Oleh: Asran Salam
Kini manusia menciptakan ruang sendiri yang jauh dari sebelumnya.
Manusia berada pada kemajuan yang begitu cepat. Kemajuan yang mungkin manusia
itu sendiri tidak pernah menduganya. Manusia dengan nalar rasionalnya tampil
sebagai penguasa atas dunia. Tidak ada ruang bagi kekuatan lain untuk mengatur
manusia. Kepercayaan kepada sesuatu yang berasal dari luar manusia telah terkalahkan
dengan kemajuan nalarnya. Kini sains dan teknologi telah merajai jiwa manusia.
Dan, saat ini kita semua merasakan hasilnya. Sekarang ini, kita sedang berada
pada sebuah fase yang disebut dengan modern.
Kuasa pengetahuan telah membawa manusia pada kemajuan. Kemajuan yang
begitu laju dengan imaji kemudahan. Tapi benarkah kemudahan itu diberikan pada
diri manusia tanpa sebuah dampak yang memilukan? Tidakkah kita perlu untuk
melihat apa yang di tuturkan oleh Marshan Berman bahwa, “Ada suatu bentuk
pengalaman hidup tentang ruang dan waktu, tentang diri sendiri, tentang
pelbagai kemungkinan kehidupan serta marahbahayanya yang oleh pria dan wanita
seluruh dunia. saat ini saya akan menyebut bentuk pengalaman ini “modernitas”
menjadi modern mendapatkan diri sendiri dalam suatu keadaan yang menjanjikan
petualangan, kekuasaan, keriangan, dan pertumbuhan transformasi diri dan dunia
serta pada saat yang sama mengancam akan memusnahkan segalanya yang kita punya,
yang kita tahu, segalanya dari kita”. Apa yang diungkap oleh Berman bukankah bentuk
sebuah keriasauan dalam melihat kemajuan era ini? Manusia
saat ini, dipacu untuk mengikuti lajunya zaman walau harus banyak yang kita
nafikan.
Modern adalah kata yang begitu diagungkan oleh banyak orang. Karena
dengan mengucapkan kata tersebut ada sebuah stigma progresifitas yang tersimpan
dalam imaji. Modern selalu diperhadapkan dengan tradisional. Mengeja kata
modern, maka sebuah makna serta merta akan hadir dalam ide. Bahwa ia adalah
sesuatu yang tidak kuno, kumuh dan ketinggalan zaman. Tak khayal lagi, modern berarti
kecangihan dan kemudahan. Memang dalam modern manusia bisa menjadikan jarak
yang jauh menjadi dekat. Bisa melihat ruang
dan belahan dunia yang lain sambil duduk membuka jendela komputer dan kita
menikmati segalanya. Namun dibalik itu, ada keadaan yang telah
teruntuhkan atau porak-poranda. Hikmat
Budiman menyebutnya sebagai keadaan-keadaan dan aneka pengalaman modern telah melenyapkan
batas-batas geografi, etnisitas, kelas dan nasionalitas, agama dan ideologi.
Di zaman ini pula, kita banyak kehilangan sesuatu yang mungkin
sangat berarti bagi manusia. Lihat saja pada peradaban
ini. Manusia selalu digiring untuk mendewakan kesenangan hidup. Hal ini sangat jelas di rekam novel Gunung
Makfrifat oleh Tri Wibowo B.S bahwa, “peradaban
modern senantiasa menggoda kita untuk lari dari diri kita sendiri. Mengubur
kecemasan dan kesedihan. Seolah-olah hal-hal yang tidak menyenangkan itu adalah
penjahat yang harus dijahui seluruhnya”.
Mungkin tepat bila kita mengatakan bahwa zaman ini adalah zaman
yang seperti digambarkan oleh Hikmat Budiman dalam bukunya Pembunuhan yang Selalu Gagal bahwa, “tak
ada yang tersisa waktu dan tempat untuk bisa menjalani dan memaknai hidup dalam
damai dan bersahaja. Sebab modernitas telah membuat pola lintasan yang lurus
dan serba serentak. Tapi justru ketika itulah, ziarah hidup kita seolah tidak
lagi mengenal kata lelah dan istirahat. Tak ada luka yang sempat mengering”.
Modern dengan dinamo kemajuaanya menampilkan diri laksana mesin
yang berfungsi ganda. Pelindas sekaligus
pembangun, perenggut sekaligus menjajikan segalanya. Segala produk yang
dihasilkan begitu lihai di olah dengan mengakumulasi hasrat agar
kita cepat menikmatinya. Setalah itu, dengan cepat pula diganti lagi dengan
yang baru. Dengan siklus hidup yang diolah sedemikian rupa mungkin terkadang
tak tersadari bahwa diri sedang berada dalam keramaiaan.
Ramai yang semu, palsu dan sepi karena tak sedikit pun memberikan ruang
keheningan untuk menghiggapi selah-selah hidup kita. Barangkali kita manusia
modern tak menghiraukan pesan Martin Heidegger bahwa, “keheningan
memiliki daya yang unik dan asli—yang hakiki. Keheningan tidak mengisolasi kita
dari keberadaan diri kita tetapi mendekatkan eksistensi kita dengan hakikat
segala Sesuatu. Kita menjadi dekat dengan diri kita sendiri”.
Kehilangan keheningan bisa saja
berarti
keruntuhkan kepedulian. Relung simpati dan empati tak lagi mengisi jiwa. Ia
telah sirna dan punah dengan kemewahan dan impresi keindahan zaman ini. Sekarang
ini, kita enggan untuk sekedar mengenal nama-nama tetangga kita. Apatahlagi
untuk merasakan kerisauan hidup mereka. Bagaimana tidak, kita tak memberi ruang
sedikit pun bagi kemiskinan dan penderitaan itu hadir dalam diri. Semua terlena
dengan kemewahan. Dan, pada ruang seperti ini sepertinya Dominique dalam
novelnya City Of Joy benar bahwa, “hanya seorang miskin yang bisa menghargai nilai
kemiskinan. Hanya seorang miskin yang tahu nilai penderitaan”.
Saat ini bahwa begitu susah dan sulit manusia merasakan dan melihat
apa yang terjadi disekitarnya. Bahkan ironinya, banyak mengaku peduli namun di
baliknya terselubung hasrat kepentingan akumulasi modal. Manusia modern pada
akhirnta mengalami keluapaan eksistensi. Modern dengan manusianya barangkali telah keluar dari oreantasi hidup sesunguhnya. Ibaratnya
manusia saat ini, sedang berada pada rimba yang lebat dan tidak mengetahui di
mana tepi timba tersebut. Rimba itu
menyilaukan dan di dalamnya pesta begitu meriah dengan minuman yang memabukkan
dan membuat kepala pening hingga peta hidup pun tidak jelas dalam pandangan.
Hari ini perlbagai krisis terjadi; teror, konflik, krisis
lingkungan serta kekerasan dan krisis eksistensial menjadi nyata dalam
kehidupan manusia. Modern memberi imaji semu tentang kebahagiaan. Pada
akhirnya, dunia modern telah menemukan bentuknya yang ekstirm dengan
terciptanya masyarakat konsumtif—konsumerisme. yakni sebuah bentukan masyarakat
dengan percepatan konsumsi [konsumsi
yang berlebihan]. Dan, dalam konsumerisme semuanya telah disimulasikan menjadi
nyata yang sesungguhnya semu.
No comments:
Post a Comment