Oleh: Asran Salam
Di Yunani ketika filsafat mulai
muncul. Filsafat hendak menjawab segala ketakjuban, tanya serta keheranan ihwal
asal muasal semesta. Kosmosentris demikian ciri awal filsafat khususnya pada
tradisi mazhab milesian. Milesian merujuk pada daerah Miletus di Asia Kecil
tempat kelahiran Thales. Selanjutnya, kelahiran Socrates disinyalir awal
perubahan arah pembicaraan filsafat menjadi antroposenteris—terpusat pada
manusia. Ia mulai merenungi perihal hakikat dan tujuan hidup. “Hidup yang tak
direnungi adalah hidup yang tak layak dijalani” demikian kredo Socrates yang
terkenal.
Di masa Socrates, filsafat
menjadi jalan bagaimana manusia memahami hidupnya dan kehidupannya. Memahami
hakikat manusia dan kemanusiaannya dengan bahasa sederhana. Pada tahap ini,
filsafat banyak menyoal etik manusia. Filsafat menjadi “praktis” untuk
menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari manusia. Filsafat tidak rumit dengan
istilah-istilah. Konon filsafat menjadi rumit dengan istilah-istilah di era
modern. Imanuel Kant dianggap sebagai orang yang pertama merumitkan filsafat
dengan ragam istilah.
Aliran hedonisme, salah satu
filsafat yang masih mengikuti pola Socrates. Masih berbicara kehidupan yang
terbaik bagi manusia. Hedonisme berasal dari bahasa yunani hedone yang berarti kesenangan. Bagi penganut aliran ini, hendak
menjawab pertanyaan tentang apa yang terbaik bagi hidup manusia. Bagi mereka,
mencari dan mengejar kesenangan yang terbaik. Tentu tidak sesederhana itu. Permulaan
hedonisme sejak zaman Aristippos salah satu murid Socrates. Kemudian
dilanjutkan oleh Epikurus walau ada beberapa perbedaan.
Aristippos lahir pada tahun 433-355
SM di Kyrene, Afrika Utara. Baginya, kesenangan itu badani, aktual dan
indiviudal. Kesenangan badani adalah hakikat kesenangan yang dilandasi oleh
gerak dalam badan. Gerak badan memiliki tiga bentuk. Gerak kasar
(ketidaksenangan), gerak halus (kesenangan) dan gerak netral (tidur). Kesenangan
itu aktual—tak terikat oleh masa lalu dan masa depan. Tapi kesenangan kini dan
di sini. Pandangan hedonisme sesuai dengan epistemiknya bahwa pengetahuan harus
punya kegunaan praktis. Rasio ditekankan untuk mencapai kesenangan.
Walau Aristippos menilai hakikat
hidup adalah kesenangan tetapi, katanya, kita tetap perlu mengendalikan diri.
Baginya mengendalikan diri bukan berarti meninggalkan kesenangan. Tugas seorag
bijak bukan dikuasai oleh kenikmatan tapi menguasainya. Aristippos melihat
bahwa yang terpenting kesenangan harus dibatasi pada suatu yang diperoleh
dengan mudah. Dan, tidak mengusahakan kesenangan susah payah dan kerja keras.
Gagasan ini, sungguh jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Antithenes.
Antithenes mengatakan bahwa manusia melepaskan diri dari segala sesuatu. Tak
ada sesuatupun yang boleh menjadikannya bersenang-senang. Yang terbaik bagi
hidup ketika tidak memiliki segalanya.
Epikurus sosok selanjutnya yang
berpandangan hedonis. Epikurus lahir tahun 341-270 SM. Terjadi simpan siur
tempat kelahirannya yakni antara Simon dan Attika. Tidak ada yang tahu pasti. Akunya,
filsafatnya menjamin kebahagian manusia: kenikmatan. Dakunya, kodrat alamiah
manusia adalah mencari kesenangan. Segala yang apa yang baik adalah yang
mendatangkan kenikmatan. Sedang segala yang buruk adalah yang mendatangkan
ketidaknikmatan. Tuturnya, kenikmatan itu ada yang aktif dan pasif. Dinamis dan
statis. Kenikmatan dinamis, ialah orang mencapai tujuan yang sebelumnya
diinginkannya dengan rasa sakit. Kenikmatan statis, berupa keadaan seimbang.
Suatu kenikmatan yang tak perlu merasakan rasa sakit. Baginya, kita perlu
memburu kesenangan yang kedua.
Dalam hal keinginan, Epikurus
membagi tiga jenis keinginan: keinginan yang perlu (misalkan makan) keinginan
alamiah yang tidak perlu (makan enak), dan keinginan yang sia-sia (misalkan
kekayaan). Hanya jenis pertama yang perlu dipuaskan. Pemuasan pun harus
terbatas untuk menghasilkan kesenangan yang paling besar. Epikurus sangat
menekankan kebijaksanaan. Dakunya, orang bijak adalah seniman hidup. Mereka
tidak semua mereguk segala kenikmatan. Mereka memilih kenikmatan yang lama—tak
sementara. Kebahagiaan bukanlah merasakan nikmat sesaat melainkan yang bertahan
seumur hidup. Katanya, nikmat yang berlebihan biasanya akan menimbulkan rasa
sakit. Pengendalian diri amatlah penting. Mestilah puas hidup sederhana.
Antara Aristippos dan Epikurus
walau sama-sama berpandangan hedonis, tetapi mereka berdua tetap memiliki
perbedaan. Aristippos lebih mementingkan kenikmatan badania (jasmani) dan harus
aktual—kini dan di sini. Sedang bagi Epikurus, tak hanya jasmani namun yang
lebih penting dan luhur adalah runahi (jiwa). Dan tidak hanya aktual akan
tetapi meliputi segalanya: masa lalu dan akan datang.
Lalu melihat gagasan hedonisme
ini, masihkah kaum hedonis sekarang ini seperti para penggagasnya? Tidakkah
hedonisme sekarang sungguh negatif. Hidup hedon dalam dunia modern sama dengan
hura-hura. Berpesta pora tanpa tujuan jelas selain pemenuan hasrat. Tanpa beban
aturan. Tanpa tanggung jawab. Tanpa tujuan hidup yang jelas. Berkumpul tidak
karuan. Bersenang dengan pacar dan tidak mau meperjuangkan nilai-nilai
kebaikan. Tak peduli pada realitas sosial. Barangkali hedonisme sekarang
bermaksud memperoleh ketenangan seperti Epikurus akan tetapi tergelincir
mengikuti Aristippos. Memburu kesenangan sesaat dan jasmaniah. Hedonisme
sekarang, barangkali tidak salah bila dikatakan sebagai hedonisme tak bijak.
Walau hedonisme tak senegatif sekarang, tak seburuk
saat ini. Walau hedonisme banyak menyumbang terhadap etika tetapi secara
filosofis kita tetap perlu memberi beberapa tanya kepadanya. Tanya yang mungkin
di sana kita bisa menemukan bahwa hedonisme menyimpan cacat. Memiliki titik
lemah yang memestikan tak sepenuh mengikutinya atau perlu menghindarinya. Sebagaimana
asumsi dasar dari hedonisme bahwa manusia senantiasa mengejar kesenangan,
apakah memang manusia selalu mencari kesenangan? Bila tidak mencari kesenangan
masikah kita bersifat manusia? Benarkah segala yang dianggap baik segala yang
disenangi? Apakah kesenangan sudah otomatis baik?
No comments:
Post a Comment