Oleh:
Asran Salam
Selatan
Punjab—Pakistan—tepatnya di sebuah desa yang terpencil berbatasan dengan
India. Meerwala nama desa itu. Sebuah desa yang jauh dari kata ramai. Tak ada
penerangan listrik, jalanannya tak beraspal. Rumah-rumah tampil seadanya, kecuali
rumah para kepala suku atau ketua klan yang memang banyak menguasai lahan
pertanian. Meerwala masih menerapkan sistem hukum adat. Dan, sepertinya
desa-desa di Pakistan memang masih menganut sistem hukum adat. Kasta rendah dan
tinggi masih bagian dari struktur sosial di sana. Mungkin pengaruh India belum
benar-benar seutuhnya mereka bisa lepaskan. Walau kita tahu, Pakistan merupakan
negara Islam. Negara yang konon berdiri dan terinspirasi dari puisi-puisi
mistik, filosofis dan politis Muhammad Iqbal.
Pada 22 Juni 2002,
di Meerwala, sebuah keluarga berasal klan rendah harus menghadapi hukum adat
desanya. Sebuah penebusan harus dilakukan oleh seorang perempuan untuk menutupi
kehormatan keluarga klan Mastoi—klan yang kuat di desa tersebut dan banyak mengusai
dewan jirga (adat). Seorang perempuan harus memohon ampunan untuk adik
laki-lakinya yang berusia sekitar 12 tahun. Oleh klan Mastoi menuduh adik
laki-lakinya telah memerkosa anak perempuannya bernama Salma yang berusia 20
tahun-an. Atas tuduhan itu, Mukhtar Bibi harus menebus tuduhan yang menimpa
adiknya yang bernama Shakur. Hal itu adalah hasil keputusan adat—lebih tepatnya
keinginan klan Mastoi.
Singkatnya, Mukhtar
Bibi, harus menyerahkan dirinya diperkosa oleh laki-laki klan Mastoi sebagai
bentuk tebusan perbuatan adiknya. Prinsip adat (klan Mastoi) “mata harus
dibalas mata” atau “darah harus dibalas darah”. Akhirnya, Mukhtar Bibi dengan
dramatis diseret ke sebuah kandang ternak lalu diperkosa beramai-ramai oleh
kaum pria Mastoi. Setelah itu, dilemparkan ke luar kandang dan disaksikan oleh
penduduk desa. Tak ada yang berani melawan klan Mastoi. Sebab selain punya
kekuasaan mereka juga punya senjata api yang sering digunakan mengamcam klan
lain.
Mukhtar Bibi yang
kemudian lebih dikenal dengan Mukhtar Mai, karena berangkat dari kasus yang
menimpanya itu, ia kemudian tampil melawan hukum adat dan sosial yang tidak
berpihak kepada kaum marginal khususnya kepada perempuan. Muhktar Mai kemudian
menjadi pejuang perempuan di negaranya yang sangat terkenal. Bahkan The New York
Times menyebutnya sebagai perempuan paling berpengaruh. Kisah Mukhtar Mai
yang menyedihkan dan menghinakan sekaligus penuh heroik ini, bisa kita temukan
dalam bukunya; In The Name Of Honor.
Di Indonesia, pada
Agustus 2012, Sampang Madura Jawa Timur, di sana kita tahu bahwa kelompok Islam
yang bermazhab Syiah diperlakukan tidak selayaknya. Mereka diserang oleh
sekelompok (massa) yang mengaku Islam bermazhab Sunni. Rumah-rumah mereka
dibakar. Salah seorang bermazhab Syiah bernama Moch Chosim yang biasa dipanggi
Pak Hamama, pada saat penyerangan itu, berusaha maju ke tengah-tengah massa untuk
menenangkan kondisi. Naas, bagi Pak Hamama, maksud baiknya ternyata menyulut
amarah massa. Sedikitnya 6 orang lelaki dewasa dengan senjata clurit, pedang,
dan pentungan mengeroyoknya. Tubuhnya bersimbah darah, perutnya terburai dan
meninggal di tempat. Kejadian ini, membuat orang Islam yang bermazhab Syiah
ini, harus meninggalkan desa mereka. kini, mereka hidup dipengungsian hingga
sekarang.[1]
Tak hanya Mazhab
Syiah, mungkin kita semua masih mengingat kejadian yang juga masih di tahun 2012 tepatnya tanggal 17
Februari. Sekitar 200-an orang melakukan pengerusakan Mesjid Nurhidaya milik Jemaah
Ahmadiyah di Cianjur. Alasan penyerangan itu, sebab Ahmadiyah dianggap sesat.
Sebelumnya tahun 2011, terjadi di Makassar. Di Pandegelang, 6 Februari di tahun
yang sama, ribuan orang menyerang warga Ahmadiyah. Dalam penyerangan itu, tiga
orang warga Ahmadiyah meninggal dan sementara rumah mereka hancur dirusak
massa.[2]
Masih di Indoensia, di tahun 2015, tepatnya di ujung timur Tolikara Papua sana.
Menjelang salat Idul Fitri, tiba-tiba sekelompok massa dari luar
berteriak-teriak. Umat muslim yang hendak salat sontak kaget dan langsung
melarikan diri ke Koramil dan Pos 756/WMS untuk meminta perlindungan.
Sepeninggalan umat muslim itu, Masjid tersebut dibakar.[3]
Berangkat dari kisah nyata Mukhtar Mai, Syiah di Sampang,
Ahmadiyah dimana-mana, Tolikara—Papua di atas, sebagai contoh kasus, kita bisa
menemukan sebuah peghampiran teoritik dari Axel Honneth. Bahwa peristiwa
seperti itu disebut sebagai penghinaan sosial atau dalam konsep sosiologis
disebut sebagai patologi sosial. Axel Honneth merupakan generasi ketiga Mazhab
Frankfrut (Teori Kritis). Axel Honneth, lahir di Essen, Jerman pada 18 Juli
1949. Honneth merupakan teoritikus sosial yang pernah dibimbing langsung oleh
Jurgen Habermas. Walau Honneth tetap melanjutkan pikiran para pedahulunya di
Teori Kritis, akan tetapi ia tetap memiliki gagasan yang berbeda dengan
pendahulunya. Yang masih dipegang teguh oleh Honneth di Mazhab Frankfrut yakni
semangat kritis-emansipatoris.
Dengan
fokus pada sosial-politik dan filsafat moral, terutama menyangkut relasi antara
kekuasaan, pengakuan dan respek. Honneth mengatakan bahwa masyarakat di era
modern ini ditandai dengan membesarnya patologi sosial. Relasi sosial pada masyarakat
dalam perkembangannya mengalami distorsi. Distorsi tersebut disebabkan oleh
dominasi rasio instrumental. Akibatnya, rasionalitas mengalami defisit terutama fungsi kritisnya
tidak berkembang seiring perkembangan masyarakat yang ditopang kemajuan
teknologi.[4] Pada
prinsipnya depisit rasional ini yang banyak mengakibatkan patologi sosial
seperti pada kasus-kasus di atas.
Patologi
sosial yang berarti berkurangnya kondisi bagi kehidupan sosial yang baik;
setiap subjek tidak dapat mengembangkan diri sesuai cita-citanya. Artinya,
realisasi-diri subjek dalam masyarakat hanya akan berhasil apabila komunitas
politis tempat subjek itu terlibat menyediakan ruang yang memadai. Karenanya,
patologi terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat dengan semestinya
mengekspresikan potensi rasionalitas yang mereka miliki lewat keterlibatan di
dalam institusi, praktek hidup, dan rutinitas hidup harian mereka.[5]
Patologi
sosial atau dalam istilah Axel Honneth “penghinaan” (Disrespect), yang
terjadi pada subjek dan kelompok tertentu dalam masyarakat modern ini disebabkan
oleh defisit rasional tersebut memiliki tiga tipe. Dalam kasus yang menimpa Mukhtar
Mai bisa dikategorikaan sebagai penghinaan atau patologi sosial kategori
pertama yakni penghinaan fisik. Penghinaan fisik yang dialami oleh Mukhtar
Mai adalah bentuk penghinaan sosial yang paling fundamental dan radikal. Pada
posisi ini, subjek atau manusia hanya dilihat sebatas “darah” dan “daging”.
Selanjutnya, bentuk penghinaan (patologi sosial) yang kedua adalah pengingkaran
dan penyangkalan terhadap hak-hak legal subjek dan kelompok tertentu.
Penghinaan ini, prinsipnya pelangggaran terhadap martabat subjek atau kelompok tertentu
atau tidak diberikannya hak-haknya sebagai subjek dan kelompok oleh komunitas
yang lain atau negara. Penghinaan yang ketiga adalah pengurasakan terhadap
nilai-nilai partikular kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial tertentu tersebut,
menghadapi pelarangan untuk menentukan jalan dan cara hidupnya sendiri. Mereka
mengalami paksaaan untuk menyesuaikan diri—menyamakan diri—sepenuhnya kepada
kelompok mayoritas.[6] Sepertinya kasus Syiah di Sampang, Ahmadiyah, dan Tolikara bisa menjadi
contoh dalam penghinaan sosial kategori dua dan tiga.
Bagi
Axel Honneth, dalam mengatasi penghinaan atau patologi sosial ini, di sini kita
perlu sebuah pengakuan. Teori pengakuan atau politik pengakuan inilah yang
menjadi ide utama Axel Honneth. Karena teorinya ini, seperti yang dinyatakan
oleh Nikolas Kompridis, murid sekaligus pengkritik Habermas mengatakan,
munculnya pemikiran Honneth ini, merupakan sebuah bentuk “pembelokan etis” dari
Teori Kritis.[7]
Artinya Honneth melihat bahwa defisit rasional yang berakibat banyaknya
penghinaan sosial, lebih banyak karena perseoalan etik. Dalam merumuskan teori
pengakuannya, Honneth beranjak dari pemikiran Hegel[8] tentang
pengakuan.
Secara
etimologis pengakuan (recognition) berarti ‘menemukan’ atau ‘mengetahui
sesuatu atau seseorang sekali lagi’ yang diasalkan dari kata kerja Latin cognōscĕre yang
berarti mengetahui, dan prefiks re. Menurut etimologi ini pengakuan
berarti tindakan untuk memeroleh pengetahuan sekali lagi, yang membuka
kemungkinan untuk melihat seseorang yang kita temui dalam keseharian hidup kita
dengan cara pandang yang baru, dengan “mata yang baru.” Dengan kata lain, ada
perhatian yang benar pada ciri atau sifat dan aspek yang barangkali tidak kita
sadari atau lihat saat perkenalan awal.[9]
Bagi
Honneth, setiap subjek (baik perorangan maupun kelompok) untuk mencapai otonominya,
maka di situlah diperlukan pengakuan dalam kehadirannya di tengah masyarakat. Dalam
kacamata Honneth, ada tiga bentuk pengakuan sebagai solusi yang ekuivalen menghadapi
bentuk-bentuk penghinaan (patologi sosial) yang ada. Ketiganya adalah cinta sebagai
fundamen bagi tumbuhnya kepercayaan diri seseorang; hak-hak legal/hukum yang
bertujuan menopang respek atas diri sendiri dan respek dari orang lain; dan solidaritas
yang menopang kepercayaan diri individu dalam masyarakat. Ketiga bentuk pengakuan
intersubjektif ini dapat kita sebut
sebagai infrastruktur moral yang harus ada jika sebuah masyarakat ingin
meminimalisasi kekerasan dan disrespek.[10]
Pengakuan
cinta adalah relasi yang terbangun
antara subjek yang satu dengan “yang lain” sama-sama memberikan dirinya dalam
relasi yang specifik, intim dan penuh penghargaan. Pengakuan ini, memberikan
keharusan pada setiap subjek untuk melampui kediriannya untuk melihat “diri
yang lain”. Dengan demikian, setiap subjek dapat memeroleh kenyamanan
eksistensial dan emosional.[11] Dalam
relasi cinta menjadi refresantasi simbiosis melalui proses individuasi. Pengakuan
cinta, mengharuskan untuk mengakui independensi atau otonomi subjek tertentu.
Pengakuan
yang kedua adalah legal hukum. Jika
pada pengakuan cinta menekankan pengakuan identitas subjek, maka pada pengakuan
ini, lebih ditekankan kesetaraan/kesamaan status setiap orang. Pada tipe ini, memberi
penekanan pada prinsip kesetaraan universal bagi semua individu. Subjek dan “yang
lain” saling mengakui sebagai subjek-subjek hukum. Melalui hak dan kewajiban
mereka, memestikan didistribusi dalam komunitas secara adil dan merata. Sehingga
diperlukan hukum dan dalam ketaatan hukum, setiap subjek hukum saling mengakui
satu sama lain sebagai person yang memiliki otonomi untuk memutuskan secara
rasional berdasarkan norma-norma moral yang diterima bersama.[12]
Bentuk
pengakuan selajutnya yakni solidaritas. Pengakuan ini hendak menempatkan posisi yang tepat
terhadap subjek dalam realitas sosialnya. Dalam penempatan posisi yang tepat
tersebut, perlunya pengakuan secara sosial, baik yang memiliki kesamaan
identitas maupun berbeda. Dengan adanya relasi kesalingpengakuan, baik subjek dengan
latar belakang yang sama maupun berbeda, akan melahirkan pada setiap subjek dalam
kehidupan sosialnya mempertahankan dan mengartikulasikan keunikan dan
karateristik masing-masing. Dengan demikian setiap subjek dikenal unik, khas, dan
berbeda. Sehingga, kita akan menemukan subjek dihargai sesuai dengan keunikan,
kekhasan, dan karakteristik mereka masing-masing.[13]
Tujuan utama dari teori pengakuan atau lebih
dikenal sebagai politik pengakuan Honneth ini sebetulnya sama dengan tujuan
utama dari Teori Kritis—yakni menciptakan masyarakat tanpa paksaan, penguasaan,
dan dominasi. Sebuah kondisi masyarakat yang tidak hanya aman secara fisik,
namun juga secara psikologis. Sebuah bentuk masyarakat tanpa kecemasan akan
tertutupnya ruang mengartikulasikan identitas dan kekhasan setiap subjek. Letak
gerakan emansipatoris dari Honneth yaitu menciptkan rasional subjek yang tidak
defisit. Pada posisi ini, Honneth tentunya melalui pengakuan diterima sebagai rasional
yang universal.
[1]
http://www.suarapembaharuan. com/ inilah
kronologi kekerasan warga syiah di Sampang.
[2]
https://m.tempo.co. Rentetan kekerasan
terhadap ahmadiyah.
[3]
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/07/17/nrmprs-ini-kronologis-pembakaran-masjid-di-tolikara
[4]
Yasintus T. Runesi, Pengakuan Sebagai Gramatika Intersubjektif Menurut Axel Honnet.
Jakarta: Melintas. 2014 hlm, 324.
[5] Ibid, hlm, 328.
[6] Dr.
Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kiritis Kontemporer.
Jakarta: Rajawali, 2015, hlm. 44.
[7] Ibid, hlm. 42
[8]
Teori pengakuan Hegel merupakan sistesis terhadap ide-ide atau teori filsafat
moral yang berkembang pada masanya. Seperti teori Thomas Hobbes yang mengatakan
manusia didorong dan dikendalikan selalu oleh keinginan untuk memeroleh
kehormatan dan harga diri. Atau J.J Rosseau yang mengatakan bahwa manusia
kehilangan kenyamanan dan kedamaianya yang sebelumnya dalam kondisi alamiahnya
sejak manusia mengenal negara. Selanjutnya ada Ficthe, yang mengatakan bahwa
subjek akan mencapai kebebasanya jika ia menggunakan otonomi rasionalnya. Dari
sistesis pemikiran inilah, Hegel kemudian menyatukannya dalam konsep kesadaran
diri yang dialami melalui proses timbal balik. Lihat Dr. Akhyar Yusuf Lubis, ibib, hlm, 42.
[9] Yasintus T. Runesi, op.cit, hlm.
329
[10] Ibid, hlm, 328-329.
[11] Dr.
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit, hlm, 44
[12] Yasintus T. Runesi, Op.cit, hlm,
335
[13] Dr.
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit, hlm, 45
Keren tulisannya kak Asran Salam...
ReplyDeleteTulisannya top markotop, cuma jenis huruf blog yang punya bayangan, membuat mata lumayan lelah membacanya ustaz.
ReplyDeletePengakuan...
ReplyDeleteMakasih atas komennya. Sipa kanda Kasman upayakan diperbaiki untuk postingan beerikutnya.
ReplyDeleteSalam.
ReplyDeleteTabe' kanda.
Jika berkenan sy mw bertanya.
1. Kenapa/bagaimana proses rasio intrumental mengakibatkan difisit rasionalitas?
2. Selain rasio-kategori-instrumental, rasio "kategori" apa sj klasifikasi rasio yg lain?