Thursday, June 23, 2022

Akhirnya saya menuli s kannya. Setelah sekian lama hanya menyimpannya dalam kepala. Membiarkannya begitu saja. Kali ini, saya in...

Jalan Buntu Pegiat Literasi di Luwu

No comments:
 


Akhirnya saya menuliskannya. Setelah sekian lama hanya menyimpannya dalam kepala. Membiarkannya begitu saja. Kali ini, saya ingin menuliskan literasi di Luwu.

Berawal dari sebuah pertemuan pegiat Taman Baca Masyarakat (TBM) se-Luwu, di forum itu terjadi diskusi, dimunculkan data-data tingkat literasi Luwu. Sungguh miris. Kalau tidak salah, Luwu menempati urutan 15 tingkat literasi di Sulsel. Kategori penilaian yakni ketersediaan infrastruktur perpustakaan sekolah dan desa, ketersediaan bacaan dan minat baca.

Barangkali data ini tepat, sebab sejauh pantauan saya, dari 207 desa, mungkin hanya satu-dua saja desa yang perpustakaannya berfungsi. Ditambah lagi beberapa sekolah perpustakaannya beralih fungsi jadi gudang.

Jangankan perpustakaan desa dan sekolah, perpustakaan daerah saja sangat sepi. Perpustakaan daerah hanya ramai oleh pegawai. Beberapa kali saya berkunjung ke perpustakaan dan melihat daftar pengunjung, bayangkan setiap harinya hanya belasan saja pengungnjung. Mungkin tepat anekdot kawan-kawan selama ini, bahwa jika ingin melihat tempat yang paling sepi selain kuburan lihatlah perpustakaan.

Berdasarkan fenomena dan data di atas, mungkin tidak salah jika kita mengatakan bahwa Luwu sebenarnya mengalami darurat literasi. Berdasarkan data ini pula, kami di Rumah Baca Akkitanawa dan pegiat literasi dari komunitas lain merasa terpantik. Dengan pertimbangan akselerasi gerakan literasi, tidak ada salahnya jika ada kolaborasi yang baik antara pegiat dan pemerintah dalam hal ini Dinas Perpustakaan.

Maka dengan itu, saya membuka komunikasi dengan Dinas Perpustakaan. Mengajaknya untuk berkolaborasi. Saat itu, dicetuskan untuk  perekrutan relawan literasi yang kelak relawan ini akan dikukuhkan sebagai relawan literasi Luwu. Mereka nantinya  akan bergerak membangun literasi di desa dan sekolah Membuat program-program literasi yang lebih inovatif dan kekiniaan. Mereka nantinya,  sekaligus berfungsi sebagai kurir buku yang akan mengantar buku-buku Perpustakaan Daerah ke desa dan sekolah serta ke komunitas literasi, sehingga dengan begitu Perpustakaan Daerah berubah menjadi Bank Buku.

Akhirnya pendaftaran dibuka. Antusiasme pegiat literasi sungguh di luar dugaan. Kepedulian kepada literasi Luwu sangat tinggi. Sekitar 50 orang yang mengisi form pendaftaran. Kemudian dibuatlah group relawan. Dari group itu, difasilitasi oleh Dinas Perpustakaan, relawan yang telah mendaftar dipertemukan dalam acara bincang-bincang. Dalam pertemuan itu juga disepakati akan diadakan sekolah relawan, sebelum teman-teman pegiat terjun ke lapangan. Rencana saat itu, sekolah relawan sesegara mungkin dilakukan. Tapi, setelah hampir setahun, tak ada kabar kapan sekolah relawan dimulai. Semangat teman-teman juga mulai memudar. Bahkan sudah banyak yang keluar dari group.  Mereka kembali di komunitas masing-masing. Bergiat dengan program mereka. Begitu pun dengan kami di Rumah Baca Akkitanawa.

Lama menunggu, akhirnya di bulan Juni ini, Rumah Baca Akkitanawa (RBA) mengambil inisiatif untuk membuka rekrutmen relawan literasi (RELASI) yang menyasar remaja. Lagi-lagi kami mencoba mengajak Dinas Perpustakaan, tentunya dengan meminta mereka berkontribusi. Tetapi dengan alasan tak ada diprogram mereka kegiatan seperti yang kami akan lakukan, sehingga mereka tidak bisa berkontribusi dan berkolaborasi. Akhirnya kami harus jalan sendiri.

Sejauh interaksi saya dengan orang-orang di Dinas Perpustakaan, mereka memang rata-rata mengeluh dengan minimnya support anggaran ke dinas mereka. Bahkan kalau tidak salah, satu bidang hanya diberi 10 jutaan selama setahun untuk buat program. Jika ini benar, ada kemungkinan peningkatan literasi memang tidak menjadi bagian dari visi-misi pemerintah daerah. Bupati Luwu sepertinya tidak memasukkan dalam rumusnya bahwa literasi adalah dasar dari segala pembangunan. Padahal jika kita baca sejarah, Eropa bisa mengalami kemajuan sekarang ini, karena 400 ratus tahun lalu telah menyadari pentingnya literasi.

Atau di sisi lain, bisa jadi pegawai perpustakaan yang kurang kreatif mencetuskan program yang inovatif yang bisa menjadi perhatian dan mendatangkan anggaran untuk memajukan literasi di Luwu. Mungkin saja benar pandangan selama ini, bahwa rata-rata pegawai yang ditempatkan di Dinas Perpustakaan, sejatinya adalah pegawai yang "dibuang" dari dinas lain.

Di mana bisa jadi pegawai-pegawai itu, tidak punya pengalaman dalam hal gerakan literasi. Sangat minim kecintaan pada literasi. Mungkin saja mereka baru memiliki kedekatan dengan literasi setelah menjadi pegawai di Dinas Perpustakaan. Dengan kata lain, pemilihan pegawai yang bekerja di Dinas Perpustakaan bukan berdasarkan kapasitas dan pengalaman mengelola literasi. Akan tetapi karena mereka dulunya bersebrangan politik dengan Bupati yang terpilih. Tapi, semoga tidak demikian. Tapi jika itu benar, maka sangat wajar  jika Dinas Perpustakaan kurang memiliki terobosan yang inovatif. Program yang dilakukan nyaris itu-itu saja setiap tahunnya.

Asran Salam
Founder Rumah Baca Akkitanawa












No comments:

Post a Comment