Saturday, July 30, 2022

Entah kenapa buku selalu punya magnet bagi saya. Setiap berkunjung ke rumah teman, lalu teman itu punya perpustakaan di rumahnya...

Perihal Buku

No comments:
 



Entah kenapa buku selalu punya magnet bagi saya. Setiap berkunjung ke rumah teman, lalu teman itu punya perpustakaan di rumahnya, biasanya saya tidak langsung duduk di sofanya. Tapi, langsung ke rak-rak bukunya. Melihat buku-buku itu satu per satu. Mengamatinya dengan seksama. Terus melihat koleksi mana yang belum saya punya. Apalagi jika yang punya rumah merekomendasikan buku yang "enak" dibaca di mana saya tidak punya dan belum pernah membacanya. Ditambah lagi jika punya rumah bersedia meminjamkannya.

Melihat buku di mana pun itu, saya seperti melihat waktu. Sebab, bagi saya buku dengan segala kata-kata di dalamnya, adalah rekaman peristiwa: pikiran, kejadian, ruang yang telah dan akan dialami manusia. Buku punya keajaiban yang luar biasa. Siapa yang bisa membayangkan kejadian dan orang-orang masa lalu tanpa pernah kita alami dan temui. Tapi, semuanya jadi kelihatan nyata dengan buku yang kita baca. Buku mengantar kita seperti berada di dalamnya.

Menurut penelitian, keajaiban lain dari buku, ia terapi. Membaca buku sastra misalnya, ia akan menghindarkan kita dari pikiran merasa diri paling benar. Sebab karya sastra (novel) dengan segala bentuk tokoh di dalamnya membuat kita belajar segala bentuk wajah psikologis manusia. Karakter manusia. Hingga lambat laun kita akhirnya memahami bahwa dunia manusia memang beragam.

***

Baru-baru ini, mungkin sekitar sepekan yang lalu. Dalam perjalanan pulang dari bertemu orang tua: Ibu. Saya mampir semalam di rumah teman sebelum melanjutkan lagi perjalanan ke rumah. Ia memiliki beberapa koleksi buku. Mungkin ada ratusan buku yang berjejer di rak bukunya yang cantik. 

Di rak bukunya terselip satu buku yang belum saya punya dan tak pernah membacanya. The Socrates Express karya Eric Weiner. Buku itu saya ambil dari rak. Lalu saya membaca pengantarnya. Dalam hati, saya berkata buku ini sangat menarik. Tapi, dengan ketebalan 511 halaman, tidak mungkin saya bisa menyelesaikannya dalam satu malam. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk meminjam buku ini. Dan untungnya yang punya Ahmad Achbar Al Koluty membolehkan saya untuk membawanya. 

Eric Weiner menghadirkan cerita-cerita filosof dalam perjalanan keretanya,  saya pun menikmati cerita-cerita itu, dalam perjalanan pulang ke rumah. Di atas kapal feri, saya menikmati suguhan Eric. Ia menceritakan tentang filsafat yang dulu dijalani oleh para filosof. Cerita filsafat yang dihadirkan, bukan filsafat yang ribet dengan istilah-istilah ilmiah. Tapi ia bercerita filsafat sebagai cara hidup. Cara kita bertanya pada hidup yang dialami. Sebagai cara mengambil keputusan. Eric menghadirkan semuanya melalui tokoh-tokoh seperti Marcus Aurelius, Socrates, Epicurus, dan Ghandi. 

Eric ingin membawa kita tidak hanya bertanya tentang apa itu ada, tapi, bagaimana kita bersikap pada situasi dilematis. Misal, di saat bersamaan ponakan kita akan menikah, namun sisi lain, kakak kita sedang sakit. Yang mana harus didatangi. Atau yang mana lebih dahulu diselamatkan dalam kecelakaan tenggelamnya sebuah kapal, ibu tua renta atau anak kecil.

Situasi delamatis itu, kebijaksanaan (Shopiah) menjadi punya bentuk, ini sangat relevan dengan tujuan filsafat yakni membuat kita menjadi bijaksana.  


No comments:

Post a Comment