Friday, February 28, 2020

Oleh: Asran Salam Di sini, kota yang penuh pesona dan gairah. Kota yang digelari sebagai city of music , sebab ia tak pernah ber...

Ambon, Literasi untuk Perdamaian

No comments:
 



Oleh: Asran Salam


Di sini, kota yang penuh pesona dan gairah. Kota yang digelari sebagai city of music, sebab ia tak pernah berhenti melahirkan penyanyi dengan kualitas suara di atas rata-rata. Dalam pentas musik nasional siapa yang tidak kenal dengan Glend Fredly.


Dekade sebelumnya, ada nama-nama Harvey Malaiholo, Utha Likumahua, Franky Sahilatua, Andre Heanusa dan masih banyak lagi yang lain.


Untuk pentas dunia, barangkali kita pernah mendengar Daniel Saluheka sekarang menetap di Belanda.Mungkin tidak berlebihan jika mengatakan bahwa musik adalah bagian dari hidup kota ini.


Sisi lain, kota ini juga pernah berulangkali mengalami luka. Duka yang perih dan melahirkan traumatik bagi warganya. Tahun 1999 hingga 2002 adalah luka yang terbesar. Luka ini menyebar ke suluruh daerah kota tanpa kecuali.Tak tanggung-tanggung nyawa dan harta menjadi rata dengan tanah.


Kepulan asap memenuhi langit kota dan mayat yang bertebaran pada sungai hingga ke laut. Ia menjadi pemandangan yang menyayat hati. Ambon menjadi kota mati. Roda ekonomi menjadi lambat.


Dua tahun jeda, tentunya setelah dilakukan berbagai tindakan perdamaian, 2004 luka itu kembali tergores. Sesuatu yang laten kembali meledak. Kepulan asap kembali menghiasi kota. Syukurnya di tahun itu, tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Kali ini, ia tak menyebar ke seluruh kota. Kejadiannya hanya di daerah tertentu saja.


Tujuh tahun berselang, setelah titik damai tercapai. Lagi 2011, di titik tertentu kota ini kembali bergejolak. Saling serang tercipta antara dua kelompok, seperti yang lalu-lalu. Isunya juga masih masa: Agama.


Sepertinya, kehadiran agama di kota ini, hanya sedikit memberi damai selebihnya gejolak. Agama yang artinya tak kacau toh menjadi sumber rusuh. Jadi alasan untuk saling bunuh. Agama menjadi tembok yang tebal dalam memisahkan individu satu dengan yang lain, atau kelompok satu dengan yang lain.


Agama di kota ini, kadang kala menjadi senjata untuk meminggirkan yang lain. Pada hal kita tahu, semua ajaran agama mengajarkan kedaiaman. Lalu kenapa sebaliknya yang terjadi. Mungkin ini soal tafsir agama yang bercampur politik dan ekonomi. Atau agama menjadi alat dalam merenggut kuasa oleh kelompok tertentu.


Tapi kini, kota ini sudah berbenah. Warganya sudah mulai duduk berdampingan—walau mungkin bekas luka masih saja ada. Tapi upaya menuju saling paham, saling pengertian terus saja diupayakan. Tujuannya cuma satu, agar bekas luka tak lagi tergores.


Sekelompok anak muda yang tergabung dalam berbagai komunitas serentak menyuarakan perdamaian. Bagi mereka, perdamaian tak bisa dicapai hanya melalui seminar-seminar perdamaian. Harus ada langkah konkrit di mana kedua yang berbeda dipertemukan dalam sebuah aksi bersama. Anak muda Ambon berbuat melalui literasi.


Mereka sepertinya punya tafsir, bahwa konflik bisa diredam dengan tingkat literasi yang tinggi. Mereka begitu memahami bahwa masyarakat yang sering menyulut konflik karena kurang mendapat informasi. Artinya mereka harus tersentuh literasi.


Dengan prinsip itu, anak muda Ambon masuk ke pelosok kota hingga ke daerah terpencil di Maluku. Mereka mengadakan kegiatan literasi. Rudi Fofid Alifuru Togutil yang biasa di sapa Opa Rudi salah satu penggagas gerakan ini bertutur, anak-anak Kristen masuk dipemukiman muslim dengan membuat taman baca.  Kadang kala di taman baca itu musikalisasi puisi dihelat. Begitu pun sebaliknya anak muslim masuk ke pemukiman Kristen melakukan hal yang sama.


Saat ini, terang Opa Rudi, sudah terbentuk beberapa taman baca di berbagai daerah porvinsi Maluku. Buku memang memang ajaib. Selain kawan setia yang banyak memberi tanpa meminta. Keajaiaban lain dari buku adalah menjadi mediasi perdamaian.


Lanjut Opa Rudi, di Provinsi Malaku, ada dua daerah yakni Luhu dan Iha pernah berkonflik. Pemicunya terkait batas tanah. Warga di antara dua desa ini, lama tak saling sapa. Tak lama kemudian ia menjadi cair, awalnya adalah anak-anak muda bergerak di literasi di antara dua desa saling bertukar buku. Akhirnya dua desa jadi damai. Begitulah literasi bekerja.

No comments:

Post a Comment