Oleh: Asran Salam
Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang
pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan. Merintih kalau ditekan, tetapi
menindas kalau berkuasa. Saya bermimpi tentang dunia, dimana tokoh agama,
buruh, pemuda bangkit berkata; Stop semua kemunafikan. Stop semua pembunuhan
atas apapun. Tak ada rasa benci pada siapaun, agama apapun, dan bangsa apapun.
Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia
yang lebih baik.
Soe Hok Gie
[1942-1969]
Di sebuah daerah
yang sempit tak jauh dari kota. Daerah yang hanya disesaki dengan gang – gang
kecil—tak ada jalan
besar. Di daerah itu banyak anak-anak yang tak mampu sekolah. Orang tua dari
anak-anak tak punya cukup uang untuk menyekolahkan anak mereka. Di daerah itu,
ada sekolompok anak muda; laki dan perempuan. Mereka membentuk sebuah kelompok kecil. Mereka
membetuk kelompok itu atas nama kepedulian. Peduli terhadap anak-anak yang tak
sekolah itu.
Sekelompok anak muda
itu memilih jalan hidup untuk mengabdikan diri dengan setia mengajari anak-anak
yang tak sekolah itu. Mereka bersusah paya menghadirkan buku-buku di daerah
itu. Mereka kadang mendatangi satu persatu orang dianggap memiliki koleksi buku
dan diajak untuk menyumbangkan bukunya. Dengan jalan itu akhirnya, anak-anak yang
putus sekolah dapat menikmati buku-buku secara gratis. Mereka merasa bahagia
belajar tanpa harus terkurung dalam sebuah kubus bernama sekolah.
Pada tulisan ini,
saya,
tidak akan fokus tentang bagaimana sekelompok anak muda itu mengajar anak-anak
putus sekolah itu. Tapi saya ingin melihat tentang suatu sikap kepedulian dari
anak muda. Tentang sebuah ritus dan keimanan akan pentingnya berbagi; bahwa ia
suatu pilihan kosmik bagi subjek yang sadar dengan itu. Saya
ingin menyebut mereka sebagai aktivis. Berbicara subjek yang sadar, seketika
timbul tanya dalam diri saya, darimana datangnya kesadaran anak-anak muda itu?
Karena pertanyaan
itu ada dipikiranku, saya pun ajukan kepada mereka. Dari jawaban mereka aku
begitu takjub. Karena rata-rata mereka menjawab bahwa kesadaran itu muncul karena
semenjak kecil orang tua mereka telah menanamkan agar selalu berbagi pada yang
tak “mampu”. Lalu saya bertanya lagi kepada mereka, “apakah kalian sering
membaca buku? Tanya ini hadir dalam benakku karena biasanya (Baca:Kebanyakan)
mereka yang sering melakukan aktivitas seperti ini, sebelumnya banyak bergelut
dengan buku-buku yang bernuansa kritis-pemberontakan (Marx, Badiou, Zizek,
Satre, Habermas, dll) sebagai alas gerak-tindakan.
“Kami suka sekali
baca buku, tapi kami hanya banyak membaca buku novel-romantis seperti Layla dan
Majnun, Kahlil Gibran dll. Adapun buku-buku kritis kami tidak telalu mendalami
bahkan cederung tidak paham karena mungkin kemampuan kami tidak memadai”. Dari
jawaban mereka, saya jadi takjub yang kedua kalinya. Benar-benar mereka adalah
sekelompok anak muda-aktivis yang tidak seperti kebanyakan. Mereka
mempunyai kepedulian kepada orang yang terpinggirkan tanpa harus menemukan diri
mereka dalam alas teori yang kritis seperti dalam tokoh-tokoh yang populis
selama ini. Mereka hanya senang pada cerita yang romantis. Dengan tokoh-tokoh yang laku hidupnya banyak
“pata-hati”- Galau.
Mereka tak khatam
Marx. Yang mana kita tahu bahwa Marx begitu rinci menggambarkan bagaimana penindasan
itu terjadi yang dilakonkan oleh kapitalisme. Bagaimana penghisapan begitu
rakus melahap rakyat kecil (Proletar) oleh kaum elit (Borjus). Mereka tak
terlalu memahami Badiou dengan Hasrat filsafat untuk kembali kepada
kebenaran-metafisik [locus classic].
Dan filsafat sebagai jalan jeda dan interupsi terhadap realitas yang begitu
cepat berubah. Pada intinya mereka tak terlalu mengerti para teoritikus kritis.
Dari cerita ini
sekolompok anak muda itu. Yang mungkin sebagaian kita, menyebutnya sebagai sebuah
cerita klise. Apakah mereka itu aktivis kiri atau kanan? Jika kita memberikan
definisi bahwa kiri itu adalah aktivis yang hatam dengan Marx serta berbagai
turunannya. Maka mereka itu bukan kiri-dan mungkin kita menyebut mereka sebagai
kanan. Tapi mungkin bagi kaum kanan, mereka ditolak karena alasan mereka
melakukan pendampingan terhadap anak-anak putus sekolah yang telah lama
terpinggirkan itu--definisi tertentu tentang kanan.
Lalu mereka aktivis apa? Mungkin mereka bisa
menjadi aktivis kiri maupun kanan jika kita mencairkan definisi tentang kiri
dan kanan itu. Bahwa kiri dan kanan adalah suatu yang tak mesti harus
dikerangkeng dan dinilai dari apa bacaan kita. Akan tetapi di nilai dari sikap
kepedulian dan kepekaan terhadap orang-orang yang marginal. Mereka kiri atau
kanan itu tak jadi soal, intinya mereka peduli. Mereka membaca tokoh yang
mengkritik kapitalisme atau tidak sama sekali intinya tindakan dan sikap
terhadap kaum “kecil”.
No comments:
Post a Comment