Tuesday, December 1, 2015

Oleh: Asran Salam Dr. Alexis Carrel, seorang filsuf dan dokter ahli bedah berkebangsaan Prancis, pernah menulis buku La Preire ( ...

Doa, Rayuan untuk Tuhan

No comments:
 


Oleh: Asran Salam
Dr. Alexis Carrel, seorang filsuf dan dokter ahli bedah berkebangsaan Prancis, pernah menulis buku La Preire (Doa). Mengatakan bahwa, doa sesuatu yang tak boleh diabaikan. Mengabaikan doa dan tata caranya adalah petanda kehancuran suatu bangsa. Masyarakat yang mengabaikan doa kepada Tuhan, adalah masyarakat yang berada diambang kemunduran dan kehancuran. Roma adalah bangsa yang agung. Namun, Roma pernah mengalami kehinaan dan keterpurukan serta kelemahan ketika doa tak lagi menjadi ritus yang intens. Di suatu momen penelitian, berdasarkan data statistik ditemukan bahwa para pelaku kriminal pada umumnya, adalah orang-orang yang sama sekali tak pernah atau jarang-jarang berdoa. Sebaliknya, orang yang sering berdoa terhindar dari berbuat kriminal, walaupun kondisi yang menimpanya secara sosial memberi peluang untuk melakukan kriminal. Setidaknya, orang yang sering berdoa tidak menjadikan kriminal sebagai pekerjaanya.


Lalu, bagaimanakah mekanisme doa itu dibangun? Pada tanya ini, Alexis Carrel, memberikan jawaban begitu sederhana bahwa doa seharusnya berakar dari kekuatan, kesinambungan, dan keikhlasan. Demikian pula, ia harus berasal dari hati yang spontan dan bergairah.  Pesan Alexis Carrel ini,  jauh hari agama sudah mewantinya. Doa berasal dari kata da’a, yad’u, du’a’an atau da’watan yang memiliki arti memanggil, seruan atau undangan. Jadi prinsipnya, berdoa merupakan tindakan untuk memanggil Tuhan. Dengan berdoa, kita sedang mengundang Tuhan untuk hadir dalam bilik-bilik qalbu kita agar ia dipenuhi cahaya Ilahi. Bila memanggil orang tua kita saja, kita berupaya memilih bahasa yang sopan dan layak. Begitu pun bila memanggil kekasih kita, tidak tanggung-tanggung kita memanggilnya dengan kata atau bahasa yang mesra.

Lalu, bagaimana dengan Tuhan?Tentunya bahasa atau kata yang digunakan selayaknya melibihi bahasa atau kata yang digunakan kepada ibu atau kekasih kita. Sudah sepatutnya sanjungan, segala pujian, kemesraan kita gunakan. Bukan dengan kata atau bahasa yang cenderung memerintah Tuhan seperti menjadikan Dia pembantu kita. Konon, doa yang paling tinggi adalah doa yang penuh cinta. Doa dengan segala bujuk rayu yang mesra. Doa yang tinggi adalah penuh dengan kerelaan. Seperti kerelaan Layla kepada Majnun, “Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Aku tidak meminta apa pun kecuali engkau mengenang bahwa di satu tempat ada seseorang yang sekiranya tubuhnya dicabik-cabik oleh binatang buas dia tetap menyebut namamu” Doa yang tinggi tak membawa hasrat pribadi kepada Tuhan secara mendesak dan memaksa.

Imam Ali Zainal Abidin, cucu Rasulullah Saw, pernah mencontohkan doa yang patut kita lantunkan.“Perjumpaan dengan-Mu kesejukkan hatiku, Pertemuan dengan-Mu kecintaanku, Kepada-Mu kerinduanku, Cintamu tumpuanku, Pada kekasihku gelora rinduku, Rindu-Mu tujuanku, Melihat-Mu keperluanku, Mendapingi-Mu keinginanku, Mendekat kepada-Mu puncak permohonanku”. Lantunan doa ini, tak mudah dituturkan kepada Tuhan bagi orang awam, bagi orang kebanyakan seperti saya. Doa semacam ini biasanya dibilangkan oleh orang-orang tak lagi punya keinginan selain kepada Tuhan semata. Doa seperti ini, diutarakan oleh orang yang tak lagi punya syarat selain “penyatuan” dengan Tuhan.

Seorang sufi perempuan, kelahiran Basrah—Iraq, konon tidak memilih menikah karena tak mau membagi cintanya kepada yang lain. Cintanya hanya untuk Tuhan. Rabi’ah Binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah nama sufi itu. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Rabiatul Adawiyah. Di saban hari berdoa kepada Tuhan.“Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukkalah aku ke dalam neraka itu, dan besarkan tubuhku di neraka itu, sehingga tidak ada tempat lagi di neraka buat hamba-hamba-Mu yang lain. Tuhanku, kalau aku menyembah-Mu karena menginginkan surga-Mu, berikan surga itu kepada hamba-hama-Mu yang lain, bagiku Engkau saja sudah cukup”.

Doa yang sejati memang doa yang dilandasi dengan cinta kasih. Dan cinta sejati kita semua mafhun adalah cinta yang tak menginginkan syarat. Cinta itu bukan “karena”, sebab ia pasti beryarat. Akan tetapi cinta itu “walaupun”, sebab di sanalah cinta menjadi kerelaan, pengorbanan dan peleburan. Seperti kata John D Caputo, bahwa cinta kasih bukanlah tawar menawar, melainkan pemberian diri yang tak bersyarat; bukan investasi demi masa depan, melainkan komitmen pada apa pun yang akan terjadi di masa depan. Para pecinta adalah mereka yang melampui sekadar kewajiban, yang mencari cara-cara lain untuk melakukan sesuatu melebihi yang diharapkan darinya.

Doa yang penuh dengan cinta adalah doa menembus langit dan membuka tabir ketuhanan. Doa yang sesungguhnya, adalah upaya menarik cahaya Ilahi menghinggapi qalbu kita yang kering. Doa seperti halnya cinta, adalah cahaya yang terang benderang yang menerangi kegelapan. Seperti uangkapan Jalaluddin Rumi dalam mastnawi nya, “Bintang-bintang itu mulai menari di bawah naungan Cinta, lantas menjelma seakan bulan purnama yang terang benderang”.Dan begitulah doa menjadi medium menerangi diri yang fana dan hampa dengan jalan “mengundang” Tuhan berahta ke dalam diri.                    


*Tulisan ini pernah dimuat di kolom Literasi Tempo.

No comments:

Post a Comment