Oleh: Asran Salam
Pada abad ke 13 M
yang silam. Ketika, umat islam di dunia Arab di rundung mendung dan hujan tak
jua berkenan turun. Ada tradisi klasik yang tak lagi seperti yang lalu. Ada
siklus teoria yang mulai tersendat-sendat. Di tambah pada belahan yang lain,
Perang Salib tak juga menunjukkan titik damai. Perihal perang, kita semua
mafhum di sana melahirkan kegetiran yang banyak mengoyak dan merobek
kemanusiaan. Umat Islam kala itu, merasakan betul pahitnya. Tak berhenti di
situ, di belahan timur; Irak, bangsa Mongol melalui komandanya Jengis Khan dan
cucu-cucunya menambah piluh umat Islam. Mereka menyapu bersih kerajaan-kerajaan
Islam.
Dengan kondisi yang pilu, mungkin juga
terpuruk, dan di saat-saat harapan tak lagi punya arti dan makna itu. Umat
Islam sepertinya mendapat air dari dahaganya. Jalaluddin Rumi pembawa “air”
itu. Melalui Masnawi-i-Ma’nawi, Rumi, ingin mengajak kepada umat Islam, dan
juga mungkin seluruh umat manusia agar mencari kebenaran terdalam dari ajaran
agama. Sebab, di ruang terdalam agama, dapat mendorong dan membimbing umat
manusia membentuk kebudayaan dan peradaban besar yang langgeng. Peradaban yang
tak ada tikai, riak, pilu dan luka yang setiap saat harus diobati. Mengapa?
Sebab, cinta telah menjadi dasar terdalam peradaban itu.
Rumi, pada mukadimah Masnawi mengajak
kita untuk mebangkitkan kerinduan pada asali. Pada cerita derita seruling bambu
yang terpisah dari rumpunnya, Rumi, memberikan petikan bijaksana pada umat
manusia, pada kita semua bahwa dalam sanubari yang terdalam; fitrah, kita punya
satu pusat kerinduan yang sama yakni rumpun kita; Tuhan. Lalu mengapa jiwa kita
tak menyadarinya? Sebab, kita tak pernah membersihkan karat pada jiwa kita kata
Rumi. Keangkuhan, kesombongan, egoisme, individualistik dan keserakan
warna-warni karat jiwa itu. Pada jiwa yang karat, di sanalah awal mula
peradaban dunia ini dihancurkan secara sedikit demi sedikit. Perang, menindas,
menguasai, memperdaya di antara manusia adalah artikulasi yang lugas perihal
karat pada jiwa. Dan kita mafhum, itu adalah awal bencana peradaban.
Namun, bila kesadaran asali itu ada,
di lubuk itulah cinta yang subtil tumbuh dan memperkenalkan diri manusia. Cinta
yang menyebarkan wewangi kedamaian pada dunia. Pada dimensi itu kita dapat
berujar sekaligus membenarkan senandung Rumi;
“Selamat datang, o Cinta yang memberi
keberuntungan indah—kaulah tabib segala sakit kami, pemulih keangkuhan,
kesombongan, Filosof dan dokter kami!
Dengan Cintah tubu tana liat ini dapat terbang
ke angkasa raya, mikraj:gunung menari di atas geraknya
Cinta menurungkan
ilham kepada gunung Sinai, o Pecinta, karena itu gunung Sinai mabuk dan “Musa
jatuh pingsan”
Apa yang ditawarkan Rumi memang tak
mudah. Mengenal dan merindukan yang asali yang melahirkan cinta butuh
pengorbanan. Mungkin juga disitulah mengapa membangun peradaban itu tak mudah.
Apa yang dipetikkan Rumi mengajak kita yang awalnya untuk berjalan pada
keheningan. Seperti keheningan Rasulullah Saw di Gua Hira untuk mengeja aksara
Tuhan lalu kemudian aksi. Tapi tidakkah di keheningan Rasulullah Saw, cikal
bakal peradaban Islam kelak terbentuk?
Apapun itu, bila cita-cita peradaban
yang ramah menjadi cita ideal, sepertinya tak ada jalan lagi yang medesak,
selain menempuh jejak-jejak Rumi. Muhamamad Iqbal, penyair dan filosof ternama
India pernah berujar bahwa Rumi, mengajarkan bila masyarakat ingin didorong
aktif maka perlu ada sukr dan junon. Sebuah keadaan jiwa dan pikiran
yang diliputi rasa mabuk kepayang dan antusiasme ketuhanan. Tak hanya itu, Kata
Iqbal, Rumi, senantiasa mengingatkan bahwa bila masyarakat sedang mengalami
krisis multidimensi, maka di sanalah perlu untuk kembali kepada asali.
Mempelajari nilai-nilai keruhanian agama.
No comments:
Post a Comment