Oleh: Asran Salam
Kebengisan mungkin akan meninggalkan luka yang menyayat hati. Tak sedikit kebengisan dijalani oleh seseorang untuk meraih
kekuasaan. Untuk menobatkan diri sebagai penguasa yang berjaya. Mempeluas daerah kekuasaan walau harus menempu jalan membunuh
saudara—itu bukanlah soal. Untuk naik ketampuk kekuasaan menindas adalah sebuah kewajaran.
Dahulu kala, dalam sejarah peradaban India
seorang raja pernah bekuasa. Ia menjadi sebuah
mozaik tentang kekuasaan yang penuh inspiratif
dan juga menggugah. Raja Asoka,
awalnya menjadikan kebengisan sebagai tangga mencapai
puncak kekuasaan. Memilih jalan menjadi agresor. Ia memahami jalan itu sebagai
pembuka. Membuka peta-peta kekuasaan serta melihat dunia dalam genggamannya. Sebuah
ambisi yang meluap-luap telah menutup nuraninya. Meninggalkan bisiskan qalbunya
tentang tujuan hidup. Tentang perjalanan manusia yang sublim.
Kalianga
adalah ziarah perluasan kekuasaan yang terakhir. Disini Asoka sampai pada
puncak kegemilangan. Tak ada perlawanan. Tak ada teriakan pemberontakan. Semuanya
berjalan dengan lancar sesuai dengan rencana. Sepertinya semesta pun tak juga
punya daya untuk berkata “tidak”. Hingga kegemilangan berada ditangan. Kekuasaan tak lagi tertandingi.
Asoka telah merangkul segalanya. Kemewahan, daerah yang luas telah
dia miliki. Hingga malam di istananya dengan cahaya bulan. Menerangi atap-atap
rumah rakyatnya. Ia menatap jauh kedepan, tatapan kosong seperti kekosongan
yang terjadi pada dirinya. Nuraninya
mulai bersuara. Dia mulai merenungi cerita dari para shavira (pinihsepuh
tertua dalam agama Budha). Dia mulai merenungi jalan hidup Sidharta. Meninggalkan
kemewahan dunia dan memilih jalan hidup sepi namun penuh kebahagian.
Tidak ada pemberontakan oleh rakyat yang tindasnya. Tak ada
serangan balasan dari kekuasaan lain. Namun, ternyata
pemberontakan itu tidak hadir dari luar. Ia ada dalam dirinya. Ketika nurani
telah mengelitiknya dengan sedikit tertawaan. Tawa tentang perbuataanya selama
ini. Tentang kebengisan yang dia lakukan. Nurani telah meronggrongnya untuk
turun dari kekuasaan. Tujuan hidup telah membukankan matanya. Bahwa ada nilai
yang tetinggi dari segala kelimpahan harta dan kekuasaan yang luas.
Asoka membaca kisah hidup dalam teks kehidupan Sidharta. Dijadikan titik untuk jeda dan berhenti pada
keinginan untuk selalu berkuasa. Jalan hidup Sidharta telah “menamparnya”. Menghempaskanya
pada kegundahan dan kegelisahan hidup. Akhirnya
membuat dia pun mengambil jalan hidup yang sunyi. Meninggalkan kekuasaanya,
menemui jalan pencerahan yang abadi.
Asoka, sebuah jalan hidup yang hendak berbicara kepada masa depan
manusia. Bahwa manusia tidak selamanya memiliki keinginan. Ingin untuk selalu
memuaskan hasrat kuasanya Seperti anggapan Nietsczhe. Asoka adalah kisah hidup
yang hendak menimpali teori materialisme. Bahwa
materi adalah segalanya.
Asoka adalah narasi kekuasan yang hendak bertutur. Berbicara pada tiap ruang dan waktu. Bahwa Kekuasaan
yang menindas, terkadang tidak tergugah dengan teriakan-teriakan perubahan-dengan
slogan revolusi. Tidak juga sebuah kemestian runtuhnya kekuasaan karena
pemberontakan oleh rakyat yang tertindas. Walau banyak sejarah mencatat hal
demikian. Namun, mungkin
ada yang luput dari sejarah untuk dicatat. Terkadang kekuasan itu runtuh karena
nurani penguasa yang gundah dan sedih akan kegersangan makna hidup. Ia seperti
kekuatan yang lebih dahsyat dari teriakan-teriakan pemberontakan. Karena ia ada
dalam diri dan bertahta pada ruang sunyi hati.
Kisah “Keruntuhan” Asoka, sepertinya
ingin berbicara kepada manusia sesudahnya. Disana ada isyarat bahwa perlawanan
terhadap kekuasaan yang menindas tidak selamanya mengambil jalan mengangkat
senjata; Seperti Che Guevara dan Fidel
Castro dalam membebaskan Kuba. Atau seperti jalan Imam
Khomenei yang berhadap-hadapan dengan
Pahlevi dalam mebebaskan Iran. Atau
jalan perubahan yang di Indonesia dengan kekuatan demonstrasi mahasiswa. Mungkin baiknya ada yang mengambil jalan
seperti Shavira yang bertutur tentang kisah-kisah hidup yang sepi dan sunyi
pada kuasa.
Jalan perubahan itu tidak tunggal. Perubahan tidak mesti dengan
jalan berdarah. Mungkin perubahan bisa dihadirkan dengan tutur yang indah dan
puitis yang menyentuh nurani. Pada isyarat ada dijalan perubahan yang bersahaja
seperti jalan shavira. Bukankah perubahan bisa dimulai dan dilakukan dari mana
saja? Jika perubahan itu adalah jalan kebaiakan pasti ada jalan. Tidakkah itu janji Tuhan? tetapi dalam janji Tuhan pun tidak mematok jalan
tunggal dalam menciptakan perubahan?
No comments:
Post a Comment