Oleh: Asran
Salam
Dalam agama
ada satu anjuran Tuhan kepada hambanya, yang bagi saya adalah salah satu bentuk
ke-Mahapengasih-an Tuhan. Anjuran itu adalah doa. Kata Tuhan "berdoalah niscaya Aku kabulkan". Mungkin
karena anjuran Tuhan itu, sehingga aktivitas doa sering kita lakukan.
Barangkali, hampir tiap hari kita mengejakanya. Namun, dari keseringan kita
berdoa itu, faktanya, Tuhan tidak banyak mengabulkan doa kita atau bahkan tidak
ada sama sekali yang dikabulkan. Dengan kenyataan doa yang kita hadapi itu. Mungkin
akan terbesit tanya dalam hati kita "Kok Tuhan tidak mengabulkan doa kita,
padahal dia sendiri yang bilang berdoalah niscaya saya akan kabulkan". Ada
apa gerangan? Apakah Tuhan sudah menipu hambanya? Apakah Tuhan sudah
mengingkari janjinya?
Untuk
menjawab pertanyaan itu, Mungkin dengan kisah dua raja berikut ini bisa menjadi
jawaban. Kisah ini saya nukil dari buku Jalaluddin Rakhmat, Doa Bukan Lampu Aladin. Kisah itu
kira-kira sebagai berikut:
“Dulu ada
seorang raja yang sepanjang hidupnya hanya berbuat maksiat dan zalim. Kemudian
ia jatuh sakit. Anjuran tabib yang mengobatinya agar segera berpamitan saja
pada keluarganya karena obat dari penyakitnya itu adalah sejenis ikan. Dan
sekarang bukan musim ikan. Lalu sang raja berdoa dan Tuhan mendengar doanya.
Lalu Tuhan memerintahkan kepada malaikat untuk menggiring ikan tersebut agar
muncul dipermukaan laut. Singkat cerita, akhirnya dengan ikan tersebut raja
zalim ini akhirnya sembuh.
Di tempat
lain, ada juga seorang raja yang dalam hidupnya hanya mengabdi kepada Tuhan.
Raja tersebut adil dan saleh juga ditimpah penyakit yang sama. Para tabib yang
mengobatinya juga mengatakan obatnya adalah sejenis ikan sama. Tapi, jangan
khawatir sebab disini lagi musim ikan. Tentunya tidak sulit untuk mendapatkan
ikan tersebut. Namun, justru Tuhan memerintahkan kepada malaikat untuk
menggiring ikan-ikan tersebut ke sarangnya. Akhirnya, singkat cerita raja yang
adil dan saleh itu menghembuskan nafas yang terakhir.
Seperti kita
di bumi. Konon di langit sana para malaikat juga bingung atas
"tindakan" Tuhan tersebut. Kemudian Allah berfirman: "Walaupun yang zalim ini banyak berbuat dosa,
dia juga pernah berbuat baik. Demi kasih sayangku, Aku berikan pahala amal baiknya
sebelum meninggal. Dia masih memiliki amal baiknya belum Aku balas. Maka, Aku
segerakan membalasnya sehingga nanti kelak dia datang kepadaKu dengan
dosa-dosanya. Demikian juga dengan
raja yang saleh itu. Walaupun dia banyak berbuat baik tetap saja dia pernah
berbuat buruk. Aku balas semua keburukannya dengan musiba. Menjelang
kematiannya masih ada dosanya yang Aku belum balas. Maka, Aku tolak doa
kesembuhannya agar dia datang padaku dengan membawa amal salehnya"
Kisah yang
lain yang bisa jadi jawaban, konon, suatu waktu seorang penulis sedang menulis
biografi Ali Bin Abi Tahlib—khalifah keempat Islam. Dalam proses menulisnya
itu, pada bagian terakhir buku yang ditulisnya masih membutuhkan satu referensi
lagi untuk merampungkan bukunya itu. Berkelilinglah ia mencari buku tersebut.
Berpindah-pindah dari perpustakaan satu ke perpustakan yang lain. Namun, dalam
pencariannya itu hasilnya nihil. Karena tak menemui titik terang akan
keberadaan buku itu, sang penulis memutuskan untuk pergi berziarah ke makam Ali
Bin Abi Thalib dengan harapan mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Melalui
makam Ali Bin Abi Thalib sang penulis memohon kepada Allah SWT dengan penuh
rintihan, deraian air mata mengiringi lantunan permohonanya.
Walau Allah
SWT tak mengabulkan doanya, tak henti-hentinya sang penulis datang lalu berdoa.
Merintih dengan penuh kekhusyuan. Baginya tak ada jalan lagi selain Allah SWT
yang memberikannya petunjuk. Semua usaha telah ditempunya dan usaha yang
terkahir adalah doa. Pada saat yang sama, seorang tua pun datang berdoa di
makam Ali Bin Abi Thalib. Anak orang tua sedang sakit. Berdoalah ia tanpa
rintihan. Namun, tak hanya itu dalam doanya ia cenderung mengancam Allah SWT
serta pemilik makam. Jika doanya tak dikabulkan perihal kesembuhan
anaknya, maka ia akan berpaling ke lain
dan tak mau lagi mengakui Ali Abi Bin Abi Thalib sebagai Imam. Setalah selesai
berdoa, orang tua itu pun pulang ke rumahnya. Sesampai di rumah orang tua itu
menemukan anaknya kembali sehat seperti semula. Maka sungguh gembira orang tua
tersebut sebab doa telah dikabulkan.
Konon, Allah SWT mengabulkan doa orang tua itu karena
tak senang mendengar doanya. Sedang sang penulis tak dikabulkan doanya karena
Allah SWT sangat senang dan rindu selalu mendengar rintihan-rintihannya. Bila
dikabulkan Allah SWT tak akan lagi mendengar rintihan sang penulis itu. Tak
lagi melihat deraian air mata yang mengiri doa-doanya seperti anak kecil yang
meminta sesuatu kepada orang tuanya. Jadi,
mungkin kesimpulannya jangan bersedih hati bila Tuhan tidak serta merta
mengabulkan doa kita. Jangan-Jangan Allah SWT lagi membersihkan dosa-dosa kita.
Sehingga kelak di kemudian hari kita menghadap kepadaNya dengan besih—tak lagi
punya dosa. Mungkin Allah SWT senang mendengar dan melihat rintihan kita. Justru
sebaliknya, barangkali kita perlu khawatir bila Allah SWT bila terlalu cepat
mengabulkan doa kita. Jangan-jangan Tuhan sudah membalas terlebih dahulu segala
amal saleh hingga kita tak punya lagi amal saleh yang dapat dibawah ke akhirat
kelak—semuanya adalah dosa. Boleh jadi Allah SWT tidak mau lagi mendengar doa
kita yang tak mencerminkan seorang hamba.
No comments:
Post a Comment