Tuesday, April 26, 2016

Oleh: Asran Salam Menulis adalah kerja-kerja peradaban. Begitulah kira-kira saya memahaminya. Akhir-akhir ini, kita patut bersyukur ka...

Sureq Institut, Literasi, dan Pengabadian Peristiwa

No comments:
 

Oleh: Asran Salam

Menulis adalah kerja-kerja peradaban. Begitulah kira-kira saya memahaminya. Akhir-akhir ini, kita patut bersyukur karena sudah banyak yang ingin melakukan kerja-kerja peradaban tersebut. Gerakan literasi mulai diusahakan tumbuh di mana-mana. Kesadaran oleh orang-orang tertentu menjadi penyebabnya. Orang-orang sadar itu, kemudian bergerak membentuk komunitas literasi. Walau kesadaran itu, mungkin sangat terlambat bila dibanding dengan negara-negara yang lain, khususnya di Eropa.  Di Indonesia, mungkin saja baru disadari, bahwa kelahiran peradaban besar, di sana ada budaya literasi yang bekerja dengan apik. Tapi keterlambatan menyadari bukanlah masalah, dibanding tidak menyadarinya sama sekali.

Perihal budaya literasi, saya secara pribadi terus berupaya untuk terlibat sesuai dengan kapasitas yang saya miliki. Baru-baru ini, saya dan beberapa kawan-kawan di Tanah Luwu—tepatnya kota Palopo—Sulawesi Selatan, baru saja membuka kelas literasi. Sureq Institut didapuk menjadi pengelolah kelas. Pada awalnya, pembukaan kelas direncanakan pada hari sabtu, 23 April 2016. Namun, karena banyak hal yang menjadi kendala kegiatan pembukaan kelas literasi tidak terlaksana. Akan tetapi, pada sabtu malam di sudut kota Palopo. Pada sebuah cafe yang sederhana, dengan alunan musik yang lembut sayup terdengar. Saya dan beberapa kawan termasuk dari Sureq Institut bertemu di kafe tersebut. Di cafe itu, kami memilih meja yang pojok. Di sebelah meja muda-mudi saling bercengkerama. Saya tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan. Namun, satu hal yang hadir dalam kepalaku malam itu, mungkin saja, mereka sedang berupaya mempertautkan hati, atau sementara semakin merekatkan yang telah bertaut. Entalah.  


Di luar cafe butiran air hujan semakin deras yang sedari magrib rintik. Seolah tidak peduli dengan orang-orang di sekitar. Kawan-kawan dari Sureq Institut, menjelaskan kepada saya, penyebab tidak telaksananya pembukaan kelas tadi siang. Setelah mendengarkan penjelasan mereka, saya jadi mengerti bahwa mereka memang belum siap. Namun, dengan semangat yang tersisa, saya sekali lagi menawarkan kepada mereka, bagaimana kalau minggu besok saja kita dimulai. Ternyata, kawan-kawan dari Sureq Institut juga berharap demikian. Akhirnya, sabtu malam itu, kami menuai kesepakatan bahwa minggu besok 24 April 2016 pukul 10.00 Wita, kelas literasi dimulai.

Malam semakin pekat. Hujan masih saja awet dengan derasnya. Suasana cafe belum banyak yang berubah, selain pengunjung sedikit bertambah. Alunan musik masih setia mengiringi pembicaraan kami. Walau terdengar sayup-sayup di antara hempitan suara riuh pengunjung. Kami semakin larut dalam pembicaraan. Sistem kelas literasi menjadi awal pembicaraan yang kami mesti selesaikan. Sebab, tak mungkin kelas literasi ini bisa berjalan dengan baik, tanpa adanya sistem yang mengaturnya. Begitulah kami berpikir malam itu. Akhirnya, kami menyusun semacam draf sistem yang akan ditawarkan besoknya kepada peserta. Ada beberapa usulan yang mejadi kesepakatan sementara. Yang pertama, bahwa kelas literasi intens pertemuan sekali sepekan, yakni setiap akhir pekan—tepatnya setiap hari sabtu. Kedua, Setiap pertemuanya, peserta kelas literasi diwajibkan membawa tulisan (fiksi maupun non fiksi) tanpa terkecuali—baik yang sudah sering menulis, maupun yang baru sama sekali. Baik yang sudah menulis buku maupun yang belum. 

Selanjutnya, pemeriksaan tulisan perserta dilakukan bersama-sama. Hal ini mengisyaratkan sistem partisipasi. Ada kesadaran yang coba kami bangun, bahwa baik yang sudah sering menulis maupun yang baru mau memulai (pemula), pada prinsipnya sama-sama memiliki pengetahuan tentang tulis menulis. Dan, bagaimanapun bentuk pengetahuan itu, perlu untuk diapresiasi. Intitnya kami ingin membangun sistem egaliter—semua sama dalam hal tulis menulis. Dengan itu juga, kelas literasi berprinsip komunal—semuanya bertanggungjawab. Setidaknya tiga poin ini yang menjadi pembicaraan serius kami, seperti seriusnya hujan malam itu. Ya, di laur hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Sementara itu, malam kian larut. Dini hari telah berlalu. Saya berpikir untuk menyudahi dulu pembicaraan malam itu. Walau kawan-kawan Sureq Institut, masih menahan saya untuk tetap tinggal sambil menunggu hujan reda. Namun, saya sudah memutuskan untuk balik duluan walau harus berhadapan dengan hujan. Malam itu, saya sudah terasa lelah, dan saya harus berbuat adil pada tubuh saya sendiri. Akhirnya, dengan menorobos hujan, saya kembali ke pondok komunitas Simpul Peradaban (salah satu komunitas yang ada di Palopo dengan konsen pada wacana filsafat). Di sanalah saya berisitirahat malam itu. Tapi sebelum saya pulang, saya tidak lupa mengingatkan kepada kawan-kawan Sureq Institut, untuk besok agar on time.

***
Di Pondok Simpul Peradaban, saya terlelap hingga subuh hari. Suara azan subuh dari Masjid dekat pondok membangunkanku. Saya bangkit dari tempat pembaringan. Subuh yang dingin tak menghalangi saya mengambil air, lalu membasuh wajah. Salat subuh telah selasai ditunaikan. Fajar mulai menyingsing, kawan-kawan Simpul Peradaban belum ada satupun yang terjaga. Saya memilih untuk tidak membangunkan mereka, takut mengganggu segala macam mimpinya. Tak lama itu, matahari mulai menampakkan diri. Saya memilih memanaskan air, kemudian menyeduh kopi. Setelah itu duduk di teras Pondok dengan secangkir kopi di tangan, sambil menyaksikan matahari menanjak. Saya benar-benar menikmati pagi. Udaranya yang segar, sinar matahari yang hangat membuat tubuh saya terasa segar.      

Pagi sedikit demi sedikit berlalu, matahari mulai meninggi. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 Wita. Saya sudah harus bersiap-siap ke kelas literasi. Saya harus on time pikirku. Tepat waktu mesti menjadi kesadaran agar ia menjadi budaya. Maka, saya membangunkan kawan Aki (salah satu kawan Simpul Peradaban) untuk mengantar saya ke lokasi. Setelah Aki merapikan diri, kemudian dia menyalakan motornya, lalu dengan sigap saya naik di jok belakang. Akhirnya kami meluncur ke lokasi. Berselang beberapa menit saya tiba di lokasi—tepatnya pukul 09.55 Wita kurang lima menit dari waktu yang disepakati. Lokasi sementara yang dipilih oleh kawan-kawan Sureq Insitut, yakni sekretariat salah satu Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) lingkungan yang ada di kota Palopo. 

Saya tidak tahu persis mengapa lokasi ini menjadi pilihan sementara. Namun, saya hanya membayangkan, mungkin saja kawan Sureq Istitut punya pesan sendiri. Bahwa melalui temapat/sekretariat LSM ini, kita perlu berjuang melestarikan. Ya bila LSM ini, berupaya melestarikan lingkungan, maka kita kelas literasi berupaya untuk melestarikan peristiwa. Ya menulis memang melestariakan peristiwa agar selalu awet. Agar selalu dikenang dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Tidak lama saya menunggu di lokasi, satu persatu peserta kelas literasi berdatangan. Ketika semuanya telah siap, akhirnya kami memulai kelas. Setelah dibuka oleh salah satu pengelolah Sureq Insitut, kemudian diserahkan kepada saya untuk menyampaikan perihal sistem kelas literasi ini. Selain itu, juga diberi kesempatan untuk memberi sedikit gambaran tentang tulis-menulis.

Setelah membuka dengan memberi salam, lalu puji-pujian kepada Sang Pencipta, kepada manusia suci. Akhirnya, saya memberikan gambaran sistem kelas literasi yang akan dijalani. Tidak ada yang berubah, masih seperti yang dibicarakan pada malam harinya di cafe. Poin satu hingga tiga, semua disepakati oleh peserta. Kemudian setelah menyampaikan sistem kelas, saya sedikit berbagi kepada peserta. Bahwa literasi mesti dipahami, tidak hanya tentang tulis-menulis. Akan tetapi disitu juga terdapat unsur baca. Sehingga ihwal menulis adalah soal membaca. Untuk itu, jika ingin menjadi penulis yang baik, maka anda harus jadi pembaca yang tekun. Hal ini, bisa dibilang sebagai rumus paten ihwal literasi. Selain itu, soal menulis juga soal mengalami. Sebab, hal yang paling kita pahami sejatinya apa yang kita alami. Maka, tulislah apa yang kita alami. Seperti itu singkatnya yang sempat saya bagi kepada peserta.

Dan selanjutnya, sudah masuk waktunya untuk praktik “klinik” tulisan. Peserta satu per satu mengeluarkan tulisannya yang sudah digandakan sesuai dengan jumlah peserta. Ada tiga hal yang menjadi pendasaran dalam “mengklinik” tulisan yang kami sepakati. Pertama, kami akan bersama-sama memeriksa hal teknis elementer; perihal ejaan yang disempurnakan (EYD). Kedua, sama-sama “mengklinik” logika tulisan. Yakni mencari kesesuaian maksud penulis dengan proposisi yang ditulis. Ketiga, menyoal ide-ide dalam tulisan. Pada yang ketiga ini, disini akan dilihat posisi penulis terhadap ide-ide tulisanya. Mengamati analisis tulisan terhadap apa yang menjadi objek pembahasannya. Namun, untuk poin ketiga ini ditangguhkan sementara. Sebab, itu untuk kelas advance. Akan tetapi, semua peserta berkomitmen untuk menuju kepoin ketiga jika poin satu dan dua sudah dianggap “selesai”.  Harapan besar saya juga demikian. Dan kelas literasi pertemuan perdana  ini berjalan dengan hikmat. Kepulan asap rokok memenuhi ruangan dan secangkir kopi masing-masing di depan peserta penanda keseriusan kelas literasi ini. Dan kelas ditutup hingga  sore hari.

Salam Literasi
Long Life Literasi
Mari Merawat Peristiwa

No comments:

Post a Comment