Tuesday, December 22, 2015

Oleh: Asran Salam “Aku” sepertinya memang selalu terbelah. Hal ini barangkali telah menjadi kodrat “aku”. Lihatlah risalah yang te...

Risalah Aku

No comments:
 
Oleh: Asran Salam


“Aku” sepertinya memang selalu terbelah. Hal ini barangkali telah menjadi kodrat “aku”. Lihatlah risalah yang terus berjalan dari pemikir yang satu kepada yang lain. Walau ada artikulasi yang berbeda tentang “aku” disetiap pemikir, akan tetapi ia selalu berjumpa dan menemukan hal sama yakni keterbelahan. Lain sisi, ceritra aku dalam gagasan para pemikir itu. Biasanya, di sana kita juga akan berjumpa dan melihat semagat untuk menemukan “aku” yang subtantif—aku asli.  Mari coba kita menengok beberapa tokoh yang bebicara tentang “aku”.

Mari kita mulai dari Jaqcues Lacan, seorang filosof namun lebih terkenal sebagai psikoanalisis yang berkebangsaan Prancis. Tututrnya, dalam “aku”, ada yang real [asli] juga semu [bentukan]. Katanya, yang real hanya ada pada saat subjek [aku] berada dalam rahim. Setelah itu, subjek berada pada wilayah cermin yang selalu mimikri—peniruan. Subjek mengobjektivikasi diri pada apa yang ia lihat. Subjek tak terhindarkan dalam peniruan pada di luar dirinya. Selanjutnya, setelah fase cermin, subjek tak terhindarkan untuk berjumpa dengan yang simbolik. Subjek mendefinisikan diri pada simbol-simbol yang ada seperti bahasa, budaya, agama serta ideologi. Pada intinya apa yang biasanya disebut sebagai struktur.

Tak hanya Jaqcues Lacan, Geroge Herbert Mead, seorang sosiolog—tepatnya teoritikus sosiologi interaksionisme simbolik—melihat aku dalam dua dimensi. Dimensi aku sebagai “subjek” dan aku sebagai “objek”. Geroge Herbert Mead, memilah aku menjadi “I” [aku] dan “me” [saya]. Baginya, itu adalah hal yang berbeda tapi dalam kesatuan. “I” adalah aku yang subjek kreatif dan inovatif. “I” adalah aku yang selalu mereflesikan suatu proses dialektika dalam kehidupan sosial. “I” itu organisme yang tidak dapat diramalkan dan diringkus dalam satu frame tertentu karena kebebasan dan inisiatif yang ia miliki. Karena itu, “aku” selalu memungkingkan secara spontan terjadi perubahan.

“I” memengaruhi “me”, pada ruang itu, timbullah modifikasi konsep diri yang bertahap. Salah satu tahapnya adalah “me” kemudian menampilkan diri pada arena sosial. “Me” menjadi sosok sosial yang kemudian disaksikan oleh orang lain. Oleh karena itu, “me” bisa berubah menjadi suatu sikap orang lain yang sudah diorganisasikan,  tapi “I” akan tetap merespon pada apa yang diterima oleh “me”. Dengan demikian, aku dalam “I” dan ‘me” selalu terjadi suatu proses dialektika secara terus-menerus.

Kata Mead, andaikan diri hanya punya “me”, maka diri itu hanya menjadi agen masyarakat. Kita hanya berfungsi memenuhi perkiraan dan pikiran serta harapan orang lain. Andaikan diri hanya punya “me” tanpa “I”, maka pada sisi itu, kita merayakan keterpaksaaan hidup pada sosial kita. “Aku” yang kini telah banyak menjadi “me” semata dan telah membunuh “I”-nya. Pada kondisi seperti itu, kebebasan tak memiliki arti. Diri menjadi mayat-mayat hidup yang berjalan. “Aku" kini, telah terjerat dalam sebuah arus keseharian yang menggiring untuk melupakan “I”. Keseharian dengan fokus pada pemenuhan aksesoris hidup. “Aku” kadang merasa tidak memiliki kepercayaan hidup jika tidak memiliki aksesoris seperti kosmetik, pakaian dan kendaraan yang terbaru, serta rumah yang mewah. Kini “aku” telah banyak berada pada amnesia ontologis—“I”. “Aku” menjadi kerumunan massa yang berjalan tanpa “I”. Wajah “aku” seperti ini yang banyak terjadi pada dunia modern.

Selanjutnya, ceritra yang lain perihal “aku” hadir dari Martin Buber. Filosof kontemporer Jerman ini, berujar bahwa manusia memiliki dua relasi secara fundamental berbeda. Satu relasi manusia dengan benda-benda serta relasi manusia dengan sesama manusia dan Allah.  Relasi pertama ia sebutnya I-It sedang yang kedua disebutnya I Thou. Dalam bahasa indonesia yang pertama kira-kira diterjemahkan dengan “aku itu” sedang yang kedua menjadi “aku engkau”.  

“Aku” kata Buber, tidak pernah tidak berelasi. “Aku itu” di mana aku berelasi dengan benda-benda. “Aku itu” memanfaatkan dan memperalat benda-benda. Menggunakannya untuk memudahkan proses hidup. Benda-benda menjadi objek bagi “aku”. Dunia “aku itu” biasanya ditandai dengan relasi milik dan penguasaan. Namun, lain halnya pada relasi “aku engkau”. Ia adalah dunia “aku” yang menyapa antara engkau dengan engkau. Pada relasi “aku engkau”, aku tidak menggunakan engkau akan tetapi menjumpai engkau. Dari relasi seperti ini, ujar Buber, kita akan menciptakan apa disebut dialog yang sejati. Perjumpaan adalah suatu khas dalam dunia “aku engkau” dan demikian, kategori-kategori cinta dan kebebasan adalah hal hidup dalam relasi ini.
 
Namun, celakanya dalam dunia modern relasi “aku itu” banyak disamakan dengan “aku engkau”. Kita memperlakukan “aku engkau” seperti “aku itu”. Pada “aku” yang lain kita memperlakukanya seperti benda-benda atau objek yang mati. Menganggapnya suatu yang layak diperlakukan apa saja semau kita. Dengan demikian, kata Martin Buber jika itu terjadi kita tidak lagi melihat cinta tumbuh dengan mekar. Dan kita semua mafhum, bahwa tanpa cinta “aku” yang satu akan menjadi serigala bagi “aku” yang lain.

No comments:

Post a Comment