Tuesday, January 5, 2016

Oleh: Asran Salam Kedaulatan ditangan rakyat.   Kekuasaan ada ditangan rakyat . D isanalah biasanya kita menunjuk demokrasi berpij...

Demokratia

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Kedaulatan ditangan rakyat.  Kekuasaan ada ditangan rakyat. Disanalah biasanya kita menunjuk demokrasi berpijak. Sebuah risalah sistem politik dari waktu ke waktu. Dari tempat ke tempat menjadi trend. Demokrasi layaknya penyelamat. Membawa manusia lepas dari jerat marginalisasi. Dalam demokrasi sepertinya kita telah menyerahkan serta menyertakan harapan kita akan hidup yang lebih baik.

Gerakan anti kerajaan di Inggris, revolusi Prancis 1789, terbentuknya United State Of America 1776.  Awal risalah demokrasi modern menancapkan kaki.  Demokrasi mulai berdiri dan membusungkan dada. Lalu berkata; disinilah masa depan manusia yang lebih baik dimulai. Kebebasan individu begitu nyaring menggema pada dinding-dinding telinga kerajaan. Pemerintahan konstitusional begitu gigih diperjuangkan. Sekali lagi karena ini untuk demokrasi. Untuk mimpi manusia agar menjalani hidup seutuhnya.

Pada momen itu, demokrasi seolah seperti dewa penolong. Dalam mitologi yunani, bagi orang-orang eropa yang selama itu terpenjara kebebasannya. Tanpa demokrasi ia tidak akan merasakan kebebasan. Demokrasi memberi ruang yang luas kepada keterlibatan rakyat. Politik hanya sah bila tidak mengecualikan tiap warga. Demokarsi menjadi trend, menjamur hingga tiap negara bahkan Cina sekalipun yang ia kita kenal sebagai salah satu monarki terkuat dalam sejarah peradaban, tak mampu menahan lajunya. Hingga lahir sebuah cerita tentang The Last Empire.

Demokrasi hadir seolah hendak memotong sejarah masa lalu. Bahwa ia suatu yang tak layak dikenang. Sebab masa lalu adalah kegelapan dan sekarang adalah terang. Demokrasi dengan kaum demokratnya luput bahwa masa lalu adalah pelampuan atau kontinyuitas masa kini. Dan, mungkin saja demokrasi pula akan menjadi masa lalu yang kelam, penuh duka dan luka serta darah berceceran. Bukankah memang ia hadir dalam situasi kedukaan dan luka serta tetesan darah manusia? Mungkin kaum demokratia lupa bahwa terkadang apa yang kita dorong dengan perjuangan, ketika sampai pada puncak kemenangan ia akan merasa tinggi. Merasa bahwa inilah segalanya dan enggan untuk menoleh kebawah dimana ia dimulai. Manusia memang terkadang lupa bahwa “perjuangan yang sesungguhnya adalah perjuangan melawan lupa” sebagaimana kata  Milan Kundera. 

Demokrasi adalah segalahnya bagi kaum demokratia. Seakan demokrasi tak luput dari cacat. Anda tidak akan bersuara lantang mendorong kepentingan anda tanpa demokrasi. Kita tidak akan merasakan kesejahteraan jika demokrasi kita tanggalkan. Kepentingan minoritas tidak akan tercover kalau laju demokrasi terhambat. Demikan cetus kaum demokratia. Ia berbicara pada nilai subtantif demokrasi tapi benarkah itu? Apakah itu sesuai dengan kenyataan? Jika tidaksepertinya memang tidak sesuai dengan kenyataan. Maka disanalah demokrasi mengalami krisis dan kritis.

Prancis salah satu negara pencetus demokrasi modern. Namun, melarang warganya untuk memakai jilbab bagi yang beragama islam. America tetap melakukan agresi militernya ke Iraq ketika ribuan warganya turun memenuhi jalan di washinton menentang agresi itu. Soekarno membredel korang milik Muktar Lubis karena demokrasi terpimpinya. Soeharto menyeragamkan semua pikiran dengan pancasila. Dan Indonesia hingga saat ini masih terjebak dalam lubang marginalisasi terhadap minoritas. Kemiskinan masih mengangah dengan perih lukanya. Dan kaum demokratia masih sibuk dengan slogan demokrasinya. Inikah demokrasi? Sepertinya kita telah kehilangan tujuan demokrasi itu.

Demokrasi telah keluar dari fitrahnya kata Donny Gahral Adian. Karena ia telah dibajak oleh orang anti demokrasi. Mereka mengambil hati konstituen dengan cara demokratis untuk naik ketampuk kekuasaan. Setelah itu, mereka membakar jembatan ia sendiri telah mereka pakai. Demokrasi telah keluar dari fitrahnya, karena ia telah dieksploitasi oleh orang-orang yang berpunya. Demokrasi tak lebih dari kompetisi untuk mendulang suara dengan popularitas. Dan popularitas jarang dibangun dari kerja keras politik. Melainkan iklan politik belaka. Sepertinya demokrasi tak lebih dari anggapan Nietsczhe bahwa ia adalah seni menghitung hidung. Sebuah analog sederhana untuk mekritik demokrasi. Ia adalah ruang tempat berkumpulnya orang-orang lemah cetusnya.

Sepertinya kita terlalu menghiraukan pesan Platon. Bahwa demokrasi adalah sistem yang paling lemah dalam membangun pemerintahan. Plato menginginkan raja filosof. Namun kedengarannya itu sangat utopis. Tapi bukankah sesuatu yang utopis dibutuhkan agar hidup tetap selalu punya mimpi yang ideal? Tidakah demokrasi awalnya hanya mimpi-mimpi yang ideal bagi kaum demokratia tapi akhirnya terwujud? Mungkin yang dibutuhkan hanya perlu keseriusan untuk memperjuankannya.

Demokrasi telah meninggalkkan porosnya ketika liberalisme membingkainya. Prosuderal menggrorgotinya. Festival individualisme begitu mencolok. Kolektivitas terpinggirkan. Orang miskin hanya menjadi penonton demokrasi. Mereka dibutuhkan ketika pesta demokrasi menjelang digelar. Orang miskin hanya menjadi jualan politik paling ampuh mendongkrak popularitas. Mereka duduk dalam kubangan derita yang berkepanjangan menyaksikan lakon elit politik yang saling siku. Mereka hanya sesekali dihampiri, diberi sesuatu agar tetap tenang menjadi penonton. Lalu para politisi itu, tetap berdansa, berfoya-foya, jalan-jalan keluar negeri denga alasan study banding. Di sana—di luar negeri—para politisi itu sekaligus menggadaikan hidup orag miskin. Menggadaikan dengan proyek yang hendak ditandatangani kepada funding. Dengan lembut mereka seolah berkata, duduklah dengan tenang. Saksikan kami menjual tanah kalian sedikit demi sedikit. Inilah demokrasi.  

Iya. Inilah demokrasi kita sekarang ini. Wajahnya begitu halus dengan slogan. wajahnya begitu meriah dengan pesta. Wajah elit politik begitu manis tersenyum memenuhi pinggir jalan setelah itu cemberut ketika si miskin menuntut haknya. Demokrasi adalah arena merayakan permukaan. Kepura-puraan, pemberian yang berpamrih. Inilah ketulusan yang semu. Apakah ini kesalahan demokrasi? atau kesalahan orang-orang menggunakannya? 
 

Tulisan ini pernah terbit dalam buku Jejak Dunia Yang Retak, 2012 dengan judul yang sama.

No comments:

Post a Comment