Friday, January 8, 2016

Oleh: Asran Salam Apa yang menarik bila kita berbicara tentang perempuan? Bagi kapitalisme , bahwa dibalik perempuan, tubuhnya ad...

Kapitalisme, Agama dan Ironi Perempuan

No comments:
 


Oleh: Asran Salam


Apa yang menarik bila kita berbicara tentang perempuan? Bagi kapitalisme, bahwa dibalik perempuan, tubuhnya adalah lumbung modal. Pada perempuan disana ada lekuk-lekuk yang bisa dieksploitasi. Pada raganya, dapat bersanding dengan produk. Mesrah dalam lensa media. Jiwanya dapat ditarik menyertai produk-produk yang siap pakai. Menjadi pemicu hasrat konsumtif tanpa jeda. Tanpa penanda jelas titik akhirnya. Hingga perempuan menjadi “yang lain” dalam ruang sosial.

Kapitalisme dengan berbagai citranya pada perempuan, menciptakan jarak dari eksistensinya. Disana tak satu pun alat ukur mampu mengukur akan jarak itu. Bagi kapitalisme, perempuan adalah properti komoditi yang canggih. Dia adalah jembatan imajinasi tetang suatu produk yang ingin dicitrakan. Ia adalah pemantik yang baik untuk merubah suatu nalar fungsi menjadi gensi. Pada perempuan tubuhnya baik dijadikan sebagai pemantik birahi. Agar hasrat termantik. Dan, kapitalisme tahu betul itu. bahwa disitulah ruang perempuan dimanfaatkan.         


Pada Kapitalisme, perempua diterima pada sisi lain. Namun ditepikan dari eksistensinya. Ia dilumatkan menjadi pajangan. Dan sepertinya semua bekerja pada narasi besar kapitalisme itu, tanpa terkecuali.  Kita tahu, kadang dan banyak ajektif minor dalam kuasa bahasa mengambil bagian dalam menjarahnya. Ia hampir selalu hadir dalam kehidupan perempuan—sepertinya tak pernah absen.

Barangkali agama pun tak ingin ketinggalan dari kapitalisme “menjarah” perempuan. Atau mungkin saja antara agama dan kapitalisme memang telah bersaudara. Simak bagaimana teks suci ditafsirkan bahwa perempuan adalah pelayan lelaki. Tafsiran agama begitu renyahnya bermain atas nama ketundukan pada suami. Hingga itu, tak sedikit perempuan mengalami penganiayaan dari suaminya. Jika ia sedikit saja ingin bersuara menuntut hak. 

Ruang sosial juga begitu sempit baginya. Kita banyak menemukan mereka hanya berada pada sebuah kubus yang bernama dapur. Jika ada yang ke ruang sosial yang luas, maka disana ada marabahaya yang mengintainya; pelecehan yang tidak sedikit menjadi tindakan nista dan tak bermoral. Ia diperlakukan layaknya tak sepenuhnya manusia yang utuh-manusia setengah jadi. Ironinya banyak perempuan tak sadar akan itu. Tapi tak adil bila juga sepenuhnya harus menyalahkan mereka. Bukankah ini adalah konstruk yang bekerja sangat lama dan kita banyak yang menerimanya sebagai kebenaran.   

Bagi yang sadar, barangkali ingin mengatakan bahwa perempuan telah mengalami “penderitaan” yang panjang. Mungkin mereka ingin berkata;  tidakkah kapitalisme dan “agama” itu, tahu bahwa kehadiran kami adalah penyeimbang kosmos. Kami memiliki sisi rahim Tuhan. Pada kami ada jejak-jejak Tuhan tercipta. Tak sepatutnya kami diperlakukan seperti itu.  Bagi yang sadar, mungkin inilah alas mereka untuk berjuang. Melepaskan diri dari belenggu itu. Terbebas menjadi alat kapitalisme. Ataukah berontah dari tafsiran agama yang meminggirkan dan memarginalkaya. Mereka ahirnya keluar ke ruang sosial dan berani berdiri “sejajar” dengan laki-laki.

Barangkali mereka yang sadar, telah mengeja sejarah dan menemukan sebuah sikap herois dari perempuan pendahulu. Mungkin mereka telah “bertemu” dengan Sumayyah binti Khabath. Ia seorang perempuan yang teguh pada keimanan. Perempuan yang berani berdiri tegak terhadap ruang sosial Jahiliyah—penindasan. Siksa dan luka tak membuatnya surut untuk bersikap. Sikap yang teguh hingga membuat nyawa dan raganya terpisah.

Beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita—khususnya untuk perempuan. Dia telah mengorbankan nyawanya yang mahal. Disana benar-benar ada keberanian dan keimanan. Tapi sayang kapitalisme dan sebagian penafsir agama tak mau melihat itu. Memang mereka tidak mau tahu akan itu. Karena sejarah seperti itu memuat teriak. Memuat suara berontak yang bisa saja menghalangi kepentingan mereka. Ia tak mau perduli karena disitu ada ancaman. Tapi tidak bagi perempuan yang paham akan itu. Mereka menjadikannya sebagai alas tindak, gerak untuk berjuang.

Mereka yang insaf, tahu betul bahwa bahwa laki dan perempuan tak ada beda dalam keimanan. Tak ada jarak yang jauh dari penciptaan. Mereka akan berkata; kita dari unsur yang sama.  Laki dan perempuan “sejajar” berdampingan dalam memperbaiki tata kosmik yang timpang. Jika kosmik tampil maskulin, maka bagi yang insafmereka akan berdiri dan menantang. Perempuan tetap punya harapan disetiap juangnya. Pada yang sadar, disana ada kesadaran akan itu.  Bagi yang tahu keadaanya, padanya ada jalan-jalan terang yang bisa jadi penerang bagi nya. Padanya ada kata-kata yang tajam. Ada tindakan herois dan sejarah akan mencatat. Dan kita mempelajari dan menemukanya. Salam bagimu wahai perempuan. Darimu perantaraan penciptaan kami.

No comments:

Post a Comment