Oleh: Asran Salam
Saya memulai tulisan ini dengan mengutip Raif Khoury seorang Kristen
pengikut Marx berasal dari Libanon. Ia punya gambaran Rasulullah SAW serta agama
Islam. Menurutnya;
“Betapa sering kita mendengar suara azan dari menara di kota-kota
Arab yang abadi ini: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapa sering
kita membaca atau mendengar Bilal, seorang keturunan Abyssinian,
mengumandangkan azan untuk pertama kalinya sehingga mennggema jazirah Arab,
ketika Nabi mulai berdakwah dan menghadapi penganiyaan serta hinaan dari
orang-orang yang terbelakang dan bodoh. Suara Bilal merupakan sebuah panggilan,
seruan untuk memulai perjuangan dalam rangka mengakhiri sejarah buruk bangsa
Arab dan menyongsong matahari yang terbit di pagi hari yang cerah. Namun, apakah
kalian sudah merenungkan apa yang di maksud dan apa isi dari panggilan itu?
Apakah setiap mendengarkan panggilan suci itu, kamu ingat bahwa Allahu Akbar
bermakna (dalam Bahasa yang tegas): berilah sanksi kepada para lintah darat
yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan!
Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara
mencuri!Sediakanlah makan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan
lebar-lebar dan majukan kaum wanita! Hancurkan cecunguk-cecunguk yang
membodohkan dan memecah belah ummat! Carilah ilmu sampai ke negeri cina.
Berilah kebebasan. Bentuklah majelis syurah yang mandiri biarkan demokrasi yang
sebenar-benarnya bersinar"
Islam sebagai agama telah berjalan melampaui beberapa zaman. Sepanjang
sejarah, Islam banyak di terima oleh manusia untuk menjadi penganutnya dan
begitu pun sebaliknya. Ketika kita membaca literatur tentang perjuangan
Rasulullah SAW, dalam menegakkan Islam. Pada saat itu, di sana kita akan
menemukan reaksi dari pemuka qurays yang begitu kejam. Rasulullah SAW, mengalami
penentangan yang begitu hebat. Pengasingan dan penghianatan serta berbagai label dialamatkan kepadanya: sesat, penyihir serta orang gila.
Sebenarnya, mereka menolak Islam sebagai ajaran Tuhan, itu tak lain implikasi dari kalimat Tauhid itu sendiri. Rasulullah SAW,
menghadirkan pemaknaan baru yang sungguh jauh berbeda yang mereka pahami
sebelumnya. Kalimat Tauhid yang dimulai dengan negasi “la”—yang berarti tidak—melahirkan konsekuensi
bahwa kita semua sama dihadapan Tuhan. Tak ada “perbedaan” antara sesama
manusia selain ketaqwaan kepada Allah SWT. Islam mengandung nilai pembebasan
serta menghapuskkan diskrimanasi dan membuka ruang-ruang pada manusia memiliki
hak yang sama. Ajaran Islam, sangat menentang perilaku penindasan, pemiskinan,
pembodohan, pemerasan serta perampasan hak-hak orang lain. Menurut Hassan Hanafi,
akidah Tauhid berfungsi untuk memerangi kezaliman, kekerasan, penindasan.
Selain itu, Tauhid juga berfungsi memerangi kebodohan, kemunduran dan
keterbelakangan ummat terutama kelompok ekonomi lemah dalam strata sosial
masyarakat.
Sebenarnya, jauh sebelum kedatangan Rasulullah SAW, penindasan, perbudakan telah ada pada fase
manusia pertama. Yakni sejak Nabi Adam yang melahirkan keturunan Habil dan
Qabil. Menurut Ali Syariati, Habil adalah kelompok yang mewakili yang
tertindas, yang terampas hak-nya sedangkan Qabil adalah kelompok yang mewakili
sistem kepemilikan pribadi, penindas yang memperoleh kemenangan dalam
masyarakat. Sejarah pertempuran antara Habil dan Qabil adalah pertempuran
sejarah abadi yang terus berlangsung pada setiap generasi.
Di setiap zaman, Tuhan pun mengutus seorang nabi untuk menjadi
pembebas. Menurut Ali Syariati, Para nabi adalah pelanjut-pelanjut perjuangan
Habil. Nabi Ibrahim berdiri menghujah Raja Namrud. Nabi Musa membela bani
Israil yang lemah melawan Fir’aun yang perkasa. Nabi Isa datang menggembirakan
kaum fuqara dan melecehkan Kaisar. Nabi Muhammad SAW duduk disamping orang
miskin dan budak belian, lalu membimbing mereka ke arah kebebasan.
Sedangkan sebagai pelanjut Qabil. Syariati, menyebut
empat manusia yang dalam al-Quran dilambangkan dengan Fir’aun, Hamman, Qarun,
dan Bal’am. Fira’aun adalah penguasa yang korup, penindas yang selalu merasa
benar sendiri. Hamman mewakili kelompok teknokrat, Ilmuwan yang menunjang para
tirani dengan melacurkan ilmu. Qarun cerminan kaum kapitalis pemilik sumber
kekayaan yang dengan rakus menghisap seluruh kekayaan masyarakat. Bal’am
mewakili para rohaniwan, tokoh-tokoh agama yang menggunakan agama untuk
meligitimasi kekuasaan yang korup dan meninabobokkan rakyat.
Sepertinya Fir’aun, Hamman, Qarun, serta Bal’am selalu saja
mengiringi perjalanan sejarah manusia. Perilaku korupsi oleh penguasa tetap
saja terjadi. Pelacuran intelektual semakin marak. Monopoli kekayaan begitu
lahap menghisap masyarakat. Para ulama tetap saja pasif bahkan sebagai penopang
kekuasaan yang tiran. Para ulama sebagai penerus dakwah Rasulullah SAW, sebagian
hanya memahami agama sebagai seperangkat ritual belaka. Tidak memiliki
persinggungan terhadap sosial. Sebagian ulama dengan jubah kesalehannya tidak
lagi mengikuti jalan Rasulullah SAW. Mereka tidak lagi melakukan pembebasaan
terhadap kaum mustadh’afin. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa janganlah
menentang penguasa cukup saja dengan memberikan nasehat jika mereka melakukan
kesalahan.
Untuk membuktikan bahwa kesalehan itu tidak hanya di ukur dari
ritual saja, maka saya mengutip sebuah kisah dari buku The Road To Allah karya Jalaluddin Rakhmat dimana ketika Tuhan
bertanya kepada Nabi Musa melalui Nabi Daud “Ibadah apakah yang langsung
kepadaKu? Nabi Musa Menjawab layaknya jawaban kebanyakan bahwa ibadah langsung
kepadaMu ya Tuhan adalah shalat, puasa, serta zakat. Lalu Tuhan menjawab bukan
itu wahai Musa akan tetapi ibadah langsung terhadapKu adalah ketika engkau
memberi makan pada fakir miskin” Namun, sekarang ini banyak kita saksikan
orang-orang menjalankan kesalehan demi status sosialnya.
Melihat keberagamaan sekarang ini, ada kecederungannya
pasif terhadap segala bentuk penindasan. Maka tibalah saatnya untuk kita berpikir.
Apa yang mesti kita lakukan? Mungkin jawabnya sangat sederhana, marilah kita
menghidupkan kembali sebuah tradisi perlawanan Islam dalam dua pilar yakni
kearifan dan cinta. Dengan kearifan, kita dapat memiliki pengertian tentang
sesuatu. Kita tidak lagi mudah untuk di tipu, dalam artian mari menggelorakan
semangat intelektualisme guna dapat memahami perseolan-persolaan kekinian
masyarakat. Cinta yang terpahami dapat membawa kita pada sebuah sikap
pengorbanan. Darah dan air mata, tak lagi menjadi pertimbangan untuk kita tetap
berjuang meneggakkan keadilan. Tapi berdustalah mereka yang mengaku pecinta
jikalau masih melanggengkan ketidakadilan serta penindasan. Karena, Tuhan
sangat mencintai keadilan dan membenci penindasan.
No comments:
Post a Comment