Saturday, April 30, 2016

Oleh: Asran Salam   Siapa yang tidak mengenal Soren Abaye Kierkegaard. Bila kita berbicara filsafat eksistensialisme, maka namany...

Cinta Seorang Kierkegaard

No comments:
 

Oleh: Asran Salam

 
Siapa yang tidak mengenal Soren Abaye Kierkegaard. Bila kita berbicara filsafat eksistensialisme, maka namanya merupakan daftar teratas yang wajib untuk dibahas. Dialah salah satu master filsafat eksitensialisme. Filsafat yang hidup di Eropa pada abad 20. Filsafat yang ingin mengurai secara hakiki apa yang dimiliki manusia sesungguhnya. Soren Abaye Kierkegaard, sama halnya Jean Paul Sartre, ia banyak berbicara tentang drama manusia. Namun, ia juga berbeda dengan Sartre.  Sebab Sartre ingin melepaskan peran Tuhan dalam menemukan hakikat manusia. Sedang Soren Abaye Kierkegaard menjadikan Tuhan sebagai pendasaran hakikat eksitensi manusia. Intinya, Soren Abaye Kierkegaard theistik sedang Jean Paul Sartre atheistik.

Tapi pada tulisan kali ini, kita tidak akan membicarakan filsafat eksistensialisme Kierkegaard. Mungkin di kesempatan lain kita akan bahas. Kita akan sedikit berbicara tentang fenomena eksistensial yang ia alami. Sebuah pengalaman batin dimana mengharuskan ia bersikap dan bertindak. Yang mana ia sendiri ketahui, bahwa sikap dan tindakannya, disana ada konsekuensi menanti. Soren Abaye Kierkegaard, mengalami fenomena eksistensial seperti apa yang dialami manusia kebanyakan; jatuh cinta. Dengan sikapnya yang melankolis, temperamen, emosinya meledak-ledak, dan juga sering peka menjadi karakter khasnya dalam menjalani cintanya. Bahkan disaat ia mengungkap cintanya, karakter itu begitu nampak.

Pada tanggal 24 Agustus 1849, yang tertera pada buku catatan hariannya, merupakan penanda seorang Kierkegaard menceritakan bagaimana ia jatuh dan menyatakan cinta. Jatuh cinta pada seorang perempuan anak pejabat tinggi di Denmark. Regina Olsen nama perempuan ia cintai itu. Dengan perasaan yang dalam, pada buku hariannya itu, ia menuliskan tentang perempuan yang dicintainya itu. Dakunya, Regina Olsen pertama kali ia lihat saat ayahnya meninggal tepatnya di Rodmans. Dari pertemuan itu, ia sudah memutuskan untuk mengejar Regina. 8 September 1840, adalah tanggal dan tahun dimana ia harus meninggalkan rumah menuju rumah Regina. Tuturnya, masalah ini (cintanya) harus diselesaikan. Sudah waktunya menyatakan apa yang saya rasakan selama ini. Sudah dua tahun saya memendamnya.  

Dalam rumah Regina, dengan hanya mereka berdua, berdiri di ruang tengah. Kegelisahan menghampiri Regina. Untuk mengusir gelisah itu, Kierkegaard, meminta Regina untuk memainkan musik yang biasa ia lakukan. Tak lama Regina bermain musik, tiba-tiba saja dengan letupan emosional, dan dengan sedikit temperamen, Kierkegaard menarik partitur itu dan menutupnya lalu melemparkanya ke atas piano. Lalu ia berkata pada Regina, “Oh persetan dengan musik sekarang! Engkaulah yang saya cari selama ini, engkaulah yang saya dambakan selama dua tahun ini”. Mendengar kata-kata itu, Regina terdiam dan berhenti memainkan musiknya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Regina pada hari itu, hingga Kierkegaard meninggalkan rumah Regina. Namun, jawaban itu didapatinya berselang dua hari berikutnya. Tepatnya 10 September 1840, mereka bertemu kembali. Kierkegaard tak menjelaskan apa lagi tentang dirinya. Baginya, apa yang dilihat oleh Regina itulah dirinya. Semua karakternya, Regina sudah tahu. Kierkegaard tak mau membujuk Regina agar menerima cintanya. Kierkegaard pasrah. Namun dari sikap itu, ia mendapatkan jawaban ya dari Regina. Akhirnya mereka menjalin hubungan.  

Sama dengan manusia kebanyakan, yang mendambakan hidup bersama dengan orang yang dicintai. Kierkegaard pun memiliki perasaan yang sama. Dalam hatinya yang terdalam, ia ingin hidup dalam satu atap dengan Regina. Tentunya bersama cinta yang tumbuh dan mekar tanpa pernah layu. Namun apa lacur, hidup bersama dengan Regina tak kunjung Kierkegaard jalani. Akhirnya mereka berpisah. Ada sebuah ketaknyamanan yang mengantar Kierkegaard untuk mengakhiri hubungannya dengan Regina. “....Saya menyadari bahwa saya melakukan langkah yang keliru....semua ini sudah cukup. Saya luar biasa menderita pada waktu itu. Regina kelihatan tidak menyadarinya. Sebaliknya, semangatnya luar biasa, sehingga, suatu kali ia berkata bahwa ia menerima saya karena belas kasihan....”. Begitu tutur Kierkegaard dalam buku hariannya.

Kierkegaard, menyadari akan keburukan sifat-sifat dan kepahitan masa lalunya. Ia sadar, dirinya tak pantas meminang Regina meskipun ia begitu mencintainya. Regina mencintai Kierkegaard karena belas kasih. Itu bukanlah sesunguhnya cinta bagi Kierkegaard. Ia adalah sikap iba. Kierkegaard, tak menginginkan cinta yang tak dilandasi ketulusan atau kerelaan menerima. Dan sejatinya, Kierkegaard bisa saja cuek akan hal itu, agar ia tetap bisa bersama dengan Regina. Namun, ia tak mau membohongi dirinya. Justru ketika ia cuek, sejatinya ia juga tidak sedang mencintai Regina dalam arti yang sejati. Dan erotisme sudah pasti menjadi dasar hubungan itu. Dan tentunya kita semua mafhum, hubungan atas landasan erotisme disitu nafsu menjadi framenya. Dan saya pikir Kierkegaard, tak menginginkan hubungan demikian.  Dan pilihan Kierkegaard sebagaimana jalan hidupya, adalah pilihan filosofis.

Akhirnya, Kierkegaard sampai pada sebuah simpulan untuk melupakan Regina dan menganggapnya sebagai masa lalu. Dengan itu, ia berdiri pada apa diyakininya, “Sangat benar apa yang dikatakan filsafat: bahwa kehidupan harus dipahami ke belakang dengan memandang masa lalu. Namun hal itu membuat orang lupa perkataan lainya: bahwa kehidupan harus dijalani ke depan menuju masa mendatang. Semakin lama dipikirkan, semakin hal itu berarti bahwa hidup dalam eksistensi temporal tidak penah akan dapat dipahami, justru karena tak sesaat pun saya merasa sungguh-sungguh ketika menengok masa lalu”.               


Salam Literasi..
Long Life Lietrasi

No comments:

Post a Comment