Tuesday, December 1, 2015

Oleh: Asran Salam Barangkali tak luput dari ingatan kita tentang Uni Soviet. Sebuah n egara adidaya yang pernah ada. Negara yang ku...

Dari Iran dengan Filsafat

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Barangkali tak luput dari ingatan kita tentang Uni Soviet. Sebuah negara adidaya yang pernah ada. Negara yang kukuh dengan konsep sosialisme-komunismenya. Pada 26 Desember 1991 ternyata merupakan akhir dari negara tersebut. Banyak analisis bermunculan tentang keruntuhannya. Setidaknya diantara analisis itu, salah satu yang akan kita temui bahwa Michael Gorbachev, menerapkan ide pembaharuan. Restrukturisasi melalui glasnot (keterbukaan) dan perestroika (demokratisasi) yang bertentangan dengan paham marxisme.

Yang lain melihat bahwa jatuhnya Soviet, tak lain karena telah meninggalkan Tuhan. Soviet katanya, ingin menciptakan generasi murni komunis. Generasi manusia yang harus menjadi raja atau penguasa atas nasibnya sendiri. Manusia yang harus menjadi penguasa atas jiwanya sendiri. Generasi manusia yang sama sekali tidak mengggantungkan harap dan percayanya kepada Tuhan sebagaimana diajarkan oleh agama.

Barangkali analisis di atas itu benar. Faktanya memang Uni Soviet telah menjadi sejarah. Bagi kaum marxis, kini ia hanya menjadi ingatan bawah sadar akan tatanan yang ideal yang pernah ada. Uni Soviet kini menjadi artefak. Pada saat itu, barangkali Michael Gorbachev, merasakan betul bahwa betapa tidak menyenangkanya sebuah kehancuran.

Selain itu, dari semua cerita tentang Soviet, ada suatu hal yang menarik. Yang mungkin saja luput  untuk kita cermati. Konon ketika Soviet diambang kehancurannya, Imam Khomeni, seorang pemimpim dari dunia Islam mengirimkan surat kepada Gorbachev. Isi surat itu bukanlah sebuah perjanjian damai. Bukan pula permohonan untuk menjalin kerjasama antara dua negara. Tapi, surat itu semacam saran agar sarjana Soviet belajar filsafat—lebih tepatnya filsafat Islam. Berikut kutipan surat Imam Khomeni untuk Gorbachev yang penulis kutip dari pengantar buku Kearifan Puncak Mulla Sadra oleh Jalaluddin Rakhmat;


“Jika Yang Mulia (Gorbachev) ingin melakukan penelitian mengenai persoalan ini, Yang Mulia dapat memerintahkan para sarjana untuk menelaah-disamping buku-buku filsafat Barat-tulisan Al-Farabi dan Ibn Sina dalam filsafat parepatetik…….Tulisan Suhrwardi tentang filsafat isyraqiyah dapat ditelaah. Dengan bagus sekali ia menjelaskan kenyataan bahwa materi dan setiap objek material memerlukan ‘cahaya’ murni, yang benar-benar bebas dari semua sensibilitas, dan bahwa konsepsi esensi manusia yang intuitif secara pasti mengatasi pengalaman indra. Yang mulia juga dapat menyuruh para sarjana menelaah karya besar dari Shadr Al-Muta’allihin tentang hikma muta’aliyah. Sehingga jelaslah bagi Yang Mulia bahwa pengetahuan dalam hakikatnya benar-benar terpisah dari materi dan karena itu, tidak terikat oleh hukum-hukum materi”  

Demikian kutipan surat Imam Khomeni untuk Gorbachev itu. Melalui Gorbachev, Imam Khomeni melakukan kritik. Mengkritik paradigma materialisme yang berkembang di Soviet dan Barat pada umumnya kala itu. Melalui surat itu, Imam Khomeni sepertinya menyampaikan pesan bahwa sebuah bangsa atau negara, bila ditegakkan dengan paradigma materialisme, maka sebenarnya kita telah membuatkan jalan kehancuran untuknya.

Imam Khomeni, melalui secarik kertas yang berisi tentang pentingnya filsafat, mungkin saja ingin menyampaikan bahwa baiknya sebuah negara, bila ia dibangun dengan asumsi filosofis yang ketat dan tak hanya beroreantasi pada dunia. Barangkali bagi Khomeni bahwa negara hadir tidak sekedar hanya mengatur proses hidup rakyatnya di dunia. Bukan pula negara hanya berfungsi sebagai distribusi ekonomi yang adil seperti anggapan Gramsci. Tapi mungkin saja, ia melihat bahwa negara adalah medium berkumpul meneggakan keadilan, kesetaraan untuk hidup di dunia pasca dunia.

Bagi Khomeni, ada cita-cita negara yang lebih dari hanya sekedar penetapan regulasi dalam pemenuhan akan kebutuhan dunia. Tapi kebutuhan dunia untuk apa? Jika segalanya telah terpenuhi lalu hidup untuk apa lagi? Karena Imam Khomeni tumbuh dan besar dalam “doktrin-doktrin” agama serta perenungan filosofis, Mungkin saja baginya, negara merupakan wadah untuk mencapai yang lebih tinggi dan tertinggi yang melibihi dunia. Pemenuhan kebutuhan hanya semacam alat untuk mempersiapkan diri menempu hidup yang abadi.
Jalan bernegara bisa saja merupakan proses untuk kita menjadi manusia. Bernegara barangkali merupakan arena untuk berlomba-lomba meng-aktual-kan nilai-nilai ilahi. Menjadi khalifa yang sejati. Dengan itu, saran Khomeni tentang perlunya memepelajari filsafat Ibnu Arabi, Sina, Suhrawardi serta Mulla Sadra agar kita punya pandangan dunia dimana hal-hal yang inmaterial tak dinafikkan hatta dalam bernegara.

Saran Khomeni untuk Gorbachev, tentunya tak lepas dari pengamatan bahwa Uni Soviet telah menafikkan hal-hal inmaterial dalam bernegara. Dan yang lain, bisa saja saran Khomeni tidak hanya berlaku pada Gorbachev. Akan tetapi juga untuk negara-negara yang sama persis dengan Uni Soviet di zaman kita. Bisa saja rakyat Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam perlu untuk merenungkannya. Bukankan yang menjadi penyebab kemunduran Islam, konon karena telah meninggalkan filsafat. Karena umat islam telah mengharamkan belajar filsafat. Padahal dalam catatan sejarah, tidakkah filsafat punya peran penting dalam membangun peradaban Islam? Mungkin Khomeni memahami betul akan sejarah tersebut hingga di Iran, filsafat menjadi hal yang penting dalam membangun peradaban negara dan umatnya.    

# Tulisan ini pernah dimuat di kolom Literasi Tempo.

No comments:

Post a Comment