Oleh: Asran Salam
Akal boleh menguasai seribu
satu cabang ilmu
Tetapi tentang hidupnya
sendiri
Ia tidak tahu apa-apa
—Jalaluddin Rumi—
Mengerti cinta, bukan melalui mulut orang atau bacaan dan teori-teori
cinta
yang sering jauh berbeda
dengan yang dialami
Melainkan memahaminya dengan
betul-betul jatuh cinta.
—Mulyadhi Kartanegara—
Siang menjelang sore di akhir pekan—tepatnya pada
hari minggu, kembali kami berkumpul di toko buku Paradigma. Ini menjadi
rutinitas kami yang terlibat di kelas literasi Paradigma Institut. Di belakang
toko buku itu, tersedia ruangan yang tidak terlalu luas namun bisa menampung
kurang lebih dua puluh orang. Ruangan itu, yang menjadi kelas kami dalam
melakukan aktivitas pembelajaran literasi, sejatinya adalah ruang perpustakaan
pribadi pemilik toko buku (Sulhan Yusuf) yang disulap menjadi tempat diskusi
berbagai macam hal. Dan kegiatan diskusi apapun di Paradigma, memang sudah
berjalan hingga puluhan tahun. Tempat ini, juga bisa dibilang sebagai salah
satu tempat bersejarah bagi beberapa tokoh intelektual di Makassar dari
berbagai macam organisasi. Mulai dari organisasi yang paling kiri hingga kanan
sekali. Tempat ini, dalam kadar tertentu seperti rumah Penele H.O.S Cokrominoto yang spektakuler itu. Sebab, dari rumah Penele itu banyak tokoh bangsa yang
lahir.
Pada hari itu,
kelas dimulai pukul 14.30 Wita. Waktunya sedikit molor dari kesepakatan. Saya
yang juga peserta pada kelas literasi, kali ini, sangat bersemangat mengikuti
kelas. Bukan berarti sebelumnya tidak bersemangat, akan tetapi kali ini semangatnya
lain. Ada semangat bercampur rindu ingin bertemu dengan kawan-kawan, sebab
sudah dua pekan saya tidak hadir dalam kelas karena kesibukan. Sebagaimana
sistem yang telah disepakati sedari awal kelas dibuka, setiap peserta harus
mendeskripsikan tulisannya. Setelah itu, bergiliran peserta yang lain akan
memberikan masukan mulai dari hal teknis hingga ide-ide.
Dan pada hari
itu, saya yang didapuk pertama untuk mengulas tulisan. Saya membawa tulisan ihwal
cinta Soren
Abaye Kierkegaard yang berjudul Cinta
Seorang Kierkegaard. Tulisan itu, ingin memotret bagaimana kisah cinta Soren
Abaye Kierkegaard. Bagaimana sosok Kierkegaard yang kenal sebagai filosof eksistensialisme
memaknai cinta dalam hidupnya. Dalam tulisan itu, saya menyebut bahwa jatuh
cinta merupakan pengalaman eksistensial. Dan jatuh cinta yang dialami oleh
Kierkegaard adalah pengalaman eksistensial. Dari cinta sebagai pengalam
eksistensial inilah, menjadi salah satu problem tulisan saya. Seorang kawan
peserta kelas literasi, menyoal apakah benar jatuh cinta itu pengalaman
eksistensial? Bukankah jatuh cinta adalah gejala umum dalam arti dialami oleh
semua orang? Apa hal unik sehingga jatuh cinta bisa disebut sebagai pengalaman
eksistensial? Begitulah kira-kira sederet pertanyaan yang muncul dalam tulisan
saya itu.
Dengan
sejumlah tanya yang muncul ihwal jatuh cinta sebagai pengalaman eksitensial,
secara tidak langsung memberikan kita ruang untuk berpikir ulang dalam melihat
realitas jatuh cinta itu. Dengan pertanyaan itu, jatuh cinta kemudian kita
persoalkan dalam ruang filsafat. Dan memang berfilsafat, suatu kegiatan
berpikir untuk melihat realitas tidak dalam kacamata sederhana—di balik yang
sederhana di situ ada kompleksitas—sebab filsafat berupaya mencari hakikat dari
realitas. Dalam pencarian terhadap hakikat, di situlah tanya selalu muncul.
Maka, filsafat juga kadang diartikan sebagai pertanyaan yang tidak pernah berakhir.
Setiap yang dianggap jawaban, filsafat bisa kembali mempertanyakan hingga benar-benar
menemukan yang hakikat. Dengan sejumlah pertanyaan yang muncul, di situlah pula
filsafat berupaya memberikan jawaban. Namun, setiap jawaban yang ada di situ juga
pertanyaan akan muncul. Sehingga apa yang diberikan filsafat dalam proses itu ke
kita, yaitu kekayaan. Ya, filsafat akan memberikan kita kekayaan perspektif
terhadap realitas.
Kembali pada
soal jatuh cinta sebagai pengalaman eksistensial. Benarkah ia pengalaman
eksistensial? Untuk menjawab ini, barangkali kita bisa berangkat dari sebuah pembahasan
perihal pengalaman. Mulyadhi Kartenegara, seorang doktor filsafat dari
Univeristas Cichago Amerika Serikat dalam bukunya Menyibak Tirai Kegaiban Pengantar Epistemologi Islam, membagi
pengalaman menjadi dua; pengalaman fenomenal dan eksistensial. Pengamalan
fenomenal, merupakan pengalaman yang ditemukan atau dimiliki manusia melalui
proses indrawi dan akal. Sedang pengalaman eksistensial, merupakan apa yang
dialami manusia melalui hati atau proses intuisi. Berangkat dari pembagian ini,
maka kita sudah bisa menempatkan posisi jatuh cinta itu. Apakah ia pengalaman
eksitensial atau pengalaman fenomenal? Jika jatuh cinta adalah proses indrawi
atau akal, maka sudah pasti ia bukan pengalaman eksistensial, namun ia
pengalaman fenomenal. Tapi benarkah yang jatuh cinta adalah indra atau akal
kita? Apakah yang mengalami cinta adalah indra atau akal kita?
Bukankah
jatuh cinta adalah gejala umum dalam arti dialami oleh semua orang? Ini adalah tanya
selanjutnya. Dan mungkin kita bisa mengatakan bahwa segala apapun memungkinkan
dialami oleh semua manusia termasuk jatuh cinta. Sebab namanya pengalaman,
sesuatu yang memungkinkan dilalui oleh manusia dengan segala instrumen
pengetahuan yang dimilikinya hatta yang eksistensial. Jadi, pengalaman
eksistensial bisa menjadi gejala umum. Dengan demikian, umum dan tidak umum
bukanlah syarat sesuatu bisa dikatakan pengalaman eksistensial. Kemudian pertanyaan
berikutnya, apa hal unik sehingga jatuh cinta bisa disebut sebagai pengalaman
eksistensial? Jika suatu yang unik dimaknai sebagai hanya satu individu yang
memilikinya, dan tidak dimiliki individu lain, maka dalam pengalaman jatuh
cinta bisa dikatakan ia unik pada cinta yang dialami masing-masing individu.
Kita tidak bisa menyamakan pengalaman jatuh cinta semua orang. Setiap orang
punya khas masing-masing dalam jatuh cinta. Ada kadar dan intensitas yang
berbeda dialami oleh setiap manusia dalam jatuh cintanya. Kadar dan intensitas
itulah mungkin sebagai penanda keunikan. Pengenalan lain dari keunikan jatuh
cinta itu, barangkali bisa kita amati dari ekspresi. Di sana kita bisa
menemukan ketidaktunggalan (jamak) ekspresi dari orang yang mengalaminya. Dari
orang-orang yang sedang jatuh cinta.
Satu hal yang barangkali bisa kita terima dan
sepakati sebagai kepastian, sejatinya jika pengalaman eksitensial sudah diulas,
ia telah menjadi pengalaman fenomenal. Ulasan mensyaratkan akal dan kita tahu
akal adalah wilayah fenomenal. Jatuh cinta menjadi pengalaman fenomenal ketika
ia telah dibahas, diulas, dideskripsikan dengan segala penciptaan
kategori-kategori di dalamnya. Seperti dalam tulisan ini, semua perihal jatuh
cinta adalah fenomenal bukan eksistensial sebab tulisan ini adalah uraian dan
deskripsi yang telah melibatkan akal saya. Akan tetapi jatuh cinta sebelum ia
disampaikan dan diulas bagi mengalami adalah eksistensial.
Salam Literasi
Long
Life Literasi
No comments:
Post a Comment