Oleh: Asran Salam
Dalam keseharian, begitu banyak kita saksikan dalam
masyarakat. Sebuah kepongahan atas nama keimanan. Kesalehan yang bernaung di
bawa kuba-kuba masjid. Lantunan doa-doa enggan terputus syahdu. Merdu seakan
Tuhan telah merangkulnya. Dalam hidup tak hilang dari nalar
kita. Bila pernah menjumpai berbagai literal sejarah. Menggambarkan tentang
islam bahwa ada wajah kepongahan itu. Ia hadir sejak dulu hingga masuk
pada peradaban kekinian. Kepongahan itu melintasi zaman. Datang
menulusuri batin-batin manusia. Menghinggapinya hingga kemapanan begitu mesrah. Bersatu dalam peradaban selanjutnya.
Sebuah kenyataan
yang selama ini kita temukan. Bahwa islam ditangan ulama tampil begitu ringan
menyesatkan orang lain. Ejektif
“kafir” begitu mudah keluar dari bibirnya. Seperti mudahnya doa tasbi,
tahmid, tahlil, terucap. Keluar dari rongga-rongga tenggorokannya. Membentuk
nada-nada yang miris dan memilukan hingga darah tertumpah adalah hal yang
wajar. Mereka begitu ingin dicintai oleh umat dengan label “pembela agama
Tuhan”. Tapi mereka angkuh untuk
menumpahkan kasih sayangnya kepada umat yang terpinggirkan. Mereka dengan
label agama merupakan perwujudan masyarakat modern. Enggan untuk mencintai
sebagaimana ujar Erich froom; “manusia modern hanya ingin dicintai tapi enggan
untuk mencintai”.
Doa
seperti “opium” seakan membenarkan argumentasi orang-orang yang
tidak mempercayainya. Bahwa doa adalah bentuk kelemahan yang berkedok kekuatan.
Doa tampil sebagai pelarian hinggga mencapai ekstase dan melupakan
semuanya. Doa seperti kepahlawanan yang pudar. Kemalasan yang sok aktif.
Doa adalah pengelabuan yang mengecoh banyak orang. Ali Syariati telah
mewanti-wanti bentuk doa yang demikian dengan mengatakan; mereka dengan doa seolah-seolah
mengenal hari akhirat lebih baik dibanding para akhli geografi mengenal bumi.
Peta akhirat terpampang sedemikian jelasnya. Tetapi mengapa mereka setalah
membaca buku doa. Itu tak lagi berada ditangan mereka”. Sebuah perhelatan bahwa
setelah ber-doa tidak ada yang membekas. Ia tak menggerakkan batin dan membuka
nurani untuk melihat kenyataan serta bertindak.
Kesalehan
menjadi atribut. Tak lebih menjadih aksesoris menyelimuti diri. Mereka yang
dianggap pemegang otoritas agama. Menjadikan doa beku dan tak mencair. Tak tertumpahkan
menjadi kebahagiaan pada setiap umat (manusia) disekitarnya. Kesalehan
bergeser jauh meredup pada kerakusan akan materi. Kesalehan tidak lagi menjadi
cahaya penerang pada lorong-lorong kepedihan, penderitaan manusia (umat). Tidakkah
doa sewajarnya mengantarkan pendo’anya untuk sampai kepada kesalehan
sesunguhnya?
Tidakkah kesalehan
sejati adalah menyebarkan rahmat kesuluruh alam ujar Jalaluddin Rakhmat. Misi
orang saleh adalah mengobati “luka kehidupan”dengan air kafur yang menyejukkan.
Dia memasukkan kebahagian kepada semua orang susah. Tidakkah amal saleh di sisi
Tuhan adalah menghibur orang yang menderita dan memberi makan orang lapar?”.
Mungkin
kita sering mengdengar tangisan. Ia mengiringi lantunan doa menampilkan
perhelatan ke-khusyuan. Disana seolan batin sampai pada penyeselan mendalam
akan dosa-dosa yang menggumpal. Setelah perhelatan itu, seakan ada kelegaan batin. Seolah dosa
telah terhapus dan selanjutnya aktivitas berlanjut seperti semula; cuek akan
realitas, kepedulian tetap membeku. Kondisi seperti ini maka benarlah kata
Syariati; Do’a yang tercemar oleh bisingnya teriakkan, mereka berteriak
keras-keras, hingga “menulikan” hati dan jiwa mereka. Mereka “berkicau” seperti
burung beok. Nilai perbuatan mereka tak ubahnya seperti suara-suara binatang
belaka. Do’a di pagi hari terlupakan disiang hari”.
Di ruang ini
kita menyaksikan agama dengan semua ritulanya. Telah menjadi kemilikan pribadi.
Sepertinya ia mengikuti prilaku zaman yang individualistik. Agama sepertinya
telah tercemari oleh watak modern. Yakni
mengubah dan mengurai manusia menjadi hampa akan nilai kemanusiaan. Agama
layaknya modernisasi dalam pandangan Martin Heidegger; Bahwa modernisasi secara
besar-besaran telah mendatangkan negatif yang mengarahkan pada proses musnahnya
hakekat manusia. Dari wajah agama yang demikian, barangkali kita masih
berharap. Agama dengan segala ritual doa-nya dapat mengurai manusia kepada
nilai yang tinggi.
Islam
dengan doa yang dipraktikkan selama ini menjadi kehilangan ruh. Sangat jarang
kita jumpai denga doa mengantarkan pesan-pesan nurani yang mengetuk pintu-pintu
batin yang membeku, menggerakkanya menjadi gelora perjuangan meruntuhkan
tembok-tembok kuasa yang tiran, meleburkannya kedasar tanah yang paling dalam
kemudian mengangkat kembali kepada nilai kemanusiaanya.
Islam dan
perangkat doa yang dimiliki tak lagi menggetarkan jiwa-jiwa untuk meretasnya.
Ulama dengan jidad yang hitam petanda tak sedikitpun
ruang terlewatkan untuk bersujud. Bahkan separuh malam selalu terbangun menengadahkan
tangan ke-atas langit sambil melafazkan asma-asma yang suci. Namun, esok
hari kita jumpai para ulama itu “tertidur” lelap dalam pembaringannya yang
empuk. Tak sedikit pun suara terdengar dari mulutnya menjadi fatwa bahwa;
“Hentikan pemerasan, eksploitasi,
perbudakan, pembodohan”. Seperti suara ketika doa terucap. Dengan perilaku sebagian ulama kita membuat ummat kehilangan
sandaran atau panutan akan harapan-harapan untuk meraih sedikit kelonggaran
hidup akan desakan-desakanya.
Praktik
doa para ulama semestinya mampu mencairkan kebekuan batin umat, meleleh menjadi
cairan yang membasahi jiwa yang redup untuk melangkah pada sebuah nilai yang
subtil. Bukankan semua ritual dalam islam berujung pada penuntasan problem
sosial? Andaikan saja bisa dijadikan acuan bagaiman layaknya berdoa seperti Ali
Syariati utarakan; doa adalah memohon apa yang telah ditindaklanjuti dengan
kelayakan, pekerjaan dan pemikiran. Doa bukan cara ngotot untuk meminta (sesuatu
yang mustahil). Ia adalah rentangan kehendak dan hasrat dan akidah-akidah suci
manusia. Jika tidak demikian, jiwa akan tetap tersimpuh dalam pasungan materi
yang nista dan menjijikkan, doa adalah penyingkapan betapa jauh jarak antara
modus being dan becoming yang harus ditempunya.
Mungkin
ada saat-saat kita merindukan sebuah pemandangan ditengah keterpurukan bangsa, tampil sorang ulama. Ia berdiri dan menunjuk semua kebobrokkan serta
menggerakkan umat bersama-sama berdiri untuk menghilangkan kebobrokan yang
melanda bangsa ini dengan harapan sebuah tatanan baru tercipta yang keluasan
ruang bagi orang terpinggirkan selama ini oleh sistem dapat bernafas lega{*}.
Tulisan ini pernah terbit dalam buku Jejak Dunia
Yang Retak, 2012 dengan judul Doa.
No comments:
Post a Comment