Tuesday, January 5, 2016

Oleh: Asran Salam Kini manusia menciptakan ruang sendiri yang jauh dari sebelumnya. Manusia berada pada kemajuan yang begitu cepat....

Kepalsuan Modern

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Kini manusia menciptakan ruang sendiri yang jauh dari sebelumnya. Manusia berada pada kemajuan yang begitu cepat. Kemajuan yang mungkin manusia itu sendiri tidak pernah menduganya. Manusia dengan nalar rasionalnya tampil sebagai penguasa atas dunia. Tidak ada ruang bagi kekuatan lain untuk mengatur manusia. Kepercayaan kepada sesuatu yang berasal dari luar manusia telah terkalahkan dengan kemajuan nalarnya. Kini sains dan teknologi telah merajai jiwa manusia. Dan, saat ini kita semua merasakan hasilnya. Sekarang ini, kita sedang berada pada sebuah fase  yang disebut dengan modern.

Kuasa pengetahuan telah membawa manusia pada kemajuan. Kemajuan yang begitu laju dengan imaji kemudahan. Tapi benarkah kemudahan itu diberikan pada diri manusia tanpa sebuah dampak yang memilukan? Tidakkah kita perlu untuk melihat apa yang di tuturkan oleh Marshan Berman bahwa, “Ada suatu bentuk pengalaman hidup tentang ruang dan waktu, tentang diri sendiri, tentang pelbagai kemungkinan kehidupan serta marahbahayanya yang oleh pria dan wanita seluruh dunia. saat ini saya akan menyebut bentuk pengalaman ini “modernitas” menjadi modern mendapatkan diri sendiri dalam suatu keadaan yang menjanjikan petualangan, kekuasaan, keriangan, dan pertumbuhan transformasi diri dan dunia serta pada saat yang sama mengancam akan memusnahkan segalanya yang kita punya, yang kita tahu, segalanya dari kita”.  Apa yang diungkap oleh Berman bukankah bentuk sebuah keriasauan dalam melihat kemajuan era ini? Manusia saat ini, dipacu untuk mengikuti lajunya zaman walau harus banyak yang kita nafikan.


Modern adalah kata yang begitu diagungkan oleh banyak orang. Karena dengan mengucapkan kata tersebut ada sebuah stigma progresifitas yang tersimpan dalam imaji. Modern selalu diperhadapkan dengan tradisional. Mengeja kata modern, maka sebuah makna serta merta akan hadir dalam ide. Bahwa ia adalah sesuatu yang tidak kuno, kumuh dan ketinggalan zaman. Tak khayal lagi, modern berarti kecangihan dan kemudahan. Memang dalam modern manusia bisa menjadikan jarak yang jauh menjadi dekat.  Bisa melihat ruang dan belahan dunia yang lain sambil duduk membuka jendela komputer dan kita menikmati segalanya.  Namun  dibalik itu, ada keadaan yang telah teruntuhkan atau porak-poranda. Hikmat Budiman menyebutnya sebagai keadaan-keadaan dan aneka pengalaman modern telah melenyapkan batas-batas geografi, etnisitas, kelas dan nasionalitas, agama dan ideologi.  

Di zaman ini pula, kita banyak kehilangan sesuatu yang mungkin sangat berarti bagi manusia. Lihat saja pada peradaban ini. Manusia selalu digiring untuk mendewakan kesenangan hidup. Hal ini sangat jelas di rekam novel Gunung Makfrifat oleh Tri Wibowo B.S bahwa, peradaban modern senantiasa menggoda kita untuk lari dari diri kita sendiri. Mengubur kecemasan dan kesedihan. Seolah-olah hal-hal yang tidak menyenangkan itu adalah penjahat yang harus dijahui seluruhnya.

Mungkin tepat bila kita mengatakan bahwa zaman ini adalah zaman yang seperti digambarkan oleh Hikmat Budiman dalam bukunya Pembunuhan yang Selalu Gagal bahwa, tak ada yang tersisa waktu dan tempat untuk bisa menjalani dan memaknai hidup dalam damai dan bersahaja. Sebab modernitas telah membuat pola lintasan yang lurus dan serba serentak. Tapi justru ketika itulah, ziarah hidup kita seolah tidak lagi mengenal kata lelah dan istirahat. Tak ada luka yang sempat mengering.

Modern dengan dinamo kemajuaanya menampilkan diri laksana mesin yang berfungsi ganda.  Pelindas sekaligus pembangun, perenggut sekaligus menjajikan segalanya. Segala produk yang dihasilkan begitu lihai di olah dengan mengakumulasi hasrat agar kita cepat menikmatinya. Setalah itu, dengan cepat pula diganti lagi dengan yang baru. Dengan siklus hidup yang diolah sedemikian rupa mungkin terkadang tak tersadari bahwa diri sedang berada dalam keramaiaan. Ramai yang semu, palsu dan sepi karena tak sedikit pun memberikan ruang keheningan untuk menghiggapi selah-selah hidup kita. Barangkali kita manusia modern tak menghiraukan pesan Martin Heidegger bahwa, “keheningan memiliki daya yang unik dan asli—yang hakiki. Keheningan tidak mengisolasi kita dari keberadaan diri kita tetapi mendekatkan eksistensi kita dengan hakikat segala Sesuatu. Kita menjadi dekat dengan diri kita sendiri”.    

Kehilangan keheningan bisa saja berarti keruntuhkan kepedulian. Relung simpati dan empati tak lagi mengisi jiwa. Ia telah sirna dan punah dengan kemewahan dan impresi keindahan zaman ini. Sekarang ini, kita enggan untuk sekedar mengenal nama-nama tetangga kita. Apatahlagi untuk merasakan kerisauan hidup mereka. Bagaimana tidak, kita tak memberi ruang sedikit pun bagi kemiskinan dan penderitaan itu hadir dalam diri. Semua terlena dengan kemewahan. Dan, pada ruang seperti ini sepertinya Dominique dalam novelnya City Of Joy  benar bahwa, “hanya seorang miskin yang bisa menghargai nilai kemiskinan. Hanya seorang miskin yang tahu nilai penderitaan.

Saat ini bahwa begitu susah dan sulit manusia merasakan dan melihat apa yang terjadi disekitarnya. Bahkan ironinya, banyak mengaku peduli namun di baliknya terselubung hasrat kepentingan akumulasi modal. Manusia modern pada akhirnta mengalami keluapaan eksistensi. Modern dengan manusianya barangkali telah keluar dari oreantasi hidup sesunguhnya. Ibaratnya manusia saat ini, sedang berada pada rimba yang lebat dan tidak mengetahui di mana tepi timba tersebut.  Rimba itu menyilaukan dan di dalamnya pesta begitu meriah dengan minuman yang memabukkan dan membuat kepala pening hingga peta hidup pun tidak jelas dalam pandangan.

Hari ini perlbagai krisis terjadi; teror, konflik, krisis lingkungan serta kekerasan dan krisis eksistensial menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Modern memberi imaji semu tentang kebahagiaan. Pada akhirnya, dunia modern telah menemukan bentuknya yang ekstirm dengan terciptanya masyarakat konsumtif—konsumerisme. yakni sebuah bentukan masyarakat dengan percepatan konsumsi [konsumsi yang berlebihan]. Dan, dalam konsumerisme semuanya telah disimulasikan menjadi nyata yang sesungguhnya semu.



Tulisan ini pernah terbit dalam buku Jejak Dunia Yang Retak, 2012 dengan judul Modern.

No comments:

Post a Comment