Oleh: Asran Salam
Di penjara yang gelap pada
detik-detik hukuman jatuh. Tangisan murid-murid yang riuh memenuhi ruang
penjara. Tangisan perpisahan dengan sang bijak. Sikap keterbukaan akan
“terpenggal” oleh klaim yang tunggal dan absah tentang kebenaran. Racun telah mengakhiri
hidup pada penjelajahan pikiran kritis. Dia telah mati. Socrates sang bijak
telah pergi. Hukuman telah membuatnya berhenti untuk menjadi “bidan”. Menjadi
dukun yang bukan untuk melahirkan anak tetapi melahirkan gagasan yang kritis.
Socrates membela keterbukaan
terhadap semua gagasan. Membela melalui perenungan jalan filsafat. Dia mengajak anak-anak muda untuk berpikir
kritis. Medorong jiwa-jiwa muda pada dimensi keterbukaan. Membuka cakrawala
untuk melihat dunia layaknya bayi yang baru lahir. Jauh dari zaman Socrates,
seorang pemikir Islam
memilih jalan yang sama.
Dia seoarang yang terkenal kearifan dan kecerdasannya. Dia pun membela
keterbukan. Mengajak orang untuk belajar filsafat. Ia ditentang oleh segelintir
manusia yang menyebut diri mereka ulama. Para ulama itu jumawa, selalu merasa bahwa ditangan
merekalah kebenaran itu absah. Pada tangannya itu, hidup pemuda Islam itu berakhir.
Pilihannya dalam membela keterbukaan harus berakhir. Terkurung dalam ruang yang sempit yang bernama
penjara. Tercekik dalam kelaparan.
Syihabuddin Suhrawardi, nama pemuda
itu. Ia menemui ajalnya seperti pendahulunya; Socrates. Ini konsekuensi yang ia
harus terima jikalau mengajak masyarakat untuk lepas. Bebas dari belenggu
fanatisme. Lepas dari sekat mazhab. Membangun kesadaran heterogenitas. Antara
Socrates dan Suhrawardi mengambil jalan sama dan juga berakhir dengan sama. Dalam membela keterbukaan, khususnya pada tata sosial yang
jumawa. Sepertinya ada dua dimensi yang salin menyertakan. Di sana ada kematian yang menanti
dan ada hidup yang melampui ruang dan waktu. Socrates dan Suhrawardi telah
memenuhi takdirnya. Mereka telah mati. Namun, ada yang selalu hidup dari keduanya. Dan, ini yang mungkin saja terlupakan dari para penghukum itu. Bahwa pikiran itu
selalu hidup. Ia akan hidup pada jiwa-jiwa yang telah menyentuhnya.
Bagi pengabsah kebenaran,
keterbukaan adalah jalan hidup yang munafik. Barangkali mereka melihat
keterbukaan sebagai jalan untuk memberi ruang pada semua gagasan lalu menerimanya sebagai keyakinan dan kebenaran. Lalu mereka
berkata, "kalau kita telah memilih kebenaran maka tidak usah mengujinya dengan
yang lain karena itu kesia-siaan". Mungkin mereka lupa, bahwa kebenaran bukan
pada klaim. Kebenaran yang benar ada pada rentetan pengujian yang panjang. Dan
pada sisi itu kita harus memberi ruang untuk menjadi “skeptik”.
Socrates dan Suhrawardi memilih
jalan “skeptik”. Yang
mana bagi mereka “penegak kebenaran” merupkan sebuah jalan yang tak berpendirian.
Jalan yang penuh dengan kegelisahan. Hidup yang tak aman. Barangkali mereka tak
menyadari bahwa memang untuk menemui kebenaran. Padanya tersertakan kegelisahan
dan ketakamanan. Bukankah kebenaran itu adalah jalan transendental yang tak
mengenal zona aman?
No comments:
Post a Comment