Oleh: Asran Salam
Di zaman modern, mungkin manusia berpacu meramu hidup disetiap langkah-langkahnya. Menelusuri lorong-lorong hidup dalam mencari tujuan yang sublim. Tatkala tujuan hidup telah manusia dapat, tak sediki manusia menemukannya pada setiap kemeriahan dan gemerlap yang ada. Mendapatkannya pada terang cahaya lampu sorot yang kadangkala meyilaukan mata. Pada penemuan itu, tak sedikit pula manusia berkeyakinan bahwa hidup inilah yang layak untuk dijalani.
Kita tahu, modern memang menawarkan
kesenangan yang tanpa batas. Membukakan ruang tentang jelajah semesta yang tak
lagi luas. Menampilkan dunia dengan pelbagai efektivitas yang menggiurkan.
Semua yang manusia inginkan segalahnya terasa siap sedia. Kini, batas-batas tak
lagi berbatas. Tapal batas telah jebol dengan fasilitas teknologi yang ada,
hingga semua kejadian di belantara manapun terpampang jelas di depan
mata. Untuk menyaksikan kejadian-kejadian hidup di tempat lain, manusia tak
lagi butuh langkah yang berjarak dalam menempunya.
Sekarang, ada sebuah kondisi yang mana
kemudahan begitu dijunjung tinggi. Hidup praktis dan pragmatis adalah
segalanya. Ia seperti takdir di mana manusia tak lagi punya pilihan. Kemajuan
yang ditawarkan kadang diterima sebagai sebuah keniscayaan sejarah. Segalanya dijalani
sebagai hidup yang wajar dan seolah tujuan hidup telah ditemukan pada tiap
kemudahan dan kesenangan itu.
Barangkali kita mafhum, bila menempatkan tujuan
hidup pada kesenangan sebagai alas, di sana tersimpan risiko. Sebab
kesenangan itu adalah kesementaraan. Ia adalah suatu yang cepat berlalu dan
berganti. Tak membutuhkan kedalaman hidup dalam meraihnya. Tak ada perenungan
dalam merasakannya. Bila merasakannya mungkin ia hanya menyisahkan rongga yang
kosong pada jiwa. Zaman ini, dengan imaji kesenangan menempatkan risiko-risiko
itu sebagai tujuan hidup yang subtil.
Jika demikian, pada rona zaman ini, barangkali ada baiknya sejenak mengambil
jarak untuk melakukan interupsi terhadapnya. Merenungi setiap lakon yang dijalani.
Merefleksikan diri disetiap momen-momen yang dijumpai. Memunculkan
pertanyaan-pertanyaan disegala aktivitas hidup yang kita anggap layak.
Hidup pada zaman ini, bukanlah sebuah
kesalahan jikalau sejenak menoleh kebelakang. Melihat dan menelusuri makna
serta tujuan hidup pada orang-orang yang hidup jauh sebelumnya. Pada jelajah yang dilakukan
itu, mungkin di sana kita singgah dan berhenti sejenak pada sosok Socrates. Sang bijak yang kemudian punya rumusan tentang tujuan
hidup. Socrates punya kredo bahwa; “hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak
layak dijalani”.
Sebuah kredo yang mengisyaratkan untuk merenung dan mengambil sisi-sisi
keheningan dalam hidup. Menempatkan refleksi sebagai sebuah jalan jeda terhadap
keseharian agar menempuh hidup yang dalam. Agar meraih hidup yang eudaimonia.
Eudaimonia,
dakunya, adalah pilihan hidup yang tertinggi untuk diraih
dan dijalani. Eudaimonia adalah
semacam kebahagiaan yang tak menempatkan kenikmatan sebagai nilai tinggi pada
hidup. Bukan pula suatu keadaan hidup
yang dapat diinduksikan, atau diperoleh secara kimiawi melalui jalan pintas apa
pun. Kebahagiaan yang tak berasal dari keberuntungan. Eudaimonia, merupakan tujuan hidup yang sungguh jauh berjarak
dengan hedonis yakni tujuan hidup
yang menempatkan kenikmatan ragawi maupun materi. Eudaimonia adalah “kebahagiaan walaupun—well being” bukanlah “kebahagiaan karena—Happiness”.
Dalam meraih eudaimonia, di sana perlu menjadi arate-arif demikian tutur Socrates. Menjadi bijaksana dalam setiap situasi
apa pun. Arate barangkali syarat yang
tak boleh absen dalam hidup. Menjadi arate
perlu menempuh jalan pengetahuan (epistem).
Pada jalan epistem-lah memang manusia
dapat memahami adanya dan bagaimana mestinya menyikapi hidup. Menjadi arate melalui pengetahuan di sanalah
kebahagiaan sejati. Kebahagiaan bagi manusia yang merdeka, bijak dan berilmu.
Kebahagiaan yang tak terpenjara oleh keadaan. Ia adalah perasaan yang
tak terbatas, tak terpengaruh dengan situasi tempat dan waktu, sebab kondisi
jiwa telah berada pada kedalaman yang stabil.
Socrates, menawarkan tujuan
hidup pada zamannya.
Dan, barangkali juga
untuk zaman kita. Ia merumuskan sebuah konsep hidup yang mungkin saja tetap
baik untuk kita anut, walau jalan eudaimonia
mungkin memang tak mudah. Tak semulus jalan yang sering dilalui pada zaman ini.
Eudaimonia layaknya jalan suluk,
perlu menepih dan mengambil “jarak” disetiap glamor yang ada. Perlu “mengasingkan”
diri dari gelanggang keramaian. Mengambil jalan remang pada gemerlap lampu sorot
yang begitu terang di zaman ini. Memilih hidup yang sepi dalam deretan
lalu-lalang kendaraan yang bising. “Menutup” mata pada suguhan manis iklan yang
tidak sedikit memicu perayaan konsumtif.
Pada zaman ini, meraih eudaimonia sekali lagi memang tak mudah. Mungkin karena ia butuh
sajen pengorbanan yang mensyaratkan konsistensi, ketekunan suluk. Perlu beralih
dari perayaan permukaan menuju perayaan kedalaman hidup. Pada meraihnya,
barangkali dibututhkan kesetiaan pada hidup yang tak berlimpah dan berlebihan.
No comments:
Post a Comment