Oleh: Asran Salam
“Aku heran melihat manusia sibuk mencari
diri di luar dari dirinya”
—Sayidina Ali Bin Abi Thalib—
“Saya menginginkan kebebasan perasaan
ketimbang kenikmatan”
—Anthitenes—
Yunani klasik di era para filosof, sungguh kaya kearifan. Ia seperti sumur dengan mata air yang tak akan habis ditimbah. Ia akan selalu saja bisa memenuhi dahaga manusia yang haus kebijaksanaan. Di sana—Yunani klasik—berseliweran ragam sudut pandang ihwal apa saja—termasuk sudut pandang tentang manusia. Di sana metafora hidup manusia dengan segala kemajuannya digambarkan kadangkala dengan sinis dan satire.
Salah satu
kearifan yang bisa ditemui pada Yunani klasik yakni pada pikiran-pikiran Diogenes.
Deogenes yang berasal dari Sinope lahir kira-kira 400 SM. Ia merupakan peletak
dasar sekolah Sinisme. Tak banyak diketahui tentangnya, selain dari
tulisan-tulisan pengikutnya yang setia mengabadikan perjalaan hidup dan
pikirinya. Diceritakan Diogenes, melakukan perjalanan dari tempat kelahirannya—Sinope—ke
Athena. Dalam perjalanan itu, ia menarik banyak perhatian orang. Sebab, pandangan
dan tindakannya sungguh radikal dengan melepaskan seluruh harta duniawinya satu
per satu. Tuturnya, “pikiran manusia harus bebas dalam menemukan kebijaksanaan.
Ia akan dicapai dengan mengabaikan kekayaan, pangkat, hak istimewa, dan
kesepakatan manusia lainya”.
Tak hanya
cerita di atas. Suatu momen Diogenes, berlari mengelilingi pasar dengan obor di
tangan, dengan suara lantang ia berteriak. Teriakannya ditujukan kepada
seluru pengunjung pasar. “Mana manusia?” Demikian teriaknya. Ini tentunya bukan
teriakan biasa. Ini bukan pula pencarian sederhana. Teriakan Diogenes ini mengandung
keluh. Ada suatu berharga telah lenyap dan sirna dan itu sangat
mengakhwatirkannya. Tak ada jalan lain untuk mengembalikannya selain mencarinya. Ini
semacam seruan kepada orang-orang pasar untuk mencari dan menemukanya. Tapi
pencarian itu bukanlah di luar diri manusia akan tetapi berada dalam diri
manusia itu sendiri.
Dakunya, dengan
perkembangan zaman telah menyebabkan manusia menjadi individualis dan egois. Dan,
inilah membuat manusia begitu rakus dan selalu ingin tampil berbeda. Selalu
ingin merasa yang terbaik dan benar dalam segala hal. Sikap egois dan
individualis, membuat hal sublim
hilang dari manusia. Kemanusian menjadi dangkal dan kering. Manusia akhirnya
penuh dengan kebohongan dan kepuraa-puraan. Dan, inilah sesarinya kerisauan Diogenes
terhadap manusia melalui teriak dan pencarianya “mana manusia?” yang sangat
menganjurkan hidup jujur dan alami.
Ihwal
ketakjujuran dan kepalsuan (kebohongan) umum dilakukan manusia termasuk para
pemimpin, Diogenes suatu waktu membuat kritik dalam bentuk metafora. Ia menciptakan
uang palsu (dengan itu ia dipenjara oleh penguasa kala itu). Pada uang palsu
yang dibuatnya, ia menggantikan tanda-tanda mata uangnya. Baginya, semua mata
uang mencerminkan kepalsuan. Gambar-gambarnya, hanya menunjukkan panglima perang
dan raja-raja. Inskripsi-inskripsinya merupakan pembohongan terhadap
kehormatan. Merupakan dusta terhadap kearifan. Bentuk penghinaan pada
kebahagiaan. Wujud kepalsuan dari kekayaan. Dan ironainya, manusia dengan
senang hati memujanya. Melabukan segala harapan padanya. Ini pula membuat
manusia rela keluar meninggalkan dirinya. Melupakan kesajatian hidupnya. Rela mencemari
azalinya.
Intinya segala
metafora Diogenes ihwal manusia, mensyaratkan refleksi kepada manusia. Tentunya
tidak hanya manusia di zamanya. Tetapi juga di zaman kita saat ini. Sesarinya,
ada relevansi yang erat dari segala metafora Diogenes dengan kehidupan kita pada
modern ini. Zaman yang kita mafhum kedalaman kemanusian mulai memilukan. Sikap kerelaan
sangat sulit ditemukan. Nilai kemanusiaan lebih banyak diukur dengan nilai
tukar. Teknologi yang canggih dengan segala imaji kemudahannya lebih banyak
mendangkalkan kemanusiaan. Dengan teknologi memang sepertinya kita dekat tapi,
sisi keintiman tak menjadi bingkainya.
Modern memang
meriah dengan perayaan. Namun, tak berimplikasi pada perayaan nilai-nilai
kemanusiaan. Jika toh perayaan kemanusiaan itu ada, ia menjadi pinggiran. Berada
di sudut-sudut remang. Kiranya ia berjalan tentu sangat lamban. Lain halnya
dengan segala bentuk manipulasi, ia begitu cepat berlari. Lihat saja dalam
kekuasaan, praktek korupsi begitu laju meninggalkan beberapa langkah para
pemberangusnya. Tengok saja sosial kita, miskin dan kaya begitu menganga. Konflik
tanah di mana-mana hingga menelan korban. Pendidikan kadangkala masih
mempertontonkan kekerasan. Media masih sibuk dengan beragam rekayasa faktanya. “Agama”
tak juga kunjung memberi solusi malah sebalikya tak sedikit ia menjadi sumber
bencana. Kasus-kasus kekerasan terhadap orang atau kelompok tertentu tidak
sedikit—lebih tepatnya pahaman—agama menjadi pemicunya.
Sekali lagi,
segala metafora Diogenes, di sana mengisyaratkan permenungan. Obor yang dibawa Diogenes
di siang hari adalah metafora tentang adanya yang gelap dalam kemanusiaan kita.
Pembuatan uang palsu merupakan kiasan akan hidup yang tak lagi normal. Tak sebagaimana
mestinya. Teriakan Diogenes, “mana manusia?” Hal yang paling penting untuk
direnungkan. Mana manusia? Adalah tanya di mana jawaban tak mudah ditemukan. Ia
memerlukan keheningan dan kejernian. Pelucutan kekayaanya satu per satu adalah
interupsi terhadap pola dan gaya hidup yang glamor serta mewah. Menjadi arif
tidak dengan segalanya akan tetapi tanpa segalanya kira-kira begitu pesan ingin
dituturkan kepada manusia yang hilang kedirianya.
No comments:
Post a Comment