Saturday, September 24, 2016

Oleh: Asran Salam Di Yunani ketika filsafat mulai muncul. Filsafat hendak menjawab segala ketakjuban, tanya serta keheranan ihwal a...

Hedonisme

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Di Yunani ketika filsafat mulai muncul. Filsafat hendak menjawab segala ketakjuban, tanya serta keheranan ihwal asal muasal semesta. Kosmosentris demikian ciri awal filsafat khususnya pada tradisi mazhab milesian. Milesian merujuk pada daerah Miletus di Asia Kecil tempat kelahiran Thales. Selanjutnya, kelahiran Socrates disinyalir awal perubahan arah pembicaraan filsafat menjadi antroposenteris—terpusat pada manusia. Ia mulai merenungi perihal hakikat dan tujuan hidup. “Hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak layak dijalani” demikian kredo Socrates yang terkenal.

Di masa Socrates, filsafat menjadi jalan bagaimana manusia memahami hidupnya dan kehidupannya. Memahami hakikat manusia dan kemanusiaannya dengan bahasa sederhana. Pada tahap ini, filsafat banyak menyoal etik manusia. Filsafat menjadi “praktis” untuk menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari manusia. Filsafat tidak rumit dengan istilah-istilah. Konon filsafat menjadi rumit dengan istilah-istilah di era modern. Imanuel Kant dianggap sebagai orang yang pertama merumitkan filsafat dengan ragam istilah.


Aliran hedonisme, salah satu filsafat yang masih mengikuti pola Socrates. Masih berbicara kehidupan yang terbaik bagi manusia. Hedonisme berasal dari bahasa yunani hedone yang berarti kesenangan. Bagi penganut aliran ini, hendak menjawab pertanyaan tentang apa yang terbaik bagi hidup manusia. Bagi mereka, mencari dan mengejar kesenangan yang terbaik. Tentu tidak sesederhana itu. Permulaan hedonisme sejak zaman Aristippos salah satu murid Socrates. Kemudian dilanjutkan oleh Epikurus walau ada beberapa perbedaan.

Aristippos lahir pada tahun 433-355 SM di Kyrene, Afrika Utara. Baginya, kesenangan itu badani, aktual dan indiviudal. Kesenangan badani adalah hakikat kesenangan yang dilandasi oleh gerak dalam badan. Gerak badan memiliki tiga bentuk. Gerak kasar (ketidaksenangan), gerak halus (kesenangan) dan gerak netral (tidur). Kesenangan itu aktual—tak terikat oleh masa lalu dan masa depan. Tapi kesenangan kini dan di sini. Pandangan hedonisme sesuai dengan epistemiknya bahwa pengetahuan harus punya kegunaan praktis. Rasio ditekankan untuk mencapai kesenangan.

Walau Aristippos menilai hakikat hidup adalah kesenangan tetapi, katanya, kita tetap perlu mengendalikan diri. Baginya mengendalikan diri bukan berarti meninggalkan kesenangan. Tugas seorag bijak bukan dikuasai oleh kenikmatan tapi menguasainya. Aristippos melihat bahwa yang terpenting kesenangan harus dibatasi pada suatu yang diperoleh dengan mudah. Dan, tidak mengusahakan kesenangan susah payah dan kerja keras. Gagasan ini, sungguh jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Antithenes. Antithenes mengatakan bahwa manusia melepaskan diri dari segala sesuatu. Tak ada sesuatupun yang boleh menjadikannya bersenang-senang. Yang terbaik bagi hidup ketika tidak memiliki segalanya.

Epikurus sosok selanjutnya yang berpandangan hedonis. Epikurus lahir tahun 341-270 SM. Terjadi simpan siur tempat kelahirannya yakni antara Simon dan Attika. Tidak ada yang tahu pasti. Akunya, filsafatnya menjamin kebahagian manusia: kenikmatan. Dakunya, kodrat alamiah manusia adalah mencari kesenangan. Segala yang apa yang baik adalah yang mendatangkan kenikmatan. Sedang segala yang buruk adalah yang mendatangkan ketidaknikmatan. Tuturnya, kenikmatan itu ada yang aktif dan pasif. Dinamis dan statis. Kenikmatan dinamis, ialah orang mencapai tujuan yang sebelumnya diinginkannya dengan rasa sakit. Kenikmatan statis, berupa keadaan seimbang. Suatu kenikmatan yang tak perlu merasakan rasa sakit. Baginya, kita perlu memburu kesenangan yang kedua.

Dalam hal keinginan, Epikurus membagi tiga jenis keinginan: keinginan yang perlu (misalkan makan) keinginan alamiah yang tidak perlu (makan enak), dan keinginan yang sia-sia (misalkan kekayaan). Hanya jenis pertama yang perlu dipuaskan. Pemuasan pun harus terbatas untuk menghasilkan kesenangan yang paling besar. Epikurus sangat menekankan kebijaksanaan. Dakunya, orang bijak adalah seniman hidup. Mereka tidak semua mereguk segala kenikmatan. Mereka memilih kenikmatan yang lama—tak sementara. Kebahagiaan bukanlah merasakan nikmat sesaat melainkan yang bertahan seumur hidup. Katanya, nikmat yang berlebihan biasanya akan menimbulkan rasa sakit. Pengendalian diri amatlah penting. Mestilah puas hidup sederhana. 

Antara Aristippos dan Epikurus walau sama-sama berpandangan hedonis, tetapi mereka berdua tetap memiliki perbedaan. Aristippos lebih mementingkan kenikmatan badania (jasmani) dan harus aktual—kini dan di sini. Sedang bagi Epikurus, tak hanya jasmani namun yang lebih penting dan luhur adalah runahi (jiwa). Dan tidak hanya aktual akan tetapi meliputi segalanya: masa lalu dan akan datang.

Lalu melihat gagasan hedonisme ini, masihkah kaum hedonis sekarang ini seperti para penggagasnya? Tidakkah hedonisme sekarang sungguh negatif. Hidup hedon dalam dunia modern sama dengan hura-hura. Berpesta pora tanpa tujuan jelas selain pemenuan hasrat. Tanpa beban aturan. Tanpa tanggung jawab. Tanpa tujuan hidup yang jelas. Berkumpul tidak karuan. Bersenang dengan pacar dan tidak mau meperjuangkan nilai-nilai kebaikan. Tak peduli pada realitas sosial. Barangkali hedonisme sekarang bermaksud memperoleh ketenangan seperti Epikurus akan tetapi tergelincir mengikuti Aristippos. Memburu kesenangan sesaat dan jasmaniah. Hedonisme sekarang, barangkali tidak salah bila dikatakan sebagai hedonisme tak bijak.

Walau hedonisme tak senegatif sekarang, tak seburuk saat ini. Walau hedonisme banyak menyumbang terhadap etika tetapi secara filosofis kita tetap perlu memberi beberapa tanya kepadanya. Tanya yang mungkin di sana kita bisa menemukan bahwa hedonisme menyimpan cacat. Memiliki titik lemah yang memestikan tak sepenuh mengikutinya atau perlu menghindarinya. Sebagaimana asumsi dasar dari hedonisme bahwa manusia senantiasa mengejar kesenangan, apakah memang manusia selalu mencari kesenangan? Bila tidak mencari kesenangan masikah kita bersifat manusia? Benarkah segala yang dianggap baik segala yang disenangi? Apakah kesenangan sudah otomatis baik?

No comments:

Post a Comment