Wednesday, April 13, 2016

Oleh: Asran Salam Hari ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras Yang berbicara   tentang kemerdekaan Dan demokrasi dan ...

Mahasiswa Tak “Ada” Lagi [Sebuah Analisa Singkat dan Sederhana]

1 comment:
 
Oleh: Asran Salam

Hari ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara  tentang kemerdekaan
Dan demokrasi dan bercita-cita menggulinkan tiran
Aku mengenali mereka yang tanpa tentara
Mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang
Mau memberantas korupsi
Kawan-kawan kuberikan cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan dan selalu dalam hidup”

(Soe Hok Gie)

Membincang mahasiswa, mengingatkan saya pada yang lalu. Ketika bertemu dan berdiskusi dengan salah satu kawan saya. Pertemuan dengan teman tersebut, memberikan saya gambaran tentang kondisi mahasiswa sekarang ini. Kata teman saya, mahasiswa sekarang ini telah kehilangan identitas dan karakter. Kehilangan keberanian untuk berkata tidak kepada ketidakadilan. Kepada kekuasaan yang telah merampas hak-hak rakyat. Kalau toh ada mahasiswa yang berani berteriak, itu hanya teriakan yang seolah-seolah berani. Karena setelah itu, mereka datang ke teras-teras penguasa menghadapkan wajahnya, sambil menundukkan kepala dan melupakan teriakkannya.

Saya pikir, penggambaran teman saya itu banyak benarnya bila melihat kondisi mahasiswa sekarang ini. Analisis teman saya itu pun mengingatkan saya pada cerita Aristoteles.  Suatu moment saat itu, ketika Aristoteles ditanya oleh salah seorang muridnya. “bila dilahirkan untuk kedua kalinya apakah engkau masih ingin menjadi seorang intelektual? Tanya sang murid kepadanya”. “Tidak, saya akan memilih menjadi orang kaya saja” jawab Aristoteles.  Mengapa? Lanjut tanya sang murid. Dengan sedikit tersenyum, Aristoteles menjawab, karena saya menemukan banyak para intelektual yang datang ke teras-teras orang kaya menunddukkan diri—menggadaikan harga diri.     


Mahasiswa yang dianggap sebagai pemikir yang kritis terhadap kondisi realitas, sekarang, sikap kritis itu tak lebih sebagai senjata atau amunisi untuk menaikkan harga di depan para politisi ataupun di depan penguasa. Kritis yang bertujuan untuk menemukan kebenaran tak lagi menjadi jati diri mahasiswa. Mahasiswa sebagai manusia takut untuk memilih sebagaimana yang dipilih oleh Soe Hok Gie, Saya adalah manusia bukan alat siapapun. Kebenaran tidak datang dari intruksi dari siapapun juga tetapi harus dihayati secara kreatif. A man is as he things”

Pada diri mahasiswa, ada ketidakmampuan untuk menahan hasrat menjadi orang yang mapan, mereka tidak tahan untuk menderita, takut akan kemiskinan sehingga pilihan-pilihan hidup terjebak pada arus yang begitu banyak tergadai dengan dalih untuk mempersiapkan masa depan.

Nurani begitu mudah untuk tergadai, ada ketakutan akan masa depan yang tidak jelas. Sehingga sebagai langkah taktis untuk merancang masa depannya,  mahasiswa  memilih “bersenggama” dengan kekuasaan. Kondisi mahasiswa sekarang, seperti apa yang dikatakan oleh Gie, dan mereka tidak berpikir kreatif, terlalu pragmatis, takut memikirkan masa depan”     

Mahasiswa sering pula di identikkan dengan kaun intelektual kritis, tapi benarkah demikian? Bukankah terma intelektual adalah suatu terma yang memihak kepada kebenaran? Seorang intelektual dalam keadaan terdesak lalu tidak bisa berbuat apa-apa sama halnya dia teleh meruntuhkan kemanusiaanya. Begitu kata Gie. Namun, bagi saya mahasiswa sekarang ini, telah kehilangan arus intelektual. Tak ada lagi keberpihakan kepada kemanusiaan dalam bingkai pengetahuan yang luas, kekuatan batin yang kuat untuk menahan hasratnya.

Mahasiswa kekinian, banyak yang menjadi hedonis. Mereka tampil modis, trend dan gaul dan menjadikan para artis menjadi idolanya. Tidak lagi menjadikan figur intelektual menjadi idolanya. Mereka nyaris tidak lagi mengenal Tan Malaka, Semaun, Aidit dll.  Bagaiman bisa mereka (mahasiwa) mngenal dan menjadikan mereka (tokoh/pemikir/aktivis) itu menjadi figur, sedangkan mereka begitu malas membaca. Ya, penyakit mahasiswa kekinian, mereka tidak mau bersusah payah menghabiskan lembaran-lembaran buku, yang mana dengan itu, bisa membentuk karakter berpikirnya.  Kondisi mahasiswa yang demikian, perlu dilihat secara bijak. Bahwa ada arus luar diri mahasiswa yang kuat dalam mencenkeram “tubuhnya”.  Ruang untuk menjadi kritis telah ditutup oleh birokrasi. Kampus dalam hal ini petinggi-petinggi kampus merepresi mahasiswa dengan tekanan aturan-aturan yang telah merenggut kebebasan mahasiswa untuk berekspresi. Kampus berfungsi menjadi penjara dalam mengurung ide-ide kritis mahasiswa.

1 comment:

  1. "Mahasiswa itu berpikir kritis, kalau bukan berarti bukan mahasiswa."

    - SPirit of Dhuha

    ReplyDelete