Oleh: Asran Salam
Dengan ingatan yang tersisa, kala itu, akhir tahun 2003 menjelang pergantian
tahun. Saat itu, saya, masih berstatus mahasiswa baru tepatnya ingin memasuki
semester tiga. Nuansa kampus kala itu—walau tidak semua mahasiswa memilih—begitu
riuh dengan aktivisme; diskusi, debat, membaca, nonton film, kritik, protes.
Mungkin saja perilaku aktivisme mahasiswa merupakan sisa-sisa semangat gerakan
reformasi 98.
Walau dikatakan sisa-sisa gerakan
reformasi, saya, tetap merasa sangat beruntung berada pada zaman itu. Karena
kampusnya penuh dengan atmosfir intelektual. Tentunya kondisi itu, membuat saya
terpicu dan terpacu mengikuti pola yang ada. Waktu itu, akhirnya saya mulai
kerasukan minat baca. Karena, konon mustahil bisa menjadi aktivis sejati bila
tidak bersentuhan dengan buku-buku. Dengan bacaan yang kita punya, menjadi
amunisi untuk berdiskusi, mendedah masalah, menemukan solusi dan yang
terpenting sebagai penguat diri.
Pada waktu saya belajar menjadi pembaca
yang serius, seorang teman akhirnya meminjamkan bukunya kepadaku. Tentunya
dengan senang hati saya menerima. Melihat judulnya, awalnya saya tidak terlalu
tertarik dengan buku yang disuguhkan. Tapi karena salah satu syarat jika ingin
menjadi aktivis yang intelek atau menjadi pembelajar yang sejati; tidak boleh
pilih-pilih dalam bacaan. Kalau bisa semua jenis buku harus dibaca.
Fitrah judul buku tersebut. Buku itu
merupakan terjemahan dari buku al-fitrah
karya Murtdha Muthahhari. Di rumah kontrakan—tepatnya kos-kos-an saya—buku itu
mulai saya baca. Sebagaimana judulnya; Fitrah, maka diawal buku tersebut, kita
akan bertemu dengan penjelasan yang gamblang tentang apa itu fitrah.
Selanjutnya, yang bagiku paling menarik dari buku tersebut, ketika sang penulis
mengulas dan mengkritik beberapa teori kemunculan agama. Feuerbach, Auguste
Comte, Karl Marx, Marxisme, Durkheim, mereka memiliki sekelumit teori tentang
kemunculan agama. Semua tokoh Barat tersebut, bisa dibilang memandang agama
sebagai sesuatu yang negatif dan bahkan tidak penting yang akan ditinggalkan
oleh ummat manusia. Namun sekelompok tokoh itulah yang menjadi sasaran kritik
Muthahhari. Dengan argumentasi yang filosofis, Muthahhari, mengulas
kelemahan-kelemahan argumentasi para pemikir Barat tersebut.
Melalui buku fitrah itu, kemudian saya
mulai memiliki ketertarikan untuk mengetahui lebih jauh lagi pikiran-pikirannya.
Bagiku kala itu, setidaknya saya menemukan jawaban bahwa ternyata agama itu
sangat rasional. Perasaan menemukan jawaban itu lahir, mungkin saja tidak
terlepas dari pelajaran agama yang saya terima sewaktu di Madrasah. Di Madrasah
pelajaran agama yang saya terima cenderung dogmatis. Tak ada tanya dalam agama.
Terima saja apa yang telah disampaikan oleh Tuhan melalui al-Quran—sangat
skiriptualis.
Rasa penasaran tentang pikiran
Muthahhari, akhirnya mengantarkanku menemukan beberapa karyanya. Saya membaca,
berupaya menulusuri siapa dia dan akhirnya saya menemukan;
Murtadha Muthahhari, lahir 2 Februari
1919 di Khurasan. Ayahnya sarjana agama Hujjatul Islam Muhammad Husein yang
dikenal alim dan sangat dikagumi serta dihormati. Pada usia 12 tahun, ia hijrah ke kota Qum. Di
sana, dia belajar dibawah bimbingan dua Ayatullah; Borojourdi dan Khomeni.
Kedua gurunya tersebut sangat terkenal dengan pengajaran agama tradisionalnya
serta irfan—gnosis. Selain itu,
khususnya imam Khomeni dikenal sebagai ulama yang sangat revolusioner.
Muthahhari, Selagi mahasiswa, selain
minat pada pengajaran agama, filsafat tak luput ia pelajari. Guru utama yang
mengajarinya filsafat adalah Allamah Thabathabai. Muthahhari, sangat mengenal berbagai
macam aliran filsafat Islam maupun barat. Dalam pemikiran barat, ia mendalami
aliran filsafat sejak Aristoteles hingga Satre. Ia menjajaki pikiran-pikiran
Sigmun Freud, Albert Enstein, Erich Froom, Wiliam James, Alexis Carel, Kalr
Marx, Bertrand Russel, dan pemikir-pemikir lainnya di barat.
Di asuh dalam lingkungan pesantren—hausa Qum, Muthahhari tampil berbeda
dengan sebagian cendekiawan pesantren yang belajar Barat. Sebagian mereka
terkesan rendah diri—lalu menerima secara lantang serta mengutip
pikiran-pikiran Barat—pada lain sisi, merasa malu menyebut pemikir islam.
Muthahhari tidak demikian. Ia tampil dengan pikiran Islam dengan fasih. Bahkan
pikiran Islam yang ia miliki dijadikan “alat” untuk melakukan kritik terhadap
pemikiran Barat. Islam yang dijadikan alas mengkritik dimaksud disini bukanlah
Islam dogmatis yang skiriptualis—akan tetapi islam yang filosofis yang tentunya
melibatkan akal dalam penemuanya.
Setelah membaca beberapa karyanya,
bagi saya, pada diri Murtadha Muthahhari, mungkin saja kita bisa belajar
tentang model intelektual yang
terbuka. Yang menghargai bukan hanya berbagai pemikiran dalam Islam. Ia model
Intelektual yang berani melakukan dialog dan kalau perlu menerima kebenaran dari
berbagai pemikiran non-Islam jika ada. Sebagai suatu bukti model intelektual
yang terbuka, pada suatu moment Muthahhari secara berkelakar, dan bisa saja
juga serius, dia berkata; “Mungkin Descartes pun akan masuk surga”.
Pada
prioritas intelektualnya, Jalaluddin Rakhmat bertutur, Muthahhari memang lebih
banyak ulama daripada filosof. Ia bukan datang untuk mengkritik saja namun ia
membimbing; bukan mendobrak, ia membangun. Otaknya yang cemerlang dan ilmunya
dapat memberikan kehidupan yang layak baginya. Tetapi, ia memilih badai
daripada damai. Selain pemikir, dalam sosok Muthahhari, kita juga akan
menemukan aktivisme. Seorang intelektual yang sejati. Dia melakukan “bunuh diri
kelas” guna mewujudkan ide atau pikirannya dalam realitas. Muthahhari,
merupakan seorang demonstran garda terdepan dalam menentang rezim tiran Shah. Dia merupakan salah satu
sosok yang terdepan mewujudkan revolusi Islam Iran. Dengan demikian,
Muthahhari, pada satu sisi adalah “man of analysis”, sisi lain, ia adalah “man of action” .
Muthahhari,
sejatinya adalah ulama yang intelektual dalam abad ke-20. Ia adalah model
sarjana yang telah memadukan dalam diri pribadinya; akar Islam tradisional yang
kokoh, mengusai filsafat, menguasai ilmu-ilmu modern; teknologi informasi,
berkarya dan bekerja nyata dibidang sosial sebagai aktivis islam, yang sangat
jarang ditemui pada sarjana lain. Pada
intinya ia adalah pribadi yang kompleks yang tentunya bukan berati tak punya
kekurangan.
Muthahhari,
sebagai seorang pejuang, maka hal yang wajar jika ia memiliki musuh. Pada suatu
malam, sepulang dari pertemuan penting yang menyangkut urusan ummat. Sekelompok
pemuda lengkap dengan persenjataan yang tentunya telah dibutahkan dengan
kebencian. Tanpa melihat segudang ilmu pada orang tua yang bercambang itu, ia dihujani
peluruh. Tubuh Muthahhari tercabik-cabik. Ia meninggal, kematiannya menyisahkan
kepedihan. Namun mungkin dengan itu, sebagaimana arti dari namanya Muthahhari;
“yang disucikan” merupakan jalan meraih kesuciannya yang sejati.
Sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Al-Marhabi yang mengisahkan bahwa “nanti di hari
kiamat, darah syuhada—orang-orang
yang mati syahid di 'jalan' Tuhannya—dan
tinta ulama—orang-orang berilmu—akan ditimbang. Saat momen itu tiba, akan ada episode
yang mencengangkan, yaitu tinta ulama lebih 'berat'—lebih mulia—daripada
darah syuhada”.
Tapi Muthahhari berada dalam keduanya. Muthahhari lahir lalu berjihad kemudian
Syahid.
No comments:
Post a Comment