Oleh: Asran
Salam
Media dewasa ini
telah mengambil peran penting dalam struktur sosial. Media yang pada hakikatnya
berfungsi sebagai edukasi, hiburan, informasi serta sebagai transformasi
sosial. Namun,
pada kenyataan telah jauh bergeser dari fungsinya. Media jika dipersentasikan dengan tayangan yang
ditampilkan hanya lebih menekankan pada hiburan di mana nuansa pendidikannya sangat minim. Kehadiran media untuk
memengaruhi opini publik, banyak menjadikan khalayak sebagai objek yang
benar-benar fasif dalam menerima segala tayangannya. Dan
tidak sedikit masyarakat sebagai penerima semua
tayangan media mengikuti apa yang diperlihatkan oleh media. Media telah
mensimulasi struktur sosial mulai dari nilai dan sikap. Media telah membentuk
segalanya yang semu menjadi nyata. Pada sisi lain, media terkadang menampilkan tayangan yang tidak mengajak khalayak untuk berpikir rasional, lihat saja tayangan
sinetron yang menampilkan kolosal yang dipadukan dengan modern sehingga apa
yang terjadi, kita dapat melihat manusia yang berubah menjadi
binatan lain.
Media ketika diamati, terkadang melakukan kekerasan simbolik terhadap khalayak yang dipresentasikan melalui
bahasa. Bahasa
dan media, menjadi dua sisi dalam mata uang yang sama. Keduanya beriringan dalam
menyampaikan pesan. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat diuraikan dari kedua
istilah yang kadang secara bersamaan digunakan. Pertama, dalam melihat
bagaimana media melakukan praktik-praktik penyampaian pesan. Dan kedua
bagaimana media dalam menggunakan bahasa dalam memengaruhi kesadaran yang mana
pada tahap tertentu menjadi semacam arahan referensial dalam mempersepsi
kenyataan. Politisasi kenyatan yang ada dengan penggunaan bahasa oleh media
dapat dianalisis sebagai diskursus atau wacana.
Dalam
diskursus, ada tiga paradigma yang bisa
digunakan dalam mengamati parktik-praktik media menciptakan kesadaran dan
kenyataan. Pertama merujuk pada
pandangan—paradigma kaum positivis. Seperti yang kita ketahui, kaum positivis dalam
melihat sebuah kenyataan selalu mendasarkanya pada standar keilmiahan atau
lebih tepatnya melaboratoriumkan kenyataan dalam kacamata tertentu. Sebagai
aspek referensial dalam memandang kenyataan para positivis memandang bahasa
sebagai jembatan antara manusia dan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia secara langsung
dapat diekspresikan dan tanpa hambatan.
Bahasa ketika digunakan
tidak memerlukan pemaknaan secara subjektif karena yang terpenting adalah
apakah pernyataan yang digunakan sudah memenuhi standar keruntutan logis. Oleh
karena itu, keabsahannya berdasarkan keruntutan dan kesinambungan suatu
pernyataan dengan pengalaman. Sehingga jika berdasarkan pada paradigma ini,
maka apa yang disampaikan oleh media dengan bahasa yang digunakannya selalu
dipandang berkesesuaian dengan kenyataan. Dalam artian bahwa bahasa media (berita)
merupakan refrensentasi dari kenyataan yang objektif—bebas dari unsur subyektif
seperti ideologi atau kepentingan media itu sendiri.
Kedua, paradigma konstruktivis.
Paradigma ini melihat bahwa bahasa oleh media bukan hanya sebagai alat untuk
memahami kenyataan—atau refresentasi kenyataan yang bebas dari aspek
subyetifitas—saja tetapi dengan melihat aspek subjek. Bahasa dipandangan sebagai
entitas yang mandiri atau otonom yang digunakan media dalam memproduksi—mengkonstruksi—kenyataan.
Penutur (media) punya andil (subyektifitas) dalam menjelaskan realitas. Penutur (media) tidak
bisa lepas dari sosial kulturalnya. Media sebagai salah satu penyampai pesan haruslah dilihat
dalam kerangka
bahwa memiliki arena untuk menentukan kepentingannya. Untuk melihat posisi media dengan kepentingan yang
dibawanya, maka dapat dilacak dengan melihat siapa pemilik media tersebut kemudian siapa
jurnalisnya sebagai dapur proses pesan.
Dalam relasi
keduanya, antara pemilik media dan jurnalis tidak bisa
dipungkiri bahwa pengaruh pemilik media
tetap mengambil ruang yang banyak, sehingga berbicara tentang pesan yang disampaikan, pada
ruang inilah independensi seorang jurnalis perlu untuk
dipertanyakan. Media juga tidak bisa dilepaskan dengan kuasa modal dalam desainnya. Modal terkadang menentukan ideologi suatu media. Terkait dengan
modal dan ideologi media, maka disnilah wilayah paradigma selanjutnya atau
ketiga. Paradigma ketiga yang
dimaksud adalah kritis. Media dengan bahasa yang digunakan menurut pendekatan
kritis bukanlah sebuah alat yang bebas dari kepentingan dan ideologi pihak
tertentu. Berita yang disampaikan tidaklah bebas nilai. Sebab, berita itu
sendiri telah melalui proses konstruksi yang didalamnya tidak terlepas dari
pilihan dan kepentingan penulis atau wartawan pula. Jadi untuk melihat
kepentingan-kepentingan itu, pertama
kita harus melihat apa saja yang terlibat didalam proses produksi dan
penyampaian sebuah berita atau pesan.
Paradigma
kritis melihat bahwa kepentingan yang bermain dalam sebuah media pada dasarnya
ada dua yaitu modal dan kuasa (kekuasaan dan ideologi). Media tidak pernah
terlepas dari kedua kepentingan ini. Dalam relasinya dengan kekuasaan, dalam
kacamata kritis pemilik modal dalam sebuah perusahaan media bisa saja memiliki
kepentingan berbeda dengan pemegang kekuasaan atau dalam hal ini pemerintah.
Atau bisa saja keduanya memiliki kepentingan yang sama atau membangun sebuah
mutual simbiosis.
No comments:
Post a Comment