Oleh: Asran Salam
Menulis adalah
kerja-kerja peradaban. Begitulah kira-kira saya memahaminya. Akhir-akhir ini,
kita patut bersyukur karena sudah banyak yang ingin melakukan kerja-kerja
peradaban tersebut. Gerakan literasi mulai diusahakan tumbuh di mana-mana.
Kesadaran oleh orang-orang tertentu menjadi penyebabnya. Orang-orang sadar itu,
kemudian bergerak membentuk komunitas literasi. Walau kesadaran itu, mungkin sangat
terlambat bila dibanding dengan negara-negara yang lain, khususnya di Eropa. Di Indonesia, mungkin saja baru disadari, bahwa
kelahiran peradaban besar, di sana ada budaya literasi yang bekerja dengan
apik. Tapi keterlambatan menyadari bukanlah masalah, dibanding tidak
menyadarinya sama sekali.
Perihal budaya
literasi, saya secara pribadi terus berupaya untuk terlibat sesuai dengan
kapasitas yang saya miliki. Baru-baru ini, saya dan beberapa kawan-kawan di
Tanah Luwu—tepatnya kota Palopo—Sulawesi Selatan, baru saja membuka kelas
literasi. Sureq Institut didapuk menjadi pengelolah kelas. Pada awalnya, pembukaan
kelas direncanakan pada hari sabtu, 23 April 2016. Namun, karena banyak hal
yang menjadi kendala kegiatan pembukaan kelas literasi tidak terlaksana. Akan
tetapi, pada sabtu malam di sudut kota Palopo. Pada sebuah cafe yang sederhana,
dengan alunan musik yang lembut sayup terdengar. Saya dan beberapa kawan
termasuk dari Sureq Institut bertemu di kafe tersebut. Di cafe itu, kami
memilih meja yang pojok. Di sebelah meja muda-mudi saling bercengkerama. Saya
tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan. Namun, satu hal yang hadir dalam
kepalaku malam itu, mungkin saja, mereka sedang berupaya mempertautkan hati,
atau sementara semakin merekatkan yang telah bertaut. Entalah.
Di luar cafe
butiran air hujan semakin deras yang sedari magrib rintik. Seolah tidak peduli
dengan orang-orang di sekitar. Kawan-kawan dari Sureq Institut, menjelaskan
kepada saya, penyebab tidak telaksananya pembukaan kelas tadi siang. Setelah
mendengarkan penjelasan mereka, saya jadi mengerti bahwa mereka memang belum
siap. Namun, dengan semangat yang tersisa, saya sekali lagi menawarkan kepada
mereka, bagaimana kalau minggu besok saja kita dimulai. Ternyata, kawan-kawan
dari Sureq Institut juga berharap demikian. Akhirnya, sabtu malam itu, kami
menuai kesepakatan bahwa minggu besok 24 April 2016 pukul 10.00 Wita, kelas
literasi dimulai.
Malam semakin
pekat. Hujan masih saja awet dengan derasnya. Suasana cafe belum banyak yang
berubah, selain pengunjung sedikit bertambah. Alunan musik masih setia mengiringi
pembicaraan kami. Walau terdengar sayup-sayup di antara hempitan suara riuh
pengunjung. Kami semakin larut dalam pembicaraan. Sistem kelas literasi menjadi
awal pembicaraan yang kami mesti selesaikan. Sebab, tak mungkin kelas literasi
ini bisa berjalan dengan baik, tanpa adanya sistem yang mengaturnya. Begitulah
kami berpikir malam itu. Akhirnya, kami menyusun semacam draf sistem yang akan
ditawarkan besoknya kepada peserta. Ada beberapa usulan yang mejadi kesepakatan
sementara. Yang pertama, bahwa kelas literasi intens pertemuan sekali sepekan,
yakni setiap akhir pekan—tepatnya setiap hari sabtu. Kedua, Setiap pertemuanya,
peserta kelas literasi diwajibkan membawa tulisan (fiksi maupun non fiksi)
tanpa terkecuali—baik yang sudah sering menulis, maupun yang baru sama sekali.
Baik yang sudah menulis buku maupun yang belum.
Selanjutnya,
pemeriksaan tulisan perserta dilakukan bersama-sama. Hal ini mengisyaratkan
sistem partisipasi. Ada kesadaran yang coba kami bangun, bahwa baik yang sudah
sering menulis maupun yang baru mau memulai (pemula), pada prinsipnya sama-sama
memiliki pengetahuan tentang tulis menulis. Dan, bagaimanapun bentuk
pengetahuan itu, perlu untuk diapresiasi. Intitnya kami ingin membangun sistem
egaliter—semua sama dalam hal tulis menulis. Dengan itu juga, kelas literasi
berprinsip komunal—semuanya bertanggungjawab. Setidaknya tiga poin ini yang
menjadi pembicaraan serius kami, seperti seriusnya hujan malam itu. Ya, di laur
hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Sementara itu, malam kian larut.
Dini hari telah berlalu. Saya berpikir untuk menyudahi dulu pembicaraan malam itu.
Walau kawan-kawan Sureq Institut, masih menahan saya untuk tetap tinggal sambil
menunggu hujan reda. Namun, saya sudah memutuskan untuk balik duluan walau
harus berhadapan dengan hujan. Malam itu, saya sudah terasa lelah, dan saya
harus berbuat adil pada tubuh saya sendiri. Akhirnya, dengan menorobos hujan,
saya kembali ke pondok komunitas Simpul Peradaban (salah satu komunitas yang
ada di Palopo dengan konsen pada wacana filsafat). Di sanalah saya
berisitirahat malam itu. Tapi sebelum saya pulang, saya tidak lupa mengingatkan
kepada kawan-kawan Sureq Institut, untuk besok agar on time.
***
Di Pondok
Simpul Peradaban, saya terlelap hingga subuh hari. Suara azan subuh dari Masjid
dekat pondok membangunkanku. Saya bangkit dari tempat pembaringan. Subuh yang
dingin tak menghalangi saya mengambil air, lalu membasuh wajah. Salat subuh
telah selasai ditunaikan. Fajar mulai menyingsing, kawan-kawan Simpul Peradaban
belum ada satupun yang terjaga. Saya memilih untuk tidak membangunkan mereka,
takut mengganggu segala macam mimpinya. Tak lama itu, matahari mulai
menampakkan diri. Saya memilih memanaskan air, kemudian menyeduh kopi. Setelah
itu duduk di teras Pondok dengan secangkir kopi di tangan, sambil menyaksikan
matahari menanjak. Saya benar-benar menikmati pagi. Udaranya yang segar, sinar
matahari yang hangat membuat tubuh saya terasa segar.
Pagi sedikit
demi sedikit berlalu, matahari mulai meninggi. Waktu sudah menunjukkan pukul
09.30 Wita. Saya sudah harus bersiap-siap ke kelas literasi. Saya harus on time pikirku. Tepat waktu mesti
menjadi kesadaran agar ia menjadi budaya. Maka, saya membangunkan kawan Aki
(salah satu kawan Simpul Peradaban) untuk mengantar saya ke lokasi. Setelah Aki
merapikan diri, kemudian dia menyalakan motornya, lalu dengan sigap saya naik
di jok belakang. Akhirnya kami meluncur ke lokasi. Berselang beberapa menit saya
tiba di lokasi—tepatnya pukul 09.55 Wita kurang lima menit dari waktu yang
disepakati. Lokasi sementara yang dipilih oleh kawan-kawan Sureq Insitut, yakni
sekretariat salah satu Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) lingkungan yang ada di
kota Palopo.
Saya tidak tahu
persis mengapa lokasi ini menjadi pilihan sementara. Namun, saya hanya
membayangkan, mungkin saja kawan Sureq Istitut punya pesan sendiri. Bahwa melalui
temapat/sekretariat LSM ini, kita perlu berjuang melestarikan. Ya bila LSM ini,
berupaya melestarikan lingkungan, maka kita kelas literasi berupaya untuk
melestarikan peristiwa. Ya menulis memang melestariakan peristiwa agar selalu
awet. Agar selalu dikenang dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Tidak lama
saya menunggu di lokasi, satu persatu peserta kelas literasi berdatangan.
Ketika semuanya telah siap, akhirnya kami memulai kelas. Setelah dibuka oleh
salah satu pengelolah Sureq Insitut, kemudian diserahkan kepada saya untuk
menyampaikan perihal sistem kelas literasi ini. Selain itu, juga diberi kesempatan
untuk memberi sedikit gambaran tentang tulis-menulis.
Setelah
membuka dengan memberi salam, lalu puji-pujian kepada Sang Pencipta, kepada
manusia suci. Akhirnya, saya memberikan gambaran sistem kelas literasi yang
akan dijalani. Tidak ada yang berubah, masih seperti yang dibicarakan pada
malam harinya di cafe. Poin satu hingga tiga, semua disepakati oleh peserta.
Kemudian setelah menyampaikan sistem kelas, saya sedikit berbagi kepada
peserta. Bahwa literasi mesti dipahami, tidak hanya tentang tulis-menulis. Akan
tetapi disitu juga terdapat unsur baca. Sehingga ihwal menulis adalah soal
membaca. Untuk itu, jika ingin menjadi penulis yang baik, maka anda harus jadi
pembaca yang tekun. Hal ini, bisa dibilang sebagai rumus paten ihwal literasi. Selain
itu, soal menulis juga soal mengalami. Sebab, hal yang paling kita pahami
sejatinya apa yang kita alami. Maka, tulislah apa yang kita alami. Seperti itu
singkatnya yang sempat saya bagi kepada peserta.
Dan
selanjutnya, sudah masuk waktunya untuk praktik “klinik” tulisan. Peserta satu
per satu mengeluarkan tulisannya yang sudah digandakan sesuai dengan jumlah
peserta. Ada tiga hal yang menjadi pendasaran dalam “mengklinik” tulisan yang
kami sepakati. Pertama, kami akan bersama-sama memeriksa hal teknis elementer;
perihal ejaan yang disempurnakan (EYD). Kedua, sama-sama “mengklinik” logika
tulisan. Yakni mencari kesesuaian maksud penulis dengan proposisi yang ditulis.
Ketiga, menyoal ide-ide dalam tulisan. Pada yang ketiga ini, disini akan
dilihat posisi penulis terhadap ide-ide tulisanya. Mengamati analisis tulisan
terhadap apa yang menjadi objek pembahasannya. Namun, untuk poin ketiga ini ditangguhkan
sementara. Sebab, itu untuk kelas advance.
Akan tetapi, semua peserta berkomitmen untuk menuju kepoin ketiga jika poin
satu dan dua sudah dianggap “selesai”. Harapan
besar saya juga demikian. Dan kelas literasi pertemuan perdana ini berjalan dengan hikmat. Kepulan asap
rokok memenuhi ruangan dan secangkir kopi masing-masing di depan peserta
penanda keseriusan kelas literasi ini. Dan kelas ditutup hingga sore
hari.
Salam Literasi
Long Life
Literasi
Mari Merawat Peristiwa
No comments:
Post a Comment