Oleh:
Asran Salam
Selama
engkau mengejar kebahagiaan
engkau belum matang untuk berbahagia
biarpun milikmu segala kesayangan.
engkau belum matang untuk berbahagia
biarpun milikmu segala kesayangan.
Selama engkau mengeluh karena ada yang hilang
dan punya tujuan serta tiada tenang,
kau belum tahu apa arti kedamaian.
Baru setelah engkau lepaskan segala keinginan
tak kenal lagi hasrat dan tujuan
tak lagi nyebut nama kebahagiaan
maka banjir segala kejadian tak lagi nyentuh hatimu
dan jiwamu akan tenang.
(Hermann Hesse)
Di Eropa, kita tahu di sana, rasional
menjadi alas dalam menjalani hidup—walau sebelumnya juga pernah tunduk pada
otoritas gereja yang membunuh nalar. Setelah
masa otoritas itu berlalu, melalui nalar, masyarakat eropa menaruh ekspektasi
tinggi akan hidup bahagia. Melalui perkembangan sains, harapan akan hidup yang
segalanya mudah menjadi nyata. Melalui
perubahan itu, hidup damai adalah impian. Namun pada kenyataan, kemajuan yang
dicita-citakan nalar menyimpan paradoks. Kemajuan sains tak sedikit menyisahkan
luka; hidup tak damai dan bahagia. Ternyata, perang adalah wajah lain dari
kemajuan itu—eropa dilanda perang saudara.
Tentang perang, satu hal yang pasti
ada, ia melahirkan kecamuk, yang
kadangkala susah untuk diredam. Perang, setelahnya tak sedikit menyisahkan luka—tak
hanya luka pada tubuh—tapi juga pada psikologis. Ketika perang menjadi
pemandangan sehari-hari. Keping-keping bangunan berserakan dimana-mana, depresi
menjadi suatu yang tak terhindarkan. Mungkin memang demikian semestinya efek
dari perang; kehancuran fisik dan psikologis adalah suatu yang tak terhindarkan.
Karena efek perang itu, pada akhirnya
eropa butuh suatu yang baru. Jalan yang tak hanya bertumpu pada kultur nalar.
Karena nalar lain sisi, ternyata menghadirkan bencana yang tak terkira. Kepongahan kultur intelektual yang hanya
melihat dunia pada satu sisi. Memerlukan “penyembuhan” dari kutub yang
berlawanan. Barat mungkin saja tak butuh datangnya etika yang baru. Tapi mungkin
memerlukan datannya visi baru. Visi yang melihat adanya fungsi spiritual untuk
kebudayan yang telah goyah. Barat mungkin saja memerlukan suara-suara yang
menyeru untuk melakukan pengembaran—tepatnya pengembaraan ke timur—demi
menemukan sisi spritual yang agung. Karena efek perang, mungkin saja tak lagi
sembuh dengan sains akan tetapi dengan jalan spiritual.
Dengan kegersangan spiritual yang
dialami, disanalah Barat perlu bersyukur pada sosok Hermann Hesse. Pria yang
lahir di Calw, Jerman, tahun 1877. Dia adalah anak dan cucu misionaris
Protestan. Hermann Hesse menuntut pendidikan di sekolah agama hingga berusia
tiga belas tahun. Saat itu, ia keluar dari sekolah. Di usia delapan belas
tahun, ia pindah ke Basel, Swiss, untuk bekerja sebagai penjual buku. Hermann
Hesse (peraih Nobel Sastra tahun 1964) sangat mencintai perdamian.
Hermann Hesse, banyak mempelajari
psikoanalisis Sigmun Freud. Ia banyak menyempatkan waktu untuk berdiskusi
dengan Carl Gustav Jung. Membicarakan tentang kegetiran depresi akibat perang.
Membicarakan jalan keluar dengan pendekatan psikonalisis. Akhirnya pada tahun
1922, Herman Hesse, setelah kepindahannya ke Montagnola—Swiss, di sanalah ia
mencoba untuk menawarkan visi kepada dunia Barat. Namun, yang ia tawarkan bukan
visi psikologi sebagai terapi depresi, akan tetapi visi spiritual. Pada
akhirnya dialah salah satu suara yang menyeruh kepada masyarakat eropa untuk
“mengembera” ke dunia timur.
Hermann Hesse, melalui novel Siddhartha, hendak menyampaikan sebuah jalan. Jejak
kepada masyarakat eropa. Bahwa ada sisi dalam hidup yang tak sepenuhnya
diselesaikan dengan kekuatan nalar. Tak semuanya sempurna dengan gelamor
materi. Masyarakat eropa, sudah sepatutnya melirik hidup Siddhartha. Mengapa
demikian? Barangkali, Hermann Hesse, sepenuhnya menyadari bahwa antara kondisi eropa
dan hidup Siddhartha awalnya memiliki kesamaan, dan bukan hal sala jika harus
memilih jalan penyelesaian yang sama.
Kita tahu—seperti eropa, bahwa Siddhartha,
adalah sosok yang tak kekurangan dalam hal materi. Pangeran dengan istana yang
megah dan kekuasan sebentar lagi menjadi miliknya. Namun ia memilih
meninggalkan semuanya. Sungguh berbeda dengan masyarakat eropa, ia tak
beranjak. Bagi Siddartha, ada hidup yang lebih utama dari sekedar setumpuk
materi serta kekuasaan. Dalam novel Siddhartha,
tulis Herman Hesse bahwa “Siddhartha memiliki suatu tujuan di depannya—menjadi
kosong, kosong dari kehausan, kosong dari hasrat, kosong dari rasa bahagia dan
kesedihan, lenyap dari dirinya sendiri, tidak lagi menjadi “aku”, menemukan
kedamaian dari hati yang kosong terbuka untuk keajaiban dalam diri tanpa adanya
ego—inilah tujuan”
Jika demikan tujuan Siddhartha;
mengosongkan diri. Barangkali Hermann
Hesse, dengan sejuta asa, apa yang dialami oleh masyarakat eropa, sudah
sepatutnya pula “mengosongkan” diri, bila ingin keluar dari depresi. Bila
Siddharta, membuka diri dengan keajaiban dengan tidak adanya ego. Barangkali,
sudah sewajarnya bila masyarakat eropa
meruntuhkan ego eropasentrismenya. Jika tidak berlebihan, melaui novel Siddhartha, Hermann Hesse, sebenarnya
menawarkan obat kepada masyarakat Eropa kala itu—mungkin juga hingga sekarang.
Obat yang bukan untuk ditelan bersama dengan air, tapi perlu diresapi dengan
jiwa yang lapang tentang sebuah pilihan hidup yang layak.
Hermann Hesse, berbicara melalui
amplifier novel Siddartha, bahwa
hidup yang layak tak sepuhnya ditempuh dengan perang, kuasa—menguasai—akan
tetapi menelisik hidup yang penuh rahmat; jalan damai yang penuh kasih sayang.
Meremukkan ego, jalan hidup yang penuh cinta—yang mana, kita saling menyapa dengan tetangga.
No comments:
Post a Comment