Oleh: Asran Salam
Hafizh,
Mengapa bawa setumpuk buku dipunggungmu
Mendaki gunung ini,
Ketika malam ini,
Sedikit saja memikirkan Tuhan
Akan menyalakan cahaya suci.
--Hafizh--
Syiraz di Iran adalah kota yang indah.
Syiraz adalah kota yang sepertinya tidak pernah sepi dengan riuh ekstasisme
ketuhanan. Konon, di sana banyak makam penyair sekaligus sufi. Barangkali,
inilah membuat kota ini luput dari penyerangan bangsa Mongol dan Tartar pada
periode sejarah yang keras dan rusuh. Tapi yang pasti di sana pula pernah hidup
Sa’di dan Muhammad Aththar. Namun, Kali ini, kita tidak akan membicarakan Sa’di
dan Muhammad Aththar. Tapi, kita akan bertabarruk kepada seorang penyair
sekaligus sufi yang juga lahir dari kota syiraz ini. Dengan sedikit mengurai
jalan hidupnya. Dan, mungkin dengan itu, kita dapat menemukan inspirasi jalan
yang terang. Dan, di sana kita berupaya menempu jalan itu, demikian harapnya.
Hafizh, nama sang penyair dan sufi
itu. Syamsuddin Muhammad adalah nama aslinya. Dia memilih nama Hafizh yang
berarti pengingat, ketika dia mulai menulis puisi. Biasanya, julukan Hafizh
diberikan kepada orang yang hafal al-Quran. Dan, konon Hafizh memang
demikian—dia menghafal al-Quran. Sekitar 1320, merupakan tahun kelahirnya. Dan,
meninggal 1388, demikianlah yang tercatat. Hidup Hafizh, sungguh tak mudah dan
menyenangkan. Dia anak bungsu dari keluarga yang miskin. Hafizh muda, bekerja
sebagai penjual roti disiang hari dan bersekolah dimalam hari. Hafizh
menyisihkan sebagian gajinya untuk biaya sekolahnya. Dari sekolahnya itu,
Hafizh sangat menguasai hukum al-Quran, teologi, tatabahasa, matematika, dan
astronomi serta kaligrafi.
Lalu, dimanakah Hafizh menemukan
efifani pengembaraan suluknya? Dimakanah ia pertama kali menemukan titik awal
yang mengantarkannya menemukan jalan cinta—jalan menuju Tuhan? Dalam buku Hafizh: Aku Mendengar Tuhan Tertawa karya Daniel Ladinsky disitu
kita bisa menemukan kisahnya. Dan, kali ini saya akan menukilnya, tentu tak
semuanya, tak seutuhnya. Kira-kira seperti ini kisahnya; Hafizh pada usia 21
tahun. Kala itu, ia sedang mengantarkan roti ke sebuah rumah besar. Di sana ia
berpasang mata atau tatap pandang dengan seorang gadis diteras rumah itu. Tatap
mata itu ternyata menawan hatinya, dan akhirnya dia jatuh cinta kepada sang
gadis. Namun, sepertinya ada keadaan yang tak memberikan harapan. Sang gadis
itu cantik, serta dari keluarga bangsawan. Sedang Hafizh pendek dan secara fisik
tidak menarik.
Hitungan bulan berlalu, Hafizh
berlahan menjadi pujangga. Dia hanya memikirkan sang gadis. Dia hanya ingin
menyenangkan hati sang pujaan. Dia menggubah beberapa puisi dan kidung-kidung
cinta untuk merayakan kecantikan sang pujaan. Gubahan itu dilakukan untuk
menyatakan rindunya kepada sang gadis. Kala itu, orang-orang mendengar
puisinya, serta dijadikan lagu. Puisi-puisisnya menjadi terkenal seantero
Syiraz. Hafizh menjadi pujangga yang terkenal. Karena hasrat yang menggebu
untuk memenangkan hati sang gadis, dia melakukan kedispilinan spiritual dengan keras.
Hafizh mulai berakhalwat di sebuah
makam wali sepanjang malam. Di siang hari pergi menjual roti dan malam hari
kembali ke makam wali itu. Itu dilakukannya selama 40 hari. Karena cintanya
kepada sang pujaan begitu kuat dia menyelesaikan khalwatnya. Sebab kegigihanya,
pada fajar tepatnya di hari ke-40, sesosok malaikat menampakkan diri di depan
Hafizh. Sang malaikat meminta Hafizh untuk mengucapkan keinginananya. Belum
sempat menyampaikan keinginannya, Hafizh terperanga menatap wujud sang malaikat
yang begitu indah. Lalu, ia berpikir, “ jika utusan Tuhan begitu indah,
pastilah Tuhan jauh lebih indah”.
Sambil menatap wujud sang malaikat
Tuhan yang tak terbayangkan itu, membuat Hafizh akhirnya lupa kepada sang gadis
pujaan. Dia tak lagi punya ingin kepada sang pujaan. Dia berkata kepada
malaikat, “Aku menginginkan Tuhan”. Sang malaikat; Jibril, kemudian mengarahkan
Hafizh untuk melayani sang guru dengan segala cara. Dengan itu kenginginanya
untuk bertemu Tuhan akan terkabul. Hafizh bergegas menemui sang guru. Dan, di
sang gurulah Hafizh memperdalam suluknya. Muhammad Aththar, nama gurunya. Ia
tidak banyak dikenal sebagai guru spiritual karena hidupnya seperti manusia
kebanyakan. Hanya lingkungan murid yang sedikit mengenalnya.
Di sang guru itulah, Hafizh
bertahun-bertahun menghabiskan waktu. Ada ceritra di antara mereka perihal
begitu pentingnya mengabdi kepada sang guru. Suatu hari, Hafizh genap berusia
60 tahun. Dia menghadap kepada gurunya yang sudah renta. Lalu, Hafizh berkata,
“Pandanglah aku! Aku sudah tua, apa yang telah kudapatkan telah menjadi muridmu
yang setia selama bertahun-tahun.
Kemudian sang guru menjawab dengan tenang, “bersabarlah suatu hari nanti
kamu akan mengetahuinya”. Karena deman spiritual yang tinggi, akhirnya Hafizh
memutuskan untuk berkhalwat selama 40 hari lagi, tanpa meninggalkan tempat
tinggalnya untuk makan, minum maupun untuk beristirahat.
Dalam khalwatnya,
Malaikat kembali menampakkan diri dan meminta kepada Hafizh untuk menyampaikan
keinginannya. Dalam khalwatnya itu, semua keinginannya telah sirna. Lalu, dia
menjawab kepada sang Malaikat, satu-satunya keinginannya adalah melayani
gurunya. Dan, tepat saat fajar menyingsing, Hafizh keluar menemui gurunya.
Setelah bertemu, mereka berpelukan lalu sang guru memberikan cawan khusus yang
berisi anggur. Ketika mereka minum bersama hingga mabuk. Dan, dalam kemabuan
itu, tersingkaplah kalbunya. Hafizh tenggelam dalam cinta dan “menyatu” dengan
Tuhan.
No comments:
Post a Comment