Oleh: Asran Salam
Zahara yang
gersang, kecintaan
yang semu.
Tangisan
kepalsuan merangkulku dalam keegoan.
Mengaku
pecinta tapi ku tak megenal.
Menangis
dengan air mata tapi tak mengalir.
Membasahi nan
yang kering.
Air mata tak
membasuh luka kehidupan.
Tak menjadi penawar dahaga.
Tak menjadi Pelipur lara.
Semua kepalsuan kebohongan lisan menyebut namamu.
--Asran Salam--
Ali Syariati, seorang Iran dalam bukunya; Fatimah
The Great Women, menulis tentang Fatimah az-Zahra. Ia menuliskannya dengan
refleksi yang mendalam. Mengurai sampai pada titik paling dasar perjalanan hidupnya.
Ia memulai menulis dan melihat tingkat pengetahuan muslim
kebanyakan perihal Fatimah. Katanya, kita hanya banyak mengetahui tentang Fatimah sebagai anak Rasululah. Istri Imam Ali, bunda dari Hasan dan
Husain. Fatimah di malam harinya terbangung berdialog dengan Tuhan. Pagi hari,
perutnya kempes menahan lapar karena puasa. Bibirnya kering karena lantunan zikir yang tiada henti. Fatimah meninggalkan
kota dan tinggal di "tempat derita". Dia berwasiat sebelum wafat agar dimakamkan pada malam hari. Agar
musuhnya atau orang yang menyakitinya tidak dapat mengetahui pemakamannya.
Kata Syariati, sejauh itulah informasi yang didapatkan tetang beliau.
Sehingga tepat pada wiladah atau haulnya. Banyak yang memperingati serta meratapi. Air mata pun bercucuran, tangis merebak di antara kerumunan orang yang memperingatinya. Sebuah ekspresi
kecintaan kepada Fatimah dari para
pecinta sejatinya. Ratapan dan tangisan pun terprogramkan tiap tahunnya ketika
momen-momen mengenangnya telah tiba. Dan, itu sepertinya menjadi ritual dan
tradisi kecintaan yang tidak akan tercabut dari jiwa-jiwa para pecintaanya.
Mengenang Fatimah dan menangisinya adalah suatu hal yang wajar. Ia adalah wujud
kecintaan yang mendalam. Namun, Syariati melihat kecintaan itu
dalam dua sisi yang saling bertentangan. Yang satunya bersungguh-sungguh
menjalankan hakikatnya. Yang lainnya hanya berhenti pada ritual semata. Yang
lainnya menangisi tak lebih dari sekadar program saja "tangisan
momentum". Ia tak berbekas—semu yang begitu mudah kita lupakan. Ia
tidak memiliki efek sosial. Syariati sangat mengecam tangisan macam ini. Tapi apa kata Syariati, Menangislah... Bukankah air mata adalah syair terindah dan
cinta yang paling jujur? Tidakkah air mata mencerminkan iman yang paling
melimpah, hasrat yang paling mendalam, perasaan yang paling menggelora?
Bukankah air mata bentuk ucapan yang paling murni dan bentuk cinta yang paling
halus? Semua ini berbaur dalam satu hati cinta.
Ali Syariati, menginginkan tangisan yang hakiki. Tangisan
yang mendalam. Yang bersumber dari kecintaan subtanftif. Dimana membiarkan diri
“mati” untuk kehidupan orang lain. Tidakkah keluarga Rasulullah SAW adalah
keluarga yang mengelorakan keadilan. Bukankah suara mereka selalu berteriak agar keadilan dapat tegak. Walau
kita tahu bahwa cercaan makian dan pengasingan serta penghianatan selalu
mengintainya.
Syariati
ingin memesankan bahwa, pada diri Fatimah ada penanda kemanusiaan.
Dalam dirinya ada nilai keadilan, kebebasan serta egaliter. Hingga meniscayakan
yang mengaku pecinta, menjadikan keadilan, kebebasan dan egaliter medan perjuangan agar dapat nyata dalam
kesemestaan. Agar selalu aktual dalam bentang sejarah. Agar menjadi real dalam ruang dimana pun kita bergulat.
Fatimah
adalah bagian dari keluarga suci itu. Yang bagi Ali Syariati, Fatimah sejak lahir dan wafatnya tersimpan
pesan-pesan kemanusiaan. Dengan
demikian, lanjut Syariati mengatakan bahwa semestinya pesan-pesan kemanusiaan itu, juga selalu hidup
dalam diri para pecintanya. Semestinya tangisan untuk beliau adalah tangisan
akan nilai yang selalu mereka perjuangkan. Syariati, mengisyaratkan adanya pelampauaan dari hanya sekadar tangisan. Tapi air mata itu dapat menjadi cahaya. Menyinari gelap hingga menjadi terang.
Air mata yang
tertumpah ruah menembus dinding-dinding tembok tebal. Yang dibaliknya ada keangkuhan, keserakahan
yang membeku. Air mata menjadi senjata dalam meruntuhkan kekuasaan yang korup. Atau kuasa yang merampas hak rakyatnya. Bukankah
sejarah mencatat bahwa Fatimah melakukan itu. Ia bangkit
berdiri melakukan perlawanan terhadap khalifah. Ketika tanah fadak ingin
dirampas. Dia melawan bukan karena tanahnya. Akan tetapi, di tanah itu ada upaya perampasan hak. Bila mana ketika itu, tidak ada suara yang berkata “tidak” maka, kita selanjutnya tidak
menemukan sebuah heroisme. Sebuah keberanian yang patut dijadikan teladan.
Tapi apa kata Syariati? Menangislah untuknya tiap saat. Jika disana penindasan itu kelihatan. Karena
menangis merupakan pancaraan alamiah perasaan. Tangisan merupakan respon yang
mendesak dan naluria kepada cinta, derita, hasrat dan duka cita. Sebagaimana warning Regi De Bre, seorang
revolusioner Prancis. Mengatakan bahwa “orang yang tak pernah
menangis dan tak pernah tahu bagaimana cara menangis. Ia tidak mempunyai
perasaan manusiawi. Sebongkah batu, jiwa yang kering”. Maka menangislah
untuknya, menangislah atas kebenaran yang telah bergeser pada pusaran perut dan
di bawah perut. Menangislah
sebab kemanusiaan telah sirna.
mantap sekali tulisanta. semoga saya bisa menulis dengan gaya bahasa seperti ini.
ReplyDeleteteruskanlah Goresan penanya...menarik dinantikan
ReplyDelete