Tuesday, January 5, 2016

Oleh Asran Salam   “Bukankah tiada kata tanpa nalar” --Socrates-- Kata Socrates di atas ingin menunjukkan keberpihakannya ...

Tragedi Nalar

No comments:
 


Oleh Asran Salam


 “Bukankah tiada kata tanpa nalar”
--Socrates--

Kata Socrates di atas ingin menunjukkan keberpihakannya kepada nalar. Ada gerak untuk menghidupkan nalar manusia. Bahwa nalar pada manusia dapat mengantar kepada kebahagiaan yang sejati.  Keberpihakan Ia pada nalar tak diduganya berefek pengadilan untuk dirinya. Pengadilan yang memutuskan agar dirinya  minum racun sebagai bentuk hukuman. Namun, apakah kematiannya serta merta mebunuh nalar? Tentunya tidak. Bahkan gagasan-gagasannya hidup hingga sekarang ini. Masih bisa dinikamti dan tidak sedikit dijadikan inspirasi dalam menjalani hidup.

Diwaktu yang lain, jauh dari zaman Socrates. Tragedi serupa pernah terjadi. Pembunuhan terhadap nalar terus berlanjut. Kini korbannya adalah Copernicus dan Galileo. Kedua tokoh ini, juga berupaya menghidupkan nalar. Upaya mereka itu pun, menemui tragedi seperti apa yang menimpa Socrates. Tapi apakah upaya pembunuhan itu telah benar-benar membunuh nalar? Sekali jawabnya tetap sama; tidak. Tradisi nalar tetap hidup hingga mencapai puncak kemenangannya. Ada sederet tokoh atau filosof yang meneguhkanya. Rene Descartes, Imanuel kant, David Hume dan  yang lain menjadi aktornya.  Barangkali disinislah kebenaran kata-kata Hikmat Budiman pembunuhan terhadap nalar adalah pembunuhan yang selalu gagal.

Pembunuhan yang gagal terhadap nalar, pada akhirnya menciptakan ruang yang begitu luas untuknya.  Mengembara hingga menciptakan sebuah peradaban yang saat ini dikenal dengan peradaban modern.  Kita mafhum, bahwa era modern adalah era pradox. Karena paradox modern itu,  Mungkin yang memberi jalan bagi sang pembunuh nalar berikutnya. Barangkali karena nalar modern tampil semakin tak jelas saja ke arah mana peradaban manusia akan dibawa.

Ruang paradox modern itulah, menempatkan dan memberi panggung bagi Nietzsche. Ia sebagai tokoh yang tampil perkasa dan mengguncang sebagai “pembunuh”. Ia yang berteriak lantang untuk menghabisi nalar. Akan tetapi, model pembunuhan nalar oleh Nietzsche, bukanlah seperti model kaum gerejawan terhadap Copernicus dan Galileo. Atau seperti yang terjadi pada Socrates. Yang terjadi, nalar yang ingin dibunuhnya yakni nalar yang telah membawa manusia kepada kepongahan absolutisme dan universalitas. Nalar yang telah menjadi hakim bagi segala-segalanya. Nalar yang telah menggatikan Tuhan. Yang telah menjadi keyakinan baru.

Apa yang dilakukan oleh Nietzsche—dalam upayanya membunuh nalar, sebenarnya tak salah bila kita menagatakan bahwa ia telah menciptakan nalar baru. Yakni nalar ketidakpercayaan pada modern.  Namun, itu tak tanpa alasan.  Sebab bagi Nietsche, manusia sekarang ini telah kehilangan otentik-nya. Ia telah tercemari sebuah absolutisme klaim. Universalitas moral serta ketunggalan kebenaran.     

Pada perjalanan “pembunuhan” nalar modern selanjutnya, ternyata Nietsche tak sendirian dalam melakukan hal itu. Ada tokoh selanjutnya juga melakukan hal yang sama. Disitu, ada Michel Foucault yang mengkritik. Foucault mengkritik nalar sains dengan proyek pencerahan dan rasionalitas modern. Karena itu, bagi Foucoult, manusia modern telah kehilangan dirirnya sebagai subjek yang berkesadaran. Ia telah dikepung oleh praktik-praktik objektivikasi.  Foucault melalui geneologisnya, melihat bahwa sains melahirkan teknologi-teknologi kuasa yang mengontrol hidup manusia. Tuturnya, pengetahuan dan kebenaran adalah produksi kuasa, bukan representase realitas. Dan nalar adalah kaki tangan kuasa yang immanen.

Tak berhenti sampai disitu. Tak hanya Nietzsche dan Foucoult sang pembunuh terhadap nalar modern. Ia tidak hanya terjadi pada kalangan pemikir bebas. Namun, dibelahan lain adapula yang berteriak untuk membunuh nalar yakni kaum agamawan seperti Kristen, Islam serta Vedik Hindu yang mengaggap bahwa nalar modern dapat meruntuhkan keimanan—dan faktanya memang banyak demikian. Nalar modern tidak sedikit melahirkan ateisme. Dan kita semua tahu bahwa ateisme bisa dibilang sebagai salah satu musuh kaum agamawan.

Jika demikian perihal nalar, sepertinya pembunuhan adalah epos yang terus bergerak melintasi zaman dan peradaban manusia. Lalu, jika demikian apakah nalar tetap akan menjadi hakim dan bertengger pada singgasana puncak peradaban manusia? ataukah ia akan dilupakan? Mungkinkan itu? Bukankah pada sisi yang lain nalar itu seperti matahari bagi manusia yang selalu memberi kehidupan di muka bumi ini. Dengan nalar pula, bukan dengan itu kita dapat membedakan antara “ada” dengan ‘tiada”, “terang” dan “gelap”, “langit” dan “bumi’. Jikalau kenyataanya nalar tak memberi apa-apa pada manusia seyogiyanya kita memilih apa yang telah dipilih oleh Albert Camus bahwa:

  O...teman, sudalah! Hentikan perjalanan yang hanya melahirkan kegetiran demi kegetiran, penderitaan demi penderitaan, kejatuhan demi kejatuhan. Mari kita sudahi kehidupan yang tak berujung ini dengan meniadakan diri kita masing-masing bukankah dengan peniadaan dan pengasingan diri ini kita menjadi terbebaskan dari neraka dunia ini”.

Tapi bila diamati bukankah ajakan Albert Camus di atas, tidakkah juga menawarkan nalar—sebut saja nalar absurditas. Segalanya memang bukanlah nalar. Tapi ada hasrat dan libido kuasa yang selalu saja mendompleng terhadap kekuatan nalar. Inilah nalar yang seharusnya dibunuh. Nalar yang kelihatannya agung akan tetapi tersimpan hasrat kepetingan untuk kuasa—untuk mendominasi. Nalar yang kelihatanya memiliki semangat untuk membebaskan manusia akan tetapi menciptakan kebelengguan pada manusia.

Barangkali nalar harus betul-betul bertanggung jawab pada kemanusiaan yang hakiki. Sehingga dengan itu, perlu kita akhirnya menerima nalar. Dengan itu barangkali kita akan berkata biarkanlah kebisingan dan kepengapan tengtannya [nalar] di dunia ini tidak untuk diratapi melainkan diri sepatutnya berada pada keberanian memilih pilihan nalar yang bertnaggung jawab. Dan, sebagi penutup ada kiranya kita mendendangkan senadung puisi yang bernalar dari Husain Heriyanto.“Arungi lautan Kehidupan yang tak berujung ini//Bersama nalar yang berdisplin dan bertanggung jawab//Hadapi hantaman badai demi badai//Tuhan akan menjulurkan rahasia jubahNya Kepada kita; wakilNya”.


Tulisan ini pernah terbit dalam buku Jejak Dunia Yang Retak, 2012 dengan judul Nalar.

No comments:

Post a Comment