Oleh: Asran
Salam
Kedaulatan
ditangan rakyat. Kekuasaan ada ditangan
rakyat. Disanalah biasanya kita menunjuk
demokrasi berpijak. Sebuah risalah sistem politik dari waktu ke waktu. Dari
tempat ke tempat menjadi trend. Demokrasi layaknya penyelamat. Membawa manusia
lepas dari jerat marginalisasi. Dalam demokrasi sepertinya kita telah
menyerahkan serta menyertakan harapan kita akan hidup yang lebih baik.
Gerakan anti kerajaan
di Inggris, revolusi Prancis 1789, terbentuknya United
State Of America 1776. Awal risalah
demokrasi modern menancapkan kaki. Demokrasi mulai berdiri dan membusungkan dada.
Lalu berkata; disinilah masa depan manusia yang lebih baik dimulai. Kebebasan
individu begitu nyaring menggema pada dinding-dinding telinga kerajaan.
Pemerintahan konstitusional begitu gigih diperjuangkan. Sekali lagi karena ini
untuk demokrasi. Untuk mimpi manusia agar menjalani hidup
seutuhnya.
Pada momen
itu, demokrasi seolah seperti dewa penolong. Dalam mitologi
yunani, bagi orang-orang eropa yang selama itu terpenjara
kebebasannya. Tanpa demokrasi ia tidak akan merasakan kebebasan. Demokrasi
memberi ruang yang luas kepada keterlibatan rakyat. Politik hanya sah bila
tidak mengecualikan tiap warga. Demokarsi menjadi trend, menjamur
hingga tiap negara bahkan Cina sekalipun yang ia kita kenal sebagai salah satu
monarki terkuat dalam sejarah peradaban, tak mampu menahan lajunya. Hingga lahir sebuah cerita tentang The Last Empire.
Demokrasi
hadir seolah hendak memotong sejarah masa lalu. Bahwa ia suatu yang tak layak dikenang. Sebab masa lalu adalah kegelapan dan sekarang adalah terang. Demokrasi
dengan kaum demokratnya luput bahwa masa lalu adalah pelampuan atau kontinyuitas masa kini. Dan, mungkin saja
demokrasi pula akan menjadi masa lalu yang kelam, penuh duka dan luka serta
darah berceceran. Bukankah memang ia hadir dalam situasi kedukaan dan luka
serta tetesan darah manusia? Mungkin kaum demokratia lupa bahwa
terkadang apa yang kita dorong dengan perjuangan, ketika
sampai pada puncak kemenangan ia akan merasa tinggi. Merasa bahwa inilah segalanya dan enggan untuk menoleh kebawah
dimana ia dimulai. Manusia memang terkadang lupa bahwa “perjuangan yang
sesungguhnya adalah perjuangan melawan lupa” sebagaimana kata Milan Kundera.
Demokrasi
adalah segalahnya bagi kaum demokratia. Seakan demokrasi tak luput dari
cacat. Anda tidak akan bersuara lantang mendorong kepentingan anda tanpa
demokrasi. Kita tidak akan merasakan kesejahteraan jika
demokrasi kita tanggalkan. Kepentingan minoritas tidak akan
tercover kalau laju demokrasi
terhambat. Demikan cetus kaum
demokratia. Ia berbicara pada nilai subtantif demokrasi tapi benarkah itu? Apakah itu sesuai dengan kenyataan? Jika tidak—sepertinya memang tidak sesuai dengan kenyataan. Maka disanalah demokrasi
mengalami krisis dan kritis.
Prancis salah
satu negara pencetus demokrasi modern. Namun, melarang
warganya untuk memakai jilbab bagi yang beragama islam. America tetap melakukan agresi militernya ke Iraq ketika ribuan
warganya turun memenuhi jalan di washinton menentang agresi itu. Soekarno
membredel korang milik Muktar Lubis karena demokrasi terpimpinya. Soeharto
menyeragamkan semua pikiran dengan pancasila. Dan Indonesia hingga saat ini masih terjebak dalam lubang marginalisasi
terhadap minoritas. Kemiskinan masih mengangah dengan
perih lukanya. Dan kaum demokratia masih sibuk
dengan slogan demokrasinya. Inikah demokrasi? Sepertinya kita telah kehilangan
tujuan demokrasi itu.
Demokrasi
telah keluar dari fitrahnya kata Donny Gahral Adian. Karena ia telah dibajak oleh orang anti demokrasi. Mereka mengambil hati konstituen dengan cara demokratis untuk naik
ketampuk kekuasaan. Setelah itu, mereka membakar
jembatan ia sendiri telah mereka pakai. Demokrasi telah keluar dari fitrahnya, karena ia telah dieksploitasi oleh orang-orang yang berpunya.
Demokrasi tak lebih dari kompetisi untuk mendulang suara dengan
popularitas. Dan popularitas jarang dibangun
dari kerja keras politik. Melainkan iklan politik belaka. Sepertinya demokrasi
tak lebih dari anggapan Nietsczhe bahwa ia adalah seni menghitung hidung. Sebuah analog sederhana untuk mekritik demokrasi. Ia adalah ruang
tempat berkumpulnya orang-orang lemah cetusnya.
Sepertinya
kita terlalu menghiraukan pesan Platon. Bahwa demokrasi adalah sistem yang
paling lemah dalam membangun pemerintahan. Plato menginginkan
raja filosof. Namun kedengarannya itu sangat
utopis. Tapi bukankah sesuatu yang utopis
dibutuhkan agar hidup tetap selalu punya mimpi yang ideal? Tidakah demokrasi awalnya hanya mimpi-mimpi yang ideal bagi kaum demokratia
tapi akhirnya terwujud? Mungkin yang dibutuhkan hanya
perlu keseriusan untuk memperjuankannya.
Demokrasi
telah meninggalkkan porosnya ketika liberalisme membingkainya. Prosuderal menggrorgotinya. Festival individualisme begitu
mencolok. Kolektivitas terpinggirkan. Orang
miskin hanya menjadi penonton demokrasi. Mereka dibutuhkan
ketika pesta demokrasi menjelang digelar. Orang miskin hanya menjadi jualan
politik paling ampuh mendongkrak popularitas. Mereka duduk dalam kubangan
derita yang berkepanjangan menyaksikan lakon elit politik yang saling siku. Mereka hanya sesekali dihampiri, diberi sesuatu agar tetap tenang menjadi penonton. Lalu para politisi itu, tetap berdansa, berfoya-foya,
jalan-jalan keluar negeri denga alasan study
banding. Di sana—di luar negeri—para politisi itu sekaligus
menggadaikan hidup orag miskin. Menggadaikan dengan proyek
yang hendak ditandatangani kepada funding. Dengan lembut
mereka seolah berkata, duduklah dengan tenang. Saksikan kami menjual tanah kalian
sedikit demi sedikit. Inilah demokrasi.
Iya. Inilah
demokrasi kita sekarang ini. Wajahnya begitu halus dengan slogan. wajahnya begitu meriah dengan pesta. Wajah elit politik begitu
manis tersenyum memenuhi pinggir jalan setelah itu cemberut ketika si miskin
menuntut haknya. Demokrasi adalah arena merayakan permukaan. Kepura-puraan, pemberian yang berpamrih. Inilah ketulusan yang semu. Apakah
ini kesalahan demokrasi? atau kesalahan orang-orang menggunakannya?
No comments:
Post a Comment