Oleh: Asran Salam
Malam
semakin larut. Dan, aku masih saja dalam beban pikiran
yang tak jua hilang. Beban tentang keberadaanku
dalam masyarakat ini. Beban
tentang hidup yang kujalani selama ini. Rutinitas
keseharian seperti pekerjaan yang memestikan aku untuk tidak boleh absen. Aku
semakin sibuk dan resah terhadap berbagai urusan bisnis, konsumsi,
jasa, deadline. Semua itu,
tuntutan masyarakatku saat ini. Masyarakat yang menjanjikan kemajuan dengan
berbagai kemudahan fasilitas, dan aku
menemukan keseharianku berupaya untuk memburu kemudahan itu. Aku meleburkan
diri di dalamnya. Tapi,
semua itu, seakan telah merenggut sesuatu
dalam diriku. Aku merasakan ada yang semakin jauh.
Saat ini, aku
merasakan telah melupakan sesuatu karena kesibukan itu.
Keseharian dengan berupaya pemenuhan aksesoris hidup. Aku
merasa tidak memiliki kepercayaan jika tidak
memiliki aksesoris hidup seperti kosmetik, pakaian yang terbaru, rumah
yang mewah, kendaraan yang baru, pekerjaan dengan gajih yang melimpah. Aku
kini seperti manusia pengembara yang haus akan
produk-produk dan layanan baru.
Saat ini, aku
merasakan tidak memiliki waktu untuk diriku. Waktuku kini terserap
oleh hal-hal diluar diriku. Aku bahkan,
tidak memiliki lagi kepeduliaan. Aku menjadi manusia yang individualis. Aku
tidak peduli lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi karena aku sudah menganggapnya
tidak penting. Pada hal,
mungkin saja dalam peristiwa itu ada isyarat-isyarat Tuhan untuk diriku.
Bagaimana aku bisa memaknai peristiwa itu, bahwa
itu, adalah isyarat Tuhan,
sedangkan lain sisi, Tuhan sendiri telah aku “bunuh”
dengan keseharianku?
Kondisi
demikian, aku mungkin baiknya memilih agama untuk mengembalikan
diri yang terenggut oleh masyarakatku. Mengembalikan
perasaan yang semakin jauh. Mengembalikan
perasaan kehilangan akan diri dan beralih pada keheningan. Tapi,
apakah
agama memiliki ruang-ruang keheningan itu? Sepertinya aku
ragu. Jika melihat diriku yang menyatakan diri
beragama. Sebab, di sana aku temukan kebengisan,
kegoaan jadi lakonku atas nama agama. Kebenaran seakan hanya
milik aku. Aku membunuh dengan mengatas namakan agama.
Di sana,
aku juga tetap pada karakter individualis enggan berbagi terhadap sesama
seperti yang aku dalam masyarkat modern. Atau jangan-jangan agama adalah modern
itu sendiri yang sebenarnya bukanlah
dua entitas yang berbeda? Ataukah agama itu sendiri telah terbungkus dengan
arus modern sehingga hakikatnya juga tak tampak lagi dan susah untuk dikenali?
Tuhan maha sempurna, Tuhan maha benar, begitulah agama menggambarkan Tuhan, akan
tetapi, kini,
aku temukan diriku telah mengganti dan mengambil
alih ke-maha benaran, ke-maha sempunaan Tuhan. Aku merasa lebih “perkasa” dari
pada Tuhan
Sekali
lagi, kini aku berada dalam masyarakat ini. Masyarakat yang di bentuk
berawal dari abad pertengahan. Aku
terserap di dalamnya. Aku manusia modern
seperti dalam pandangan Tri
Wibowo B.S, dalam bukunya Gunung
Makrifat; “sudah terserap
dalam arus keseharian. Arus rutin ini membawa banyak sampah yang mendangkalkan
hidup, seperti sungai-sungai di kota besar yang semakin dangkal karena sampah
dan lumpur bertumpuk-tumpuk”. Aku kini telah terjerat dalam
sebuah arus yang menggiringku untuk melupakan akan keberadaaku. Mungkin,
kini aku telah berada pada Amnesia ontologis dalam istilah
Hedeigger.
Oleh karena
itu, sudah semestinya, aku mendengar anjuran Hedeigger bahwa; aku harus mulai meng-ada
yang menanyakan ada. Soal tanya itu, agar aku tidak kehilangan akan
asalku serta tujuan hidup yang hakiki. Bukankah hanya manusia yang bisa
menanyakan akan ada-nya dan ada yang lain? Tapi
apa yang terjadi pada diriku, aku melupakan semuanya. Aku menyamakan diriku
dengan ada yang lain, yang ontis (benda-benda). Bahkan
ironisnya, aku sudah terkontrol oleh
yang ontik (benda-benda) tersebut. Aku merasa sangat takut kehilangan
semua itu. Aku manusia yang seperti dikatakan Tri Wibowo B.S,
“selalu digiring untuk mendewakan kesenangan hidup”.
Takut kehilangan
benda-benda itu, tanpa kusadari telah
menghantarku pada kehilangan yang lebih penting. Aku
kehilangan identitas. Identitas yang sesungguhnya yang merupakan anugerah Ilahi.
Anugerah dalam bentuk atribut-atribut-NYA yang dititipkan kepadaku. Aku
menutupi semua itu dengan hasrat-hasrat duniawi. Aku
sebenarnya berada pada keramaian namun sepi. Aku tidak pernah merasakan
keheningan dan tak memperdulikan kata-kata Hedeigger perihal
ini bahwa, “keheningan
memiliki daya unik dan asli, yang hakiki. Keheningan tidak mengisolasi kita
dari keberadaan diri kita, tetapi mendekatkan eksistensi kita dengan hakikat
segala sesuatu. Kita menjadi dekat dengan diri kita”.
Mudah-mudahan aku akan
beranjak menuju penghayatan yang mendalam. Memberi
sedikit pada jiwa ruang keheningan agar aku tak lagi mendewakan kesenangan
hidup. Agar aku tak lagi berada pada
rutinitas keseharian yang menghantarku pada lupa dan menjadikanku sepi. Agar
aku tak lagi menjadi individualis. Agar
aku tak lagi mengabaikan peristiwa-peristiwa
kecil yang mungkin saja di sana
ada isyarat Tuhan. Agar
aku tak lagi mengambil ke-maha-nya Tuhan
untuk membunuh, menghakimi, menyesatkan orang
lain atas nama agama.
No comments:
Post a Comment