Thursday, December 3, 2015

Oleh: Asran Salam Saya memulai tulisan ini dengan mengutip Raif Khoury seorang Kristen pengikut Marx berasal dari Libanon. Ia pun...

Islam Pembebasan

No comments:
 


Oleh: Asran Salam


Saya memulai tulisan ini dengan mengutip Raif Khoury seorang Kristen pengikut Marx berasal dari Libanon. Ia punya gambaran Rasulullah SAW serta agama Islam. Menurutnya;

“Betapa sering kita mendengar suara azan dari menara di kota-kota Arab yang abadi ini: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapa sering kita membaca atau mendengar Bilal, seorang keturunan Abyssinian, mengumandangkan azan untuk pertama kalinya sehingga mennggema jazirah Arab, ketika Nabi mulai berdakwah dan menghadapi penganiyaan serta hinaan dari orang-orang yang terbelakang dan bodoh. Suara Bilal merupakan sebuah panggilan, seruan untuk memulai perjuangan dalam rangka mengakhiri sejarah buruk bangsa Arab dan menyongsong matahari yang terbit di pagi hari yang cerah. Namun, apakah kalian sudah merenungkan apa yang di maksud dan apa isi dari panggilan itu? Apakah setiap mendengarkan panggilan suci itu, kamu ingat bahwa Allahu Akbar bermakna (dalam Bahasa yang tegas): berilah sanksi kepada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri!Sediakanlah makan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita! Hancurkan cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecah belah ummat! Carilah ilmu sampai ke negeri cina. Berilah kebebasan. Bentuklah majelis syurah yang mandiri biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar"


Islam sebagai agama telah berjalan melampaui beberapa zaman. Sepanjang sejarah, Islam banyak di terima oleh manusia untuk menjadi penganutnya dan begitu pun sebaliknya. Ketika kita membaca literatur tentang perjuangan Rasulullah SAW, dalam menegakkan Islam. Pada saat itu, di sana kita akan menemukan reaksi dari pemuka qurays yang begitu kejam. Rasulullah SAW, mengalami penentangan yang begitu hebat. Pengasingan dan penghianatan serta berbagai label dialamatkan kepadanya: sesat, penyihir serta orang gila.

Sebenarnya, mereka menolak Islam sebagai ajaran Tuhan, itu tak lain implikasi dari kalimat Tauhid itu sendiri. Rasulullah SAW, menghadirkan pemaknaan baru yang sungguh jauh berbeda yang mereka pahami sebelumnya. Kalimat Tauhid yang dimulai dengan negasi “la”—yang berarti tidak—melahirkan konsekuensi bahwa kita semua sama dihadapan Tuhan. Tak ada “perbedaan” antara sesama manusia selain ketaqwaan kepada Allah SWT. Islam mengandung nilai pembebasan serta menghapuskkan diskrimanasi dan membuka ruang-ruang pada manusia memiliki hak yang sama. Ajaran Islam, sangat menentang perilaku penindasan, pemiskinan, pembodohan, pemerasan serta perampasan hak-hak orang lain. Menurut Hassan Hanafi, akidah Tauhid berfungsi untuk memerangi kezaliman, kekerasan, penindasan. Selain itu, Tauhid juga berfungsi memerangi kebodohan, kemunduran dan keterbelakangan ummat terutama kelompok ekonomi lemah dalam strata sosial masyarakat.

Sebenarnya, jauh sebelum kedatangan Rasulullah SAW,  penindasan, perbudakan telah ada pada fase manusia pertama. Yakni sejak Nabi Adam yang melahirkan keturunan Habil dan Qabil. Menurut Ali Syariati, Habil adalah kelompok yang mewakili yang tertindas, yang terampas hak-nya sedangkan Qabil adalah kelompok yang mewakili sistem kepemilikan pribadi, penindas yang memperoleh kemenangan dalam masyarakat. Sejarah pertempuran antara Habil dan Qabil adalah pertempuran sejarah abadi yang terus berlangsung pada setiap generasi.

Di setiap zaman, Tuhan pun mengutus seorang nabi untuk menjadi pembebas. Menurut Ali Syariati, Para nabi adalah pelanjut-pelanjut perjuangan Habil. Nabi Ibrahim berdiri menghujah Raja Namrud. Nabi Musa membela bani Israil yang lemah melawan Fir’aun yang perkasa. Nabi Isa datang menggembirakan kaum fuqara dan melecehkan Kaisar. Nabi Muhammad SAW duduk disamping orang miskin dan budak belian, lalu membimbing mereka ke arah kebebasan.

Sedangkan sebagai pelanjut Qabil. Syariati, menyebut empat manusia yang dalam al-Quran dilambangkan dengan Fir’aun, Hamman, Qarun, dan Bal’am. Fira’aun adalah penguasa yang korup, penindas yang selalu merasa benar sendiri. Hamman mewakili kelompok teknokrat, Ilmuwan yang menunjang para tirani dengan melacurkan ilmu. Qarun cerminan kaum kapitalis pemilik sumber kekayaan yang dengan rakus menghisap seluruh kekayaan masyarakat. Bal’am mewakili para rohaniwan, tokoh-tokoh agama yang menggunakan agama untuk meligitimasi kekuasaan yang korup dan meninabobokkan rakyat.

Sepertinya Fir’aun, Hamman, Qarun, serta Bal’am selalu saja mengiringi perjalanan sejarah manusia. Perilaku korupsi oleh penguasa tetap saja terjadi. Pelacuran intelektual semakin marak. Monopoli kekayaan begitu lahap menghisap masyarakat. Para ulama tetap saja pasif bahkan sebagai penopang kekuasaan yang tiran. Para ulama sebagai penerus dakwah Rasulullah SAW, sebagian hanya memahami agama sebagai seperangkat ritual belaka. Tidak memiliki persinggungan terhadap sosial. Sebagian ulama dengan jubah kesalehannya tidak lagi mengikuti jalan Rasulullah SAW. Mereka tidak lagi melakukan pembebasaan terhadap kaum mustadh’afin. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa janganlah menentang penguasa cukup saja dengan memberikan nasehat jika mereka melakukan kesalahan.

Untuk membuktikan bahwa kesalehan itu tidak hanya di ukur dari ritual saja, maka saya mengutip sebuah kisah dari buku The Road To Allah karya Jalaluddin Rakhmat dimana ketika Tuhan bertanya kepada Nabi Musa melalui Nabi Daud “Ibadah apakah yang langsung kepadaKu? Nabi Musa Menjawab layaknya jawaban kebanyakan bahwa ibadah langsung kepadaMu ya Tuhan adalah shalat, puasa, serta zakat. Lalu Tuhan menjawab bukan itu wahai Musa akan tetapi ibadah langsung terhadapKu adalah ketika engkau memberi makan pada fakir miskin” Namun, sekarang ini banyak kita saksikan orang-orang menjalankan kesalehan demi status sosialnya.

Melihat keberagamaan sekarang ini,  ada kecederungannya pasif terhadap segala bentuk penindasan. Maka tibalah saatnya untuk kita berpikir. Apa yang mesti kita lakukan? Mungkin jawabnya sangat sederhana, marilah kita menghidupkan kembali sebuah tradisi perlawanan Islam dalam dua pilar yakni kearifan dan cinta. Dengan kearifan, kita dapat memiliki pengertian tentang sesuatu. Kita tidak lagi mudah untuk di tipu, dalam artian mari menggelorakan semangat intelektualisme guna dapat memahami perseolan-persolaan kekinian masyarakat. Cinta yang terpahami dapat membawa kita pada sebuah sikap pengorbanan. Darah dan air mata, tak lagi menjadi pertimbangan untuk kita tetap berjuang meneggakkan keadilan. Tapi berdustalah mereka yang mengaku pecinta jikalau masih melanggengkan ketidakadilan serta penindasan. Karena, Tuhan sangat mencintai keadilan dan membenci penindasan.

No comments:

Post a Comment