Monday, January 4, 2016

Oleh: Asran Salam Di penjara yang gelap pada detik-detik hukuman jatuh. Tangisan murid-murid yang riuh memenuhi ruang penjara. Ta...

Dosa Keterbukaan

No comments:
 


Oleh: Asran Salam


Di penjara yang gelap pada detik-detik hukuman jatuh. Tangisan murid-murid yang riuh memenuhi ruang penjara. Tangisan perpisahan dengan sang bijak. Sikap keterbukaan akan “terpenggal” oleh klaim yang tunggal dan absah tentang kebenaran. Racun telah mengakhiri hidup pada penjelajahan pikiran kritis. Dia telah mati. Socrates sang bijak telah pergi. Hukuman telah membuatnya berhenti untuk menjadi “bidan”. Menjadi dukun yang bukan untuk melahirkan anak tetapi melahirkan gagasan yang kritis.

Socrates membela keterbukaan terhadap semua gagasan. Membela melalui perenungan jalan filsafat.  Dia mengajak anak-anak muda untuk berpikir kritis. Medorong jiwa-jiwa muda pada dimensi keterbukaan. Membuka cakrawala untuk melihat dunia layaknya bayi yang baru lahir. Jauh dari zaman Socrates, seorang pemikir Islam memilih jalan yang sama. Dia seoarang yang terkenal kearifan dan kecerdasannya. Dia pun membela keterbukan. Mengajak orang untuk belajar filsafat. Ia ditentang oleh segelintir manusia yang menyebut diri mereka ulama. Para ulama itu jumawa, selalu merasa bahwa ditangan merekalah kebenaran itu absah. Pada tangannya itu, hidup pemuda Islam itu berakhir. Pilihannya dalam membela keterbukaan harus berakhir.  Terkurung dalam ruang yang sempit yang bernama penjara. Tercekik dalam kelaparan.


Syihabuddin Suhrawardi, nama pemuda itu. Ia menemui ajalnya seperti pendahulunya; Socrates. Ini konsekuensi yang ia harus terima jikalau mengajak masyarakat untuk lepas. Bebas dari belenggu fanatisme. Lepas dari sekat mazhab. Membangun kesadaran heterogenitas. Antara Socrates dan Suhrawardi mengambil jalan sama dan juga berakhir dengan sama.  Dalam membela keterbukaan, khususnya pada tata sosial yang jumawa. Sepertinya ada dua dimensi yang salin menyertakan. Di sana ada kematian yang menanti dan ada hidup yang melampui ruang dan waktu. Socrates dan Suhrawardi telah memenuhi takdirnya. Mereka telah mati. Namun, ada yang selalu hidup dari keduanya. Dan, ini yang mungkin saja terlupakan dari para penghukum itu. Bahwa pikiran itu selalu hidup. Ia akan hidup pada jiwa-jiwa yang telah menyentuhnya.

Bagi pengabsah kebenaran, keterbukaan adalah jalan hidup yang munafik. Barangkali mereka melihat keterbukaan sebagai jalan untuk memberi ruang pada semua gagasan lalu menerimanya sebagai keyakinan dan kebenaran. Lalu mereka berkata, "kalau kita telah memilih kebenaran maka tidak usah mengujinya dengan yang lain karena itu kesia-siaan". Mungkin mereka lupa, bahwa kebenaran bukan pada klaim. Kebenaran yang benar ada pada rentetan pengujian yang panjang. Dan pada sisi itu kita harus memberi ruang untuk menjadi “skeptik”.

Socrates dan Suhrawardi memilih jalan skeptik”. Yang mana bagi mereka “penegak kebenaran” merupkan sebuah jalan yang tak berpendirian. Jalan yang penuh dengan kegelisahan. Hidup yang tak aman. Barangkali mereka tak menyadari bahwa memang untuk menemui kebenaran. Padanya tersertakan kegelisahan dan ketakamanan. Bukankah kebenaran itu adalah jalan transendental yang tak mengenal zona aman?

Keterbukaan adalah jalan skeptik. Menjadi skeptik bukan berarti meniadakan kebenaran. Skeptik adalah jalan atas tidak keterburu-buruan pada klaim kebenaran. Tidakkah memang hidup hanya upaya? Berupaya “memungut” serta merangkai serpihan-serpihan kebenaran yang berserakan. Yang berserak itu, lalu ia dijadikannya utuh dan paripurna. Bagi “penegak kebenaran”.  tak menyimpan sedikit pada perenungannya, bahwa kebenaran bukanlah suatu yang terberi begitu saja. Ia adalah proses pencarian yang panjang. Mereka mungkin lupa atau tak  menyadari, bahwa dalam pencarian kebenaran, di sana harus tersimpan sikap keterbukaan. Sebab, ia adalah konsekuensi pengabdi jalan kebenaran.

No comments:

Post a Comment