Oleh: Asran Salam
Siapa
yang tidak mengenal Soren Abaye Kierkegaard. Bila kita berbicara filsafat
eksistensialisme, maka namanya merupakan daftar teratas yang wajib untuk
dibahas. Dialah salah satu master filsafat eksitensialisme. Filsafat yang hidup
di Eropa pada abad 20. Filsafat yang ingin mengurai secara hakiki apa yang dimiliki
manusia sesungguhnya. Soren Abaye Kierkegaard, sama halnya Jean Paul Sartre, ia
banyak berbicara tentang drama manusia. Namun, ia juga berbeda dengan Sartre. Sebab Sartre ingin melepaskan peran Tuhan dalam
menemukan hakikat manusia. Sedang Soren Abaye Kierkegaard menjadikan Tuhan
sebagai pendasaran hakikat eksitensi manusia. Intinya, Soren Abaye Kierkegaard
theistik sedang Jean Paul Sartre atheistik.
Tapi
pada tulisan kali ini, kita tidak akan membicarakan filsafat eksistensialisme
Kierkegaard. Mungkin di kesempatan lain kita akan bahas. Kita akan sedikit
berbicara tentang fenomena eksistensial yang ia alami. Sebuah pengalaman batin
dimana mengharuskan ia bersikap dan bertindak. Yang mana ia sendiri ketahui, bahwa
sikap dan tindakannya, disana ada konsekuensi menanti. Soren Abaye Kierkegaard,
mengalami fenomena eksistensial seperti apa yang dialami manusia kebanyakan;
jatuh cinta. Dengan sikapnya yang melankolis, temperamen, emosinya
meledak-ledak, dan juga sering peka menjadi karakter khasnya dalam menjalani
cintanya. Bahkan disaat ia mengungkap cintanya, karakter itu begitu nampak.
Pada
tanggal 24 Agustus 1849, yang tertera pada buku catatan hariannya, merupakan
penanda seorang Kierkegaard menceritakan bagaimana ia jatuh dan menyatakan
cinta. Jatuh cinta pada seorang perempuan anak pejabat tinggi di Denmark.
Regina Olsen nama perempuan ia cintai itu. Dengan perasaan yang dalam, pada
buku hariannya itu, ia menuliskan tentang perempuan yang dicintainya itu.
Dakunya, Regina Olsen pertama kali ia lihat saat ayahnya meninggal tepatnya di
Rodmans. Dari pertemuan itu, ia sudah memutuskan untuk mengejar Regina. 8
September 1840, adalah tanggal dan tahun dimana ia harus meninggalkan rumah
menuju rumah Regina. Tuturnya, masalah ini (cintanya) harus diselesaikan. Sudah
waktunya menyatakan apa yang saya rasakan selama ini. Sudah dua tahun saya
memendamnya.
Dalam
rumah Regina, dengan hanya mereka berdua, berdiri di ruang tengah. Kegelisahan
menghampiri Regina. Untuk mengusir gelisah itu, Kierkegaard, meminta Regina
untuk memainkan musik yang biasa ia lakukan. Tak lama Regina bermain musik,
tiba-tiba saja dengan letupan emosional, dan dengan sedikit temperamen,
Kierkegaard menarik partitur itu dan menutupnya lalu melemparkanya ke atas
piano. Lalu ia berkata pada Regina, “Oh
persetan dengan musik sekarang! Engkaulah yang saya cari selama ini, engkaulah
yang saya dambakan selama dua tahun ini”. Mendengar kata-kata itu, Regina
terdiam dan berhenti memainkan musiknya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut
Regina pada hari itu, hingga Kierkegaard meninggalkan rumah Regina. Namun,
jawaban itu didapatinya berselang dua hari berikutnya. Tepatnya 10 September
1840, mereka bertemu kembali. Kierkegaard tak menjelaskan apa lagi tentang
dirinya. Baginya, apa yang dilihat oleh Regina itulah dirinya. Semua
karakternya, Regina sudah tahu. Kierkegaard tak mau membujuk Regina agar
menerima cintanya. Kierkegaard pasrah. Namun dari sikap itu, ia mendapatkan
jawaban ya dari Regina. Akhirnya mereka menjalin hubungan.
Sama
dengan manusia kebanyakan, yang mendambakan hidup bersama dengan orang yang
dicintai. Kierkegaard pun memiliki perasaan yang sama. Dalam hatinya yang
terdalam, ia ingin hidup dalam satu atap dengan Regina. Tentunya bersama cinta
yang tumbuh dan mekar tanpa pernah layu. Namun apa lacur, hidup bersama dengan
Regina tak kunjung Kierkegaard jalani. Akhirnya mereka berpisah. Ada sebuah
ketaknyamanan yang mengantar Kierkegaard untuk mengakhiri hubungannya dengan
Regina. “....Saya menyadari bahwa saya
melakukan langkah yang keliru....semua ini sudah cukup. Saya luar biasa
menderita pada waktu itu. Regina kelihatan tidak menyadarinya. Sebaliknya,
semangatnya luar biasa, sehingga, suatu kali ia berkata bahwa ia menerima saya
karena belas kasihan....”. Begitu tutur Kierkegaard dalam buku hariannya.
Kierkegaard,
menyadari akan keburukan sifat-sifat dan kepahitan masa lalunya. Ia sadar,
dirinya tak pantas meminang Regina meskipun ia begitu mencintainya. Regina
mencintai Kierkegaard karena belas kasih. Itu bukanlah sesunguhnya cinta bagi
Kierkegaard. Ia adalah sikap iba. Kierkegaard, tak menginginkan cinta yang tak
dilandasi ketulusan atau kerelaan menerima. Dan sejatinya, Kierkegaard bisa
saja cuek akan hal itu, agar ia tetap bisa bersama dengan Regina. Namun, ia tak
mau membohongi dirinya. Justru ketika ia cuek, sejatinya ia juga tidak sedang
mencintai Regina dalam arti yang sejati. Dan erotisme sudah pasti menjadi dasar
hubungan itu. Dan tentunya kita semua mafhum, hubungan atas landasan erotisme
disitu nafsu menjadi framenya. Dan
saya pikir Kierkegaard, tak menginginkan hubungan demikian. Dan pilihan Kierkegaard sebagaimana jalan
hidupya, adalah pilihan filosofis.
Akhirnya,
Kierkegaard sampai pada sebuah simpulan untuk melupakan Regina dan menganggapnya
sebagai masa lalu. Dengan itu, ia berdiri pada apa diyakininya, “Sangat benar apa yang dikatakan filsafat:
bahwa kehidupan harus dipahami ke belakang dengan memandang masa lalu. Namun
hal itu membuat orang lupa perkataan lainya: bahwa kehidupan harus dijalani ke
depan menuju masa mendatang. Semakin lama dipikirkan, semakin hal itu berarti
bahwa hidup dalam eksistensi temporal tidak penah akan dapat dipahami, justru
karena tak sesaat pun saya merasa sungguh-sungguh ketika menengok masa lalu”.
Salam Literasi..
Long Life Lietrasi
No comments:
Post a Comment