Oleh: Asran Salam
Hidup memang
selalu saja menyertakan pergulatan pikiran dan batin terhadap fakta-fakta
keseharian. Hidup adalah upaya pencarian kejernian tentang diri. Tapi kadangkala dunia tak memberikan ruang itu.
Sepertinya penampilan dunia yang demikian, membenarkan perkataan Albert Camus bahwa
dunia adalah irasional. Dunia irasional barangkali tak memberikan
jalan keluar, rimba yang tak bertepi. Dan manusia selalu saja berusaha ingin
menemukan tepi. Dunia irasional, sepertinya dunia yang tak terjelaskan dan
membawa pada kesadaran absurd. Kesadaran yang hadir karena kejenuhan, kelelahan dan
mekanis dalam keseharian. Barangkali dunia memang tercipta menawarkan itu.
Hidup memang terkadang
tak memberikan kepastian.
Ia semacam enigma dihadapan manusia.
Kekosongan
begitu nyata. Hidup seperti kata Heidegger we have seen people busy
sharpning their knife when there is nothing left to cut. Kita sibuk
mengasah pisau kita hingga tak ada waktu untuk menggunakanya. Sepertinya, memang hidup tak
lebih dari sekedar mengasah pisau secara terus menerus. Keseharian yang absurd serta hidup yang tak
lagi punya kedalaman. Absurd, manusia mengalami itu bila ziarah pikiran tak
kungjung menemukan jawaban-jawaban pasti tentang dunia. Dan Albert Camus, menawarkan kematian. Cetusnya, hanya ada jalan
bunuh diri fisik atau filososfis. Mengakhiri hidup dengan memisah ruh dan jazad
atau berhenti memikirkan dunia.
Dalam hidup yang
jemu, mekanik dan serangkaian penderitaan yang ada. Barangkali, ada sesuatu yang
luput tak terbaca oleh Camus.
Semua itu,
sumbernya adalah keinginan sebagaimana kata Budha, keinginan sumber penderitaan. Dengan demikian, barangkali
bukanlah mengahkiri hidup tapi mengakhiri keinginan. “Bunuh diri” dalam hidup yang tak terjelaskan mungkin adalah jalan
yang tepat.
Tapi
mengakhiri hidup dengan memisah ruh dan jazad serta berhenti memikirkan dunia
adalah tragika manusia. “Bunuh diri” mungkin sesekali perlu untuk dijalani
sebagai bentuk ketundukan pada yang ultim. “Bunuh diri” barangkali bisa
dipahami sebagai sebuah penghujung perhelatan panjang ikhtiar manusia. Dan pasrah adalah jawaban.
Satu hal, bunuh diri adalah jalan yang tak layak bagi Agama. Ia adalah sebuah
keputusan yang tak mencerminkan keimanan. Pilihan hidup yang sia-sia. Tapi bagi Camus, bunuh diri adalah keputusan
yang tepat dan wujud keimanan dari hidup yang tak ada nilai absolut. Lain
agama, lain Camus, tapi dia hidup dan melihat tindak tanduk agama zamanya.
Agama yang tampil sebagai dogma dan tak menyelesaikan apa-apa dalam hidup
selain klaim yang melahirkan kegetiran. Camus tak mempercayai Tuhan.
Kejernian tentang
hidup mungkin memang terkadang ditemukan dalam perasaan-perasan absurd. Ada kesadaran bahwa dunia ini memang sementara
dan penghujungnya adalah kematian. Tidakkah kita menempatkan dan sedikit
melakukan pelampuan terhadap Camus bahwa perasaan abdsurd mungkin memberikan
ruang kepasrahaan. Pasrah kepada nouminous dimana manusia “berpegang” mengikatkan
diri—sumber gelora
hidup. Tepatnya ia tak tersentu oleh bahasa dan pikiran manusia. Memang kadang
benar, kematian begitu dirindukan dalam perasaan absurd. Menjadi Absurd mungkin
bukanlah dengan jalan “menghabisi” diri,
tapi bisa saja jalan “meniadakan” diri dan hingga kematian bukanlah hal yang
sia-sia.
Namun
persembahan pada nouminous. Persembahan pada kenihilan ekstensi manusia
dalam menyatu pada pusaran eksistensi. Barangkali disitu kita perlu belajar pada agama-para
sufi. Ia menawarkan kematian yang berbeda yakni matilah engkau sebelum mati. Bagi agama, dengan kematian
tidakhlah segalanya selesai. Ia hanyalah sebuah etape dalam hidup. Perpindahan hidup dari fana menuju keabadian
dan mungkin pada ruang ini agama begitu berarti. Absurditas memiliki ruang makna yang lain pada tangan
agama.
No comments:
Post a Comment