Tuesday, January 5, 2016

Oleh: Asran Salam Kebengisan mungkin akan meninggalkan luka yang menyayat hati. Tak sedikit kebengisan dijalani oleh seseorang un...

Asoka

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Kebengisan mungkin akan meninggalkan luka yang menyayat hati. Tak sedikit kebengisan dijalani oleh seseorang untuk meraih kekuasaan. Untuk menobatkan diri sebagai penguasa yang berjaya. Mempeluas daerah kekuasaan walau harus menempu jalan membunuh saudara—itu bukanlah soal. Untuk naik ketampuk kekuasaan menindas adalah sebuah kewajaran.

Dahulu kala, dalam sejarah peradaban India seorang raja pernah bekuasa. Ia menjadi sebuah mozaik tentang kekuasaan yang penuh inspiratif dan juga menggugah. Raja Asoka, awalnya menjadikan kebengisan sebagai tangga mencapai puncak kekuasaan. Memilih jalan menjadi agresor. Ia memahami jalan itu sebagai pembuka. Membuka peta-peta kekuasaan serta melihat dunia dalam genggamannya. Sebuah ambisi yang meluap-luap telah menutup nuraninya. Meninggalkan bisiskan qalbunya tentang tujuan hidup. Tentang perjalanan manusia yang sublim.


Kalianga adalah ziarah perluasan kekuasaan yang terakhir. Disini Asoka sampai pada puncak kegemilangan. Tak ada perlawanan. Tak ada teriakan pemberontakan. Semuanya berjalan dengan lancar sesuai dengan rencana. Sepertinya semesta pun tak juga punya daya untuk berkata “tidak”. Hingga kegemilangan berada ditangan.  Kekuasaan tak lagi tertandingi.

Asoka telah merangkul segalanya. Kemewahan, daerah yang luas telah dia miliki. Hingga malam di istananya dengan cahaya bulan. Menerangi atap-atap rumah rakyatnya. Ia menatap jauh kedepan, tatapan kosong seperti kekosongan yang terjadi pada dirinya.  Nuraninya  mulai bersuara. Dia mulai merenungi cerita dari para shavira (pinihsepuh tertua dalam agama Budha). Dia mulai merenungi jalan hidup Sidharta. Meninggalkan kemewahan dunia dan memilih jalan hidup sepi namun penuh kebahagian.

Tidak ada pemberontakan oleh rakyat yang tindasnya. Tak ada serangan balasan dari kekuasaan lain. Namun, ternyata pemberontakan itu tidak hadir dari luar. Ia ada dalam dirinya. Ketika nurani telah mengelitiknya dengan sedikit tertawaan. Tawa tentang perbuataanya selama ini. Tentang kebengisan yang dia lakukan. Nurani telah meronggrongnya untuk turun dari kekuasaan. Tujuan hidup telah membukankan matanya. Bahwa ada nilai yang tetinggi dari segala kelimpahan harta dan kekuasaan yang luas.

Asoka membaca kisah hidup dalam teks kehidupan Sidharta.  Dijadikan titik untuk jeda dan berhenti pada keinginan untuk selalu berkuasa. Jalan hidup Sidharta telah “menamparnya”. Menghempaskanya pada kegundahan dan kegelisahan hidup.  Akhirnya membuat dia pun mengambil jalan hidup yang sunyi. Meninggalkan kekuasaanya, menemui jalan pencerahan yang abadi.

Asoka, sebuah jalan hidup yang hendak berbicara kepada masa depan manusia. Bahwa manusia tidak selamanya memiliki keinginan. Ingin untuk selalu memuaskan hasrat kuasanya Seperti anggapan Nietsczhe. Asoka adalah kisah hidup yang hendak menimpali teori materialisme. Bahwa materi adalah segalanya.

Asoka adalah narasi kekuasan yang hendak bertutur.  Berbicara pada tiap ruang dan waktu. Bahwa Kekuasaan yang menindas, terkadang tidak tergugah dengan teriakan-teriakan perubahan-dengan slogan revolusi. Tidak juga sebuah kemestian runtuhnya kekuasaan karena pemberontakan oleh rakyat yang tertindas. Walau banyak sejarah mencatat hal demikian. Namun, mungkin ada yang luput dari sejarah untuk dicatat. Terkadang kekuasan itu runtuh karena nurani penguasa yang gundah dan sedih akan kegersangan makna hidup. Ia seperti kekuatan yang lebih dahsyat dari teriakan-teriakan pemberontakan. Karena ia ada dalam diri dan bertahta pada ruang sunyi hati.

Kisah “Keruntuhan” Asoka, sepertinya ingin berbicara kepada manusia sesudahnya. Disana ada isyarat bahwa perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas tidak selamanya mengambil jalan mengangkat senjata;  Seperti Che Guevara dan Fidel Castro dalam membebaskan Kuba. Atau seperti jalan Imam Khomenei  yang berhadap-hadapan dengan Pahlevi dalam mebebaskan Iran.  Atau jalan perubahan yang di Indonesia dengan kekuatan demonstrasi mahasiswa.  Mungkin baiknya ada yang mengambil jalan seperti Shavira yang bertutur tentang kisah-kisah hidup yang sepi dan sunyi pada kuasa.   

Jalan perubahan itu tidak tunggal. Perubahan tidak mesti dengan jalan berdarah. Mungkin perubahan bisa dihadirkan dengan tutur yang indah dan puitis yang menyentuh nurani. Pada isyarat ada dijalan perubahan yang bersahaja seperti jalan shavira. Bukankah perubahan bisa dimulai dan dilakukan dari mana saja? Jika perubahan itu adalah jalan kebaiakan pasti ada jalan.  Tidakkah itu janji Tuhan? tetapi  dalam janji Tuhan pun tidak mematok jalan tunggal dalam menciptakan perubahan?

Tulisan ini pernah terbit dalam buku Jejak Dunia Yang Retak, 2012 dengan judul yang sama.

No comments:

Post a Comment