Wednesday, December 2, 2015

Oleh: Asran Salam Dengan ingatan yang tersisa,   kala itu, akhir tahun 2003 menjelang pergantian tahun. Saat itu, saya, masih berst...

Muthahhari

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Dengan ingatan yang tersisa,  kala itu, akhir tahun 2003 menjelang pergantian tahun. Saat itu, saya, masih berstatus mahasiswa baru tepatnya ingin memasuki semester tiga. Nuansa kampus kala itu—­walau tidak semua mahasiswa memilih—begitu riuh dengan aktivisme; diskusi, debat, membaca, nonton film, kritik, protes. Mungkin saja perilaku aktivisme mahasiswa merupakan sisa-sisa semangat gerakan reformasi 98.

Walau dikatakan sisa-sisa gerakan reformasi, saya, tetap merasa sangat beruntung berada pada zaman itu. Karena kampusnya penuh dengan atmosfir intelektual. Tentunya kondisi itu, membuat saya terpicu dan terpacu mengikuti pola yang ada. Waktu itu, akhirnya saya mulai kerasukan minat baca. Karena, konon mustahil bisa menjadi aktivis sejati bila tidak bersentuhan dengan buku-buku. Dengan bacaan yang kita punya, menjadi amunisi untuk berdiskusi, mendedah masalah, menemukan solusi dan yang terpenting sebagai penguat diri.

Pada waktu saya belajar menjadi pembaca yang serius, seorang teman akhirnya meminjamkan bukunya kepadaku. Tentunya dengan senang hati saya menerima. Melihat judulnya, awalnya saya tidak terlalu tertarik dengan buku yang disuguhkan. Tapi karena salah satu syarat jika ingin menjadi aktivis yang intelek atau menjadi pembelajar yang sejati; tidak boleh pilih-pilih dalam bacaan. Kalau bisa semua jenis buku harus dibaca.


Fitrah judul buku tersebut. Buku itu merupakan terjemahan dari buku al-fitrah karya Murtdha Muthahhari. Di rumah kontrakan—­tepatnya kos-kos-an saya—buku itu mulai saya baca. Sebagaimana judulnya; Fitrah, maka diawal buku tersebut, kita akan bertemu dengan penjelasan yang gamblang tentang apa itu fitrah. Selanjutnya, yang bagiku paling menarik dari buku tersebut, ketika sang penulis mengulas dan mengkritik beberapa teori kemunculan agama. Feuerbach, Auguste Comte, Karl Marx, Marxisme, Durkheim, mereka memiliki sekelumit teori tentang kemunculan agama. Semua tokoh Barat tersebut, bisa dibilang memandang agama sebagai sesuatu yang negatif dan bahkan tidak penting yang akan ditinggalkan oleh ummat manusia. Namun sekelompok tokoh itulah yang menjadi sasaran kritik Muthahhari. Dengan argumentasi yang filosofis, Muthahhari, mengulas kelemahan-kelemahan argumentasi para pemikir Barat tersebut.

Melalui buku fitrah itu, kemudian saya mulai memiliki ketertarikan untuk mengetahui lebih jauh lagi pikiran-pikirannya. Bagiku kala itu, setidaknya saya menemukan jawaban bahwa ternyata agama itu sangat rasional. Perasaan menemukan jawaban itu lahir, mungkin saja tidak terlepas dari pelajaran agama yang saya terima sewaktu di Madrasah. Di Madrasah pelajaran agama yang saya terima cenderung dogmatis. Tak ada tanya dalam agama. Terima saja apa yang telah disampaikan oleh Tuhan melalui al-Quran—sangat skiriptualis.

Rasa penasaran tentang pikiran Muthahhari, akhirnya mengantarkanku menemukan beberapa karyanya. Saya membaca, berupaya menulusuri siapa dia dan akhirnya saya menemukan;

Murtadha Muthahhari, lahir 2 Februari 1919 di Khurasan. Ayahnya sarjana agama Hujjatul Islam Muhammad Husein yang dikenal alim dan sangat dikagumi serta dihormati.  Pada usia 12 tahun, ia hijrah ke kota Qum. Di sana, dia belajar dibawah bimbingan dua Ayatullah; Borojourdi dan Khomeni. Kedua gurunya tersebut sangat terkenal dengan pengajaran agama tradisionalnya serta irfan—gnosis. Selain itu, khususnya imam Khomeni dikenal sebagai ulama yang sangat revolusioner.

Muthahhari, Selagi mahasiswa, selain minat pada pengajaran agama, filsafat tak luput ia pelajari. Guru utama yang mengajarinya filsafat adalah Allamah Thabathabai. Muthahhari, sangat mengenal berbagai macam aliran filsafat Islam maupun barat. Dalam pemikiran barat, ia mendalami aliran filsafat sejak Aristoteles hingga Satre. Ia menjajaki pikiran-pikiran Sigmun Freud, Albert Enstein, Erich Froom, Wiliam James, Alexis Carel, Kalr Marx, Bertrand Russel, dan pemikir-pemikir lainnya di barat. 

Di asuh dalam lingkungan pesantren—hausa Qum, Muthahhari tampil berbeda dengan sebagian cendekiawan pesantren yang belajar Barat. Sebagian mereka terkesan rendah diri—lalu menerima secara lantang serta mengutip pikiran-pikiran Barat—pada lain sisi, merasa malu menyebut pemikir islam. Muthahhari tidak demikian. Ia tampil dengan pikiran Islam dengan fasih. Bahkan pikiran Islam yang ia miliki dijadikan “alat” untuk melakukan kritik terhadap pemikiran Barat. Islam yang dijadikan alas mengkritik dimaksud disini bukanlah Islam dogmatis yang skiriptualis—akan tetapi islam yang filosofis yang tentunya melibatkan akal dalam penemuanya.

Setelah membaca beberapa karyanya, bagi saya, pada diri Murtadha Muthahhari, mungkin saja kita bisa belajar tentang model intelektual yang terbuka. Yang menghargai bukan hanya berbagai pemikiran dalam Islam. Ia model Intelektual yang berani melakukan dialog dan kalau perlu menerima kebenaran dari berbagai pemikiran non-Islam jika ada. Sebagai suatu bukti model intelektual yang terbuka, pada suatu moment Muthahhari secara berkelakar, dan bisa saja juga serius, dia berkata; “Mungkin Descartes pun akan masuk surga”.

Pada prioritas intelektualnya, Jalaluddin Rakhmat bertutur, Muthahhari memang lebih banyak ulama daripada filosof. Ia bukan datang untuk mengkritik saja namun ia membimbing; bukan mendobrak, ia membangun. Otaknya yang cemerlang dan ilmunya dapat memberikan kehidupan yang layak baginya. Tetapi, ia memilih badai daripada damai. Selain pemikir, dalam sosok Muthahhari, kita juga akan menemukan aktivisme. Seorang intelektual yang sejati. Dia melakukan “bunuh diri kelas” guna mewujudkan ide atau pikirannya dalam realitas. Muthahhari, merupakan seorang demonstran garda terdepan dalam menentang  rezim tiran Shah. Dia merupakan salah satu sosok yang terdepan mewujudkan revolusi Islam Iran. Dengan demikian, Muthahhari,  pada satu sisi adalah “man of analysis”,  sisi lain, ia adalah “man of action” .    

Muthahhari, sejatinya adalah ulama yang intelektual dalam abad ke-20. Ia adalah model sarjana yang telah memadukan dalam diri pribadinya; akar Islam tradisional yang kokoh, mengusai filsafat, menguasai ilmu-ilmu modern; teknologi informasi, berkarya dan bekerja nyata dibidang sosial sebagai aktivis islam, yang sangat jarang ditemui pada sarjana lain.  Pada intinya ia adalah pribadi yang kompleks yang tentunya bukan berati tak punya kekurangan.

Muthahhari, sebagai seorang pejuang, maka hal yang wajar jika ia memiliki musuh. Pada suatu malam, sepulang dari pertemuan penting yang menyangkut urusan ummat. Sekelompok pemuda lengkap dengan persenjataan yang tentunya telah dibutahkan dengan kebencian. Tanpa melihat segudang ilmu pada orang tua yang bercambang itu, ia dihujani peluruh. Tubuh Muthahhari tercabik-cabik. Ia meninggal, kematiannya menyisahkan kepedihan. Namun mungkin dengan itu, sebagaimana arti dari namanya Muthahhari; “yang disucikan” merupakan jalan meraih kesuciannya yang sejati.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Marhabi yang mengisahkan bahwa “nanti di hari kiamat, darah syuhadaorang-orang yang mati syahid di 'jalan' Tuhannyadan tinta ulamaorang-orang berilmuakan ditimbang. Saat momen itu tiba, akan ada episode yang mencengangkan, yaitu tinta ulama lebih 'berat'lebih muliadaripada darah syuhada”. Tapi Muthahhari berada dalam keduanya. Muthahhari lahir lalu berjihad kemudian Syahid. 

No comments:

Post a Comment