Oleh: Asran Salam
Apa yang menarik
bila kita berbicara tentang perempuan? Bagi kapitalisme, bahwa dibalik
perempuan, tubuhnya adalah lumbung modal. Pada perempuan disana ada lekuk-lekuk yang bisa
dieksploitasi. Pada raganya, dapat bersanding dengan produk. Mesrah dalam lensa media. Jiwanya dapat ditarik
menyertai produk-produk yang siap pakai. Menjadi pemicu hasrat konsumtif tanpa
jeda.
Tanpa
penanda jelas titik akhirnya. Hingga perempuan menjadi “yang lain” dalam ruang
sosial.
Kapitalisme
dengan berbagai citranya pada perempuan, menciptakan jarak dari eksistensinya.
Disana tak satu pun alat ukur mampu mengukur akan jarak itu. Bagi kapitalisme, perempuan adalah
properti komoditi yang canggih. Dia adalah jembatan imajinasi tetang suatu
produk yang ingin dicitrakan. Ia adalah pemantik yang baik untuk merubah suatu nalar fungsi menjadi
gensi. Pada perempuan tubuhnya
baik dijadikan
sebagai pemantik
birahi.
Agar hasrat termantik. Dan, kapitalisme tahu
betul itu. bahwa disitulah
ruang perempuan dimanfaatkan.
Pada Kapitalisme, perempua diterima pada sisi lain. Namun ditepikan dari eksistensinya. Ia dilumatkan
menjadi pajangan. Dan sepertinya semua bekerja pada narasi besar kapitalisme
itu, tanpa terkecuali. Kita tahu, kadang dan
banyak ajektif minor dalam kuasa bahasa mengambil bagian dalam menjarahnya. Ia hampir selalu hadir dalam kehidupan perempuan—sepertinya tak pernah absen.
Barangkali agama pun tak ingin ketinggalan dari kapitalisme “menjarah”
perempuan. Atau mungkin saja antara “agama” dan kapitalisme memang telah bersaudara. Simak
bagaimana teks suci ditafsirkan bahwa perempuan adalah pelayan lelaki. Tafsiran
agama begitu renyahnya bermain atas nama ketundukan pada suami. Hingga itu, tak
sedikit perempuan mengalami penganiayaan dari suaminya. Jika ia sedikit saja
ingin bersuara menuntut hak.
Ruang sosial juga
begitu sempit baginya. Kita banyak menemukan mereka hanya berada pada sebuah
kubus yang bernama dapur. Jika ada yang ke ruang sosial yang luas, maka disana ada
marabahaya yang mengintainya; pelecehan yang tidak sedikit menjadi tindakan nista
dan tak bermoral. Ia diperlakukan layaknya tak sepenuhnya manusia yang utuh-manusia
setengah jadi. Ironinya banyak perempuan tak sadar akan itu. Tapi tak adil bila
juga sepenuhnya harus menyalahkan mereka. Bukankah ini adalah konstruk yang
bekerja sangat lama dan kita banyak yang menerimanya sebagai kebenaran.
Bagi yang sadar,
barangkali ingin mengatakan bahwa perempuan telah mengalami “penderitaan” yang
panjang. Mungkin mereka ingin berkata;
tidakkah kapitalisme dan “agama” itu, tahu bahwa kehadiran kami adalah penyeimbang kosmos. Kami
memiliki sisi rahim Tuhan. Pada kami ada jejak-jejak Tuhan tercipta. Tak
sepatutnya kami diperlakukan seperti itu. Bagi yang sadar, mungkin inilah alas mereka untuk berjuang.
Melepaskan diri dari belenggu itu. Terbebas menjadi alat kapitalisme. Ataukah
berontah dari tafsiran agama yang meminggirkan dan memarginalkaya. Mereka
ahirnya keluar ke ruang sosial dan berani berdiri “sejajar” dengan laki-laki.
Barangkali mereka
yang sadar, telah mengeja sejarah dan menemukan sebuah sikap herois dari perempuan pendahulu. Mungkin mereka
telah “bertemu” dengan Sumayyah binti Khabath. Ia seorang perempuan yang teguh
pada keimanan. Perempuan yang berani berdiri tegak terhadap ruang sosial
Jahiliyah—penindasan. Siksa dan luka tak membuatnya surut untuk bersikap. Sikap yang
teguh hingga membuat nyawa dan raganya terpisah.
Beliau adalah
wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh
baik dan mulia bagi kita—khususnya untuk
perempuan. Dia telah mengorbankan nyawanya yang
mahal. Disana benar-benar ada keberanian dan keimanan. Tapi sayang kapitalisme dan
sebagian penafsir agama tak mau melihat itu. Memang mereka tidak mau tahu akan
itu. Karena sejarah seperti itu memuat teriak. Memuat suara berontak yang bisa
saja menghalangi kepentingan mereka. Ia tak mau perduli karena disitu ada ancaman.
Tapi tidak bagi perempuan yang paham akan itu. Mereka menjadikannya sebagai
alas tindak, gerak untuk berjuang.
Mereka yang
insaf, tahu betul bahwa bahwa laki dan perempuan tak ada beda dalam keimanan. Tak ada jarak yang jauh dari penciptaan. Mereka
akan berkata; kita dari unsur yang sama.
Laki dan perempuan “sejajar” berdampingan dalam memperbaiki tata kosmik
yang timpang. Jika kosmik tampil maskulin, maka bagi yang insaf—mereka akan
berdiri dan menantang. Perempuan tetap punya harapan disetiap juangnya. Pada
yang sadar, disana ada kesadaran akan itu.
Bagi yang tahu keadaanya, padanya ada jalan-jalan terang yang bisa jadi
penerang bagi nya. Padanya ada kata-kata yang tajam. Ada tindakan herois dan
sejarah akan mencatat. Dan kita mempelajari dan menemukanya. Salam bagimu wahai
perempuan. Darimu perantaraan penciptaan kami.
No comments:
Post a Comment