islam Indonesia. Islam yang mampu menjawab konteks Indonesia.
Setidaknya beberapa pandangan Islam Soekarno dapat kita temui. Dalam Islam Kita dan Islam Nusantara (2016),
Muhammad Guntur Romli mengemukakan, bahwa ada beberapa yang bisa disebut
sebagai gagasan utama Islam “ala” Soekarno. Pertama, bagi Soekarno, Islam
sebagai elan persatuan nasional. Ide ini bisa ditemui dalam tulisanya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”
dimuat Suluh Indonesia Muda. Pada ide
ini, Soekarno menarik nilai-nilai Islam menjadi “alat” kolektivitas rakyat yang
mayoritas Islam untuk bangkit memperjuangkan bangsa dan tanah airnya dari
penjajahan dan imperialisme. Agar Indonesia keluar dari kungkungan asing. Pada
gagasan ini, Soekarno mempertemukan nilai-nilai Islam dan konsep Nasionalisme
sekaligus Marxisme. Bahwa ketiganya bukanlah suatu yang mesti dipertentangkan.
Kedua, Islam menekankan rasionalitas. Islam harus menerima kemajuan
Ilmu pengetahuan (sains). Bagi Soekarno “Orang tak dapat memahami betul Quran
dan Hadis kalau tak berpengetahuan umum (sains). Bagaimana bisa orang mengerti
betul firman Tuhan segala barang sesuatu dibikin oleh-Nya “berjodoh-jodohan—(berpasang-pasangan-pen)”
kalau tak mengerti biologi, tak mengetahui eletron, tak mengetahui posistif dan
negatif...”. Pada poin ini, nampak jelas ide-ide kemajuan Soekarno bahwa Islam
tak mesti alergi terhadap kemajuan pengetahuan (sains) bahkan Islam semakin
kaya jikalau Islam “dibaca” dalam kerangka sains. Pembacaan ini bisa dijadikan
sebagai salah satu cara metode dalam membaca Islam.
Ketiga, dalam
artikel yang ia tulis “Islam is progress”,
Kata Soekarno, “Islam itu kemajuan...kemajuan karena wajib....karena sunnah
tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampui batas-batasnya zaman” Islam itu
berkemajuan yang menekankan pada aspek kebolehan (mubah) yang bisa melampui
zaman. Bukan untuk melarang-larang dan mengharamkan. Senada pada ide yang
kedua, makna progres atau kemajuan di sini yakni pelibatan akal dalam membaca
Islam. Selain itu, ide “Islam is
Progress” juga dapat bermakna penempatan Islam dalam barisan perjuangan.
Dalam gerakan pembelaan terhadap orang yang termarginalkan. Islam terlibat
dalam pembebasan secara kolektif di samping pembebasan secara Individu. Islam bagi
Soekarno yakni “libertarian sosial”
bukan hanya “libertarian individual”
seperti yang cederung dianut oleh kalangan Islam Liberal. Soekarno sepertinya
paham betul bahwa jika Islam hanya mendorong kebebasan individu, maka Islam
akan menjadi pelayan bagi ideologi liberalisme dan turunannnya. Intinya, Soekarno
melihat Islam memiliki semangat emansipatoris secara khusus pada perlakuan pada
perempuan. Hal ini bisa dilihat dalam gagasan berikutnya yakni keempat, bahwa Islam
itu membebaskan dan anti penindasan. Bung karno menentang tabir yang menutupi
perempuan dan pertemuan, karena bagi dia “tabir adalah lambang perbudakan kaum
perempuan” dalam wawancara ia menegaskan, “saya anggap tabir sebagai
simbol-simbolnya perbudakan perempuan, keyakinan saya ialah Islam tidak
mewajibkan Tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudak perempuan.” Demikian
dakunya.
Selanjutnya
ide Islam progres Soekarno, atau yang kelima yakni Islam mengakui persamaan dan
kemuliaan manusia. Baginya, ”..tak ada satu agama yang menghendaki kesemerataan
daripada Islam”. Bung karno menafikan perbedaan manusia berdasarkan keturunan.
Menolak penjajahan manusia dengan manusia yang lain seperti yang dilakukan
kapitalisme. Menolak rasialisme dan fasisme seperti yang dilakukan oleh Hitler
di Jerman. Bung Karno juga sangat menentang sektarianisme yang dibangun
berdasarkan atas dasar perbedaan agama atau mazhab. Terkait dengan gagasan yang
kelima ini, di sinilah gagasan Soekarno menjadi kritik dengan kondisi Islam di
Indonesia sekarang ini yang sudah mulai terjebak dan terkungkung dalam ideologi
liberalisme dan fundamentalisme. Wujud liberalisme Islam sebagaimana
dibahasakan sebelumnya, yakni Islam untuk kemerdekaan atau kebebasan individual
semata. Menjauhkan Islam sebagai aksi. Sebagai agama yang menyimpan protes
terhadap segala bentuk penindasan dan diskriminasi kaum mustada’afin. Watak Islam liberal memiliki kemiripan dengan
semangat Ideologi liberalisme itu sendiri. Wujud fundamentalisme melahirkan konflik atas nama agama. Teror dan bom
bunuh diri menjadi bagian dari keimanan oleh kaum ini. Sebab baginya ini
merupakan jalan pintas menuju surga. Sesarinya Islam fundamentalisme merupakan
“anak haram” dari ideologi liberalisme. Sebab tindakan mereka selama ini,
sebagian lahir atas respon ideologi liberalisme yang terbukti menjadikan Islam
sebagai bagian dari skenario dalam mempertahankan ideologinya.
Keenam,
Soekarno melihat Islam mengakui agama-agama yang lain dan pentingnya toleransi
dan demokrasi. Baginya, pemaksaan suatu negara Islam menurutnya bertentangan
demokrasi dan dunia modern dan hal tersebut bentuk kediktatoran. Katanya, “...kalau
mereka tidak menerima konstitusi Islam, apakah kamu paksa mereka, dengan
menghantam Tuan punya tinju di atas
meja, bahwa mesti ditundukan kepada kemauan Tuan? Ai Tuan mau main diktator,
mau paksa mereka dengan senjata bedil dan meriam?..zaman sekarang zaman modern,
dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu”. Gagasan Islam Soekarno yang
demikian, merupakan bentuk kritik terhadap orang-orang atau kelompok Islam yang
memiliki cita-cita menegakkan Negara Islam. Dalam konteks Indonesia kekinian
ide-ide Negara Islam (khilafah) ini, sangat getol diperjuangkan oleh kelompok
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bagi Soekarno ide-ide semacam itu mengandung
kediktatoran yang dibungkus dengan dalil agama. Suatu ide yang tidak sesuai
dengan dunia kemodernan dan Indonesia.
Ketujuh,
Soekarno melihat Islam adalah ajaran yang menekankan pada subtansi. “Ruh dan
semangat Islam, api Islam” bukan pada aspek-aspek simbolnya yang sebut sebagai
“agama celak” dan “agama sorban” atau ‘abu islam”. Pada ide ini, di sini dalam
kontekstualisasinya menjadi kritik terhadap model keberilslaman mengedepankan
simbol. Memanjangkan jenggot, mengisbalkan celana, serta memakai sorban
dianggap sebagai model Islam yang sesungguhnya—Islam sejati. Dan kelompok
seperti ini cenderung sibuk mengurusi hal tersebut dan tidak membawa Islam
untuk berbicara pada dimensi emansipatorisnya. Islam yang sibuk mengurusi
simbol tersebut, cenderung pasif terhadap penindasan serta marginalisasi yang
dilakukan oleh sitem kekuasaan.
Sejatinya Soekarno melihat Islam dengan segala doktrin
yang milikinya diarahkan untuk melahirkan kebebasan rakyat Indonesia dari
segala bentuk penjajahan. Islam dengan nilainya mampu menjadi inspirasi
perjuangan menentang segala bentuk penindasan. Islam harus terlibat dalam
kubangan penderitaan rakyat. Di sana Islam harus menjadi pelipur lara pada
luka-luka rakyat atas diskriminasi yang dialami. Islam harus mampu menjadi
“air” pada dahaga rakyat. Islam harus mampu ditarik dalam praksis dan menjadi
solutif pada kelas tertindas. Yang perlu didorong bahwa Islam tidak menerima
segala bentuk eksploitasi. Islam menolak segala bentuk penguasaan kebudayaan,
sosial politik dan ekonomi oleh kelompok tertentu. Islam menginginkan tatanan
sosial yang adil dan beradab. Bukan bengis dan biadab.
No comments:
Post a Comment