Oleh: Asran Salam
Barangkali kita semua tahu siapa Karen Armstrong. Ia
seorang pemikir yang konsen mengkaji tradisi agama-agama. Pada tahun 1960-an,
selama tujuh tahun Karen Amstorng, pernah menjadi biarawati Katolik Roma. Karen
Amstrong sudah banyak melahirkan karya. Salah satunya, tahun 2009, Amstrong
menerbitkan buku; The Case For God: What
Religion Really Means. Kemudian Mei 2011, buku tersebut diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan judul; Masa Depan
Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme.
Di pengantar buku itu, Amstrong sedikit mengulas
perihal mythos (mitos). Dakunya,
kebudayaan pramodern memiliki dua cara berpikir, berbicara, dan memeroleh
pengetahuan; myhtos dan logos. Kedua cara ini, tak ada yang
lebih unggul dari yang lainnya—saling melengkapi. Logos, merupakan “kekuatan” dimiliki oleh manusia agar ia berfungsi
secara efektif di dunia. Pada logos,
memberi kemampuan pada manusia untuk mengatur dirinya secara sosial. Logos penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Namun, kata Amstrong, logos
memiliki keterbatasan. Ia tak dapat melipur kesedihan. Ia tak dapat menemukan
makna tertinggi dari perjuangan hidup. Pada keterbatasan itu, di situlah manusia
butuh mythos.
Mythos, jamaknya
mythoi, berasal dari kata kerja muein (Yunani) berarti menutup mata atau
mulut. Mythos, sebuah cerita yang
tidak dimaksudkan sebagai kisah historis dan faktual. Ia adalah ungkapan
simbolis kenyataan dengan menggunakan gambaran-gambaran, kisah-kisah ahistoris,
dan lukisan-lukisan. Mythos, memiliki
akar kata sama dengan musterion (misteri).
Misteri sejatinya sebuah realitas yang tak “jelas”. Tak nampak dari pandangan
biasa. Realitas yang tak tersentuh dengan kata-kata—tak terbahasakan. Dengan
itu, mythos juga memiliki kaitan dengan
apa yang kita disebut dengan mystes (mistis)
yang memiliki konotasi “kegelapan” dan keheningan. Selain itu, ia merujuk pada
pengalaman dan keyakinan yang tak dapat dimasukkan dalam kata-kata—jangkauan logos. Ia sungguh berbeda dengan
kebiasan berpikir praktis atau realitas sehari-hari. Dengan demikian, suatu mythos, sejatinya adalah musterion
dan ia sudah pasti mystes.
Sebuah mythos
membutuhkan ritus untuk ia diterima dan dipahami. Sebab, tanpa ritus, mythos menjadi suatu yang tak masuk
akal. Ia akan seperti not musik yang tidak akan kita ketahui dan pahami ataupun
dinikmati, sebelum ditafsirkan melalui alat musik. Tanpa ritus, mythos akan tetap menjadi gelap dan selamanya
tak pernah terang. Ritus pada mythos merupakan
aksi yang sejatinya “mengundang” agar ia jelas dalam diri manusia. Agar ia
dapat dimaknai dan diterima kebenarannya. Pada aksi ritus itu, mythos menjadi nampak terlihat dengan gamblang.
Tentunya dengan penglihatan yang tak biasa. Ritus semacam amalan yang setia
dilakukan. Konsisten tanpa putus. Dengan itu, mythos menjadi inisiasi, dan memang perlu untuk diinisiasikan agar ia terang. Dalam praktek-praktek ritus itu, di situlah upaya mythos diuangkap. Dan pada proses
pengungkapan itu, mythos kemudian
akan membentuk etika manusia—tentunya etika yang luhur.
Tapi hari ini, dalam dunia modern, kita tahu,
merupakan zaman yang segalanya harus mampu dijelaskan dalam kerangka rasional
(nalar ilmiah)—di luar itu, suatu hal yang tak dapat kita terima. Apapun itu,
dalam dunia modern tidak boleh ada yang lepas dari ruang ilmiah untuk ia
disebut benar. Modern zaman yang dimulai abad ke-16 dan ke-17 itu, mengandung
semangat objektivisme dalam bentuk yang baru. Objektivisme hidup manusia tidak
lagi “diikatkan” pada objek yang metafisik seperti pada abad pertengahan.
Kehadiran Rene Descartes dan Imanuel Kant, dalam ranah pemikiran membelokkan
objektivitas itu pada subjek manusia sendiri. Kemudian puncaknya, objektif
menjadi terbatas pada aspek indrawi—materil—oleh paradigma positivistik ala
August Comte dan pelanjutnya.
Dengan kondisi itu, dunia modern benar-benar bersih
dari hirup-pikuk mythos yang mana, jauh
pada zaman sebelumnya diterima dan dirayakan sebagai pelengkap logos. Mythos tak lagi diterima sebagai upaya untuk membantu manusia hidup
secara kreatif pada dunia yang kadang membingungkan. Dalam dunia modern, dengan
logos ilmiahnya, mythos menjadi jatuh dalam kehinaan. Mythos dianggap sebagai penghambat kemajuan zaman. Mythos seperti barang menjijikkan yang
harus disingkirkan dari kehidupan manusia modern.
Dan efek paling ironi, dari semangat modern ini,
hal-hal yang besifat ketuhanan (teologis) pula mulai mengadopsi kriteria sains.
Agama juga diupayakan dan cenderung dipaksakan untuk dirasionalkan dalam
kerangka ilmiah. Bahkan agama yang tidak rasional (ilmiah) sulit untuk
diterima. Ritus-ritus agama yang unlogikal
(tak masuk akal) tak diberi ruang. Ia dianggap bid’ah. Fenomena tafsiran
rasional (ilmiah) pada agama di dunia modern ini, bagi Karen Amstrong hanya
akan melahirkan dua model; fundamentalisme dan ateisme. Keduanya saling terkait
dan terikat pada logos ilmiah.
Bagi Amstrong, fundamentalisme berupaya menjelaskan
segala dimensi agama dengan konsep ilmiah (bahwa agama itu ilmiah). Atesime memang
sedari awal menolak agama (Tuhan) dengan alasan agama memang tidak ilmiah dan
sulit untuk diterima. Pada prinsipnya, kedua-duanya menolak yang mythos. Dan penolakan pada yang mythos, sejatinya ujar Amstrong, akan
melahirkan hidup yang kering-kerontang. Agama tanpa mythos, maka agama itu, akan kering dan akan terjebak pada
fundamentalisme. Agama tanpa mythos,
ia akan memiliki kemungkinan tampil beringas, keras, dan kakuh. Pada acuan ini,
mungkin wajah agama yang beringas sekarang ini, bisa dikatakan menolak
atau tak menerima mythos. Mereka yang
keras dan kakuh dalam beragama, barangkali tidak menempatkan mythos sebagai aspek lain dari agama yang mesti dirayakan dengan ritus. Dengan
amalan tanpa putus. Dan juga tentunya dengan kesungguhan.
Salam
Literasi
Long Life
Literasi
No comments:
Post a Comment