Oleh: Asran Salam
***
Riuh desiran ombak pada desember yang
rintik. Aku menatap jauh ke tengah laut. Di kejauhan, sesekali nampak muncul
tenggelam cahaya lampu para nelayan. Malam ini, dalam pikirku, aku akan menabalkan
hati yang lama tertahan. Perasaan yang lama terpendam. Aku berpikir inilah
saatnya. Ini kesempatan yang terbaik kupunya. Mungkin agak sulit untuk
menemukan moment seperti malam ini. Aku berpikir jika tidak malam ini,
berakhirlah segalanya. Jika tidak malam ini, ada baiknya aku mengubur saja rasa
ini dan melupakannya. Membiarkan berlalu dan ditelan oleh waktu. Tapi jika itu tidak
terjadi pikirku, aku akan menahan “sakit” yang saya bisa pastikan begitu lama.
Ya lama—seiring ia ditelan oleh waktu.
Dan, itu pasti perjuangan melelahkan. Melupakan yang tak berarti itu mudah.
Akan tetapi jika ia terkait pengalaman eksistensial itu pasti berat. Sekali
lagi, butuh perjuangan yang tak mudah. Butuh sajen hati yang ikhlas. Aku tak
bisa menyangkal kali ini, aku berada pada dua ruas rasa yang tak akan lolos
dari konsekuensi. Menabalkan lalu bersedia menerima apapun hasilnya atau tidak
sama sekali.
***
Hujan masih saja rintik, malam tetap
masih sama. Di kejauhuan lampu nelayan masih timbul tenggelam. Aku masih sibuk
dengan pikirannku. Memikirkan tentang cara yang tepat menuturkan perasaan yang
kian lama ingin meletup. Ah mengapa malam ini aku tak punya kebenaranian?
Tidakkan dengan mengungkapkannya, aku akan lepas. Tidakkah dengan
mengatakannya, akan membuat ia memahami. Tapi semuanya masih tertahan. Aku tak
bisa menatar perasaanku dengan baik.
“Menurutmu, bagaimana dengan politik
kita sekarang ini?” Tanyanya kepadaku tiba-tiba, seketika membuatku terbangun
dari pikiran-pikiranku.
“Tidak beres” jawabku singkat sambil
menoleh kepadanya lalu kembali menatap ke depan melihat hamparan laut.
“Iya benar, politik kita sekarang
memang tidak beres” Dia menimpali. Lalu dia melanjutkan, “Lihat saja para
politisi kita semakin rakus. Mereka tidak segan-segan melahap habis uang
rakyat. Mereka tak sedikit pun memiliki empati terhadap rakyat. Mereka tak
punya niat sedikit pun mensejahterakan rakyat. Mereka membuat undang-undang
hanya untuk kepentingan pemodal. Coba saja kamu amati, terobosan apa yang telah
dilakukan oleh politisi kita untuk rakyat. Yang ada, kebijakannya semakin
melebarkan jarak antara kaya dan miskin”
“Iya seperti itu adanya” ujarku,
membenarkan apa yang ia bilang. Aku tidak bersemangat berkomentar panjang. Dalam
hati, aku berkata, “malam ini aku tidak tertarik berdiskusi. Apalagi membicarakan
politik yang brengksek ini. Aku sebenarnya ingin kita mendiskusikan hal yang
lain. Hal eksistensial. Tentang rasa ini. Aku ingin kita membicarakan rasa ini.
Apakah kamu juga memiliki dan mengalami hal yang sama seperti apa yang kualami.
Sekali lagi ini yang ingin aku bicarakan”.
“Seandainya para pendiri bangsa
menyaksikan kondisi bangsa sekarang ini, pasti ia akan sangat sedih. Apakah
para politisi itu tidak tahu bagaimana perjuangan pendahulu kita mendirikan
bangsa ini. Apakah mereka tidak tahu
penderitaan Tan Malaka, Soekarno dan tokoh yang lain, kadangkala mereka harus
mendekam di penjara karena perjuangannya memerdekakan bangsa ini. Apakah mereka
tidak pernah membaca sejarah itu. ooo iya saya lupa mereka memang malas membaca”
“Iya seperti itulah politisi kita” jawabku
singkat menimpali tuturnya yang panjang lebar. Dengan wajah yang datar, dalam
hati aku merintih, “sudahlah aku tidak ingin berdiskusi. Apalagi tentang
politik yang tai kucing ini. Sekali lagi, malam ini aku ingin memberi ruang
pada hatiku agar lepas dari jerat rasa ini. Ya, dengan mengungkapkannya
kepadamu itu adalah jalannya. Dengan membagi kepadamu yang sebenarnya orangnya
adalah kamu sebagai subjek sekaligus objek dari rasa ini yang ingin dituju. Aku
tak sanggup lagi menahannya. Tidakkah kau ingin mendengarnya? Tidakkah malam
ini dengan rintik hujannya cukup romantis untuk membicarkan persaan ini. Dari
pada berbicara politik yang kelam ini”
“Lihat perilaku partai politik. Mereka
hanya sibuk bertransaksi kekuasaan. Mereka tak memiliki ideologi yang jelas.
Ada partai yang berlabel agama tapi korupsinya nomor satu. Partai begini
benar-benar menggunakan agama sebagai topeng untuk legitimasi dalam memuluskan
kebejatannya. Mereka benar-benar lihai menampilkan diri sebagai kaum agamawan.
Orang-orangnya benar-benar seperti bal’am.”
“Betul sekali pendapatmu itu” tuturku lagi dengan singkat membenarkan apa dia sampaikan. Tapi dalam hati, perasaanku berontak. “Kenapa kamu masih melanjutkan bicara politik ini. Politik kita memang absurd. Sudalah, aku ingin kita mendiskuskan sejarah awal adanya rasa ini. Kapan pertama kali ia muncul. Mungkin itu lebih berarti. Barangkali itu lebih manusiawi dan bisa memanusiakan kita dibanding mendiskusikan politik. Rasa ini mungkin lebih politik yang sesungguhnya dibanding apa ditampilkan oleh politisi kita. Tolonglah, sudahilah bicara politiknya. Aku ingin kamu menyediakan kuping kamu untuk mendengar rasa ini bercerita. Aku ingin kamu menyiapkan hatimu memberi jawaban yang tentunya rasa kita bisa saling bertaut. Aku sungguh berharap itu”.
“Ah sudahalah bicara politik.
Sepertinya membicarakan kebobrokan politik tak ada habisnya” ujarnya sambil
mengerutkan jidat.
Aku meresponnya dengan hanya tersenyum
tapi dalam hati aku berkata “kenapa bukan dari awal kamu menyadarinya. Seandainya
dari awal kamu tidak membicarakan politik, setidaknya rasa ini punya waktu yang
banyak untuk mengdaku kepadamu. Menyampaikan semua ruas-ruasnya hingga tak ada
yang tersembunyi. Mengungkapkan ihwal percik-percik dan getaran-getaran yang
mana akal tak mampu memasukinya. Yang mana indra tak mampu menjangkaunya. Tapi
tak apalah barangkali diwaktu yang tersisa, aku masih bisa mengungkapkan ke dalam
rasa yang tidak berdimensi jarak ini. barangkali aku bisa meringkasnya dengan
memasukkan kamu kedalam durasi rasa ini ”
Sambil menoleh kepadaku “Oh iya
menurut kamu apa sih yang mesti dilakukan dengan kondisi politik seperti ini?” Tanyanya
kepadaku.
“Mmmmm..aku tidak tahu, soalnya
politik kalut sekali” Aku menjawab seadanya yang sebenarnya, bisa saja aku
jawab lebih panjang dan detail. Dan, mungkin di situ bisa ditemukan solusi
kondisi politik sekarang. Tapi, dari awal aku tidak bersemangat membicarakan
politik. Lagian juga, ia sudah mengatakan akan mengakhiri berbincangan politik
ini. Tapi, mengapa ia masih melanjutkannya dengan bertanya demikian. Aduh kapan
perasaanku punya waktu untuk saya sampaikan kepadamu cetusku dalam hati.
***
Masih seperti semula rintik masih
setia menemani kami. Namun, yang berubah malam semakin larut. Waktu sudah menjelang
dini hari. Suasana semakin sepi. Tibalah waktunya kami mengakhiri pembicarakan
yang dari awal hingga akhir meluluh politik. Bagiku, malam ini adalah
pembicaraan dengannya yang sungguh membosankan. Akhirnya, kami memilih beranjak
pergi meninggalkan tepi pantai dan Gasebo tempat kami berteduh. Kami beranjak
untuk bergegas pulang. Aku mengambil motor di parkiran, lalu menyalakannya.
Kemudian dia naik jok belakang. Aku membongcengnya. Di jalan pulang tak ada
sepatah kata lagi yang keluar dari bibir kami. Kami semua sibuk dengan lamunan
masing-masing. Saya tidak tahu apa yang ia lamunkan. Mungkin masih tentang
politik yang brengsek ini. Di atas motor dengan menatap kosong ke jalan yang
sudah lengang, aku menggerutu. Dasar politik ternyata ia telah menyita semua
waktu yang ada. Tak ada sedetik pun yang disisakan untuk mengungkap perasaanku
kepadanya. Dasar politik. Bahkan rasa ini tak ia beri kesempatan. Sungguh
kejam. Politik memang kotor dan licik. Bayangkan hal paling eksistesial saja ia
tak diberi ruang. Ia merebut semuanya dengan luas boroknya yang tak pernah cukup
waktu menceritakannya. Dan orang yang aku cintai karena pikirin-pikirannya juga ia
ambilnya. Sungguh kejam. Sekali lagi sungguh brengsek[*]
Sekretariat Human
Epistemik, 8 April 2016
Untuk mereka yang
punya rasa
Namun politik
begitu kejam merebutnya.
No comments:
Post a Comment