Monday, January 4, 2016

Oleh: Asran Salam Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan. Merintih k...

Tak Soal Kiri Atau Kanan

No comments:
 
Oleh: Asran Salam




Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Saya bermimpi tentang dunia, dimana tokoh agama, buruh, pemuda bangkit berkata; Stop semua kemunafikan. Stop semua pembunuhan atas apapun. Tak ada rasa benci pada siapaun, agama apapun, dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
 Soe Hok Gie
[1942-1969]

Di sebuah daerah yang sempit tak jauh dari kota. Daerah yang hanya disesaki dengan gang – gang keciltak ada jalan besar. Di daerah itu banyak anak-anak yang tak mampu sekolah. Orang tua dari anak-anak tak punya cukup uang untuk menyekolahkan anak mereka. Di daerah itu, ada sekolompok anak muda; laki dan perempuan. Mereka membentuk sebuah kelompok kecil. Mereka membetuk kelompok itu atas nama kepedulian. Peduli terhadap anak-anak yang tak sekolah itu.

Sekelompok anak muda itu memilih jalan hidup untuk mengabdikan diri dengan setia mengajari anak-anak yang tak sekolah itu. Mereka bersusah paya menghadirkan buku-buku di daerah itu. Mereka kadang mendatangi satu persatu orang dianggap memiliki koleksi buku dan diajak untuk menyumbangkan bukunya. Dengan jalan itu akhirnya, anak-anak yang putus sekolah dapat menikmati buku-buku secara gratis. Mereka merasa bahagia belajar tanpa harus terkurung dalam sebuah kubus bernama sekolah.

Pada tulisan ini, saya, tidak akan fokus tentang bagaimana sekelompok anak muda itu mengajar anak-anak putus sekolah itu. Tapi saya ingin melihat tentang suatu sikap kepedulian dari anak muda. Tentang sebuah ritus dan keimanan akan pentingnya berbagi; bahwa ia suatu pilihan kosmik bagi subjek yang sadar dengan itu. Saya ingin menyebut mereka sebagai aktivis. Berbicara subjek yang sadar, seketika timbul tanya dalam diri saya, darimana datangnya kesadaran anak-anak muda itu?

Karena pertanyaan itu ada dipikiranku, saya pun ajukan kepada mereka. Dari jawaban mereka aku begitu takjub. Karena rata-rata mereka menjawab bahwa kesadaran itu muncul karena semenjak kecil orang tua mereka telah menanamkan agar selalu berbagi pada yang tak “mampu”. Lalu saya bertanya lagi kepada mereka, “apakah kalian sering membaca buku? Tanya ini hadir dalam benakku karena biasanya (Baca:Kebanyakan) mereka yang sering melakukan aktivitas seperti ini, sebelumnya banyak bergelut dengan buku-buku yang bernuansa kritis-pemberontakan (Marx, Badiou, Zizek, Satre, Habermas, dll) sebagai alas gerak-tindakan.


“Kami suka sekali baca buku, tapi kami hanya banyak membaca buku novel-romantis seperti Layla dan Majnun, Kahlil Gibran dll. Adapun buku-buku kritis kami tidak telalu mendalami bahkan cederung tidak paham karena mungkin kemampuan kami tidak memadai”. Dari jawaban mereka, saya jadi takjub yang kedua kalinya. Benar-benar mereka adalah sekelompok anak muda-aktivis yang tidak seperti kebanyakan. Mereka mempunyai kepedulian kepada orang yang terpinggirkan tanpa harus menemukan diri mereka dalam alas teori yang kritis seperti dalam tokoh-tokoh yang populis selama ini. Mereka hanya senang pada cerita yang romantis.  Dengan tokoh-tokoh yang laku hidupnya banyak “pata-hati”- Galau.      

Mereka tak khatam Marx. Yang mana kita tahu bahwa Marx begitu rinci menggambarkan bagaimana penindasan itu terjadi yang dilakonkan oleh kapitalisme. Bagaimana penghisapan begitu rakus melahap rakyat kecil (Proletar) oleh kaum elit (Borjus). Mereka tak terlalu memahami Badiou dengan Hasrat filsafat untuk kembali kepada kebenaran-metafisik [locus classic]. Dan filsafat sebagai jalan jeda dan interupsi terhadap realitas yang begitu cepat berubah. Pada intinya mereka tak terlalu mengerti para teoritikus kritis.

Dari cerita ini sekolompok anak muda itu. Yang mungkin sebagaian kita, menyebutnya sebagai sebuah cerita klise. Apakah mereka itu aktivis kiri atau kanan? Jika kita memberikan definisi bahwa kiri itu adalah aktivis yang hatam dengan Marx serta berbagai turunannya. Maka mereka itu bukan kiri-dan mungkin kita menyebut mereka sebagai kanan. Tapi mungkin bagi kaum kanan, mereka ditolak karena alasan mereka melakukan pendampingan terhadap anak-anak putus sekolah yang telah lama terpinggirkan itu--definisi tertentu tentang kanan.


Lalu mereka aktivis apa? Mungkin mereka bisa menjadi aktivis kiri maupun kanan jika kita mencairkan definisi tentang kiri dan kanan itu. Bahwa kiri dan kanan adalah suatu yang tak mesti harus dikerangkeng dan dinilai dari apa bacaan kita. Akan tetapi di nilai dari sikap kepedulian dan kepekaan terhadap orang-orang yang marginal. Mereka kiri atau kanan itu tak jadi soal, intinya mereka peduli. Mereka membaca tokoh yang mengkritik kapitalisme atau tidak sama sekali intinya tindakan dan sikap terhadap kaum “kecil”.  

No comments:

Post a Comment