Oleh: Asran Salam
Dr. Alexis
Carrel, seorang filsuf dan dokter ahli bedah berkebangsaan Prancis, pernah
menulis buku La Preire (Doa).
Mengatakan bahwa, doa sesuatu yang tak boleh diabaikan. Mengabaikan doa dan
tata caranya adalah petanda kehancuran suatu bangsa. Masyarakat yang mengabaikan
doa kepada Tuhan, adalah masyarakat yang berada diambang kemunduran dan
kehancuran. Roma adalah bangsa yang agung. Namun, Roma pernah mengalami
kehinaan dan keterpurukan serta kelemahan ketika doa tak lagi menjadi ritus
yang intens. Di suatu momen penelitian, berdasarkan data statistik ditemukan
bahwa para pelaku kriminal pada umumnya, adalah orang-orang yang sama sekali
tak pernah atau jarang-jarang berdoa. Sebaliknya, orang yang sering berdoa
terhindar dari berbuat kriminal, walaupun kondisi yang menimpanya secara sosial
memberi peluang untuk melakukan kriminal. Setidaknya, orang yang sering berdoa
tidak menjadikan kriminal sebagai pekerjaanya.
Lalu, bagaimanakah
mekanisme doa itu dibangun? Pada tanya ini, Alexis Carrel, memberikan jawaban begitu
sederhana bahwa doa seharusnya berakar dari kekuatan, kesinambungan, dan
keikhlasan. Demikian pula, ia harus berasal dari hati yang spontan dan
bergairah. Pesan Alexis Carrel ini, jauh hari agama sudah mewantinya. Doa berasal
dari kata da’a, yad’u, du’a’an atau da’watan
yang memiliki arti memanggil, seruan atau undangan. Jadi prinsipnya, berdoa
merupakan tindakan untuk memanggil Tuhan. Dengan berdoa, kita sedang mengundang
Tuhan untuk hadir dalam bilik-bilik qalbu kita agar ia dipenuhi cahaya Ilahi.
Bila memanggil orang tua kita saja, kita berupaya memilih bahasa yang sopan dan
layak. Begitu pun bila memanggil kekasih kita, tidak tanggung-tanggung kita memanggilnya
dengan kata atau bahasa yang mesra.
Lalu, bagaimana
dengan Tuhan?Tentunya bahasa atau kata yang digunakan selayaknya melibihi
bahasa atau kata yang digunakan kepada ibu atau kekasih kita. Sudah sepatutnya
sanjungan, segala pujian, kemesraan kita gunakan. Bukan dengan kata atau bahasa
yang cenderung memerintah Tuhan seperti menjadikan Dia pembantu kita. Konon,
doa yang paling tinggi adalah doa yang penuh cinta. Doa dengan segala bujuk
rayu yang mesra. Doa yang tinggi adalah penuh dengan kerelaan. Seperti kerelaan
Layla kepada Majnun, “Aku turut
berbahagia atas pernikahanmu. Aku tidak meminta apa pun kecuali engkau
mengenang bahwa di satu tempat ada seseorang yang sekiranya tubuhnya
dicabik-cabik oleh binatang buas dia tetap menyebut namamu” Doa yang tinggi
tak membawa hasrat pribadi kepada Tuhan secara mendesak dan memaksa.
Imam Ali
Zainal Abidin, cucu Rasulullah Saw, pernah mencontohkan doa yang patut kita
lantunkan.“Perjumpaan dengan-Mu kesejukkan
hatiku, Pertemuan dengan-Mu kecintaanku, Kepada-Mu kerinduanku, Cintamu
tumpuanku, Pada kekasihku gelora rinduku, Rindu-Mu tujuanku, Melihat-Mu
keperluanku, Mendapingi-Mu keinginanku, Mendekat kepada-Mu puncak permohonanku”.
Lantunan doa ini, tak mudah dituturkan kepada Tuhan bagi orang awam, bagi orang
kebanyakan seperti saya. Doa semacam ini biasanya dibilangkan oleh orang-orang
tak lagi punya keinginan selain kepada Tuhan semata. Doa seperti ini,
diutarakan oleh orang yang tak lagi punya syarat selain “penyatuan” dengan
Tuhan.
Seorang sufi
perempuan, kelahiran Basrah—Iraq, konon tidak memilih menikah karena tak mau
membagi cintanya kepada yang lain. Cintanya hanya untuk Tuhan. Rabi’ah Binti
Ismail al-Adawiyah al-Basriyah nama sufi itu. Namun, ia lebih dikenal dengan
nama Rabiatul Adawiyah. Di saban hari berdoa kepada Tuhan.“Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka,
masukkalah aku ke dalam neraka itu, dan besarkan tubuhku di neraka itu,
sehingga tidak ada tempat lagi di neraka buat hamba-hamba-Mu yang lain.
Tuhanku, kalau aku menyembah-Mu karena menginginkan surga-Mu, berikan surga itu
kepada hamba-hama-Mu yang lain, bagiku Engkau saja sudah cukup”.
Doa yang
sejati memang doa yang dilandasi dengan cinta kasih. Dan cinta sejati kita
semua mafhun adalah cinta yang tak menginginkan syarat. Cinta itu bukan “karena”,
sebab ia pasti beryarat. Akan tetapi cinta itu “walaupun”, sebab di sanalah
cinta menjadi kerelaan, pengorbanan dan peleburan. Seperti kata John D Caputo,
bahwa cinta kasih bukanlah tawar menawar, melainkan pemberian diri yang tak
bersyarat; bukan investasi demi masa depan, melainkan komitmen pada apa pun
yang akan terjadi di masa depan. Para pecinta adalah mereka yang melampui
sekadar kewajiban, yang mencari cara-cara lain untuk melakukan sesuatu melebihi
yang diharapkan darinya.
Doa yang penuh
dengan cinta adalah doa menembus langit dan membuka tabir ketuhanan. Doa yang
sesungguhnya, adalah upaya menarik cahaya Ilahi menghinggapi qalbu kita yang
kering. Doa seperti halnya cinta, adalah cahaya yang terang benderang yang
menerangi kegelapan. Seperti uangkapan Jalaluddin Rumi dalam mastnawi nya, “Bintang-bintang itu mulai menari di bawah naungan Cinta, lantas menjelma seakan bulan purnama yang
terang benderang”.Dan begitulah doa menjadi medium menerangi diri yang fana
dan hampa dengan jalan “mengundang” Tuhan berahta ke dalam diri.
*Tulisan ini pernah dimuat di kolom Literasi
Tempo.
No comments:
Post a Comment