Oleh: Asran Salam
Mulai abad ke-9 barangkali hingga sekarang, Husain Ibn Mansur
sangat terkenal. Ia adalah salah satu sufi yang tumbuh besar di kota Thur. Sebuah
kota yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara. Ia dilahirkan
sekitar tahun 866 M. Walau ia berada di kawasan Arab, namun ia bukanlah keturunan
Arab melainkan keturunan Persia. Husain Ibn Mansur atau lebih dikenal dengan
nama al-Hallaj. Sebutan al-Hallaj yang berarti “penggaru” disematkan kepadanya
di kala suatu hari al-Hallaj melewati sebuah gudang dan melihat seonggok buah
kapas. Ketika jarinya menunjukkan pada seonggok buah kapas itu, seketika
biji-biji kapas itu terpisah dari serat kapas. Selain itu, al-Hallaj juga
dijuluki Hallaj al-Asrar yang “penggaru segala kalbu” sebab ia mampu membaca
isi pikiran dan menjawab pertanyaan seseorang sebelum ditanyakan kepadanya.
Al-Hallaj sangat terkenal dengan
ujarannya “Ana al-Haq—Akulah
Kebenaran”. Sebuat tutur yang mengantarkan dirinya dituduh telah mengajarkan
ajaran bi’dah dan sesat. Sebuah frasa yang membawa dirinya mengalami eksekusi
secara brutal oleh para ulama ortodoks yang tak menerima sisi esoterisme Islam.
Oleh kekuasaan yang telah terganggu akan ajaran-ajaranya. Al-Hallaj, tercatat
sebagai martir pertama dalam tasawuf. Ajaran-ajaran al-Hallaj banyak
mengandung kritik terhadap kekuasaan (khalifah) kala itu. Gagasan tasawufnya
memiliki roh dalam mendobrak sosial yang beku dan tidak adil.
Ujaran-ujaran ekstasenya ternyata
mampu menginspirasi pengikutnya untuk terlibat mengkritik kekuasaan. Ide-ide tasawuf
al-Hallaj, sebagai jalan kritik sosial. Mungkin al-Hallaj dalam perjumpaannya
dengan Tuhan, ia mendapatkan mandat untuk membebaskan manusia dari ketertindasan.
Menggaru kalbu manusia agar mampu memilah kebenaran dan keburukan. Menuntun manusia
menemukan jalan yang terang. Tasawuf bagi al-Hallaj bukanlah semata-mata hanya
sibuk “bercumbu” dengan Tuhan dan menafikan fakta sosial yang timpang. Tasawuf
bagi al-Hallaj adalah jalan transenden—vertikal yang memiliki implikasi
horizontal. Ajaran al-Hallaj adalah ajaran cinta sejati. Cinta yang tidak
diuraikan dengan kata-kata tapi dengan tindakan. Tindakan yang merelakan diri
mati untuk kebahagiaan orang lain. Al-Hallaj mengalami cinta dan
mengamalkannya.
“Wahai kaum Muslim, bantulah aku! Selamatkan
aku dari Allah! Wahai manusia. Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan
darahku—bunulah aku. Kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku datang
dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk (dengan menunjuk pada dirinya sendiri)
dibunuh”. Setelah itu, al-Hallaj berdoa kepada Allah seraya berkata “Ampunilah
mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka”. Ini adalah salah satu seruan
al-Hallaj yang ia sampaikan di jalan-jalan kota Baghdad, di pasar, dan di
masjid-masjid.
Konon, seruan di atas kemudian menjadi
ilham bagi orang-orang Baghdad kala itu untuk menuntut adanya perbaikan dalam
kehidupan masyarakat. Memang pada saat itu, kondisi sosial dan politik banyak menimbulkan
ketidakpuasan. Oleh karena keberpihakan dan pandangannya tentang agama, menyebabkan
dirinya berseberangan dengan kekuasaan. Kritik yang ditujukan kepada kekuasaan
berujung pada penangkapan atas dirinya. Al-Hallaj mengalami penyiksaan di
hadapan banyak orang. Dihukum di tiang gantungan dengan kaki dan tangannya
terpotong serta kepala terpenggal.
Dari tragedi al-Hallaj satu hal yang
pasti dan tak pernah diterima secara tulus oleh kukasaan yakni kritik.
Kekuasaan dalam bentang sejarah cenderung membenci kritik. Kritik selalu dipandang sebagai jalan
penghacuran bukan jalan kehidupan. Kritik seringkali dianggap sebagai bentuk
kebencian rakyat atas kekuasaanya. Padahal kritik adalah jalan meruluskan.
Jalan yang penuh dengan fakta dan argumentasi. Lain halnya dengan fitnah, ia
tanpa fakta walau kadang penuh argumentasi. Namun adalakalanya bagi kekuasaan,
kritik dianggap sebagai fitnah dan itu dijadikan argumentasi serta justfikasi
dalam memerangi para pengkritiknya.
Padahal tidakkah kritik—clitikos (Yunani) berarti “yang
membedakan”. Krites (Yunani Kuno)
“orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan
nilai”. Jalan kritik adalah upaya membedakan yang seharusnya dengan tidak
seharusnya. Kritik sejatinya memberi pendapat yang penuh alasan rasional.
Kritik esensialnya adalah memberikan nilai tentang yang benar dan salah. Kritik
adalah upaya mengungkapkan apa yang seharusnya terjadi namun tidak terjadi pada
kenyataan.
Dalam sejarah kritik, sekali lagi, ia
memang tak mudah diterima oleh orang-orang dituju kritik. Itu sebabnya kritik
tak sedikit melahirkan tragedi. Apa yang menimpa al-Hallaj, hanya salah satu
dalam fase sejarah kritik. Sebelum dan sesudahnya banyak yang tercatat.
Sepertinya memang kritik sesuatu yang halal namun haram untuk diwujudkan. Tak
hanya itu, kritik sepertinya identik dengan pengasingan, pengucilan, hingga pembunuhan.
Namun, satu hal yang juga tak terelakkan, bahwa orang-orang yang berdiri di sisi
kritik cenderung abadi. Selalu dikenang di setiap zaman. Para manusia-manusia
“besar” tidak sedikit lahir sebab menjadikan kritik sebagai jalan hidupnya.
Bahkan kehadirannya sendiri adalah kritik atas realitas yang tak seimbang.
Sebagai
akhir tulisan ini, perihal kritik Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah
membilangkan kurang lebih seperti ini, “mengkritik orang pintar, maka ia akan
mencintaimu. Namun, bila mengkritik orang bodoh, maka ia akan membencimu”.
Mungkin itulah orang-orang yang berdiiri pada ruang kritik selalu dibenci sebab
ia berhadapan dengan orang-orang bodoh. Orang bodoh yang dimaksud di sini tak
lain adalah mereka yang tak mau menerima kebenaran. Orang-orang yang tak rela melepaskan
keburukannya untuk menemui cahaya kebenaran. Orang-orang bodoh di sini bukanlah
mereka yang tak memiliki pengetahuan, justru mereka kadang kaya dengan
pengetahuan.
No comments:
Post a Comment