Oleh:
Asran Salam
Hari
ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras
Yang
berbicara tentang kemerdekaan
Dan
demokrasi dan bercita-cita menggulinkan tiran
Aku
mengenali mereka yang tanpa tentara
Mau
berperang melawan diktator
Dan
yang tanpa uang
Mau
memberantas korupsi
Kawan-kawan
kuberikan cintaku
Dan
maukah kau berjabat tangan dan selalu dalam hidup”
(Soe Hok Gie)
Membincang mahasiswa, mengingatkan saya
pada yang lalu. Ketika
bertemu dan berdiskusi dengan salah satu kawan saya. Pertemuan dengan teman
tersebut, memberikan saya gambaran tentang kondisi mahasiswa sekarang ini. Kata
teman saya, “mahasiswa
sekarang ini telah kehilangan identitas dan karakter. Kehilangan keberanian untuk berkata ‘tidak’ kepada
ketidakadilan. Kepada
kekuasaan yang telah merampas hak-hak rakyat. Kalau toh ada mahasiswa yang
berani berteriak, itu hanya teriakan yang seolah-seolah berani. Karena
setelah itu, mereka datang ke teras-teras penguasa menghadapkan wajahnya,
sambil menundukkan kepala dan melupakan teriakkannya”.
Saya pikir, penggambaran teman saya itu
banyak benarnya bila melihat kondisi mahasiswa sekarang ini. Analisis teman saya itu pun mengingatkan saya pada cerita Aristoteles. Suatu moment saat itu, ketika Aristoteles ditanya oleh salah seorang muridnya. “bila dilahirkan untuk kedua kalinya apakah engkau masih
ingin menjadi seorang intelektual? Tanya sang murid kepadanya”. “Tidak, saya akan memilih menjadi orang
kaya saja” jawab Aristoteles. Mengapa?
Lanjut tanya sang murid. Dengan
sedikit tersenyum, Aristoteles menjawab, “karena
saya menemukan banyak para intelektual yang datang ke teras-teras orang kaya
menunddukkan diri—menggadaikan harga diri”.
Mahasiswa yang dianggap sebagai pemikir yang kritis terhadap kondisi realitas, sekarang, sikap kritis itu tak lebih sebagai senjata atau amunisi untuk menaikkan
harga di depan para politisi ataupun di depan penguasa. Kritis yang bertujuan
untuk menemukan kebenaran tak lagi menjadi jati diri mahasiswa. Mahasiswa sebagai manusia
takut untuk memilih sebagaimana yang dipilih oleh Soe Hok Gie, “Saya
adalah manusia bukan alat siapapun. Kebenaran tidak datang dari intruksi dari
siapapun juga tetapi harus dihayati secara kreatif. A man is as he things”
Pada diri mahasiswa, ada ketidakmampuan untuk menahan
hasrat menjadi orang yang mapan, mereka tidak tahan untuk menderita, takut akan
kemiskinan sehingga pilihan-pilihan hidup terjebak pada arus yang begitu banyak
tergadai dengan dalih untuk mempersiapkan masa depan.
Nurani begitu mudah untuk tergadai, ada
ketakutan akan masa depan yang tidak jelas. Sehingga sebagai langkah taktis
untuk merancang masa depannya, mahasiswa
memilih “bersenggama” dengan kekuasaan. Kondisi
mahasiswa sekarang, seperti apa yang dikatakan oleh Gie, “dan
mereka tidak berpikir kreatif, terlalu pragmatis, takut memikirkan masa depan”
Mahasiswa sering pula di identikkan
dengan kaun intelektual kritis, tapi benarkah demikian? Bukankah terma
intelektual adalah suatu terma yang memihak kepada kebenaran? Seorang intelektual
dalam keadaan terdesak lalu tidak bisa berbuat apa-apa sama halnya dia teleh
meruntuhkan kemanusiaanya. Begitu kata Gie. Namun, bagi saya mahasiswa sekarang
ini, telah kehilangan arus intelektual. Tak ada lagi keberpihakan kepada
kemanusiaan dalam bingkai pengetahuan yang luas, kekuatan batin yang kuat untuk
menahan hasratnya.
"Mahasiswa itu berpikir kritis, kalau bukan berarti bukan mahasiswa."
ReplyDelete- SPirit of Dhuha