Oleh:
Asran Salam
“Aku” sepertinya memang selalu
terbelah. Hal ini barangkali telah menjadi kodrat “aku”. Lihatlah risalah
yang terus berjalan dari pemikir yang satu kepada yang lain. Walau ada
artikulasi yang berbeda tentang “aku” disetiap pemikir, akan tetapi ia selalu
berjumpa dan menemukan hal sama yakni keterbelahan. Lain sisi, ceritra aku
dalam gagasan para pemikir itu. Biasanya, di sana kita juga akan berjumpa dan
melihat semagat untuk menemukan “aku” yang subtantif—aku asli. Mari coba kita menengok beberapa tokoh yang
bebicara tentang “aku”.
Mari kita mulai dari Jaqcues Lacan,
seorang filosof namun lebih terkenal sebagai psikoanalisis yang berkebangsaan
Prancis. Tututrnya, dalam “aku”, ada yang real [asli] juga semu [bentukan]. Katanya,
yang real hanya ada pada saat subjek [aku] berada dalam rahim. Setelah itu,
subjek berada pada wilayah cermin yang selalu mimikri—peniruan. Subjek mengobjektivikasi
diri pada apa yang ia lihat. Subjek tak terhindarkan dalam peniruan pada di luar
dirinya. Selanjutnya, setelah fase cermin, subjek tak terhindarkan untuk
berjumpa dengan yang simbolik. Subjek mendefinisikan diri pada simbol-simbol yang
ada seperti bahasa, budaya, agama serta ideologi. Pada intinya apa yang
biasanya disebut sebagai struktur.
Tak
hanya Jaqcues Lacan, Geroge Herbert Mead, seorang sosiolog—tepatnya teoritikus sosiologi
interaksionisme simbolik—melihat aku dalam dua dimensi. Dimensi aku sebagai
“subjek” dan aku sebagai “objek”. Geroge Herbert Mead, memilah aku menjadi “I”
[aku] dan “me” [saya]. Baginya, itu adalah hal yang berbeda tapi dalam kesatuan.
“I” adalah aku yang subjek kreatif dan inovatif. “I” adalah aku yang selalu mereflesikan
suatu proses dialektika dalam kehidupan sosial. “I” itu organisme yang tidak
dapat diramalkan dan diringkus dalam satu frame tertentu karena kebebasan dan
inisiatif yang ia miliki. Karena itu, “aku” selalu memungkingkan secara spontan
terjadi perubahan.
“I”
memengaruhi “me”, pada ruang itu, timbullah modifikasi konsep diri yang
bertahap. Salah satu tahapnya adalah “me” kemudian menampilkan diri pada arena
sosial. “Me” menjadi sosok sosial yang kemudian disaksikan oleh orang lain. Oleh
karena itu, “me” bisa berubah menjadi suatu sikap orang lain yang sudah
diorganisasikan, tapi “I” akan tetap merespon
pada apa yang diterima oleh “me”. Dengan demikian, aku dalam “I” dan ‘me”
selalu terjadi suatu proses dialektika secara terus-menerus.
Kata
Mead, andaikan diri hanya punya “me”, maka diri itu hanya menjadi agen
masyarakat. Kita hanya berfungsi memenuhi perkiraan dan pikiran serta harapan
orang lain. Andaikan diri hanya punya “me” tanpa “I”, maka pada sisi itu, kita merayakan
keterpaksaaan hidup pada sosial kita. “Aku” yang kini telah banyak menjadi “me”
semata dan telah membunuh “I”-nya. Pada kondisi seperti itu, kebebasan tak memiliki
arti. Diri menjadi mayat-mayat hidup yang berjalan. “Aku" kini, telah
terjerat dalam sebuah arus keseharian yang menggiring untuk melupakan “I”.
Keseharian dengan fokus pada pemenuhan aksesoris hidup. “Aku” kadang merasa
tidak memiliki kepercayaan hidup jika tidak memiliki aksesoris seperti
kosmetik, pakaian dan kendaraan yang terbaru, serta rumah yang mewah. Kini
“aku” telah banyak berada pada amnesia ontologis—“I”. “Aku” menjadi
kerumunan massa yang berjalan tanpa “I”. Wajah
“aku” seperti ini yang banyak terjadi pada dunia modern.
Selanjutnya,
ceritra yang lain perihal “aku” hadir dari Martin Buber. Filosof kontemporer
Jerman ini, berujar bahwa manusia memiliki dua relasi secara fundamental
berbeda. Satu relasi manusia dengan benda-benda serta relasi manusia dengan
sesama manusia dan Allah. Relasi pertama
ia sebutnya I-It sedang yang kedua
disebutnya I Thou. Dalam bahasa
indonesia yang pertama kira-kira diterjemahkan dengan “aku itu” sedang yang
kedua menjadi “aku engkau”.
“Aku”
kata Buber, tidak pernah tidak berelasi. “Aku itu” di mana aku berelasi dengan
benda-benda. “Aku itu” memanfaatkan dan memperalat benda-benda. Menggunakannya
untuk memudahkan proses hidup. Benda-benda menjadi objek bagi “aku”. Dunia “aku
itu” biasanya ditandai dengan relasi milik dan penguasaan. Namun, lain halnya
pada relasi “aku engkau”. Ia adalah dunia “aku” yang menyapa antara engkau
dengan engkau. Pada relasi “aku engkau”, aku tidak menggunakan engkau akan
tetapi menjumpai engkau. Dari relasi seperti ini, ujar Buber, kita akan menciptakan
apa disebut dialog yang sejati. Perjumpaan adalah suatu khas dalam dunia “aku
engkau” dan demikian, kategori-kategori cinta dan kebebasan adalah hal hidup
dalam relasi ini.
Namun,
celakanya dalam dunia modern relasi “aku itu” banyak disamakan dengan “aku
engkau”. Kita memperlakukan “aku engkau” seperti “aku itu”. Pada “aku” yang
lain kita memperlakukanya seperti benda-benda atau objek yang mati.
Menganggapnya suatu yang layak diperlakukan apa saja semau kita. Dengan
demikian, kata Martin Buber jika itu terjadi kita tidak lagi melihat cinta
tumbuh dengan mekar. Dan kita semua mafhum, bahwa tanpa cinta “aku” yang satu
akan menjadi serigala bagi “aku” yang lain.
No comments:
Post a Comment