Wednesday, April 13, 2016

Oleh: Asran Salam Media dewasa ini telah mengambil peran penting dalam struktur sosial. Media yang pada hakikatnya berfungsi sebagai e...

Media dan Politisasi Kenyataan

No comments:
 

Oleh: Asran Salam

Media dewasa ini telah mengambil peran penting dalam struktur sosial. Media yang pada hakikatnya berfungsi sebagai edukasi, hiburan, informasi serta sebagai transformasi sosial. Namun, pada kenyataan telah jauh bergeser dari fungsinya. Media jika dipersentasikan dengan tayangan yang ditampilkan hanya lebih menekankan pada hiburan di mana nuansa pendidikannya sangat minim. Kehadiran media untuk memengaruhi opini publik, banyak menjadikan khalayak sebagai objek yang benar-benar fasif dalam menerima segala tayangannya. Dan tidak sedikit masyarakat sebagai penerima semua tayangan media mengikuti apa yang diperlihatkan oleh media. Media telah mensimulasi struktur sosial mulai dari nilai dan sikap. Media telah membentuk segalanya yang semu menjadi nyata. Pada sisi lain, media terkadang menampilkan tayangan yang tidak mengajak khalayak untuk berpikir rasional, lihat saja tayangan sinetron yang menampilkan kolosal yang dipadukan dengan modern sehingga apa yang terjadi, kita dapat melihat manusia yang berubah menjadi binatan lain.

Media ketika diamati, terkadang melakukan kekerasan simbolik terhadap khalayak yang dipresentasikan melalui bahasa. Bahasa dan media, menjadi dua sisi dalam mata uang yang sama. Keduanya beriringan dalam menyampaikan pesan. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat diuraikan dari kedua istilah yang kadang secara bersamaan digunakan. Pertama, dalam melihat bagaimana media melakukan praktik-praktik penyampaian pesan. Dan kedua bagaimana media dalam menggunakan bahasa dalam memengaruhi kesadaran yang mana pada tahap tertentu menjadi semacam arahan referensial dalam mempersepsi kenyataan. Politisasi kenyatan yang ada dengan penggunaan bahasa oleh media dapat dianalisis sebagai diskursus atau wacana.


Dalam diskursus,  ada tiga paradigma yang bisa digunakan dalam mengamati parktik-praktik media menciptakan kesadaran dan kenyataan. Pertama merujuk pada pandangan—paradigma kaum positivis. Seperti yang kita ketahui, kaum positivis dalam melihat sebuah kenyataan selalu mendasarkanya pada standar keilmiahan atau lebih tepatnya melaboratoriumkan kenyataan dalam kacamata tertentu. Sebagai aspek referensial dalam memandang kenyataan para positivis memandang bahasa sebagai jembatan antara manusia dan objek di luar dirinya.  Pengalaman-pengalaman manusia secara langsung dapat diekspresikan dan tanpa hambatan.

Bahasa ketika digunakan tidak memerlukan pemaknaan secara subjektif karena yang terpenting adalah apakah pernyataan yang digunakan sudah memenuhi standar keruntutan logis. Oleh karena itu, keabsahannya berdasarkan keruntutan dan kesinambungan suatu pernyataan dengan pengalaman. Sehingga jika berdasarkan pada paradigma ini, maka apa yang disampaikan oleh media dengan bahasa yang digunakannya selalu dipandang berkesesuaian dengan kenyataan. Dalam artian bahwa bahasa media (berita) merupakan refrensentasi dari kenyataan yang objektif—bebas dari unsur subyektif seperti ideologi atau kepentingan media itu sendiri.

Kedua, paradigma konstruktivis. Paradigma ini melihat bahwa bahasa oleh media bukan hanya sebagai alat untuk memahami kenyataan—atau refresentasi kenyataan yang bebas dari aspek subyetifitas—saja tetapi dengan melihat aspek subjek. Bahasa dipandangan sebagai entitas yang mandiri atau otonom yang digunakan media dalam memproduksi—mengkonstruksi—kenyataan. Penutur (media) punya andil (subyektifitas) dalam menjelaskan realitas. Penutur (media) tidak bisa lepas dari sosial kulturalnya. Media sebagai salah satu penyampai pesan haruslah dilihat dalam kerangka bahwa memiliki arena untuk menentukan kepentingannya. Untuk melihat posisi media dengan kepentingan yang dibawanya, maka dapat dilacak dengan melihat siapa pemilik media tersebut kemudian siapa jurnalisnya sebagai dapur proses pesan.

Dalam relasi keduanya, antara pemilik media dan jurnalis tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh pemilik media tetap mengambil ruang yang banyak, sehingga berbicara tentang pesan yang disampaikan, pada ruang inilah independensi seorang jurnalis perlu untuk dipertanyakan. Media juga tidak bisa dilepaskan dengan kuasa modal dalam desainnya. Modal terkadang menentukan ideologi suatu media. Terkait dengan modal dan ideologi media, maka disnilah wilayah paradigma selanjutnya atau ketiga. Paradigma ketiga yang dimaksud adalah kritis. Media dengan bahasa yang digunakan menurut pendekatan kritis bukanlah sebuah alat yang bebas dari kepentingan dan ideologi pihak tertentu. Berita yang disampaikan tidaklah bebas nilai. Sebab, berita itu sendiri telah melalui proses konstruksi yang didalamnya tidak terlepas dari pilihan dan kepentingan penulis atau wartawan pula. Jadi untuk melihat kepentingan-kepentingan itu,  pertama kita harus melihat apa saja yang terlibat didalam proses produksi dan penyampaian sebuah berita atau pesan. 

Paradigma kritis melihat bahwa kepentingan yang bermain dalam sebuah media pada dasarnya ada dua yaitu modal dan kuasa (kekuasaan dan ideologi). Media tidak pernah terlepas dari kedua kepentingan ini. Dalam relasinya dengan kekuasaan, dalam kacamata kritis pemilik modal dalam sebuah perusahaan media bisa saja memiliki kepentingan berbeda dengan pemegang kekuasaan atau dalam hal ini pemerintah. Atau bisa saja keduanya memiliki kepentingan yang sama atau membangun sebuah mutual simbiosis.

Akan tetapi kecenderungan paradigma kritis melihat media selalu bersanding dengan kekuasaan tertentu  dan ini memengaruhi berita yang diproduksinyanya. Perihal relasi media dan kekuasaan, misalkan pemerintah, memiliki kepentingan terhadap media dalam hal publikasi kinerja atau permomance penyelenggaraan pemerintahannya. Pemerintah butuh publikasi, dan media butuh berita. Selain itu pemerintah tentunya membutuhkan berita yang baik-baik untuk membangun citra pemerintahannya. Dititik inilah, terkadang media membangun bargaining dengan pemerintah. Dan ketika kesepakatan dicapai, maka akan muncullah berita-berita yang baik-baik saja, dan berusaha menutupi berita yang negatif tentang pemerintahan. Maka tidak heran ketika media bermain di dalam game of issues seperti issue lama ditutupi dengan issue baru. Dalam game of issue ini, issue menjadi kenyataan semu akan tetapi oleh banyak orang diterima sebagai kenyatan natural—alamiah.

No comments:

Post a Comment