Wednesday, May 23, 2012

Oleh ; Khaerun Nisa’a Tayibu   Gemercik air melantunkan lagu kebisingan memecah hening di Borong Luara ’. Desakan cucuran aliran air it...

Buhung Tunikeke

No comments:
 

Oleh ; Khaerun Nisa’a Tayibu

 Gemercik air melantunkan lagu kebisingan memecah hening di Borong Luara’. Desakan cucuran aliran air itu menebas tanaman-tanaman yang bersedia hidup sebatang kara di pinggiran sungai dengan heningnya, di antara para lumut-lumut nakal yang menggelitik kakiku semenjak tadi. Aku lebih menyukai tinggal bersama dengan mereka daripada harus terhanyut dalam kesakralan animisme keluargaku. Keluargaku sedang mengadakan upacara adat salah satu keluarga. Ya, Petta Te’ne telah melanggar adat. Anaknya, Puto Macinnong telah menebang pohon di Borong Karamaka**, daerah terlarang buat komunitas kami. Aku tak memperdulikannya. Kudengar sumpah serapah dari Puto Macinnong atas pengampunannya untuk ke-7 turunannya. Wajah pucat mengerumuni wajah-wajah para Galla yang mengadilinya. Wajar saja Puto Macinnong merupakan anak Ammatoa. aku tak menghiraukannya. Aku sibuk dengan indahnya lumut-lumut di kakiku.
Borong Karama’ hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari kegiatan penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan borong karamaka ini begitu sakral di komunitas kami karena adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur kami. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang,
"Talakullei nisambei kajua, Iyato' minjo kaju timboa. Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka. Kasipalli tauwa a'lamung-lamung ri boronga, Nasaba' se're wattu la rie' tau angngakui bate lamunna"
 Artinya Tidak bisa diganti kayunya, itu saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi di hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.
Memang benarlah jika kami benar-benar sangat menghargai sebatang pohon. Menurut Ammatoa, sebatang pohon memiliki penghuni dan kita wajib menjaga kehormatan dan kelestariannya. Setiap keluarga di desaku memiliki satu pohon yang wajib mereka jaga. Dan keluargaku sekarang sedang mengadakan upacara ritual mingguannya memberinya baca-baca di depan pohon. Selama ini setiap minggu kami menghantarkan baca-baca agar kami sekeluarga dapat diberikan keberkahan dalam upacara andingingi yang artinya mendinginkan, yang bermaksud untuk mendinginkan alam
Dentuman musik basing-basing mengiringi tarian Pa’bitte Passapu dalam upacara andingingi mengiringiku bertemu dengan Masinang. Paras jelita terbalut kain hitam anggun menggerayangi mataku. Tak henti-hentinya kilatan matanya menembus kabut hitam di hatiku. Cantik. Bahkan sangat cantik. Dia pun mengerti akan maksud dari gelombang sinar pengharapanku padanya. dia tersenyum sebagai kata kepergiannya. Dia tenggelam diantara Galla’ yang menikmati khidmatnya tarian Pa’bitte Passapu.
Kegelapan malam tak membuatku terhenyak dalam balutan mimpi. Sosok magis telah menggerayangi kepalaku. Kulihat Ammangku telah tidur dengan lipatan sirihnya yang setengah jadi. Telah menjadi kebiasaan oarang tua dikalangan kami menguyah sirih sebagai pengganti tembakau. Kuberanjak dari pembaringanku menuju jendela kecil, mengadapkanku dengan bintang. Kulihat  masih ada putaran asap di dapur para ballakku, aku yakin Anrong’ku baru saja dari dapur. Dapur kami tidak seperti dapur di kalangan masyrakat umum. Dapur di rumah berada paling depan, yang biasanya sebagai ruang tamu. Namun, bagi kami yang suku Tana Toa Kajang. Dapur merupakan simbol sumber kehidupan. Di rumah ku ini yang lebih dapat di sebut gubuk ini tak memiliki sekat ataupun berupa kamar selayaknya rumah umum biasanya. Hal ini menandakan kami sangat menjujung tinggi sikap keterbukaan satu sama lainnya. Keluargaku sangatlah sederhana, bukan hanya keluargaku. Tapi seluruh keluarga di Tana Toa ini. Sesuai dengan adat yang yang berlaku selama ini. Menurut pasang-pasang Ammatoa
”Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a'dakkako nu kamase-mase, a'meako nu kamase-mase”
Yang berarti, “berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana”.
Kesederhanaan membuat kami menjadikan peradaban kami masih hidup diantara globalisasi yang semakin meneror. Penerimaan dengan dalih filterisasi membutakan para penganut adat untuk sedikit demi sedikit keluar dari adat mereka.
Rembulan seakan menertawaiku dengan sinarnya. Sudah berapa kali jangang pa’bitte milik Ammangku berkotek. Menandakan keharusanku untuk tidur. Besok akan dilaksanakan upacara Pa’nganro sebagai pemimpin adat. Karena 3 tahun lalu Ammatoa Puto Lanre’ meninggal dunia. Setelah pulang dari Borong Karama’. Menurut Galla Puto, Ammatoa telah terpanggil untuk menemani to riolongta sebagai penghuni Borong Karama’. Wajar saja, Ammatoa di temukan tak bernyawa lagi setelah lama bertapa di bawa pohon di Borong Karama’. Upacara pemakaman Ammatoa telah dilaksanakan dengan iringan dupa-dupa serta baca-baca dari 26 Galla’.
Telah menjadi tradisi di desaku, pada prosesi upacara kematian, setiap yang meninggal akan diberi 2 bambu kecil yang ditusukkan langsung ke dalam tanah pekuburan kemudian diatas bambu tersebut diberikan rokok yang kemudian dibakar. Filosofi dari rokok tersebut agar ketika rokok tersebut telah habis maka terhapus pula ikatan oarang yang telah mati dengan lino’a. Tempat mereka yang tak diterima di sisi-Nya menjadi penghuni di pohon-pohon tertentu dan mereka yang masih menghuni di pohon-pohon tersebut berhak menjaga dan melestarikan pohon tersebut.
Semenjak 3 tahun lalu kulit-kulit pilu menelajangi mata, kesedihan merajai keluarga ammatoa Puto Lanre’. Garis kedukaan melintasi hari-harinya selama 100 hari. Tak ada sehelai benang tenunan wanita perkasa menindih tubuh para keluarga ini. Nyaris tak berbusana. Hanya passapu yang mennjadi busananya. Ini adalah aturan Ammata bagi siapa saja keluarganya yang meninggal.  Ini sudah kali ke-3 keluarga Ammatoa Puto Lanre’ mengunjungi makam. Tapi tak sedikitpun kesedihan terkikis di wajahnya. Hanya diam dan tangis mengisi ruang ekspresi wajahnya saat itu.
Setelah meninggalnya AmmatoaPuto Lanre’. Galla Pantama’ menjadi pemimpin tertinggi adat. Telah menjadi aturan adat dalam penentuan Ammatoa selanjutnya dibutuhkan 3 tahun lamanya untuk menentukan yang terbaik dari masyarakat Tana Toa.maka akan dilaksanakannya acara pa’nganro . Wajar saja, Ammatoa merupakan orang yang dipilih Turie A`ra`na sebagai pembimbing dan pengarah kehidupan sesuai pandangan panuntung (agama), sehingga kami pun benar-benar menjaga kesucian tokoh ini. Dan tak seorang pun diperkenankan memiliki rekaman wajahnya. Bahkan ammatoa jarang turun ke tanah kecuali untuk melakukan ritual adat, yang menegaskan kesucian sang orang suci. Dan esok adalah penentuan dari ke 2 calon Ammatoa, salah satunya yaitu Ammangku dan Ammangna Masinang. Aku tak perduli aturan apa yang berdiri tegak dihamparan cintaku pada Masinang, yang aku tahu aku mencintainya.
Mentari pagi menyadarkanku, aku terpenjara dengan ruang imajinasiku bersama Masinang hingga fajar menimbungi pagiku. Mataku sama sekali tak terpejam. Masih terlintas dibenakku akan kehadiran Masinang. Gesekan suara kokokan jangangku sudah mengimbangi kesadaran alam bawah sadarku. Aku harus memberinya makan. Sebelum mentari semakin meninggi, aku sudah harus siap dengan pakaian kebangsaanku lipa’ le’leng dan passapu’ le’leng.
Penggambaran indahnya warna malam dengan kegelapannya kini membaluti tubuhku . Warna hitam tersebut merupakan simbol kesederhanaan dan peringatan akan adanya kematian atau sisi gelap. Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila memasuki wilayahku ini. Warna hitam mempunyai makna bagi Suku kami sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan.
Ammatoa akan segera terpilih melalui acara pa’nganro. Yang ditunjuk oleh Turiea’ra’na melalui keputusan yang berakhir di pundak jangang pa’bitte a. Namun, inilah aturan Ammatoa. Masih menjadi nnyanyian tidurku ketika Datu’kku masih menjabat sebagai Ammatoa, di kale bolayya. Aku menjadi santapan hangat ocehan Ammatoa Puto Bate, mengajarkanku pasang-pasang
“Parallui ni hargaiki paraturanna karaengnga, ada’ na Ammatowa”
Yang berarti : patuh kepada pemerintah, adat dan Ammatowa.
*****
Indahnya semesta merebakkan wangi tanah. Tana Toa ku menyeruakkan wangi alam magisnya. Diantara deretan indah rumahku membentuk garis selatan. Rumah di Tana Toa secara keseluruhan menghadap ke barat. Hal inilah yang menandakan telah masuknya islam dalam Tana Toa ini. Walaupun aku berasal dari suku dalam Kajang atau sebut saja Kajang Dalam. Aku tahu tentang sedikitnya dunia di luar sana. Setidaknya aku telah menempuh pendidikan hingga menjadi lulusan terbaik di salah satu Perguruan Tinggi dalam bidang Pertanian. Para pemuda di desaku juga demikian, sedikit banyak mereka telah meninggalkan adat mereka, tempat kelahiran para leluhur mereka, dengan dalih menjadi pribadi yang lebih modern. Aku lebih memilih kembali ke Tana Toa dengan Pasang-Pasang yang mencekik namun mendidik. Apalagi Tana Toa merupakan media nyata hasil bentukan alam. Tak disangkal lagi aku memilih jurusan pertanian karena ingin mengetahui rahasia pertahanan Alam adatku sendiri sehingga mampu melahirkan kawasan indah.
Matahari belum menyibakkan sayap cayahanya ke bumi, aku telah tertapak di tanah dingi tanpa alas. Kulalui beberapa rumah yang masih lengang mencoba menghampiri sisi luar Tana Toa. Sekitar 800 km jarak kutempuh untuk menyampaikan pesan ke Galla Lombo’. Rumah sederhana dengan tangga yang khas menyambut mataku di perbatasan kajang dalam dan luar. Disinilah Masinang tinggal, ia anak angkat dari Galla Lombo’. Semangatku terus kupompa demi wajah teduh Masinang yang diapit antara kain hitam dan tenunannya. dia tersenyum indah padaku.
Setelah berkumpulnya Ada Limayya yaitu Galla Pantama, Galla Puto, Galla Kajang, Galla Lombok, dan Galla Anjuru. Di lakukanlah proses Pa’nganro. Pada acara dimalam hari, Tidak sembarang orang diperkenankan mengikuti prosesi sakral itu. Kalau tidak cukup “ilmu”, tidak diperkenankan ikut dalam acara tersebut. Kulihat Masinang duduk di sudut  siring bolayya. Termenung. Kalau memaksakan ikut, biasanya sepulang dari acara pa’nganro, yang bersangkutan bisa meninggal, atau minimal gila. Suasana pa’nganro memang lain. Sangat khidmat dan penuh mistik. Pemilihan Ammatoa, dilakukan di dalam hutan (pa’rasangang i lau’) berlangsung pada malam ketiga. Saya merasakan hal yang janggal pada malam itu. Orang-orang berkumpul secara berkelompok terpisah satu dengan lainnya. Padahal, pada malam-malam sebelumnya berbaur saja. Saya dan beberapa Galla lainnya, menepi di sudut lapangan pertemuan. Kulihat Galla Pantama’ mengeluarkan jangang pa’bitte. Raut tenang Ammangku diatas kursi rotan dan Puto Billa’ sebagai calon kedua Ammatoa. Ammangnna Masinang. Telah menjadi aturan dari pasang-pasang Ammatoa riolongta, Setelah masa tiga tahun, para calon Ammatoa yang telah terpilih dikumpulkan, lalu seekor ayam yang telah dilepas pada penobatan terdahulu didatangkan lagi. Lalu Jangang pa’bitte tersebut dilepas kembali, ketika ayam tersebut lepas dan hinggap pada seorang calon Ammatoa, maka dialah yang menjadi Ammatoa. setelah lepasnya Jangang Pa’bitteyya dari tanganku. Entah kekuatan magis apa yang membuat ayam itu tanpa ragu mendekati Ammangku. Maka terpilihlah ia sebagai Ammatoa di Tana Toa.
*****
Matahari telah berdamai dengan malam, kubasuh mukaku dengan air wudhu pancuran air disalah satu sungai di dalam kawasan Tana toa. Masih menjadi sangat aneh ketika kita melakukan shalat. Namun, itu tak menghambatku mencicipi nikmatnya iman. Tana Toa melahirkan pemahaman Patuntung, dimana mereka percaya bahwa hubungan kita dengan Tuhan atau Turi’e a’ra’na tak pernah terputus. Sehingga mereka tak pernah shalat. Menurut pasang-pasang Ammatoa
“Sambahyyang tangngatappu je’ ne’ talluka”
Yang berarti “sembahyang tak pernah terputus dan wudhu pun tak pernah batal”
Bersimpuh dalam tobatku pada-Nya, serangkaian doa kupanjatkan tak lupa keinginanku atas Masinang, aku semakin terhanyut dengan tangis pengharapanku atasnya. Hingga melelapkanku dalam balutan mimpi. Kulihat masinang berdiri diatas salah satu pusara di tempat pemakaman  umum Kajang. Aku terperanjat terbangun dari mimpiku. Entah petunjuk ataukah semacam bidadari tidurku. Entah. Tapi entah mimpi itu layaknya menjadi mantra pengantar ku mengunjungi makam itu.
Di lokasi pemakaman itu, terdapat sebuah kuburan seorang yang agak menonjol dari kuburan-kuburan lain. Makam ini tidak terurus. Kuburan berukuran besar tersebut menunjukkan mendiang adalah orang berpengaruh di masyarakat. Entah apa yang Turie’a’rana ingin tunjukkan padaku saat ini. Aku benar-benar tidak mengerti. Akan kuceritakan kepada Ammatoa sekaligus Ammangku.
***
Sembari mengunyah sirih, Ammatoa ternyata telah membaca gerak-gerikku. Aku mulai menceritakannya. Dia hanya terdiam bisu. dinding-dinding seakan menertawai kebisuan yang hadir diantara kami. Keringatku masih mengucur dari rongga-rongga kulitku. Aliran darahku semakin membuncak membuat jantungku bekerja jauh lebih keras dari sebelumnya. Pusara-pusara mati menenggelamkan suara kami.
”Tajangmma rinni, lamange’a ri borong karama’ a’aboja pangissengang”
Artinya : tunggulah aku di sini, aku akan ke hutan Karama’ meminta petunjuk.
Hanya kalimat itu yang kudapatkan setelah kebisuan membanjiri kami beberapa jam lamanya. 3 sampai 5 hari menjadi waktu yang dibutuhkan Ammangku untuk bertapa. Selama beberapa hari itu, entah aku mendapatkan ilham yang entah berasal darimana yang membuatku berani mengajukan permintaan kepada Galla Lombo’ selaku Ammangnna Masinang untuk menikahinya, walau sebenarnya aku tak tahu keputusan apa yang akan dibawa oleh Ammangku setelah pulang dari pertapaannya. Masinang sangat bahagia atas permintaanku itu. Dihari selanjutnya, aku lebih sering di rumah Masinang ketimbang di sawah. Aku melupakan segalanya. Hanya Masinang.
Wajah galaksi menatap suram wajahku, tanpa sekerlip bintangpun ada disana. Aku bersandar pada tiang dengan berkepalakan tanduk kerbau. Ya, di Balla’kku hanya 2 Tanduk kerbau bukti telah dilaksanakannya perkawinan sebanyak 2 kali. Ingin rasanya mencukupkannya menjadi 3 buah, Dariku. Bulatan rembulan semakin membulatkan tekadku untuk menikahi Masinang. Dan ini hari ke-4 Ammatoa berada di Borong Karama’. Entah keputusan apa yang akan diambilnya untuk anaknya. Aku.
“Nupakasiri’ka punna nuanjari ki Masinang bahinennu......!!!!!!”
Artinya : kamu akan mempermalukanku jika engkau menjadikan Masinang istrimu..!!
Sumpah serapah dikeluarkan Ammatoa padaku, melibas segala keindahan khayaliku tentang Masinang. Masinang merupakan Cucu dari Petta Te’ne a yang hilang di hutan Karama’. Masinang adalah turunan ke 5 dari istri gelap dari Puto macinnong. Jadi, telah menjadi aturan adat bagi siapapun yang menebang pohon di Borong karama’ keturunan hinggga turunan ke-7 akan dikucilkan dan dibuang dari masyarakat Ammatoa. Namun, Galla lombo’ merasa terpikat oleh ibu dari Masinang dia bersedia mengambil anaknya sebagai anak angkatnya hingga sekarang.
Aku tak menemui Masinang mulai hari itu, tidak lagi. Ammatoa ku telah memberikan batas larangan atasnya. Kepiluan merajaiku, begitu pula Masinang. Setelah malam itu, Ammatoa ku mengadakan ada’ Limayya tentang keputusan lebih lanjut kepada Masinang. Dan akhirnya masinang masihlah dianggap bersalah dikarenakan darah kotor mengalir dalam tubuhnya akan membuat kemurkaan tau riolong ta di Borong Karama’. Diantara keturunan Puto Macinnong, hanya Masinanglah yang masih berdiam diri di Tana Toa. Sehingga diputuskan untuk menerapknnya hukum adat tunu panroli.
Masinang sangat sedih dengan keputusan Ammatoa yang mengadilinya seperti itu, hanya karena pohon yang ditebang oleh leluhurnya. Kekecewaannya semakin menjadi-jadi ketika melihatku diam terpekur dengan kebisuan dan ketakutanku untuk membantah Ammatoa. dia semakin beringas. Ammatoa menetapkan hukum tunu panroli. Dia pasrah dengan tubuh yang lemas, anggun, tak berdaya. Keperihanku semakin dalam merasuki ku. Peri hatiku pun tak berdaya mempengaruhiku untuk memiliki sedikit keberanian membelanya. Iblis meningkupiku dengan hasutan ketakutanku. Aku hanya tertunduk. Diam.
Panroli menyalakan dendam kesumat para pemangku adat pada Masinang siap membakar tangan mungilnya. Langkah demi langkah siap menelajangi kulinya hingga bugillah seluruh telapak tangan kanannya. Kulihat putih tulang jarinya. Aku menangis, lelaki ini menangis. Ammatoa hanya menepuk pundakku tanda persetujuannya atas kekejamanku pada belahan hatiku. Namun, sentuhannya malah membuatku semakin yakin aku bersalah. Kubentangkan sebilah Kandao menyelamatkan Masinang dari hamparan orang yang membenciku. Ammatoa mengeluarkan sumpah dan mantranya membuatku semakin kuat menerobos hutan belantara. Akhirnya kulepas saja Masinang dengan tangan berbalut darah. Dan mencoba menahan para Galla yang mengejarnya dengan sebilah parang. Masinang memasuki Borong Karama’. Tempat awal semua kejadian. Entah apa yang kupikirkan kusuruh saja ia terus berlari hingga ditelan semak belukar Borong Karama’. Para Galla berhenti diperbatasan dan mengejarku. Ranting kuat menjalari pergelangan kakiku. Namun, Masinang semakin jauh. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Memory khayaliku mengantarkan aku ke Borong Karama’. Aku melihat Masinang terisak dalam sepi. Kupanggil ia hingga aku semakin jauh, dan kemudian semakin jauh. Aku terbangun di antara bau dupa-dupa dan sekelumit baca-baca. Aku bertapa di par a’bola ku. Anrongku menagis melihat kondisiku yang sama sekali tak bisa bergerak. Kutanya beliau apa yang akan dilakukan Ammatoa pada Masinangku selanjutnya di hanya berkata akan ia hantarkan masinang ketempat seharusnya. Akan di lakukan melalui tunu passau. Mantra pengantar tidurnya di alam baka.
Wajah-wajah manis anak kecil dengan hamparan hijaunya alam menghiasi mataku sepanjang perjalananku. Gemercik air sungai menjadi pelampiasan mataku untuk terus memandanginya. Alirannya menyatu dengan hijaunya daun, birunya langit. Namun, Wajah penyesalan masih membasi wajahku atas meninggalnya Masinang. Tak kusangka perasaan ini yang membawanya ke kepedihannya dan membayar karma keluarganya. Sunggguh aku menyesal mengenalnya namun aku tak menyesal telah mencintainya walau dengan kepedihanku. Kepedihanku membuncahkan lentunan air. Menetes. Di sana sebuah lubang permuaraaan air suci. Sumur Tunikeke. Ada kehidupan didalam sana. Membawaku menatapnya hingga bersemayam di sana. Aku akan tetap hidup di dalam sana selama Tana Toa ini masih ada. Takkan kubiarkan kering Tana Toaku dan segala yang tumbuh disana. Di Tana Toa, Ada Masinangku di sana. Biarkan aku menjadi air mengalir semuanya hingga kutemukan Masinangku di antara lebatnya pohon Borong Karama’. Membasahi semuanya hingga terhapuskan dendam atas Masinangku.

No comments:

Post a Comment