Saturday, September 24, 2016

Oleh: Asran Salam Mulai abad ke-9   barangkali hingga sekarang, Husain Ibn Mansur sangat terkenal. Ia adalah salah satu sufi ya...

Tragedi al-Hallaj, Tragedi Kritik

No comments:
 
Oleh: Asran Salam


Mulai abad ke-9  barangkali hingga sekarang, Husain Ibn Mansur sangat terkenal. Ia adalah salah satu sufi yang tumbuh besar di kota Thur. Sebuah kota yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara. Ia dilahirkan sekitar tahun 866 M. Walau ia berada di kawasan Arab, namun ia bukanlah keturunan Arab melainkan keturunan Persia. Husain Ibn Mansur atau lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Sebutan al-Hallaj yang berarti “penggaru” disematkan kepadanya di kala suatu hari al-Hallaj melewati sebuah gudang dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjukkan pada seonggok buah kapas itu, seketika biji-biji kapas itu terpisah dari serat kapas. Selain itu, al-Hallaj juga dijuluki Hallaj al-Asrar yang “penggaru segala kalbu” sebab ia mampu membaca isi pikiran dan menjawab pertanyaan seseorang sebelum ditanyakan kepadanya.

Al-Hallaj sangat terkenal dengan ujarannya “Ana al-Haq—Akulah Kebenaran”. Sebuat tutur yang mengantarkan dirinya dituduh telah mengajarkan ajaran bi’dah dan sesat. Sebuah frasa yang membawa dirinya mengalami eksekusi secara brutal oleh para ulama ortodoks yang tak menerima sisi esoterisme Islam. Oleh kekuasaan yang telah terganggu akan ajaran-ajaranya. Al-Hallaj, tercatat sebagai martir pertama dalam tasawuf. Ajaran-ajaran al-Hallaj banyak mengandung kritik terhadap kekuasaan (khalifah) kala itu. Gagasan tasawufnya memiliki roh dalam mendobrak sosial yang beku dan tidak adil.


Ujaran-ujaran ekstasenya ternyata mampu menginspirasi pengikutnya untuk terlibat mengkritik kekuasaan. Ide-ide tasawuf al-Hallaj, sebagai jalan kritik sosial. Mungkin al-Hallaj dalam perjumpaannya dengan Tuhan, ia mendapatkan mandat untuk membebaskan manusia dari ketertindasan. Menggaru kalbu manusia agar mampu memilah kebenaran dan keburukan. Menuntun manusia menemukan jalan yang terang. Tasawuf bagi al-Hallaj bukanlah semata-mata hanya sibuk “bercumbu” dengan Tuhan dan menafikan fakta sosial yang timpang. Tasawuf bagi al-Hallaj adalah jalan transenden—vertikal yang memiliki implikasi horizontal. Ajaran al-Hallaj adalah ajaran cinta sejati. Cinta yang tidak diuraikan dengan kata-kata tapi dengan tindakan. Tindakan yang merelakan diri mati untuk kebahagiaan orang lain. Al-Hallaj mengalami cinta dan mengamalkannya.

“Wahai kaum Muslim, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia. Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku—bunulah aku. Kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk (dengan menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh”. Setelah itu, al-Hallaj berdoa kepada Allah seraya berkata “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka”. Ini adalah salah satu seruan al-Hallaj yang ia sampaikan di jalan-jalan kota Baghdad, di pasar, dan di masjid-masjid.

Konon, seruan di atas kemudian menjadi ilham bagi orang-orang Baghdad kala itu untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Memang pada saat itu, kondisi sosial dan politik banyak menimbulkan ketidakpuasan. Oleh karena keberpihakan dan pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berseberangan dengan kekuasaan. Kritik yang ditujukan kepada kekuasaan berujung pada penangkapan atas dirinya. Al-Hallaj mengalami penyiksaan di hadapan banyak orang. Dihukum di tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong serta kepala terpenggal.

Dari tragedi al-Hallaj satu hal yang pasti dan tak pernah diterima secara tulus oleh kukasaan yakni kritik. Kekuasaan dalam bentang sejarah cenderung membenci kritik.  Kritik selalu dipandang sebagai jalan penghacuran bukan jalan kehidupan. Kritik seringkali dianggap sebagai bentuk kebencian rakyat atas kekuasaanya. Padahal kritik adalah jalan meruluskan. Jalan yang penuh dengan fakta dan argumentasi. Lain halnya dengan fitnah, ia tanpa fakta walau kadang penuh argumentasi. Namun adalakalanya bagi kekuasaan, kritik dianggap sebagai fitnah dan itu dijadikan argumentasi serta justfikasi dalam memerangi para pengkritiknya.

Padahal tidakkah kritik—clitikos (Yunani) berarti “yang membedakan”. Krites (Yunani Kuno) “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan nilai”. Jalan kritik adalah upaya membedakan yang seharusnya dengan tidak seharusnya. Kritik sejatinya memberi pendapat yang penuh alasan rasional. Kritik esensialnya adalah memberikan nilai tentang yang benar dan salah. Kritik adalah upaya mengungkapkan apa yang seharusnya terjadi namun tidak terjadi pada kenyataan.

Dalam sejarah kritik, sekali lagi, ia memang tak mudah diterima oleh orang-orang dituju kritik. Itu sebabnya kritik tak sedikit melahirkan tragedi. Apa yang menimpa al-Hallaj, hanya salah satu dalam fase sejarah kritik. Sebelum dan sesudahnya banyak yang tercatat. Sepertinya memang kritik sesuatu yang halal namun haram untuk diwujudkan. Tak hanya itu, kritik sepertinya identik dengan pengasingan, pengucilan, hingga pembunuhan. Namun, satu hal yang juga tak terelakkan, bahwa orang-orang yang berdiri di sisi kritik cenderung abadi. Selalu dikenang di setiap zaman. Para manusia-manusia “besar” tidak sedikit lahir sebab menjadikan kritik sebagai jalan hidupnya. Bahkan kehadirannya sendiri adalah kritik atas realitas yang tak seimbang.

Sebagai akhir tulisan ini, perihal kritik Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah membilangkan kurang lebih seperti ini, “mengkritik orang pintar, maka ia akan mencintaimu. Namun, bila mengkritik orang bodoh, maka ia akan membencimu”. Mungkin itulah orang-orang yang berdiiri pada ruang kritik selalu dibenci sebab ia berhadapan dengan orang-orang bodoh. Orang bodoh yang dimaksud di sini tak lain adalah mereka yang tak mau menerima kebenaran.  Orang-orang yang tak rela melepaskan keburukannya untuk menemui cahaya kebenaran. Orang-orang bodoh di sini bukanlah mereka yang tak memiliki pengetahuan, justru mereka kadang kaya dengan pengetahuan. 

No comments:

Post a Comment