Wednesday, October 27, 2021

Mya adalah peserta termuda di kelas. Usianya baru menginjak sekolah menengah pertama (SMP). Sejak pertemuan pertama, dia sud...

Pertemuan Kedua, Mya dan Kisahnya

No comments:
 


Mya adalah peserta termuda di kelas. Usianya baru menginjak sekolah menengah pertama (SMP). Sejak pertemuan pertama, dia sudah menarik perhatian karena usianya. Sebab, sangat jarang, ada anak seusianya, ingin terlibat kegiatan seperti ini. Ini sangat langkah.

 

Sebagaimana peraturan kelas, setiap pertemuan wajib membawa tulisan. Mya pun tak ketinggalan. Kewajibannya sebagai peserta ia tunaikan. Ia membawa tulisan dengan jumlah empat paragraf. Satu halaman kertas kuarto. Tulisannya semacam cerita pendek. Mungkin cerita tentang dirinya sendiri. Tentang hidupnya.

 

Overthinking begitu Mya memberi judul pada tulisannya. Kira-kira judulnya bila diartikan dalam Bahasa Indonesia mengandung arti pikiran yang berlebihan—atau pikiran yang belum terjadi.

 

Mya dalam tulisannya punya ketakutan. Pikiran-pikiran yang mengganggunya, di saat malam sebelum tidur, mengantar pada tetesan air mata. Pipinya menjadi basah hingga merembes ke bantal tidurnya. Begitu yang ia tulis.

 

Apa yang Mya takutkan? Ia takut akan masa depan yang tak pasti. Takut jika sukses tak dapat ia raih. Merasa tak berguna jika tak mampu memberikan kebahagiaan kedua orang tuanya.

 

Dalam tulisannya, Mya seperti sedang menyelami dirinya. Bergulat dengan situasi yang ia hadapi. Mya telah melangkah jauh dibanding anak seusianya. Ia benar-benar menjalani hidup. Menghayati setiap inci pikirannya.

 

Apa yang dilakukan Mya dengan memikirkan hidupnya, ibaratnya telah menjalankan ajaran Socrates, "Hidup yang tak direnungkan adalah hidup yang tak layak dijalani". Mya merenung dan merefleksikan segala laku hidupnya melampaui usianya. Begitu makna yang saya jumpai dalam tulisan Mya.

 

***

 

Tulisan Mya bukan tanpa cacat. Ia punya cela seperti penulis (yang tidak rutin menulis) lainnya. Hal teknis semisal penggunaan tanda baca, ejaan yang tidak baku, serta penyusunan kalimat adalah sederet kekeliruan yang kita jumpai. Walau demikian, Mya punya selera yang bagus dalam memilih diksi.

 

"Termenung sepi", contoh diksi yang ia gunakan untuk menggambarkan bagaimana ia di dalam kamarnya sedang berjibaku dengan pikirannya. Kata "sepi"  bisa jadi bukan tanpa orang lain. Tapi, ia gambaran pikiran yang tak banyak dipahami. Tak banyak diuraikan. Mya menyimpannya sebagai ketakutan walau di dalam dirinya sendiri ia tetap punya optimisme. Sebuah semangat bahwa ia bisa mencapai masa depan seperti ia impikan: membahagiakan orang tuanya.

 

***

 

Selain Mya yang "spesial", semua peserta punya cerita masing-masing. Tulisan yang mereka bawa sangat beragam. Dari sini, saya punya keyakinan bahwa mereka pada dasarnya bisa menulis. Sisa mereka perlu konsisten terus menulis untuk menemukan modelnya. Untuk mencapai bentuknya sendiri. Tentu dengan dibarengi membaca.

 

Seperti yang dibilang orang, menulis itu mengibaratkan olahraga untuk membentuk otot. Makin sering olahraga push up misalnya, maka otot lengan akan terbentuk. Seperti itu pula dalam menulis, perlu diulang-ulang agar otot menulis kita terbentuk.

 

Pada dasarnya memang kita semua bisa menulis, tapi menulis dengan baik itu perlu dipelajari dan dilakukan. Caranya belajar, selain ikut kelas menulis, kita bisa melihat tulisan-tulisan yang dianggap baik.

 

Atau melihat tulisan penulis yang sudah diakui melalui karyanya. Dari sana kita menemukan bagaimana cara menyusun kalimat, menggunakan tanda baca, memilih diksi, menyusun alur, membuat dialog dll.

 

Langkah awal, mungkin kita mengikuti gaya menulis orang lain. Tapi, lambat laun dengan keseringan kita menulis, perlahan kita akan meninggalkan gaya orang lain, kemudian dengan sendirinya, menemukan cara kita sendiri.

 

 

Asran Salam

Founder Rumah Baca Akkitanawa

No comments:

Post a Comment