Wednesday, December 2, 2015

Oleh: Asran Salam Pada abad ke 13 M yang silam. Ketika, umat islam di dunia Arab di rundung mendung dan hujan tak jua berkenan turu...

Rumi

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Pada abad ke 13 M yang silam. Ketika, umat islam di dunia Arab di rundung mendung dan hujan tak jua berkenan turun. Ada tradisi klasik yang tak lagi seperti yang lalu. Ada siklus teoria yang mulai tersendat-sendat. Di tambah pada belahan yang lain, Perang Salib tak juga menunjukkan titik damai. Perihal perang, kita semua mafhum di sana melahirkan kegetiran yang banyak mengoyak dan merobek kemanusiaan. Umat Islam kala itu, merasakan betul pahitnya. Tak berhenti di situ, di belahan timur; Irak, bangsa Mongol melalui komandanya Jengis Khan dan cucu-cucunya menambah piluh umat Islam. Mereka menyapu bersih kerajaan-kerajaan Islam.

Dengan kondisi yang pilu, mungkin juga terpuruk, dan di saat-saat harapan tak lagi punya arti dan makna itu. Umat Islam sepertinya mendapat air dari dahaganya. Jalaluddin Rumi pembawa “air” itu. Melalui Masnawi-i-Ma’nawi, Rumi, ingin mengajak kepada umat Islam, dan juga mungkin seluruh umat manusia agar mencari kebenaran terdalam dari ajaran agama. Sebab, di ruang terdalam agama, dapat mendorong dan membimbing umat manusia membentuk kebudayaan dan peradaban besar yang langgeng. Peradaban yang tak ada tikai, riak, pilu dan luka yang setiap saat harus diobati. Mengapa? Sebab, cinta telah menjadi dasar terdalam peradaban itu.

Rumi, pada mukadimah Masnawi mengajak kita untuk mebangkitkan kerinduan pada asali. Pada cerita derita seruling bambu yang terpisah dari rumpunnya, Rumi, memberikan petikan bijaksana pada umat manusia, pada kita semua bahwa dalam sanubari yang terdalam; fitrah, kita punya satu pusat kerinduan yang sama yakni rumpun kita; Tuhan. Lalu mengapa jiwa kita tak menyadarinya? Sebab, kita tak pernah membersihkan karat pada jiwa kita kata Rumi. Keangkuhan, kesombongan, egoisme, individualistik dan keserakan warna-warni karat jiwa itu. Pada jiwa yang karat, di sanalah awal mula peradaban dunia ini dihancurkan secara sedikit demi sedikit. Perang, menindas, menguasai, memperdaya di antara manusia adalah artikulasi yang lugas perihal karat pada jiwa. Dan kita mafhum, itu adalah awal bencana peradaban.    


Namun, bila kesadaran asali itu ada, di lubuk itulah cinta yang subtil tumbuh dan memperkenalkan diri manusia. Cinta yang menyebarkan wewangi kedamaian pada dunia. Pada dimensi itu kita dapat berujar sekaligus membenarkan senandung Rumi;

 “Selamat datang, o Cinta yang memberi keberuntungan indah—kaulah tabib segala sakit kami, pemulih keangkuhan, kesombongan, Filosof dan dokter kami!

 Dengan Cintah tubu tana liat ini dapat terbang ke angkasa raya, mikraj:gunung menari di atas geraknya

Cinta menurungkan ilham kepada gunung Sinai, o Pecinta, karena itu gunung Sinai mabuk dan “Musa jatuh pingsan”

Apa yang ditawarkan Rumi memang tak mudah. Mengenal dan merindukan yang asali yang melahirkan cinta butuh pengorbanan. Mungkin juga disitulah mengapa membangun peradaban itu tak mudah. Apa yang dipetikkan Rumi mengajak kita yang awalnya untuk berjalan pada keheningan. Seperti keheningan Rasulullah Saw di Gua Hira untuk mengeja aksara Tuhan lalu kemudian aksi. Tapi tidakkah di keheningan Rasulullah Saw, cikal bakal peradaban Islam kelak terbentuk?

Apapun itu, bila cita-cita peradaban yang ramah menjadi cita ideal, sepertinya tak ada jalan lagi yang medesak, selain menempuh jejak-jejak Rumi. Muhamamad Iqbal, penyair dan filosof ternama India pernah berujar bahwa Rumi, mengajarkan bila masyarakat ingin didorong aktif maka perlu ada sukr dan junon. Sebuah keadaan jiwa dan pikiran yang diliputi rasa mabuk kepayang dan antusiasme ketuhanan. Tak hanya itu, Kata Iqbal, Rumi, senantiasa mengingatkan bahwa bila masyarakat sedang mengalami krisis multidimensi, maka di sanalah perlu untuk kembali kepada asali. Mempelajari nilai-nilai keruhanian agama.

No comments:

Post a Comment