Tuesday, January 5, 2016

Oleh: Asran Salam Dalam keseharian, begitu banyak kita saksikan dalam masyarakat. Sebuah kepongahan atas nama keimanan. Kesalehan y...

Doa Yang Dusta

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Dalam keseharian, begitu banyak kita saksikan dalam masyarakat. Sebuah kepongahan atas nama keimanan. Kesalehan yang bernaung di bawa kuba-kuba masjid. Lantunan doa-doa enggan terputus syahdu. Merdu seakan Tuhan telah  merangkulnya.  Dalam hidup tak hilang dari nalar kita. Bila pernah menjumpai berbagai literal sejarah. Menggambarkan tentang islam bahwa ada wajah kepongahan itu. Ia hadir sejak dulu hingga masuk pada  peradaban kekinian. Kepongahan itu melintasi zaman. Datang menulusuri batin-batin manusia. Menghinggapinya hingga kemapanan begitu mesrah.  Bersatu dalam peradaban selanjutnya.

Sebuah kenyataan yang selama ini kita temukan. Bahwa islam ditangan ulama tampil begitu ringan menyesatkan orang lain.  Ejektif “kafir”  begitu mudah keluar dari bibirnya. Seperti mudahnya doa tasbi, tahmid, tahlil, terucap. Keluar dari rongga-rongga tenggorokannya. Membentuk nada-nada yang miris dan memilukan hingga darah tertumpah adalah hal yang wajar. Mereka begitu ingin dicintai oleh umat dengan label “pembela agama Tuhan”.  Tapi mereka angkuh untuk menumpahkan kasih sayangnya kepada umat yang terpinggirkan. Mereka dengan label agama merupakan perwujudan masyarakat modern. Enggan untuk mencintai sebagaimana ujar Erich froom; “manusia modern hanya ingin dicintai tapi enggan untuk mencintai”.

Doa seperti “opium” seakan  membenarkan argumentasi  orang-orang yang tidak mempercayainya. Bahwa doa adalah bentuk kelemahan yang berkedok kekuatan. Doa tampil sebagai pelarian hinggga mencapai ekstase dan melupakan semuanya.  Doa seperti kepahlawanan yang pudar. Kemalasan yang sok aktif. Doa adalah pengelabuan yang mengecoh banyak orang. Ali Syariati telah mewanti-wanti bentuk doa yang demikian dengan mengatakan; mereka dengan doa seolah-seolah mengenal hari akhirat lebih baik dibanding para akhli geografi mengenal bumi. Peta akhirat terpampang sedemikian jelasnya. Tetapi mengapa mereka setalah membaca buku doa. Itu tak lagi berada ditangan mereka”. Sebuah perhelatan bahwa setelah ber-doa tidak ada yang membekas. Ia tak menggerakkan batin dan membuka nurani untuk melihat kenyataan serta bertindak.


Kesalehan menjadi atribut. Tak lebih menjadih aksesoris menyelimuti diri. Mereka yang dianggap pemegang otoritas agama. Menjadikan doa beku dan tak mencair. Tak tertumpahkan menjadi kebahagiaan pada setiap umat (manusia) disekitarnya.  Kesalehan bergeser jauh meredup pada kerakusan akan materi. Kesalehan tidak lagi menjadi cahaya penerang pada lorong-lorong kepedihan, penderitaan manusia (umat). Tidakkah doa sewajarnya mengantarkan pendo’anya untuk sampai kepada kesalehan sesunguhnya? 

Tidakkah kesalehan sejati adalah menyebarkan rahmat kesuluruh alam ujar Jalaluddin Rakhmat. Misi orang saleh adalah mengobati “luka kehidupan”dengan air kafur yang menyejukkan. Dia memasukkan kebahagian kepada semua orang susah. Tidakkah amal saleh di sisi Tuhan adalah menghibur orang yang menderita dan memberi makan orang lapar?”.

Mungkin kita sering mengdengar tangisan. Ia mengiringi lantunan doa menampilkan perhelatan ke-khusyuan. Disana seolan batin sampai pada penyeselan mendalam akan dosa-dosa yang menggumpal.  Setelah perhelatan  itu, seakan ada kelegaan batin. Seolah dosa telah terhapus dan selanjutnya aktivitas berlanjut seperti semula; cuek akan realitas, kepedulian tetap membeku. Kondisi seperti ini maka benarlah kata Syariati; Do’a yang tercemar oleh bisingnya teriakkan, mereka berteriak keras-keras, hingga “menulikan” hati dan jiwa mereka. Mereka “berkicau” seperti burung beok. Nilai perbuatan mereka tak ubahnya seperti suara-suara binatang belaka. Do’a di pagi hari terlupakan disiang hari”.

Di ruang ini kita menyaksikan agama dengan semua ritulanya. Telah menjadi kemilikan pribadi. Sepertinya ia mengikuti prilaku zaman yang individualistik. Agama sepertinya telah tercemari oleh watak  modern. Yakni mengubah dan mengurai manusia menjadi hampa akan nilai kemanusiaan. Agama layaknya modernisasi dalam pandangan Martin Heidegger; Bahwa modernisasi secara besar-besaran telah mendatangkan negatif yang mengarahkan pada proses musnahnya hakekat manusia. Dari wajah agama yang demikian, barangkali kita masih berharap. Agama dengan segala ritual doa-nya dapat mengurai manusia kepada nilai yang tinggi.

Islam dengan doa yang dipraktikkan selama ini menjadi kehilangan ruh. Sangat jarang kita jumpai denga doa mengantarkan pesan-pesan nurani yang mengetuk pintu-pintu batin yang membeku, menggerakkanya menjadi gelora perjuangan meruntuhkan tembok-tembok kuasa yang tiran, meleburkannya kedasar tanah yang paling dalam kemudian mengangkat kembali kepada nilai kemanusiaanya.

Islam dan perangkat doa yang dimiliki tak lagi menggetarkan jiwa-jiwa untuk meretasnya. Ulama dengan jidad yang hitam petanda tak sedikitpun ruang terlewatkan untuk bersujud. Bahkan separuh malam selalu terbangun menengadahkan tangan ke-atas langit sambil melafazkan asma-asma yang suci. Namun, esok hari kita jumpai para ulama itu “tertidur” lelap dalam pembaringannya yang empuk. Tak sedikit pun suara terdengar dari mulutnya menjadi fatwa bahwa; “Hentikan pemerasan, eksploitasi, perbudakan, pembodohan”. Seperti suara ketika doa terucap. Dengan perilaku sebagian ulama kita membuat ummat kehilangan sandaran atau panutan akan harapan-harapan untuk meraih sedikit kelonggaran hidup akan desakan-desakanya.

Praktik doa para ulama semestinya mampu mencairkan kebekuan batin umat, meleleh menjadi cairan yang membasahi jiwa yang redup untuk melangkah pada sebuah nilai yang subtil. Bukankan semua ritual dalam islam berujung pada penuntasan problem sosial? Andaikan saja bisa dijadikan acuan bagaiman layaknya berdoa seperti Ali Syariati utarakan; doa adalah memohon apa yang telah ditindaklanjuti dengan kelayakan, pekerjaan dan pemikiran. Doa bukan cara ngotot untuk meminta (sesuatu yang mustahil). Ia adalah rentangan kehendak dan hasrat dan akidah-akidah suci manusia. Jika tidak demikian, jiwa akan tetap tersimpuh dalam pasungan materi yang nista dan menjijikkan, doa adalah penyingkapan betapa jauh jarak antara modus being dan  becoming yang harus ditempunya.

Mungkin ada saat-saat kita merindukan sebuah pemandangan ditengah keterpurukan bangsa, tampil sorang ulama. Ia berdiri dan menunjuk semua kebobrokkan serta menggerakkan umat bersama-sama berdiri untuk menghilangkan kebobrokan yang melanda bangsa ini dengan harapan sebuah tatanan baru tercipta yang keluasan ruang bagi orang terpinggirkan selama ini oleh sistem dapat bernafas lega{*}.


Tulisan ini pernah terbit dalam buku Jejak Dunia Yang Retak, 2012 dengan judul Doa.

No comments:

Post a Comment