Oleh Asran Salam
“Bukankah tiada kata tanpa nalar”
--Socrates--
Kata Socrates di atas ingin menunjukkan keberpihakannya kepada
nalar. Ada gerak untuk menghidupkan nalar manusia. Bahwa nalar pada manusia dapat mengantar kepada kebahagiaan yang sejati. Keberpihakan Ia pada nalar tak diduganya berefek pengadilan untuk
dirinya. Pengadilan yang
memutuskan agar dirinya minum
racun sebagai bentuk hukuman. Namun, apakah kematiannya serta
merta mebunuh nalar? Tentunya tidak. Bahkan
gagasan-gagasannya hidup hingga sekarang ini. Masih bisa dinikamti dan tidak
sedikit dijadikan inspirasi dalam menjalani hidup.
Diwaktu yang lain, jauh dari zaman Socrates. Tragedi serupa pernah terjadi. Pembunuhan
terhadap nalar terus berlanjut. Kini korbannya
adalah Copernicus dan Galileo. Kedua tokoh ini, juga berupaya menghidupkan
nalar. Upaya
mereka itu pun, menemui tragedi seperti apa yang menimpa Socrates. Tapi apakah
upaya pembunuhan itu telah benar-benar membunuh nalar? Sekali jawabnya tetap
sama; tidak. Tradisi nalar tetap hidup hingga mencapai puncak kemenangannya. Ada sederet tokoh atau filosof yang meneguhkanya. Rene Descartes, Imanuel kant, David Hume dan yang lain menjadi aktornya. Barangkali
disinislah kebenaran kata-kata Hikmat Budiman pembunuhan terhadap nalar adalah pembunuhan yang selalu gagal.
Pembunuhan yang gagal terhadap nalar, pada
akhirnya menciptakan ruang yang begitu luas untuknya. Mengembara
hingga menciptakan sebuah peradaban yang saat ini dikenal dengan peradaban
modern. Kita mafhum, bahwa era modern adalah era pradox. Karena paradox modern itu, Mungkin yang memberi
jalan bagi sang pembunuh nalar berikutnya. Barangkali
karena nalar modern tampil semakin tak jelas saja ke arah mana peradaban
manusia akan dibawa.
Ruang paradox modern
itulah, menempatkan dan memberi panggung bagi Nietzsche.
Ia sebagai tokoh yang tampil perkasa dan mengguncang sebagai “pembunuh”. Ia yang
berteriak lantang untuk menghabisi nalar. Akan
tetapi, model pembunuhan nalar oleh Nietzsche, bukanlah seperti model kaum
gerejawan terhadap Copernicus dan Galileo. Atau seperti yang terjadi pada Socrates. Yang
terjadi, nalar yang ingin dibunuhnya yakni nalar yang
telah membawa manusia kepada kepongahan absolutisme dan universalitas. Nalar
yang telah menjadi hakim bagi segala-segalanya. Nalar yang telah menggatikan
Tuhan. Yang telah menjadi keyakinan baru.
Apa yang dilakukan oleh Nietzsche—dalam upayanya membunuh nalar, sebenarnya tak salah bila kita menagatakan bahwa ia telah
menciptakan nalar baru. Yakni nalar
ketidakpercayaan pada modern. Namun, itu tak tanpa
alasan. Sebab bagi Nietsche, manusia sekarang ini telah kehilangan otentik-nya. Ia telah tercemari sebuah absolutisme
klaim. Universalitas moral serta ketunggalan kebenaran.
Pada perjalanan “pembunuhan” nalar modern selanjutnya, ternyata Nietsche
tak sendirian dalam melakukan hal itu. Ada
tokoh selanjutnya juga melakukan hal yang sama. Disitu, ada Michel
Foucault yang mengkritik. Foucault mengkritik
nalar sains dengan proyek pencerahan dan rasionalitas modern. Karena
itu, bagi Foucoult, manusia modern telah kehilangan dirirnya sebagai subjek
yang berkesadaran. Ia
telah dikepung oleh praktik-praktik objektivikasi. Foucault melalui geneologisnya, melihat
bahwa sains melahirkan teknologi-teknologi kuasa yang mengontrol hidup manusia. Tuturnya, pengetahuan dan kebenaran adalah produksi kuasa,
bukan representase realitas. Dan nalar adalah kaki tangan kuasa yang immanen.
Tak berhenti sampai disitu. Tak hanya Nietzsche dan Foucoult sang
pembunuh terhadap nalar modern. Ia tidak hanya terjadi pada kalangan pemikir
bebas. Namun, dibelahan lain adapula yang
berteriak untuk membunuh nalar yakni kaum agamawan seperti Kristen, Islam serta
Vedik Hindu yang mengaggap bahwa nalar modern dapat meruntuhkan keimanan—dan
faktanya memang banyak demikian. Nalar modern tidak sedikit melahirkan ateisme.
Dan kita semua tahu bahwa ateisme bisa dibilang sebagai salah satu musuh kaum
agamawan.
Jika demikian perihal nalar, sepertinya pembunuhan adalah epos
yang terus bergerak melintasi zaman dan peradaban manusia. Lalu, jika demikian
apakah nalar tetap akan menjadi hakim dan bertengger pada singgasana puncak
peradaban manusia? ataukah ia akan dilupakan? Mungkinkan itu? Bukankah pada
sisi yang lain nalar itu seperti matahari bagi manusia yang selalu memberi
kehidupan di muka bumi ini. Dengan nalar pula, bukan dengan itu kita dapat
membedakan antara “ada” dengan ‘tiada”, “terang” dan “gelap”, “langit” dan
“bumi’. Jikalau kenyataanya nalar tak memberi apa-apa pada manusia seyogiyanya
kita memilih apa yang telah dipilih oleh Albert Camus bahwa:
“ O...teman, sudalah!
Hentikan perjalanan yang hanya melahirkan kegetiran demi kegetiran, penderitaan
demi penderitaan, kejatuhan demi kejatuhan. Mari kita sudahi kehidupan yang tak
berujung ini dengan meniadakan diri kita masing-masing bukankah dengan
peniadaan dan pengasingan diri ini kita menjadi terbebaskan dari neraka dunia
ini”.
Tapi bila diamati bukankah ajakan Albert Camus di atas, tidakkah
juga menawarkan nalar—sebut saja nalar absurditas. Segalanya memang bukanlah
nalar. Tapi ada hasrat dan libido kuasa yang selalu saja mendompleng terhadap
kekuatan nalar. Inilah nalar yang seharusnya dibunuh. Nalar yang kelihatannya
agung akan tetapi tersimpan hasrat kepetingan untuk kuasa—untuk mendominasi.
Nalar yang kelihatanya memiliki semangat untuk membebaskan manusia akan tetapi
menciptakan kebelengguan pada manusia.
Barangkali nalar harus betul-betul bertanggung jawab pada
kemanusiaan yang hakiki. Sehingga dengan itu, perlu kita akhirnya menerima
nalar. Dengan itu barangkali kita akan berkata biarkanlah kebisingan dan
kepengapan tengtannya [nalar] di dunia ini tidak untuk diratapi melainkan diri
sepatutnya berada pada keberanian memilih pilihan nalar yang bertnaggung jawab.
Dan, sebagi penutup ada kiranya kita mendendangkan senadung puisi yang bernalar
dari Husain Heriyanto.“Arungi lautan Kehidupan yang tak berujung ini//Bersama
nalar yang berdisplin dan bertanggung jawab//Hadapi hantaman badai demi badai//Tuhan
akan menjulurkan rahasia jubahNya Kepada kita; wakilNya”.
No comments:
Post a Comment