Thursday, May 26, 2016

Oleh: Asran Salam “Aku heran melihat manusia sibuk mencari diri di luar dari dirinya” —Sayidina   Ali Bin Abi Thalib— “Saya m...

Diogenes dan Metafora Kemanusiaan

No comments:
 


Oleh: Asran Salam


“Aku heran melihat manusia sibuk mencari diri di luar dari dirinya”
—Sayidina  Ali Bin Abi Thalib—
“Saya menginginkan kebebasan perasaan ketimbang kenikmatan”
—Anthitenes—

Yunani klasik di era para filosof, sungguh kaya kearifan. Ia seperti sumur dengan mata air yang tak akan habis ditimbah. Ia akan selalu saja bisa memenuhi dahaga manusia yang haus kebijaksanaan. Di sana—Yunani klasik—berseliweran ragam sudut pandang ihwal apa saja—termasuk sudut pandang tentang manusia. Di sana metafora hidup manusia dengan segala kemajuannya digambarkan kadangkala dengan sinis dan satire.

Salah satu kearifan yang bisa ditemui pada Yunani klasik yakni pada pikiran-pikiran Diogenes. Deogenes yang berasal dari Sinope lahir kira-kira 400 SM. Ia merupakan peletak dasar sekolah Sinisme. Tak banyak diketahui tentangnya, selain dari tulisan-tulisan pengikutnya yang setia mengabadikan perjalaan hidup dan pikirinya. Diceritakan Diogenes, melakukan perjalanan dari tempat kelahirannya—Sinope—ke Athena. Dalam perjalanan itu, ia menarik banyak perhatian orang. Sebab, pandangan dan tindakannya sungguh radikal dengan melepaskan seluruh harta duniawinya satu per satu. Tuturnya, “pikiran manusia harus bebas dalam menemukan kebijaksanaan. Ia akan dicapai dengan mengabaikan kekayaan, pangkat, hak istimewa, dan kesepakatan manusia lainya”.

Tak hanya cerita di atas. Suatu momen Diogenes, berlari mengelilingi pasar dengan obor di tangan, dengan suara lantang ia berteriak. Teriakannya ditujukan kepada seluru pengunjung pasar. “Mana manusia?” Demikian teriaknya. Ini tentunya bukan teriakan biasa. Ini bukan pula pencarian sederhana. Teriakan Diogenes ini mengandung keluh. Ada suatu berharga telah lenyap dan sirna dan itu sangat mengakhwatirkannya. Tak ada jalan lain untuk mengembalikannya selain mencarinya. Ini semacam seruan kepada orang-orang pasar untuk mencari dan menemukanya. Tapi pencarian itu bukanlah di luar diri manusia akan tetapi berada dalam diri manusia itu sendiri.

Dakunya, dengan perkembangan zaman telah menyebabkan manusia menjadi individualis dan egois. Dan, inilah membuat manusia begitu rakus dan selalu ingin tampil berbeda. Selalu ingin merasa yang terbaik dan benar dalam segala hal. Sikap egois dan individualis, membuat hal sublim hilang dari manusia. Kemanusian menjadi dangkal dan kering. Manusia akhirnya penuh dengan kebohongan dan kepuraa-puraan. Dan, inilah sesarinya kerisauan Diogenes terhadap manusia melalui teriak dan pencarianya “mana manusia?” yang sangat menganjurkan hidup jujur dan alami.

Ihwal ketakjujuran dan kepalsuan (kebohongan) umum dilakukan manusia termasuk para pemimpin, Diogenes suatu waktu membuat kritik dalam bentuk metafora. Ia menciptakan uang palsu (dengan itu ia dipenjara oleh penguasa kala itu). Pada uang palsu yang dibuatnya, ia menggantikan tanda-tanda mata uangnya. Baginya, semua mata uang mencerminkan kepalsuan. Gambar-gambarnya, hanya menunjukkan panglima perang dan raja-raja. Inskripsi-inskripsinya merupakan pembohongan terhadap kehormatan. Merupakan dusta terhadap kearifan. Bentuk penghinaan pada kebahagiaan. Wujud kepalsuan dari kekayaan. Dan ironainya, manusia dengan senang hati memujanya. Melabukan segala harapan padanya. Ini pula membuat manusia rela keluar meninggalkan dirinya. Melupakan kesajatian hidupnya. Rela mencemari azalinya.  

Intinya segala metafora Diogenes ihwal manusia, mensyaratkan refleksi kepada manusia. Tentunya tidak hanya manusia di zamanya. Tetapi juga di zaman kita saat ini. Sesarinya, ada relevansi yang erat dari segala metafora Diogenes dengan kehidupan kita pada modern ini. Zaman yang kita mafhum kedalaman kemanusian mulai memilukan. Sikap kerelaan sangat sulit ditemukan. Nilai kemanusiaan lebih banyak diukur dengan nilai tukar. Teknologi yang canggih dengan segala imaji kemudahannya lebih banyak mendangkalkan kemanusiaan. Dengan teknologi memang sepertinya kita dekat tapi, sisi keintiman  tak menjadi bingkainya.

Modern memang meriah dengan perayaan. Namun, tak berimplikasi pada perayaan nilai-nilai kemanusiaan. Jika toh perayaan kemanusiaan itu ada, ia menjadi pinggiran. Berada di sudut-sudut remang. Kiranya ia berjalan tentu sangat lamban. Lain halnya dengan segala bentuk manipulasi, ia begitu cepat berlari. Lihat saja dalam kekuasaan, praktek korupsi begitu laju meninggalkan beberapa langkah para pemberangusnya. Tengok saja sosial kita, miskin dan kaya begitu menganga. Konflik tanah di mana-mana hingga menelan korban. Pendidikan kadangkala masih mempertontonkan kekerasan. Media masih sibuk dengan beragam rekayasa faktanya. “Agama” tak juga kunjung memberi solusi malah sebalikya tak sedikit ia menjadi sumber bencana. Kasus-kasus kekerasan terhadap orang atau kelompok tertentu tidak sedikit—lebih tepatnya pahaman—agama menjadi pemicunya.


Sekali lagi, segala metafora Diogenes, di sana mengisyaratkan permenungan. Obor yang dibawa Diogenes di siang hari adalah metafora tentang adanya yang gelap dalam kemanusiaan kita. Pembuatan uang palsu merupakan kiasan akan hidup yang tak lagi normal. Tak sebagaimana mestinya. Teriakan Diogenes, “mana manusia?” Hal yang paling penting untuk direnungkan. Mana manusia? Adalah tanya di mana jawaban tak mudah ditemukan. Ia memerlukan keheningan dan kejernian. Pelucutan kekayaanya satu per satu adalah interupsi terhadap pola dan gaya hidup yang glamor serta mewah. Menjadi arif tidak dengan segalanya akan tetapi tanpa segalanya kira-kira begitu pesan ingin dituturkan kepada manusia yang hilang kedirianya.
 



No comments:

Post a Comment