Thursday, December 17, 2015

Oleh: Asran Salam Di zaman m odern, mungkin manusia berpacu meramu hidup disetiap langkah-langkahnya. Menelusuri lorong-lorong ...

Jalan Hidup Socrates

No comments:
 


Oleh: Asran Salam




Di zaman modern, mungkin manusia berpacu meramu hidup disetiap langkah-langkahnya. Menelusuri lorong-lorong hidup dalam mencari tujuan yang sublim. Tatkala tujuan hidup telah manusia dapat, tak sediki manusia menemukannya pada setiap kemeriahan dan gemerlap yang ada. Mendapatkannya pada terang cahaya lampu sorot yang kadangkala meyilaukan mata. Pada penemuan itu, tak sedikit pula manusia berkeyakinan bahwa hidup inilah yang layak untuk dijalani.

Kita tahu, modern memang menawarkan kesenangan yang tanpa batas. Membukakan ruang tentang jelajah semesta yang tak lagi luas. Menampilkan dunia dengan pelbagai efektivitas yang menggiurkan. Semua yang manusia inginkan segalahnya terasa siap sedia. Kini, batas-batas tak lagi berbatas. Tapal batas telah jebol dengan fasilitas teknologi yang ada, hingga semua kejadian di belantara manapun terpampang jelas di depan mata. Untuk menyaksikan kejadian-kejadian hidup di tempat lain, manusia tak lagi butuh langkah yang berjarak dalam menempunya.   

Sekarang, ada sebuah kondisi yang mana kemudahan begitu dijunjung tinggi. Hidup praktis dan pragmatis adalah segalanya. Ia seperti takdir di mana manusia tak lagi punya pilihan. Kemajuan yang ditawarkan kadang diterima sebagai sebuah keniscayaan sejarah. Segalanya dijalani sebagai hidup yang wajar dan seolah tujuan hidup telah ditemukan pada tiap kemudahan dan kesenangan itu.


Barangkali kita mafhum, bila menempatkan tujuan hidup pada kesenangan sebagai alas, di sana tersimpan risiko. Sebab kesenangan itu adalah kesementaraan. Ia adalah suatu yang cepat berlalu dan berganti. Tak membutuhkan kedalaman hidup dalam meraihnya. Tak ada perenungan dalam merasakannya. Bila merasakannya mungkin ia hanya menyisahkan rongga yang kosong pada jiwa. Zaman ini, dengan imaji kesenangan menempatkan risiko-risiko itu sebagai tujuan hidup yang subtil. Jika demikian, pada rona zaman ini, barangkali ada baiknya sejenak mengambil jarak untuk melakukan interupsi terhadapnya. Merenungi setiap lakon yang dijalani. Merefleksikan diri disetiap momen-momen yang dijumpai. Memunculkan pertanyaan-pertanyaan disegala aktivitas hidup yang kita anggap layak.  

Hidup pada zaman ini, bukanlah sebuah kesalahan jikalau sejenak menoleh kebelakang. Melihat dan menelusuri makna serta tujuan hidup pada orang-orang yang hidup jauh sebelumnya. Pada jelajah yang dilakukan itu, mungkin di sana kita singgah dan berhenti sejenak pada sosok Socrates. Sang bijak yang kemudian punya rumusan tentang tujuan hidup. Socrates punya kredo bahwa; “hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak layak dijalani”. Sebuah kredo yang mengisyaratkan untuk merenung dan mengambil sisi-sisi keheningan dalam hidup. Menempatkan refleksi sebagai sebuah jalan jeda terhadap keseharian agar menempuh hidup yang dalam. Agar meraih hidup yang  eudaimonia.

Eudaimonia, dakunya, adalah pilihan hidup yang tertinggi untuk diraih dan dijalani. Eudaimonia adalah semacam kebahagiaan yang tak menempatkan kenikmatan sebagai nilai tinggi pada hidup. Bukan pula suatu keadaan hidup yang dapat diinduksikan, atau diperoleh secara kimiawi melalui jalan pintas apa pun. Kebahagiaan yang tak berasal dari keberuntungan. Eudaimonia, merupakan tujuan hidup yang sungguh jauh berjarak dengan hedonis yakni tujuan hidup yang menempatkan kenikmatan ragawi maupun materi. Eudaimonia adalah “kebahagiaan walaupun—well being” bukanlah “kebahagiaan karena—Happiness”.  

Dalam meraih eudaimonia, di sana perlu menjadi arate-arif demikian tutur Socrates. Menjadi bijaksana dalam setiap situasi apa pun. Arate barangkali syarat yang tak boleh absen dalam hidup. Menjadi arate perlu menempuh jalan pengetahuan (epistem). Pada jalan epistem-lah memang manusia dapat memahami adanya dan bagaimana mestinya menyikapi hidup. Menjadi arate melalui pengetahuan di sanalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan bagi manusia yang merdeka, bijak dan berilmu. Kebahagiaan yang tak terpenjara oleh keadaan. Ia adalah perasaan yang tak terbatas, tak terpengaruh dengan situasi tempat dan waktu, sebab kondisi jiwa telah berada pada kedalaman yang stabil.    

Socrates, menawarkan tujuan hidup pada zamannya. Dan, barangkali juga untuk zaman kita. Ia merumuskan sebuah konsep hidup yang mungkin saja tetap baik untuk kita anut, walau jalan eudaimonia mungkin memang tak mudah. Tak semulus jalan yang sering dilalui pada zaman ini. Eudaimonia layaknya jalan suluk, perlu menepih dan mengambil “jarak” disetiap glamor yang ada. Perlu “mengasingkan” diri dari gelanggang keramaian. Mengambil jalan remang pada gemerlap lampu sorot yang begitu terang di zaman ini. Memilih hidup yang sepi dalam deretan lalu-lalang kendaraan yang bising. “Menutup” mata pada suguhan manis iklan yang tidak sedikit memicu perayaan konsumtif.

Pada zaman ini, meraih eudaimonia sekali lagi memang tak mudah. Mungkin karena ia butuh sajen pengorbanan yang mensyaratkan konsistensi, ketekunan suluk. Perlu beralih dari perayaan permukaan menuju perayaan kedalaman hidup. Pada meraihnya, barangkali dibututhkan kesetiaan pada hidup yang tak berlimpah dan berlebihan.

#Tulisan pernah dimuat Kolom Literasi Tempo.

No comments:

Post a Comment