Tuesday, December 1, 2015

Oleh: Asran Salam Ketika salju turun dan badai sedang melanda, itulah waktu yang tepat untuk berfilsafat [Martin Heidegger] ...

Mimpi-Mimpi Descartes

No comments:
 


Oleh: Asran Salam

Ketika salju turun dan badai sedang melanda,
itulah waktu yang tepat untuk berfilsafat
[Martin Heidegger]

Jerman, ketika salju turun dengan derasnya. Dingin menjadi tak tertangguhkan. Menembus jaket hingga menusuk pori-pori.  Pada tiap rumah, menyalakan pendiangan merupakan sedikit cara untuk melawan dingin. Sementara itu di luar rumah, alam masih menyisahkan keindahan yang tetap menawan untuk dinikmati. Menikmati salju yang menempel pada dedaunan. Tetesannya mengisyaratkan bahwa pergantian musim telah terjadi.

Tanggal 10 November 1619. Kala itu, Eropa masih diterpa peperangan. Perang yang berkecamuk hingga tak sedikit melahirkan kegetiran. Dan tak ada yang tersisa selain perasaan terpuruk. Eropa masih berada pada puncak nasionalisme absurd. Kala itu, Descartes masih menjadi anggota pasukan sukarela Bavaria. Ia tak mengerti
akan perang ini. Menurutnya, perang ini untuk dan melawan siapa?

Descartes kala itu, bisa dipastikan mengalami keguncangan batin terhadap apa yang dialaminya. Tapi dalam dirinya masih tersisa bahwa hidup harus terus berlanjut. Baginya, hidup adalah pergumulan dan dunia merupakan tempat untuk membaca. Kitab yang segalanya tersedia. Di sini, pada dunia menjadi ruang hidup untuk terus bertanya. Dan Descartes melakukan itu. Ia terus bertanya-tanya pada setiap yang hadir dalam dirinya.

Descartes membuktikan, bahwa bertanya yang nantinya melahirkan perenungan ataupun sebaliknya adalah pilihan bagi manusia yang berakal.  Pada suatu malam, ketika ia sedang tertidur lelap hingga matahari tepat di ubun-ubun. Sebuah mimpi menghantui pikiranya. Menurut pengakuanya, mimpi itu hadir berturu-turut dan bersambungan sebanyak tiga kali. Pada mimpinya ia menemukan tanda; angin puting beliung, halilitar dan kertas yang terbakar. Descartes mulai menafsir, dan ia menemukan bahwa angin puting beliung yang menghempasnya adalah isyarat untuk ia segera mungkin menentukan pilihan tentang jalan hidup yang ditempuhnya.


Halilintar dengan sambaran lidah apinya, demikian Descartes adalah peringatan untuk secepat mungkin ia menentukan pilihan sebelum terlambat. Kertas yang terbakar semacam isyarat bahwa ia mesti memburu ilmu pengetahuan demi kebenaran. Karena mimpi itu, dan segala tafsir yang ia hadirkan. Akhirnya ia benar-benar memilih jalan. Mengikrarkan diri untuk mecari ilmu yang mutlak. Hingga menemukan metode yang baru. Metode yang akan memperjelas bagaimana pengetahuan yang baru dan semua yang telah ada menjadi pasti dan menyatu.

Bukanlah pencarian jika ia tak menemukan rintangan. Tidaklah mudah menyusun suatu yang baru, dan menampilkanya pada khalayak tanpa jalan terjal yang terlalui. Descartes mengalami jalan terjal itu. Ia merasa “frustasi” dan merasa tak berdaya dalam menyelesaikan impian proyektifnya. Karena perasaan demikian, Descartes menenggelamkan diri dalam kesenangan duniawi; berkelana, berjudi. Dan cara hidup itu pun berkakhir pada tahun 1628. Ia mulai menjauhi hidup glamor. Kini, ia banyak mengurung diri dalam kamar. Melakukan meditasi dan berdilog dengan pikiran-pikiranya.

Dalam bukunya, Discourse on Method, Descartes berujar “saya tidak tahu apakah saya perlu membahas meditasi-meditasi pertama yang saya lakukan di sana. Karena begitu abstrak dan di luar jangkauan kelaziman, sehingga mungkin tidak selaras dengan kegemaran setiap orang. Namun, agar orang dapat menilai apakah asas-asas yang saya letakkan sudah cukup kokoh, bagaimanapun saya wajib membicarakanya”

Dalam meditasinya, Descartes menemukan sebuah diktum bahwa “Aku berpikir maka aku ada” dan itulah yang ia ingin dibicarakan kepada kita semua. Memberikan ruang kepada kita untuk menilainya. Diktum Descartes mungkin tak salah bila kita menyebutnya sebagai pengenalan akan diri. Upaya untuk membangun relasi yang jelas antara pengetahuan dan eksistensi. Jika benar, barangkali Descartes ingin mengatakan bahwa sebuah pengetahuan perlu berangkat dari kesadaran akan diri yang hadir lebih awal. Karena tanpanya, pengetahuan tak mungkin hadir. Bila tak salah “berpikir” merupakan esensi atau kodrati manusia.

Dakunya; “Kenyataan bahwa saya meragukan segala sesuatu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa saya ada. Sebaliknya, sendainya saya berhenti berpikir, walaupun hal yang lain yang saya bayangkan memang benar ada, saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk menyatakan bahwa saya ada. Berdasarkan hal itu saya menyimpulkan bahwa saya adalah subtansi yang seluruh esensi atau kodratnya hanyalah berpikir dan untuk keberadaanya tidak memerlukan ruang sedikit pun, dan tidak bergantung pada benda materi apa pun. Dengan demikian “saya” ini, yakni jiwa- yang membuat saya ada sebagaimana adanya-sama sekali berlainan dengan badan”.

“Saya berpikir” bila tak keliru, merupakan aturan umum untuk  dapat menetapkan segala suatu yang kita tangkap sehingga ia menjadi jelas dan gamblang. Tidakkah memang suatu yang jelas dan gamblan tentunya perlu dan mungkin niscaya berangkat dari suatu yang jelas dan gamblang pula. sehingga mungkin saja kita dapat menyimpulkan bahwa “saya berpikir” suatu yang jelas dan terang  dengan sendirinya. Barangkali tidak salah bila “saya berpikir” merupakan suatu yang badhihi - suatu yang dikenali tanpa melaui proses berkpikir itu sendiri.

Descartes dalam diktum itu, sepertinya ingin menyampaikan bahwa setiap pengetahuan perlu berangkat suatu yang tak mungkin lagi salah-yang jelas dan terang. Dimana, yang tak mungkin salah itu menjadi prasayarat untuk pengetahuan yang yang lain [konsepsi] Sepertinya “saya berpikir” merupakan penemuan yang jenius  terhadap suatu yang tak mungkin salah. Jika kita mengalami keraguan akan “saya berpikir” pada saat yang sama “saya ragu” itu tanda bahwa kita sedang berpikir-“saya berpikir”

“Saya berpikir” mungkin bisa dikatakan sebagai ihwal ketetapan dari subyek untuk mengerti yang lain. Sebuah afirmasi untuk bangunan pengetahuan. Jika benar, “Saya berpikir” ibarat pondasi untuk sebuah rumah. Jika ilmu adalah cahaya, maka “Saya berpikir” bisa dibilang cahaya pertama pada diri manusia untuk menyerap cahaya selanjutnya. Bila tak ekstrim, manusia sejatihnya tak memiliki bangunan pengetahuan jika “Saya berpikir” tak miliki oleh manusia. Dan Descartes, mengingatkan kita akan hal itu. Mengajak kita untuk menyelami suatu yang inheren dalam diri kita sebelum melacak apa yang ada diluar diri.  


# Tulisan ini pernah dimuat di kolom Literasi Tempo

No comments:

Post a Comment