Friday, April 1, 2016

Oleh: Asran Salam Selatan Punjab—Pakistan—tepatnya di sebuah desa yang terpencil berbatasan dengan India. Meerwala nama desa itu. Sebu...

Mukhtar Mai, Syiah, Ahmadiyah, Tolikara, dan Teori Kritis Axel Honneth

5 comments:
 

Oleh: Asran Salam

Selatan Punjab—Pakistan—tepatnya di sebuah desa yang terpencil berbatasan dengan India. Meerwala nama desa itu. Sebuah desa yang jauh dari kata ramai. Tak ada penerangan listrik, jalanannya tak beraspal. Rumah-rumah tampil seadanya, kecuali rumah para kepala suku atau ketua klan yang memang banyak menguasai lahan pertanian. Meerwala masih menerapkan sistem hukum adat. Dan, sepertinya desa-desa di Pakistan memang masih menganut sistem hukum adat. Kasta rendah dan tinggi masih bagian dari struktur sosial di sana. Mungkin pengaruh India belum benar-benar seutuhnya mereka bisa lepaskan. Walau kita tahu, Pakistan merupakan negara Islam. Negara yang konon berdiri dan terinspirasi dari puisi-puisi mistik, filosofis dan politis Muhammad Iqbal. 

Pada 22 Juni 2002, di Meerwala, sebuah keluarga berasal klan rendah harus menghadapi hukum adat desanya. Sebuah penebusan harus dilakukan oleh seorang perempuan untuk menutupi kehormatan keluarga klan Mastoi—klan yang kuat di desa tersebut dan banyak mengusai dewan jirga (adat). Seorang perempuan harus memohon ampunan untuk adik laki-lakinya yang berusia sekitar 12 tahun. Oleh klan Mastoi menuduh adik laki-lakinya telah memerkosa anak perempuannya bernama Salma yang berusia 20 tahun-an. Atas tuduhan itu, Mukhtar Bibi harus menebus tuduhan yang menimpa adiknya yang bernama Shakur. Hal itu adalah hasil keputusan adat—lebih tepatnya keinginan klan Mastoi.


Singkatnya, Mukhtar Bibi, harus menyerahkan dirinya diperkosa oleh laki-laki klan Mastoi sebagai bentuk tebusan perbuatan adiknya. Prinsip adat (klan Mastoi) “mata harus dibalas mata” atau “darah harus dibalas darah”. Akhirnya, Mukhtar Bibi dengan dramatis diseret ke sebuah kandang ternak lalu diperkosa beramai-ramai oleh kaum pria Mastoi. Setelah itu, dilemparkan ke luar kandang dan disaksikan oleh penduduk desa. Tak ada yang berani melawan klan Mastoi. Sebab selain punya kekuasaan mereka juga punya senjata api yang sering digunakan mengamcam klan lain.
 
Mukhtar Bibi yang kemudian lebih dikenal dengan Mukhtar Mai, karena berangkat dari kasus yang menimpanya itu, ia kemudian tampil melawan hukum adat dan sosial yang tidak berpihak kepada kaum marginal khususnya kepada perempuan. Muhktar Mai kemudian menjadi pejuang perempuan di negaranya yang sangat terkenal. Bahkan The  New York Times menyebutnya sebagai perempuan paling berpengaruh. Kisah Mukhtar Mai yang menyedihkan dan menghinakan sekaligus penuh heroik ini, bisa kita temukan dalam bukunya; In The Name Of Honor.

Di Indonesia, pada Agustus 2012, Sampang Madura Jawa Timur, di sana kita tahu bahwa kelompok Islam yang bermazhab Syiah diperlakukan tidak selayaknya. Mereka diserang oleh sekelompok (massa) yang mengaku Islam bermazhab Sunni. Rumah-rumah mereka dibakar. Salah seorang bermazhab Syiah bernama Moch Chosim yang biasa dipanggi Pak Hamama, pada saat penyerangan itu, berusaha maju ke tengah-tengah massa untuk menenangkan kondisi. Naas, bagi Pak Hamama, maksud baiknya ternyata menyulut amarah massa. Sedikitnya 6 orang lelaki dewasa dengan senjata clurit, pedang, dan pentungan mengeroyoknya. Tubuhnya bersimbah darah, perutnya terburai dan meninggal di tempat. Kejadian ini, membuat orang Islam yang bermazhab Syiah ini, harus meninggalkan desa mereka. kini, mereka hidup dipengungsian hingga sekarang.[1]

Tak hanya Mazhab Syiah, mungkin kita semua masih mengingat kejadian yang  juga masih di tahun 2012 tepatnya tanggal 17 Februari. Sekitar 200-an orang melakukan pengerusakan Mesjid Nurhidaya milik Jemaah Ahmadiyah di Cianjur. Alasan penyerangan itu, sebab Ahmadiyah dianggap sesat. Sebelumnya tahun 2011, terjadi di Makassar. Di Pandegelang, 6 Februari di tahun yang sama, ribuan orang menyerang warga Ahmadiyah. Dalam penyerangan itu, tiga orang warga Ahmadiyah meninggal dan sementara rumah mereka hancur dirusak massa.[2] Masih di Indoensia, di tahun 2015, tepatnya di ujung timur Tolikara Papua sana. Menjelang salat Idul Fitri, tiba-tiba sekelompok massa dari luar berteriak-teriak. Umat muslim yang hendak salat sontak kaget dan langsung melarikan diri ke Koramil dan Pos 756/WMS untuk meminta perlindungan. Sepeninggalan umat muslim itu, Masjid tersebut dibakar.[3]
     
Berangkat dari kisah nyata Mukhtar Mai, Syiah di Sampang, Ahmadiyah dimana-mana, Tolikara—Papua di atas, sebagai contoh kasus, kita bisa menemukan sebuah peghampiran teoritik dari Axel Honneth. Bahwa peristiwa seperti itu disebut sebagai penghinaan sosial atau dalam konsep sosiologis disebut sebagai patologi sosial. Axel Honneth merupakan generasi ketiga Mazhab Frankfrut (Teori Kritis). Axel Honneth, lahir di Essen, Jerman pada 18 Juli 1949. Honneth merupakan teoritikus sosial yang pernah dibimbing langsung oleh Jurgen Habermas. Walau Honneth tetap melanjutkan pikiran para pedahulunya di Teori Kritis, akan tetapi ia tetap memiliki gagasan yang berbeda dengan pendahulunya. Yang masih dipegang teguh oleh Honneth di Mazhab Frankfrut yakni semangat kritis-emansipatoris.  

Dengan fokus pada sosial-politik dan filsafat moral, terutama menyangkut relasi antara kekuasaan, pengakuan dan respek. Honneth mengatakan bahwa masyarakat di era modern ini ditandai dengan membesarnya patologi sosial. Relasi sosial pada masyarakat dalam perkembangannya mengalami distorsi. Distorsi tersebut disebabkan oleh dominasi rasio instrumental. Akibatnya, rasionalitas mengalami defisit terutama fungsi kritisnya tidak berkembang seiring perkembangan masyarakat yang ditopang kemajuan teknologi.[4] Pada prinsipnya depisit rasional ini yang banyak mengakibatkan patologi sosial seperti pada kasus-kasus di atas.

Patologi sosial yang berarti berkurangnya kondisi bagi kehidupan sosial yang baik; setiap subjek tidak dapat mengembangkan diri sesuai cita-citanya. Artinya, realisasi-diri subjek dalam masyarakat hanya akan berhasil apabila komunitas politis tempat subjek itu terlibat menyediakan ruang yang memadai. Karenanya, patologi terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat dengan semestinya mengekspresikan potensi rasionalitas yang mereka miliki lewat keterlibatan di dalam institusi, praktek hidup, dan rutinitas hidup harian mereka.[5]

Patologi sosial atau dalam istilah Axel Honneth “penghinaan (Disrespect), yang terjadi pada subjek dan kelompok tertentu dalam masyarakat modern ini disebabkan oleh defisit rasional tersebut memiliki tiga tipe. Dalam kasus yang menimpa Mukhtar Mai bisa dikategorikaan sebagai penghinaan atau patologi sosial kategori pertama yakni penghinaan fisik. Penghinaan fisik yang dialami oleh Mukhtar Mai adalah bentuk penghinaan sosial yang paling fundamental dan radikal. Pada posisi ini, subjek atau manusia hanya dilihat sebatas “darah” dan “daging”. 

Selanjutnya, bentuk penghinaan (patologi sosial) yang kedua adalah pengingkaran dan penyangkalan terhadap hak-hak legal subjek dan kelompok tertentu. Penghinaan ini, prinsipnya pelangggaran terhadap martabat subjek atau kelompok tertentu atau tidak diberikannya hak-haknya sebagai subjek dan kelompok oleh komunitas yang lain atau negara. Penghinaan yang ketiga adalah pengurasakan terhadap nilai-nilai partikular kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial tertentu tersebut, menghadapi pelarangan untuk menentukan jalan dan cara hidupnya sendiri. Mereka mengalami paksaaan untuk menyesuaikan diri—menyamakan diri—sepenuhnya kepada kelompok mayoritas.[6] Sepertinya  kasus Syiah di Sampang, Ahmadiyah, dan Tolikara bisa menjadi contoh dalam penghinaan sosial kategori dua dan tiga.

Bagi Axel Honneth, dalam mengatasi penghinaan atau patologi sosial ini, di sini kita perlu sebuah pengakuan. Teori pengakuan atau politik pengakuan inilah yang menjadi ide utama Axel Honneth. Karena teorinya ini, seperti yang dinyatakan oleh Nikolas Kompridis, murid sekaligus pengkritik Habermas mengatakan, munculnya pemikiran Honneth ini, merupakan sebuah bentuk “pembelokan etis” dari Teori Kritis.[7] Artinya Honneth melihat bahwa defisit rasional yang berakibat banyaknya penghinaan sosial, lebih banyak karena perseoalan etik. Dalam merumuskan teori pengakuannya, Honneth beranjak dari pemikiran Hegel[8] tentang pengakuan.

Secara etimologis pengakuan (recognition) berarti ‘menemukan’ atau ‘mengetahui sesuatu atau seseorang sekali lagi’ yang diasalkan dari kata kerja Latin cognōscĕre yang berarti mengetahui, dan prefiks re. Menurut etimologi ini pengakuan berarti tindakan untuk memeroleh pengetahuan sekali lagi, yang membuka kemungkinan untuk melihat seseorang yang kita temui dalam keseharian hidup kita dengan cara pandang yang baru, dengan “mata yang baru.” Dengan kata lain, ada perhatian yang benar pada ciri atau sifat dan aspek yang barangkali tidak kita sadari atau lihat saat perkenalan awal.[9]

Bagi Honneth, setiap subjek (baik perorangan maupun kelompok) untuk mencapai otonominya, maka di situlah diperlukan pengakuan dalam kehadirannya di tengah masyarakat. Dalam kacamata Honneth, ada tiga bentuk pengakuan sebagai solusi yang ekuivalen menghadapi bentuk-bentuk penghinaan (patologi sosial) yang ada. Ketiganya adalah cinta sebagai fundamen bagi tumbuhnya kepercayaan diri seseorang; hak-hak legal/hukum yang bertujuan menopang respek atas diri sendiri dan respek dari orang lain; dan solidaritas yang menopang kepercayaan diri individu dalam masyarakat. Ketiga bentuk pengakuan  intersubjektif ini dapat kita sebut sebagai infrastruktur moral yang harus ada jika sebuah masyarakat ingin meminimalisasi kekerasan dan disrespek.[10]

Pengakuan cinta adalah relasi yang terbangun antara subjek yang satu dengan “yang lain” sama-sama memberikan dirinya dalam relasi yang specifik, intim dan penuh penghargaan. Pengakuan ini, memberikan keharusan pada setiap subjek untuk melampui kediriannya untuk melihat “diri yang lain”. Dengan demikian, setiap subjek dapat memeroleh kenyamanan eksistensial dan emosional.[11] Dalam relasi cinta menjadi refresantasi simbiosis melalui proses individuasi. Pengakuan cinta, mengharuskan untuk mengakui independensi atau otonomi subjek tertentu. 

Pengakuan yang kedua adalah legal hukum. Jika pada pengakuan cinta menekankan pengakuan identitas subjek, maka pada pengakuan ini, lebih ditekankan kesetaraan/kesamaan status setiap orang. Pada tipe ini, memberi penekanan pada prinsip kesetaraan universal bagi semua individu. Subjek dan “yang lain” saling mengakui sebagai subjek-subjek hukum. Melalui hak dan kewajiban mereka, memestikan didistribusi dalam komunitas secara adil dan merata. Sehingga diperlukan hukum dan dalam ketaatan hukum, setiap subjek hukum saling mengakui satu sama lain sebagai person yang memiliki otonomi untuk memutuskan secara rasional berdasarkan norma-norma moral yang diterima bersama.[12]

Bentuk pengakuan selajutnya yakni solidaritas. Pengakuan ini hendak menempatkan posisi yang tepat terhadap subjek dalam realitas sosialnya. Dalam penempatan posisi yang tepat tersebut, perlunya pengakuan secara sosial, baik yang memiliki kesamaan identitas maupun berbeda. Dengan adanya relasi kesalingpengakuan, baik subjek dengan latar belakang yang sama maupun berbeda, akan melahirkan pada setiap subjek dalam kehidupan sosialnya mempertahankan dan mengartikulasikan keunikan dan karateristik masing-masing. Dengan demikian setiap subjek dikenal unik, khas, dan berbeda. Sehingga, kita akan menemukan subjek dihargai sesuai dengan keunikan, kekhasan, dan karakteristik mereka masing-masing.[13]   

Tujuan utama dari teori  pengakuan atau lebih dikenal sebagai politik pengakuan Honneth ini sebetulnya sama dengan tujuan utama dari Teori Kritis—yakni menciptakan masyarakat tanpa paksaan, penguasaan, dan dominasi. Sebuah kondisi masyarakat yang tidak hanya aman secara fisik, namun juga secara psikologis. Sebuah bentuk masyarakat tanpa kecemasan akan tertutupnya ruang mengartikulasikan identitas dan kekhasan setiap subjek. Letak gerakan emansipatoris dari Honneth yaitu menciptkan rasional subjek yang tidak defisit. Pada posisi ini, Honneth tentunya melalui pengakuan diterima sebagai rasional yang universal. 
  


[1] http://www.suarapembaharuan. com/ inilah kronologi kekerasan warga syiah di Sampang.
[2] https://m.tempo.co. Rentetan kekerasan terhadap ahmadiyah.
[3] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/07/17/nrmprs-ini-kronologis-pembakaran-masjid-di-tolikara
[4] Yasintus T. Runesi, Pengakuan Sebagai Gramatika Intersubjektif Menurut Axel Honnet. Jakarta: Melintas. 2014 hlm, 324. 
[5] Ibid, hlm, 328.
[6] Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kiritis Kontemporer. Jakarta: Rajawali, 2015, hlm. 44.
[7] Ibid, hlm. 42
[8] Teori pengakuan Hegel merupakan sistesis terhadap ide-ide atau teori filsafat moral yang berkembang pada masanya. Seperti teori Thomas Hobbes yang mengatakan manusia didorong dan dikendalikan selalu oleh keinginan untuk memeroleh kehormatan dan harga diri. Atau J.J Rosseau yang mengatakan bahwa manusia kehilangan kenyamanan dan kedamaianya yang sebelumnya dalam kondisi alamiahnya sejak manusia mengenal negara. Selanjutnya ada Ficthe, yang mengatakan bahwa subjek akan mencapai kebebasanya jika ia menggunakan otonomi rasionalnya. Dari sistesis pemikiran inilah, Hegel kemudian menyatukannya dalam konsep kesadaran diri yang dialami melalui proses timbal balik. Lihat Dr. Akhyar Yusuf Lubis, ibib, hlm, 42.
[9] Yasintus T. Runesi, op.cit, hlm. 329
[10] Ibid, hlm, 328-329.
[11] Dr. Akhyar Yusuf Lubis, op.cit, hlm, 44
[12] Yasintus T. Runesi, Op.cit, hlm, 335
[13] Dr. Akhyar Yusuf Lubis, op.cit, hlm, 45

5 comments:

  1. Keren tulisannya kak Asran Salam...

    ReplyDelete
  2. Tulisannya top markotop, cuma jenis huruf blog yang punya bayangan, membuat mata lumayan lelah membacanya ustaz.

    ReplyDelete
  3. Makasih atas komennya. Sipa kanda Kasman upayakan diperbaiki untuk postingan beerikutnya.

    ReplyDelete
  4. Salam.
    Tabe' kanda.
    Jika berkenan sy mw bertanya.
    1. Kenapa/bagaimana proses rasio intrumental mengakibatkan difisit rasionalitas?
    2. Selain rasio-kategori-instrumental, rasio "kategori" apa sj klasifikasi rasio yg lain?

    ReplyDelete