Wednesday, May 11, 2016

Oleh: Asran Salam Barangkali kita semua tahu siapa Karen Armstrong. Ia seorang pemikir yang konsen mengkaji tradisi agama-agama. Pa...

Tragedi Mythos

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Barangkali kita semua tahu siapa Karen Armstrong. Ia seorang pemikir yang konsen mengkaji tradisi agama-agama. Pada tahun 1960-an, selama tujuh tahun Karen Amstorng, pernah menjadi biarawati Katolik Roma. Karen Amstrong sudah banyak melahirkan karya. Salah satunya, tahun 2009, Amstrong menerbitkan buku; The Case For God: What Religion Really Means. Kemudian Mei 2011, buku tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul; Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. 

Di pengantar buku itu, Amstrong sedikit mengulas perihal mythos (mitos). Dakunya, kebudayaan pramodern memiliki dua cara berpikir, berbicara, dan memeroleh pengetahuan; myhtos dan logos. Kedua cara ini, tak ada yang lebih unggul dari yang lainnya—saling melengkapi. Logos, merupakan “kekuatan” dimiliki oleh manusia agar ia berfungsi secara efektif di dunia. Pada logos, memberi kemampuan pada manusia untuk mengatur dirinya secara sosial. Logos penting untuk kelangsungan hidup manusia. Namun, kata Amstrong, logos memiliki keterbatasan. Ia tak dapat melipur kesedihan. Ia tak dapat menemukan makna tertinggi dari perjuangan hidup. Pada keterbatasan itu, di situlah manusia butuh mythos.


Mythos, jamaknya mythoi, berasal dari kata kerja muein (Yunani) berarti menutup mata atau mulut. Mythos, sebuah cerita yang tidak dimaksudkan sebagai kisah historis dan faktual. Ia adalah ungkapan simbolis kenyataan dengan menggunakan gambaran-gambaran, kisah-kisah ahistoris, dan lukisan-lukisan. Mythos, memiliki akar kata sama dengan musterion (misteri). Misteri sejatinya sebuah realitas yang tak “jelas”. Tak nampak dari pandangan biasa. Realitas yang tak tersentuh dengan kata-kata—tak terbahasakan. Dengan itu, mythos juga memiliki kaitan dengan apa yang kita disebut dengan mystes (mistis) yang memiliki konotasi “kegelapan” dan keheningan. Selain itu, ia merujuk pada pengalaman dan keyakinan yang tak dapat dimasukkan dalam kata-kata—jangkauan logos. Ia sungguh berbeda dengan kebiasan berpikir praktis atau realitas sehari-hari. Dengan demikian, suatu mythos, sejatinya adalah musterion dan ia sudah pasti mystes.

Sebuah mythos membutuhkan ritus untuk ia diterima dan dipahami. Sebab, tanpa ritus, mythos menjadi suatu yang tak masuk akal. Ia akan seperti not musik yang tidak akan kita ketahui dan pahami ataupun dinikmati, sebelum ditafsirkan melalui alat musik. Tanpa ritus, mythos akan tetap menjadi gelap dan selamanya tak pernah terang. Ritus pada mythos merupakan aksi yang sejatinya “mengundang” agar ia jelas dalam diri manusia. Agar ia dapat dimaknai dan diterima kebenarannya. Pada aksi ritus itu, mythos menjadi nampak terlihat dengan gamblang. Tentunya dengan penglihatan yang tak biasa. Ritus semacam amalan yang setia dilakukan. Konsisten tanpa putus. Dengan itu, mythos menjadi inisiasi, dan memang perlu untuk diinisiasikan agar ia terang. Dalam praktek-praktek ritus itu, di situlah upaya mythos diuangkap. Dan pada proses pengungkapan itu, mythos kemudian akan membentuk etika manusia—tentunya etika yang luhur. 

Tapi hari ini, dalam dunia modern, kita tahu, merupakan zaman yang segalanya harus mampu dijelaskan dalam kerangka rasional (nalar ilmiah)—di luar itu, suatu hal yang tak dapat kita terima. Apapun itu, dalam dunia modern tidak boleh ada yang lepas dari ruang ilmiah untuk ia disebut benar. Modern zaman yang dimulai abad ke-16 dan ke-17 itu, mengandung semangat objektivisme dalam bentuk yang baru. Objektivisme hidup manusia tidak lagi “diikatkan” pada objek yang metafisik seperti pada abad pertengahan. Kehadiran Rene Descartes dan Imanuel Kant, dalam ranah pemikiran membelokkan objektivitas itu pada subjek manusia sendiri. Kemudian puncaknya, objektif menjadi terbatas pada aspek indrawi—materil—oleh paradigma positivistik ala August Comte dan pelanjutnya.

Dengan kondisi itu, dunia modern benar-benar bersih dari hirup-pikuk mythos yang mana, jauh pada zaman sebelumnya diterima dan dirayakan sebagai pelengkap logos. Mythos tak lagi diterima sebagai upaya untuk membantu manusia hidup secara kreatif pada dunia yang kadang membingungkan. Dalam dunia modern, dengan logos ilmiahnya, mythos menjadi jatuh dalam kehinaan. Mythos dianggap sebagai penghambat kemajuan zaman. Mythos seperti barang menjijikkan yang harus disingkirkan dari kehidupan manusia modern.

Dan efek paling ironi, dari semangat modern ini, hal-hal yang besifat ketuhanan (teologis) pula mulai mengadopsi kriteria sains. Agama juga diupayakan dan cenderung dipaksakan untuk dirasionalkan dalam kerangka ilmiah. Bahkan agama yang tidak rasional (ilmiah) sulit untuk diterima. Ritus-ritus agama yang unlogikal (tak masuk akal) tak diberi ruang. Ia dianggap bid’ah. Fenomena tafsiran rasional (ilmiah) pada agama di dunia modern ini, bagi Karen Amstrong hanya akan melahirkan dua model; fundamentalisme dan ateisme. Keduanya saling terkait dan terikat pada logos ilmiah.

Bagi Amstrong, fundamentalisme berupaya menjelaskan segala dimensi agama dengan konsep ilmiah (bahwa agama itu ilmiah). Atesime memang sedari awal menolak agama (Tuhan) dengan alasan agama memang tidak ilmiah dan sulit untuk diterima. Pada prinsipnya, kedua-duanya menolak yang mythos. Dan penolakan pada yang mythos, sejatinya ujar Amstrong, akan melahirkan hidup yang kering-kerontang. Agama tanpa mythos, maka agama itu, akan kering dan akan terjebak pada fundamentalisme. Agama tanpa mythos, ia akan memiliki kemungkinan tampil beringas, keras, dan kakuh. Pada acuan ini, mungkin wajah agama yang beringas sekarang ini, bisa dikatakan menolak atau tak menerima mythos. Mereka yang keras dan kakuh dalam beragama, barangkali tidak menempatkan mythos sebagai aspek lain dari agama yang mesti dirayakan dengan ritus. Dengan amalan tanpa putus. Dan juga tentunya dengan kesungguhan.


Salam Literasi
Long Life Literasi

No comments:

Post a Comment