Mya adalah peserta termuda di kelas. Usianya baru menginjak
sekolah menengah pertama (SMP). Sejak pertemuan pertama, dia sudah menarik
perhatian karena usianya. Sebab, sangat jarang, ada anak seusianya, ingin
terlibat kegiatan seperti ini. Ini sangat langkah.
Sebagaimana peraturan kelas, setiap pertemuan wajib membawa
tulisan. Mya pun tak ketinggalan. Kewajibannya sebagai peserta ia tunaikan. Ia
membawa tulisan dengan jumlah empat paragraf. Satu halaman kertas kuarto.
Tulisannya semacam cerita pendek. Mungkin cerita tentang dirinya sendiri.
Tentang hidupnya.
Overthinking begitu Mya memberi judul pada
tulisannya. Kira-kira judulnya bila diartikan dalam Bahasa Indonesia mengandung
arti pikiran yang berlebihan—atau pikiran yang belum terjadi.
Mya dalam tulisannya punya ketakutan. Pikiran-pikiran yang
mengganggunya, di saat malam sebelum tidur, mengantar pada tetesan air mata.
Pipinya menjadi basah hingga merembes ke bantal tidurnya. Begitu yang ia tulis.
Apa yang Mya takutkan? Ia takut akan masa depan yang tak
pasti. Takut jika sukses tak dapat ia raih. Merasa tak berguna jika tak mampu
memberikan kebahagiaan kedua orang tuanya.
Dalam tulisannya, Mya seperti sedang menyelami dirinya.
Bergulat dengan situasi yang ia hadapi. Mya telah melangkah jauh dibanding anak
seusianya. Ia benar-benar menjalani hidup. Menghayati setiap inci pikirannya.
Apa yang dilakukan Mya dengan memikirkan hidupnya, ibaratnya
telah menjalankan ajaran Socrates, "Hidup yang tak direnungkan adalah
hidup yang tak layak dijalani". Mya merenung dan merefleksikan segala laku
hidupnya melampaui usianya. Begitu makna yang saya jumpai dalam tulisan Mya.
***
Tulisan Mya bukan tanpa cacat. Ia punya cela seperti penulis
(yang tidak rutin menulis) lainnya. Hal teknis semisal penggunaan tanda baca,
ejaan yang tidak baku, serta penyusunan kalimat adalah sederet kekeliruan yang
kita jumpai. Walau demikian, Mya punya selera yang bagus dalam memilih diksi.
"Termenung sepi", contoh diksi yang ia gunakan
untuk menggambarkan bagaimana ia di dalam kamarnya sedang berjibaku dengan
pikirannya. Kata "sepi" bisa
jadi bukan tanpa orang lain. Tapi, ia gambaran pikiran yang tak banyak
dipahami. Tak banyak diuraikan. Mya menyimpannya sebagai ketakutan walau di
dalam dirinya sendiri ia tetap punya optimisme. Sebuah semangat bahwa ia bisa
mencapai masa depan seperti ia impikan: membahagiakan orang tuanya.
***
Selain Mya yang "spesial", semua peserta punya
cerita masing-masing. Tulisan yang mereka bawa sangat beragam. Dari sini, saya
punya keyakinan bahwa mereka pada dasarnya bisa menulis. Sisa mereka perlu
konsisten terus menulis untuk menemukan modelnya. Untuk mencapai bentuknya
sendiri. Tentu dengan dibarengi membaca.
Seperti yang dibilang orang, menulis itu mengibaratkan
olahraga untuk membentuk otot. Makin sering olahraga push up misalnya,
maka otot lengan akan terbentuk. Seperti itu pula dalam menulis, perlu
diulang-ulang agar otot menulis kita terbentuk.
Pada dasarnya memang kita semua bisa menulis, tapi menulis
dengan baik itu perlu dipelajari dan dilakukan. Caranya belajar, selain ikut
kelas menulis, kita bisa melihat tulisan-tulisan yang dianggap baik.
Atau melihat tulisan penulis yang sudah diakui melalui
karyanya. Dari sana kita menemukan bagaimana cara menyusun kalimat, menggunakan
tanda baca, memilih diksi, menyusun alur, membuat dialog dll.
Langkah awal, mungkin kita mengikuti gaya menulis orang
lain. Tapi, lambat laun dengan keseringan kita menulis, perlahan kita akan
meninggalkan gaya orang lain, kemudian dengan sendirinya, menemukan cara kita
sendiri.
Asran Salam
Founder Rumah Baca Akkitanawa
No comments:
Post a Comment