Monday, January 11, 2016

Oleh: Asran Salam             Selama engkau mengejar kebahagiaan engkau belum matang untuk berbahagia biarpun milikmu segala kesa...

HERMANN HESSE

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

            Selama engkau mengejar kebahagiaan
engkau belum matang untuk berbahagia
biarpun milikmu segala kesayangan.

Selama engkau mengeluh karena ada yang hilang
dan punya tujuan serta tiada tenang,
kau belum tahu apa arti kedamaian.

Baru setelah engkau lepaskan segala keinginan
tak kenal lagi hasrat dan tujuan
tak lagi nyebut nama kebahagiaan
maka banjir segala kejadian tak lagi nyentuh hatimu
dan jiwamu akan tenang.

(Hermann Hesse)

Di Eropa, kita tahu di sana, rasional menjadi alas dalam menjalani hidup—walau sebelumnya juga pernah tunduk pada otoritas gereja yang membunuh nalar.  Setelah masa otoritas itu berlalu, melalui nalar, masyarakat eropa menaruh ekspektasi tinggi akan hidup bahagia. Melalui perkembangan sains, harapan akan hidup yang segalanya mudah menjadi nyata.  Melalui perubahan itu, hidup damai adalah impian.  Namun pada kenyataan, kemajuan yang dicita-citakan nalar menyimpan paradoks. Kemajuan sains tak sedikit menyisahkan luka; hidup tak damai dan bahagia. Ternyata, perang adalah wajah lain dari kemajuan itu—eropa dilanda perang saudara.

Tentang perang, satu hal yang pasti ada, ia melahirkan kecamuk,  yang kadangkala susah untuk diredam. Perang, setelahnya tak sedikit menyisahkan luka—tak hanya luka pada tubuh—tapi juga pada psikologis. Ketika perang menjadi pemandangan sehari-hari. Keping-keping bangunan berserakan dimana-mana, depresi menjadi suatu yang tak terhindarkan. Mungkin memang demikian semestinya efek dari perang; kehancuran fisik dan psikologis adalah suatu yang tak terhindarkan.

Karena efek perang itu, pada akhirnya eropa butuh suatu yang baru. Jalan yang tak hanya bertumpu pada kultur nalar. Karena nalar lain sisi, ternyata menghadirkan bencana yang tak terkira.  Kepongahan kultur intelektual yang hanya melihat dunia pada satu sisi. Memerlukan “penyembuhan” dari kutub yang berlawanan. Barat mungkin saja tak butuh datangnya etika yang baru. Tapi mungkin memerlukan datannya visi baru. Visi yang melihat adanya fungsi spiritual untuk kebudayan yang telah goyah. Barat mungkin saja memerlukan suara-suara yang menyeru untuk melakukan pengembaran—tepatnya pengembaraan ke timur—demi menemukan sisi spritual yang agung. Karena efek perang, mungkin saja tak lagi sembuh dengan sains akan tetapi dengan jalan spiritual. 

Dengan kegersangan spiritual yang dialami, disanalah Barat perlu bersyukur pada sosok Hermann Hesse. Pria yang lahir di Calw, Jerman, tahun 1877. Dia adalah anak dan cucu misionaris Protestan. Hermann Hesse menuntut pendidikan di sekolah agama hingga berusia tiga belas tahun. Saat itu, ia keluar dari sekolah. Di usia delapan belas tahun, ia pindah ke Basel, Swiss, untuk bekerja sebagai penjual buku. Hermann Hesse (peraih Nobel Sastra tahun 1964) sangat mencintai perdamian.

Hermann Hesse, banyak mempelajari psikoanalisis Sigmun Freud. Ia banyak menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan Carl Gustav Jung. Membicarakan tentang kegetiran depresi akibat perang. Membicarakan jalan keluar dengan pendekatan psikonalisis. Akhirnya pada tahun 1922, Herman Hesse, setelah kepindahannya ke Montagnola—Swiss, di sanalah ia mencoba untuk menawarkan visi kepada dunia Barat. Namun, yang ia tawarkan bukan visi psikologi sebagai terapi depresi, akan tetapi visi spiritual. Pada akhirnya dialah salah satu suara yang menyeruh kepada masyarakat eropa untuk “mengembera” ke dunia timur.

Hermann Hesse, melalui novel Siddhartha,  hendak menyampaikan sebuah jalan. Jejak kepada masyarakat eropa. Bahwa ada sisi dalam hidup yang tak sepenuhnya diselesaikan dengan kekuatan nalar. Tak semuanya sempurna dengan gelamor materi. Masyarakat eropa, sudah sepatutnya melirik hidup Siddhartha. Mengapa demikian? Barangkali, Hermann Hesse, sepenuhnya menyadari bahwa antara kondisi eropa dan hidup Siddhartha awalnya memiliki kesamaan, dan bukan hal sala jika harus memilih jalan penyelesaian yang sama.

Kita tahu—seperti eropa, bahwa Siddhartha, adalah sosok yang tak kekurangan dalam hal materi. Pangeran dengan istana yang megah dan kekuasan sebentar lagi menjadi miliknya. Namun ia memilih meninggalkan semuanya. Sungguh berbeda dengan masyarakat eropa, ia tak beranjak. Bagi Siddartha, ada hidup yang lebih utama dari sekedar setumpuk materi serta kekuasaan. Dalam novel Siddhartha, tulis Herman Hesse bahwa “Siddhartha memiliki suatu tujuan di depannya—menjadi kosong, kosong dari kehausan, kosong dari hasrat, kosong dari rasa bahagia dan kesedihan, lenyap dari dirinya sendiri, tidak lagi menjadi “aku”, menemukan kedamaian dari hati yang kosong terbuka untuk keajaiban dalam diri tanpa adanya ego—inilah tujuan”

Jika demikan tujuan Siddhartha; mengosongkan diri.  Barangkali Hermann Hesse, dengan sejuta asa, apa yang dialami oleh masyarakat eropa, sudah sepatutnya pula “mengosongkan” diri, bila ingin keluar dari depresi. Bila Siddharta, membuka diri dengan keajaiban dengan tidak adanya ego. Barangkali, sudah sewajarnya bila masyarakat eropa  meruntuhkan ego eropasentrismenya. Jika tidak berlebihan, melaui novel Siddhartha, Hermann Hesse, sebenarnya menawarkan obat kepada masyarakat Eropa kala itu—mungkin juga hingga sekarang. Obat yang bukan untuk ditelan bersama dengan air, tapi perlu diresapi dengan jiwa yang lapang tentang sebuah pilihan hidup yang layak.
Hermann Hesse, berbicara melalui amplifier novel Siddartha, bahwa hidup yang layak tak sepuhnya ditempuh dengan perang, kuasa—menguasai—akan tetapi menelisik hidup yang penuh rahmat; jalan damai yang penuh kasih sayang. Meremukkan ego, jalan hidup yang penuh cinta—yang mana,  kita saling menyapa dengan tetangga.

No comments:

Post a Comment