Monday, May 9, 2016

Oleh: Asran Salam Akal boleh menguasai seribu satu cabang ilmu Tetapi tentang hidupnya sendiri Ia tidak tahu apa-apa —Jalal...

Ihwal Jatuh Cinta Sebagai Pengalaman Eksistensial

No comments:
 

Oleh: Asran Salam

Akal boleh menguasai seribu satu cabang ilmu
Tetapi tentang hidupnya sendiri
Ia tidak tahu apa-apa

—Jalaluddin Rumi—

Mengerti cinta, bukan melalui mulut orang atau bacaan dan teori-teori cinta
yang sering jauh berbeda dengan yang dialami
Melainkan memahaminya dengan betul-betul jatuh cinta.

—Mulyadhi Kartanegara—

Siang menjelang sore di akhir pekan—tepatnya pada hari minggu, kembali kami berkumpul di toko buku Paradigma. Ini menjadi rutinitas kami yang terlibat di kelas literasi Paradigma Institut. Di   belakang toko buku itu, tersedia ruangan yang tidak terlalu luas namun bisa menampung kurang lebih dua puluh orang. Ruangan itu, yang menjadi kelas kami dalam melakukan aktivitas pembelajaran literasi, sejatinya adalah ruang perpustakaan pribadi pemilik toko buku (Sulhan Yusuf) yang disulap menjadi tempat diskusi berbagai macam hal. Dan kegiatan diskusi apapun di Paradigma, memang sudah berjalan hingga puluhan tahun. Tempat ini, juga bisa dibilang sebagai salah satu tempat bersejarah bagi beberapa tokoh intelektual di Makassar dari berbagai macam organisasi. Mulai dari organisasi yang paling kiri hingga kanan sekali. Tempat ini, dalam kadar tertentu seperti rumah Penele H.O.S Cokrominoto yang spektakuler itu. Sebab, dari rumah Penele itu banyak tokoh bangsa yang lahir.

Pada hari itu, kelas dimulai pukul 14.30 Wita. Waktunya sedikit molor dari kesepakatan. Saya yang juga peserta pada kelas literasi, kali ini, sangat bersemangat mengikuti kelas. Bukan berarti sebelumnya tidak bersemangat, akan tetapi kali ini semangatnya lain. Ada semangat bercampur rindu ingin bertemu dengan kawan-kawan, sebab sudah dua pekan saya tidak hadir dalam kelas karena kesibukan. Sebagaimana sistem yang telah disepakati sedari awal kelas dibuka, setiap peserta harus mendeskripsikan tulisannya. Setelah itu, bergiliran peserta yang lain akan memberikan masukan mulai dari hal teknis hingga ide-ide.
Dan pada hari itu, saya yang didapuk pertama untuk mengulas tulisan. Saya membawa tulisan ihwal cinta Soren Abaye Kierkegaard yang berjudul Cinta Seorang Kierkegaard. Tulisan itu, ingin memotret bagaimana kisah cinta Soren Abaye Kierkegaard. Bagaimana sosok Kierkegaard yang kenal sebagai filosof eksistensialisme memaknai cinta dalam hidupnya. Dalam tulisan itu, saya menyebut bahwa jatuh cinta merupakan pengalaman eksistensial. Dan jatuh cinta yang dialami oleh Kierkegaard adalah pengalaman eksistensial. Dari cinta sebagai pengalam eksistensial inilah, menjadi salah satu problem tulisan saya. Seorang kawan peserta kelas literasi, menyoal apakah benar jatuh cinta itu pengalaman eksistensial? Bukankah jatuh cinta adalah gejala umum dalam arti dialami oleh semua orang? Apa hal unik sehingga jatuh cinta bisa disebut sebagai pengalaman eksistensial? Begitulah kira-kira sederet pertanyaan yang muncul dalam tulisan saya itu.  
         
Dengan sejumlah tanya yang muncul ihwal jatuh cinta sebagai pengalaman eksitensial, secara tidak langsung memberikan kita ruang untuk berpikir ulang dalam melihat realitas jatuh cinta itu. Dengan pertanyaan itu, jatuh cinta kemudian kita persoalkan dalam ruang filsafat. Dan memang berfilsafat, suatu kegiatan berpikir untuk melihat realitas tidak dalam kacamata sederhana—di balik yang sederhana di situ ada kompleksitas—sebab filsafat berupaya mencari hakikat dari realitas. Dalam pencarian terhadap hakikat, di situlah tanya selalu muncul. Maka, filsafat juga kadang diartikan sebagai pertanyaan yang tidak pernah berakhir. Setiap yang dianggap jawaban, filsafat bisa kembali mempertanyakan hingga benar-benar menemukan yang hakikat. Dengan sejumlah pertanyaan yang muncul, di situlah pula filsafat berupaya memberikan jawaban. Namun, setiap jawaban yang ada di situ juga pertanyaan akan muncul. Sehingga apa yang diberikan filsafat dalam proses itu ke kita, yaitu kekayaan. Ya, filsafat akan memberikan kita kekayaan perspektif terhadap realitas.
Kembali pada soal jatuh cinta sebagai pengalaman eksistensial. Benarkah ia pengalaman eksistensial? Untuk menjawab ini, barangkali kita bisa berangkat dari sebuah pembahasan perihal pengalaman. Mulyadhi Kartenegara, seorang doktor filsafat dari Univeristas Cichago Amerika Serikat dalam bukunya Menyibak Tirai Kegaiban Pengantar Epistemologi Islam, membagi pengalaman menjadi dua; pengalaman fenomenal dan eksistensial. Pengamalan fenomenal, merupakan pengalaman yang ditemukan atau dimiliki manusia melalui proses indrawi dan akal. Sedang pengalaman eksistensial, merupakan apa yang dialami manusia melalui hati atau proses intuisi. Berangkat dari pembagian ini, maka kita sudah bisa menempatkan posisi jatuh cinta itu. Apakah ia pengalaman eksitensial atau pengalaman fenomenal? Jika jatuh cinta adalah proses indrawi atau akal, maka sudah pasti ia bukan pengalaman eksistensial, namun ia pengalaman fenomenal. Tapi benarkah yang jatuh cinta adalah indra atau akal kita? Apakah yang mengalami cinta adalah indra atau akal kita?

Bukankah jatuh cinta adalah gejala umum dalam arti dialami oleh semua orang? Ini adalah tanya selanjutnya. Dan mungkin kita bisa mengatakan bahwa segala apapun memungkinkan dialami oleh semua manusia termasuk jatuh cinta. Sebab namanya pengalaman, sesuatu yang memungkinkan dilalui oleh manusia dengan segala instrumen pengetahuan yang dimilikinya hatta yang eksistensial. Jadi, pengalaman eksistensial bisa menjadi gejala umum. Dengan demikian, umum dan tidak umum bukanlah syarat sesuatu bisa dikatakan pengalaman eksistensial. Kemudian pertanyaan berikutnya, apa hal unik sehingga jatuh cinta bisa disebut sebagai pengalaman eksistensial? Jika suatu yang unik dimaknai sebagai hanya satu individu yang memilikinya, dan tidak dimiliki individu lain, maka dalam pengalaman jatuh cinta bisa dikatakan ia unik pada cinta yang dialami masing-masing individu. Kita tidak bisa menyamakan pengalaman jatuh cinta semua orang. Setiap orang punya khas masing-masing dalam jatuh cinta. Ada kadar dan intensitas yang berbeda dialami oleh setiap manusia dalam jatuh cintanya. Kadar dan intensitas itulah mungkin sebagai penanda keunikan. Pengenalan lain dari keunikan jatuh cinta itu, barangkali bisa kita amati dari ekspresi. Di sana kita bisa menemukan ketidaktunggalan (jamak) ekspresi dari orang yang mengalaminya. Dari orang-orang yang sedang jatuh cinta.

Satu hal yang barangkali bisa kita terima dan sepakati sebagai kepastian, sejatinya jika pengalaman eksitensial sudah diulas, ia telah menjadi pengalaman fenomenal. Ulasan mensyaratkan akal dan kita tahu akal adalah wilayah fenomenal. Jatuh cinta menjadi pengalaman fenomenal ketika ia telah dibahas, diulas, dideskripsikan dengan segala penciptaan kategori-kategori di dalamnya. Seperti dalam tulisan ini, semua perihal jatuh cinta adalah fenomenal bukan eksistensial sebab tulisan ini adalah uraian dan deskripsi yang telah melibatkan akal saya. Akan tetapi jatuh cinta sebelum ia disampaikan dan diulas bagi mengalami adalah eksistensial.


Salam Literasi
Long Life Literasi        

No comments:

Post a Comment