Oleh: Asran Salam
Jika kita
menyebut kata Universitas, di sana tersimpan sebuah imajinasi tentang ruang,
waktu, dan tempat. Sebuah arena berkumpulnya kaum intelegensia. Wadah berkumpulnya ide-ide yang sama dan berbeda. Saling
bertaut maupun berkontradiksi atas dasar ilmiah. Universitas, padanya setumpuk
perangkat yang dimiliki. Menjadi alas membangun sekelompok manusia. Tempat
dosen dan mahasiswa terlibat dalam sebuah ikatan yang biasa kita sebut
pembelajaran.
Pada Universitas,
di sana
ada setandang harapan agar anak-anak bangsa dididik, diberi ilmu pengetahuan, dan
diajarkan tentang moralitas. Hingga anak-anak bangsa menjadi generasi yang
memakmurkan negerinya. Dalam Universitas, kita berharap tentang sentral-locus masyarakat untuk mencontoh. Wadah
menyemai hal-hal baru untuk ditiru. Menjadi tempat kontinyiutas ide-ide ilmiah berjalan dalam bingkai akademik yang
sehat. Ia adalah ruang di mana kualitas
akademik selalu diperbaharui guna menjawab problem sosial.
Menurut Prof.
Heru Nugroho, seorang sosiolog UGM. Dalam pidatonya pada acara Pengukuhan
Jabatan Guru Besar di Fakultas IImu Sosial dan IImu Politik UGM, mengatakan bahwa
universitas merupakan tempat bertemunya para sarjana dalam rangka mencari
kebenaran akademik melalui berbagai bentuk riset. Dan, sekaligus
sebagai tempat mengembangkan kapasitas diri melalui disiplin yang diyakini oleh
masing-masing insan akademik. Selain itu, pada Universitas
menurutnya, adalah tempat para sarjana mengajar mahasiswa saling menukar ide
melalui debat, diskusi, seminar dan polemik.
Tapi benarkah Universitas seperti itu? Sebuah tanya, bila kita
ajukan, sepertinya ada perasaan yang getir, miris yang menyertaianya.
Sepertinya, kita menemukan jarak yang begitu lebar antara idealitas dan
kenyataan. Di sana ada ruang
kosong yang mana, semestinya tak berjalan secara sistematis. Di universitas, kita sangat susah
menemukan sebuah keteladanan yang baik. Lalu apa yang saksikan sekarang ini di universitas?
Sekarang ini, kita menemukan sebuah perlombaan. Para Universitas
berlomba memperluas areanya-tanah berhektar-hektar dengan gedung yang tinggi
dan megah di atasnya. Berburu memperbaiki sistem administrasi dengan peralatan
teknologi yang canggih. Namun dibalik semua itu, dengan mengutip Prof. Heru
Nugroho, Universitas
kehilangan organisasi manusia yang memiliki aktivitas akedemik.
Universitas dalam artian tempat telah terjebak pada dimensi fisik.
Ia telah bergeser jauh sebagai ruang meeting
of mind para akademisi. Para intelektual di dalamnya terjebak pada
banalitas intelektual. Dengan merujuk
Benda [2007], Prof Heru mengungkap bahwa terjadinya banalitas
intelektual, ini ditandai-pertama, dengan maraknya penghiantan
intelektual. Di mana pada kampus terjadi sebuah penghianatan akademik. Sebuah lakon para
akademis yang lebih tertarik pada nilai pragmatis daripada nilai pengetahuan. Pengajaran
dan penelitian yang dilakukan tak lain hanya untuk menambah pendapatan.
Pengajaran dan penelitian bukanlah jalan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, akan tetapi ia
hanya menjadi proyek untuk menambah pundi-pundi.
Barangkali pada saat ini, kita tak lagi menemukan para akademis
[dosen] menjadi pengawal refleksi kritis dan mempertahankan nilai-nilai abstrak
- nilai kebenaran, keadilan atas dasar rasional. Para dosen, tak sedikit hanya
menjadikan kampus sebagai kerja sambilan dan di luar kampus sebagai kerja utama.
Di luar
sana para dosen banyak mengambil peran sebagai staf khusus, konsultan, direktur
dan deputi. Dan, barangkali yang lebih ironi, tak sedikit mereka menjadi bawahan
dari lembaga donor. Menjadi private
intelektual yang bertugas menjaga kepentingan asing [baca: kapitalisme].
Para dosen menjadi private Intelektual.
Ia sepertinya begitu menikmati menjadi apa yang sebut oleh Jean Claude Milner,
seorang psikoanalis sebagai borjuasi upahan. Mereka menjadi kaki tangan dari
sebuah proses kerja kapitalisme. Mereka adalah “buruh” yang diberikan posisi
istimewa oleh pemilik modal. Bersantai dengan waktu luang yang luas serta
pendapatan yang besar. Mereka begitu larut sebagai kelas menengah yang memang kata
Slavoj Zizek
di sana
kapitalisme punya kepentingan untuk menjaga itu sebagai langkah politisnya.
Tanda kedua, yakni timbulnya
gejala para intelektual kampus sering muncul di TV. Mereka “memamerkan”
intelektualnya- [intellectual of the
spectacle]. Pada fenomena ini, kita banyak menyaksikan para intelektual
diundang menjadi narasumber untuk acara talk show. Diacara itu, mereka berbincang ringan tentang
sosial, politik, budaya atau ekonomi yang sedang popular. Dengan keseringan diundang lalu mereka dengan
instan dilabeli sebagai “pakar” oleh televisi. Sebuah gelar yang dimilikinya bukan
karena dari kerja keras untuk menghasilkan penelitian yang berbobot.
Fenomena seperti ini oleh Prof Heru, dengan mengutip DeBord [1995]
bahwa sebuah kualitas kehidupan yang dimiskinkan oleh lack of authenticity. Pemikiran kritis telah dihalangi karena semua
telah terbius oleh masyarakat pameran-[Spectacular
society]. Masyarakat pameran terjadi karena Sebuah keberadaan [being] telah tenggelam ke dalam
kepemilikan [having] dan kepemilikan
larut dalam penampilan [appearing].
Sebuah siklus, di mana media begitu lihai bermain.
Ciri ketiga dari Banalitas intelektual bahwa ia
termasuk kegiatan akademik yang involutif. Mungkin kita semua tahu bahwa pascareformasi
kegiatan akademik [penelitian, seminar, diskusi] di Universitas begitu
marak. Namun, semua itu tak berefek pada perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Universitas dan para intelektualnya layaknya pasar tradisional yang
riuh dengan suara penjual dan pembeli akan tetapi suara itu tak begitu jelas—ternyata terjadi
fenomena juxtapose istilah Prof Heru.
Sebuah kegiatan di mana para akademisi kampus, secara simultan melakukan kegitan
pengajaran, penelitian dan pengabdian akan tetapi cenderung tidak saling
terkait antara satu dengan yang lain.
Pada ruang yang lain, kampus juga bisanya lebih tertarik pada
wacana politik kampus daripada penelitian dan diskursus akademik. Beberapa moment-moment seperti pemilihan
rektor dan dekan menjadi ruangnya. Pada moment itu, terjadi sebuah forum
mobilisasi dari para calon. Ironinya tidak sedikit para profesor dan doktor
sibuk dengan mobilisasi itu. Bahkan diantara mereka banyak yang berhasrat pada
jabatan itu.
Sepertinya momen-momen politik adalah ruang, di mana hasrat
yang mungkin saja sudah lama terpendam dapat tersalurkan. Mungkin saja para
professor dan doktor itu tak punya ruang politik [tidak laku] di luar kampus, hingga menjadikan
dalam kampus sebagai alternatifnya. Dengan kesibukan pada politik kampus. Para
professor dan doktor itu, tak lagi peduli pada tugas utamanya. Pengajaran dan
penelitian menjadi terabaikan. Harapan akan ide-ide baru, solusi akan problem
sosial dari mereka tinggal menjadi harapan. Ia telah terbang bersama prilaku banalitas
intelektualnya.[*]
# Tulisan ini pernah dimuat di Harian TribunTimur
Makassar.
No comments:
Post a Comment