Oleh: Asran Salam
Barangkali tak
luput dari ingatan kita tentang Uni Soviet. Sebuah negara adidaya
yang pernah ada. Negara yang kukuh dengan konsep sosialisme-komunismenya. Pada 26 Desember 1991
ternyata merupakan akhir dari negara tersebut. Banyak analisis bermunculan
tentang keruntuhannya. Setidaknya diantara analisis itu, salah satu yang akan
kita temui bahwa Michael Gorbachev, menerapkan ide
pembaharuan. Restrukturisasi melalui glasnot (keterbukaan) dan perestroika (demokratisasi)
yang bertentangan dengan paham marxisme.
Yang lain melihat bahwa jatuhnya Soviet, tak lain
karena telah meninggalkan Tuhan. Soviet katanya, ingin menciptakan
generasi murni komunis. Generasi manusia yang harus menjadi raja atau penguasa
atas nasibnya sendiri. Manusia yang harus menjadi penguasa atas jiwanya
sendiri. Generasi manusia yang sama sekali tidak mengggantungkan harap dan
percayanya kepada Tuhan sebagaimana diajarkan oleh agama.
Barangkali analisis di atas itu benar.
Faktanya memang Uni Soviet telah menjadi sejarah. Bagi kaum marxis, kini ia
hanya menjadi ingatan bawah sadar akan tatanan yang ideal yang pernah ada. Uni
Soviet kini menjadi artefak. Pada saat itu, barangkali Michael
Gorbachev, merasakan betul bahwa betapa tidak menyenangkanya sebuah
kehancuran.
Selain itu, dari
semua cerita tentang Soviet, ada suatu hal yang menarik. Yang mungkin saja
luput untuk kita cermati. Konon ketika
Soviet diambang kehancurannya, Imam Khomeni, seorang pemimpim dari dunia Islam
mengirimkan surat kepada Gorbachev. Isi surat itu bukanlah sebuah perjanjian
damai. Bukan pula permohonan untuk menjalin kerjasama antara dua negara. Tapi, surat itu semacam
saran agar sarjana Soviet belajar filsafat—lebih tepatnya filsafat Islam. Berikut kutipan surat Imam Khomeni untuk Gorbachev yang penulis
kutip dari pengantar buku Kearifan Puncak
Mulla Sadra oleh Jalaluddin Rakhmat;
“Jika Yang Mulia (Gorbachev)
ingin melakukan penelitian mengenai persoalan ini, Yang Mulia dapat
memerintahkan para sarjana untuk menelaah-disamping buku-buku filsafat
Barat-tulisan Al-Farabi dan Ibn Sina dalam filsafat parepatetik…….Tulisan Suhrwardi
tentang filsafat isyraqiyah dapat ditelaah. Dengan bagus sekali ia menjelaskan
kenyataan bahwa materi dan setiap objek material memerlukan ‘cahaya’ murni,
yang benar-benar bebas dari semua sensibilitas, dan bahwa konsepsi esensi
manusia yang intuitif secara pasti mengatasi pengalaman indra. Yang mulia juga
dapat menyuruh para sarjana menelaah karya besar dari Shadr Al-Muta’allihin
tentang hikma muta’aliyah. Sehingga jelaslah bagi Yang Mulia bahwa
pengetahuan dalam hakikatnya benar-benar terpisah dari materi dan karena itu,
tidak terikat oleh hukum-hukum materi”
Demikian kutipan
surat Imam Khomeni untuk Gorbachev itu. Melalui Gorbachev, Imam Khomeni
melakukan kritik. Mengkritik paradigma materialisme yang berkembang di Soviet dan
Barat pada umumnya kala itu. Melalui surat itu, Imam Khomeni sepertinya
menyampaikan pesan bahwa sebuah bangsa atau negara, bila ditegakkan dengan paradigma
materialisme, maka sebenarnya kita telah membuatkan jalan kehancuran untuknya.
Imam Khomeni,
melalui secarik kertas yang berisi tentang pentingnya filsafat, mungkin saja ingin menyampaikan bahwa baiknya
sebuah negara,
bila ia dibangun dengan asumsi filosofis yang ketat dan tak hanya beroreantasi
pada dunia. Barangkali bagi Khomeni bahwa negara hadir tidak sekedar hanya mengatur
proses hidup rakyatnya di dunia. Bukan pula negara hanya berfungsi sebagai distribusi
ekonomi yang adil seperti anggapan Gramsci. Tapi mungkin saja, ia melihat bahwa
negara adalah
medium berkumpul meneggakan keadilan, kesetaraan untuk hidup di dunia pasca dunia.
Bagi Khomeni, ada
cita-cita negara
yang lebih dari hanya sekedar penetapan regulasi dalam pemenuhan akan kebutuhan
dunia. Tapi kebutuhan dunia untuk apa? Jika segalanya telah terpenuhi lalu
hidup untuk apa lagi? Karena Imam Khomeni tumbuh dan besar dalam “doktrin-doktrin” agama serta
perenungan filosofis, Mungkin saja baginya, negara merupakan wadah untuk mencapai yang
lebih tinggi dan tertinggi yang melibihi dunia. Pemenuhan kebutuhan hanya
semacam alat untuk mempersiapkan diri menempu hidup yang abadi.
Jalan bernegara
bisa saja merupakan proses untuk kita menjadi manusia. Bernegara barangkali
merupakan arena untuk berlomba-lomba meng-aktual-kan nilai-nilai ilahi. Menjadi
khalifa yang sejati. Dengan itu, saran Khomeni tentang perlunya memepelajari
filsafat Ibnu Arabi, Sina, Suhrawardi serta Mulla Sadra agar kita punya
pandangan dunia dimana hal-hal yang inmaterial tak dinafikkan hatta dalam
bernegara.
Saran Khomeni
untuk Gorbachev, tentunya tak lepas dari pengamatan bahwa Uni Soviet telah
menafikkan hal-hal inmaterial dalam bernegara. Dan yang lain, bisa saja saran
Khomeni tidak hanya berlaku pada Gorbachev. Akan tetapi juga untuk
negara-negara yang sama persis dengan Uni Soviet di zaman kita. Bisa
saja rakyat Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam perlu untuk merenungkannya. Bukankan yang
menjadi penyebab kemunduran Islam, konon karena telah meninggalkan filsafat. Karena umat islam telah
mengharamkan belajar filsafat. Padahal dalam catatan sejarah, tidakkah filsafat
punya peran penting dalam membangun peradaban Islam? Mungkin Khomeni memahami
betul akan sejarah tersebut hingga di Iran, filsafat menjadi hal yang penting
dalam membangun peradaban negara dan umatnya.
# Tulisan ini
pernah dimuat di kolom Literasi Tempo.
No comments:
Post a Comment