Oleh: Asran Salam
Ketika salju turun dan badai sedang melanda,
itulah waktu yang tepat untuk berfilsafat
[Martin Heidegger]
Jerman, ketika
salju turun dengan derasnya. Dingin menjadi tak tertangguhkan. Menembus jaket
hingga menusuk pori-pori. Pada tiap
rumah, menyalakan pendiangan merupakan sedikit cara untuk melawan dingin.
Sementara itu di luar rumah, alam masih menyisahkan keindahan yang tetap menawan
untuk dinikmati. Menikmati salju yang menempel pada dedaunan. Tetesannya
mengisyaratkan bahwa pergantian musim telah terjadi.
Tanggal 10 November
1619. Kala itu, Eropa masih diterpa peperangan. Perang yang berkecamuk hingga
tak sedikit melahirkan kegetiran. Dan tak ada yang tersisa selain perasaan
terpuruk. Eropa masih berada pada puncak nasionalisme absurd. Kala itu,
Descartes masih menjadi anggota pasukan sukarela Bavaria. Ia tak mengerti
akan perang ini.
Menurutnya, perang ini untuk dan melawan siapa?
Descartes kala
itu, bisa dipastikan mengalami keguncangan batin terhadap apa yang dialaminya. Tapi
dalam dirinya masih tersisa bahwa hidup harus terus berlanjut. Baginya, hidup
adalah pergumulan dan dunia merupakan tempat untuk membaca. Kitab yang
segalanya tersedia. Di sini, pada dunia menjadi ruang hidup untuk terus
bertanya. Dan Descartes melakukan itu. Ia terus bertanya-tanya pada setiap yang
hadir dalam dirinya.
Descartes
membuktikan, bahwa bertanya yang nantinya melahirkan perenungan ataupun
sebaliknya adalah pilihan bagi manusia yang berakal. Pada suatu malam, ketika ia sedang tertidur lelap hingga matahari
tepat di ubun-ubun. Sebuah mimpi menghantui pikiranya. Menurut pengakuanya,
mimpi itu hadir berturu-turut dan bersambungan sebanyak tiga kali. Pada mimpinya
ia menemukan tanda; angin puting beliung, halilitar dan kertas yang terbakar. Descartes
mulai menafsir, dan ia menemukan bahwa angin puting beliung yang menghempasnya
adalah isyarat untuk ia segera mungkin menentukan pilihan tentang jalan hidup
yang ditempuhnya.
Halilintar dengan
sambaran lidah apinya, demikian Descartes adalah peringatan untuk secepat
mungkin ia menentukan pilihan sebelum terlambat. Kertas yang terbakar semacam
isyarat bahwa ia mesti memburu ilmu pengetahuan demi kebenaran. Karena mimpi
itu, dan segala tafsir yang ia hadirkan. Akhirnya ia benar-benar memilih jalan.
Mengikrarkan diri untuk mecari ilmu yang mutlak. Hingga menemukan metode yang
baru. Metode yang akan memperjelas bagaimana pengetahuan yang baru dan semua
yang telah ada menjadi pasti dan menyatu.
Bukanlah
pencarian jika ia tak menemukan rintangan. Tidaklah mudah menyusun suatu yang
baru, dan menampilkanya
pada khalayak tanpa jalan terjal yang terlalui. Descartes mengalami jalan
terjal itu. Ia merasa “frustasi” dan merasa tak berdaya dalam menyelesaikan
impian proyektifnya. Karena perasaan demikian, Descartes menenggelamkan diri
dalam kesenangan duniawi; berkelana, berjudi. Dan cara hidup itu pun berkakhir
pada tahun 1628. Ia mulai menjauhi hidup glamor. Kini, ia banyak mengurung diri
dalam kamar. Melakukan meditasi dan berdilog dengan pikiran-pikiranya.
Dalam bukunya, Discourse on Method, Descartes berujar “saya tidak tahu apakah saya perlu membahas meditasi-meditasi
pertama yang saya lakukan di sana. Karena begitu abstrak dan di luar jangkauan
kelaziman, sehingga mungkin tidak selaras dengan kegemaran setiap orang. Namun,
agar orang dapat menilai apakah asas-asas yang saya letakkan sudah cukup kokoh,
bagaimanapun saya wajib membicarakanya”
Dalam
meditasinya, Descartes menemukan sebuah diktum bahwa “Aku berpikir maka aku ada” dan itulah yang ia ingin dibicarakan
kepada kita semua. Memberikan ruang kepada kita untuk menilainya. Diktum
Descartes mungkin tak salah bila kita menyebutnya sebagai pengenalan akan diri.
Upaya untuk membangun relasi yang jelas antara pengetahuan dan eksistensi. Jika
benar, barangkali Descartes ingin mengatakan bahwa sebuah pengetahuan perlu
berangkat dari kesadaran akan diri yang hadir lebih awal. Karena tanpanya,
pengetahuan tak mungkin hadir. Bila tak salah “berpikir” merupakan esensi atau
kodrati manusia.
Dakunya; “Kenyataan
bahwa saya meragukan segala sesuatu justru membuktikan dengan jelas dan pasti
bahwa saya ada. Sebaliknya, sendainya saya berhenti berpikir, walaupun hal yang
lain yang saya bayangkan memang benar ada, saya tidak mempunyai alasan apa pun
untuk menyatakan bahwa saya ada. Berdasarkan hal itu saya menyimpulkan bahwa
saya adalah subtansi yang seluruh esensi atau kodratnya hanyalah berpikir dan
untuk keberadaanya tidak memerlukan ruang sedikit pun, dan tidak bergantung
pada benda materi apa pun. Dengan demikian “saya” ini, yakni jiwa- yang membuat
saya ada sebagaimana adanya-sama sekali berlainan dengan badan”.
“Saya berpikir”
bila tak keliru, merupakan aturan umum untuk
dapat menetapkan segala suatu yang kita tangkap sehingga ia menjadi
jelas dan gamblang. Tidakkah memang suatu yang jelas dan gamblan tentunya perlu
dan mungkin niscaya berangkat dari suatu yang jelas dan gamblang pula. sehingga
mungkin saja kita dapat menyimpulkan bahwa “saya berpikir” suatu yang jelas dan
terang dengan sendirinya. Barangkali
tidak salah bila “saya berpikir” merupakan suatu yang badhihi - suatu yang
dikenali tanpa melaui proses berkpikir itu sendiri.
Descartes dalam
diktum itu, sepertinya ingin menyampaikan bahwa setiap pengetahuan perlu
berangkat suatu yang tak mungkin lagi salah-yang jelas dan terang. Dimana, yang
tak mungkin salah itu menjadi prasayarat untuk pengetahuan yang yang lain [konsepsi]
Sepertinya “saya berpikir” merupakan penemuan yang jenius terhadap suatu yang tak mungkin salah. Jika
kita mengalami keraguan akan “saya berpikir” pada saat yang sama “saya ragu”
itu tanda bahwa kita sedang berpikir-“saya berpikir”
“Saya berpikir”
mungkin bisa dikatakan sebagai ihwal ketetapan dari subyek untuk mengerti yang
lain. Sebuah afirmasi untuk bangunan pengetahuan. Jika benar, “Saya berpikir”
ibarat pondasi untuk sebuah rumah. Jika ilmu adalah cahaya, maka “Saya
berpikir” bisa dibilang cahaya pertama pada diri manusia untuk menyerap cahaya
selanjutnya. Bila tak ekstrim, manusia sejatihnya tak memiliki bangunan
pengetahuan jika “Saya berpikir” tak miliki oleh manusia. Dan Descartes,
mengingatkan kita akan hal itu. Mengajak kita untuk menyelami suatu yang inheren
dalam diri kita sebelum melacak apa yang ada diluar diri.
# Tulisan ini
pernah dimuat di kolom Literasi Tempo
No comments:
Post a Comment