Di bentangan sejarah manusia, selalu saja ada yang
menakjubkan yang dapat kita jumpai. Walau di sisi lain, tragedi tak juga dapat diindahkan. Ia seperti dua sisi
yang selalu saja hadir dalam kehidupan kita. Seolah-olah ia memang dicipta
demikian adanya.
Di belahan lain tragedi begitu jelas tergambar di depan
mata, seperti ingin membawa kita pada situasi kehilangan harapan. Apa yang bisa
kita harapkan dari situasi perang, diskriminatif, pengasingan karena perbedaan?
Karena agama, keyakinan dan suku yang berbeda, kita rela melukai siapa pun.
Kita mudah saja memberi label kepada siapa pun.
Fanatisme menguasai alam pikir kita. Doktrin teologi kita
bukan tentang Tuhan yang damai, tapi Tuhan yang pemarah. Pada situasi seperti
ini seolah-olah damai tak memiliki kemungkinan. Dunia adalah kecamuk. Dan kita
adalah aktor yang selalu siap berperang. Melahap individu dan kelompok lain.
Menjadikannya tak memiliki eksistensi.
Pada wajah seperti ini, saya lalu teringat dengan Martin
Buber. Ia filosof Jerman beragama Yahudi. Buber memperkenalkan sebuah relasi
manusia dengan di luar dirinya. Relasi
itu ia namai, relasi "I-It"--"Aku itu". Sebuah
relasi manusia dengan benda-benda. Di sisi ini, manusia "bebas"
mempergunakan sesuka hatinya. Kita ke sesama manusia sepertinya lebih banyak
membangun relasi seperti ini. Manusia yang lain, yang berbeda dengan kita,
diperlakukan apa saja sesuka hati kita. Kita posisikan mereka sebagai
benda-benda. Tak lebih.
Padahal perbedaan adalah fakta sosial. Ia sesuatu yang
objektif dalam kehidupan kita. Ia bukan konstruksi pikiran. Ia sesuatu yang
natural. Dalam agama kita sebutnya sunatullah.
Dogma yang membawa kita pada akhirnya tak mengenali fakta
sosial itu. Doktrin bekerja mengagresi pikiran untuk sampai pada kesimpulan,
bahwa realitas manusia itu harus tunggal. Soal keyakinan tidak boleh ada
perbedaan. Pikiran-pikiran begini sedang bekerja di sekitar kita. Berupaya
memengaruhi kita. Merusak kemanusiaan kita.
***
Beberapa hari yang lalu, di Rumah Baca Akkitanawa, rumah
baca yang saya dirikan mengadakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Di acara
maulid itu, saya melihat bagaimana fakta sosial itu dijalani tanpa risi.
Bagaimana perbedaan itu dilakoni tanpa kikuk. Ini seperti oase di gurun tragedi
kemanusiaan. Tragedi labeling kafir dan sesat.
Sehari sebelum maulid, baik masyarakat sekitar maupun
relawan rumah baca sibuk mempersiapkan segalanya. Rumah baca berdiri di tengah
masyarakat yang beragam suku dan agama. Di sini ada Kristen dan Islam. Ada
Bugis, Luwu dan Toraja.
Di acara maulid itu, mereka saling membahu. Anak-anak kecil
beragama Islam dan Kristen sibuk membuat bunga male. Bunga khas maulid. Ibu-ibu
baik Islam dan Kristen meramu makanan di dapur untuk sajian maulid besoknya.
Demikian juga sebenarnya di hari Natal, umat Islam ikut serta membantu saudara
kita yang Kristen.
Di sini, saya melihat toleransi benar-benar dihayati.
Dijalani tanpa ragu. Perbedaan tidak membuat segalanya jadi muram dan
menyeramkan. Namun keindahan begitu jelas bak panorama setalah hujan: pelangi.
Ada peristiwa kecil yang terjadi di maulid ini. Ketika
hikmah maulid selesai, dan acara maulid telah ditutup oleh pembawa acara,
selanjutnya diisi dengan kuis kepada anak dan ibu-ibu peserta maulid.
Pertanyaan diajukan. Tentu seputar Rasulullah Saw. Bagi yang bisa menjawab
oleh diberi hadiah Al-Quran.
Dari sekian orang yang menjawab, saya ingin bercerita soal
Maikal. Maikal merupakan anak binaan Rumah Baca Akkitanawa. Ia dengan fasih
menjawab siapa kakek, ayah dan ibu, anak-anak, serta paman Rasulullah Saw. Mengurai cerita yang sebelumnya diulas oleh
penceramah tentang kesediaan Rasulullah menerima tamu Kristen asal Turki di
Masjid Nabawi.
Maikal, sudah berumur 12 tahun. Kini menginjak kelas lima
sekolah dasar. Ia tumbuh dari keluarga Kristen
yang taat. Maikal menggugah kita atas
pengetahuannya tentang Rasulullah. Maikal menerima hadiah Al-Quran.
"Al-Quran ini saya akan berikan pada sepupu saya yang
Islam," ujar Maikal.
Maikal mengajarkan kita baiknya perbedaan diterima secara
polos. Tanpa ada curiga. Di antara kita yang berbeda iman, kita bisa saling
memberi. Saling menguatkan iman masing-masing. Maikal menguatkan iman sepupunya
dengan memberi Al-Quran. Maikal sungguh bahagia jika sepupunya bisa mengamalkan
Islam sepenuhnya.
Bagi saya, tindakan Maikal, adalah sikap pro eksistensi.
Sebuah laku yang ingin mendorong kebenaran orang lain yang berbeda dengannya.
Tidak hanya mengakui ada perbedaan (koeksistensi) tapi saling menyelami
satu sama lain.
Maikal menyelami sepupunya. Menyelami iman yang lain tanpa
harus berpindah iman. Maikal hanya ingin memastikan yang berbeda dengannya
menjalankan imannya dengan benar, sebab itu, Maikal bisa menuai damai. Lalu,
bagaimana dengan kita?
Asran Salam
Founder Rumah Baca Akkitanawa
No comments:
Post a Comment